Thursday, October 11, 2012

Belajar Dari Kegagalan


Selamat Pagi Indonesia..
Ada sebuah cerita menarik yang pernah saya kirimkan ke milis angkatan saya sebelumnya. Cerita ini terinspirasi oleh kisah perjalanan kehidupan seorang John yang merasa dirinya bukan siapa-siapa, namun kenyataannya dia adalah seseorang yang luar biasa.. Semoga apa yang saya tuliskan ini bisa bermanfaat bagi kita semua..

John Pierpont mati dalam kegagalan. Pada tahun 1886, ketika berumur 81 tahun, ajalnya  datang dalam kondisinya sebagai pegawai rendahan di Washington DC yang penuh dengan kekalahan menggerogoti semangatnya…
Awalnya dimulai dengan cukup baik. Dia lulus dari Universitas Yale  dimana kakeknya adalah donatur di universitas tersebut. Di Yale dia memilih kelas sebagaimana profesinya dengan penuh rasa antusias. Dia gagal pada pendidikan  sebagai guru. Dia tidak bisa menghadapi muridnya, dan akhirnya dia kembali mengikuti pendidikan hukum.

Namun dia gagal pula menjadi pengacara. Dia terlalu  dermawan kepada kliennya dan terlalu konsern kepada keadilan dengan mengabaikan kasus-kasus yang mendapatkan fee besar. Karir berikutnya dia mencoba peruntungan sebagai pedagang barang kelontong.
Sama seperti sebelumnya, dia gagal sebagai pedagang. Dia tidak dapat mendapatkan harga yang pas untuk barang-barang yang dia jual agar bisa mendapatkan keuntungan dan mudah memberi hutang kepada orang lain. Dalam waktu yang bersamaan dia juga menulis puisi dan meskipun telah dipublikasikan dia tetap tidak dapat  uang yang cukup untuk biaya hidup dari hasil royaltinya

Dia kembali gagal sebagai penyair, dan kemudian dia memutuskan untuk menjadi pendeta setelah keluar dari Sekolah Ilmu Agama di Harvard dia memutuskan untuk mengabdikan dirinya di Gereja Hollis Street di Boston. Namun posisinya sebagai penentang perbudakan membuatnya berseberangan dengan anggota berpengaruh dari umat gereja dan dia ditekan untuk mengundurkan diri.
Kembali dia gagal sebagai pendeta. Politik sepertinya adalah tempat yang cocok untuk membuat perubahan dan dia dinominasikan sebagai calon Gubernur Massachusetts oleh Partai Abolisi. Dia kalah, dengan pantang menyerah dia mencalonkan diri sebagai anggota konggres dibawah bendera partai Kebebasan Tanah, dan kalah lagi.

Gagal sebagai politikus, ketika perang sipil meletus dia medaftarkan diri sebagai sukarelawan pendeta di Resimen 22 Sukarelawan Massachusetts. Dua minggu kemudian dia keluar setelah mendapati bahwa tugasnya terlalu berat bagi kesehatannya. Saat itu usianya 76 tahun. Akhirnya meski hanya sebagai paderi pun dia kembali gagal.
Seseorang mendapati dia melakukan pekerjaan tidak populer di kantor belakang  Departemen Keuangan di Washington dan dia menyelesaikan lima tahun kehidupan terakhirnya sebagai sebagai pembantu rendahan bagian file. Disinipun dia dinilai tidak cukup cakap, hatinya terlalu baik sebagai pencinta manusia.

John Pierpont meninggal dalam kegagalan. Dia tidak pernah menyempurnakan sesuatu yang dia mulai. Di makamnya di Pemakaman Gunung Auburn Cambridge, Massachusetts tertera kalimat: “POET, PREACHER, PHILOSPHER, PHILANTRHOPIST” (Penyair, Pendeta, Filsuf, Penderma)
Nanun demikian,,,, apa yang terjadi saati ini setelah berpuluh tahun kemudian??
Saat ini, setelah sekian lama,,,,

Banyak orang meyakini bahwa dia tidak gagal sebagaimana kenyataannya.

Komitmennya pada keadilan sosial, hasratnya untuk mencintai umat manusia, keterlibatan aktifnya pada isu-isu besar saat itu dan keyakinannya pada kekuatan pikiran bukanlah sebuah kegagalan. Dan pula banyak dari yang dia pikir saat itu harus ditaklukan menjadi berhasil dikemudian hari. Pendidikan di reformasi, proses peradilan ditingkatkan, peraturan kredit diganti, dan lebih dari semua itu, perbudakan dihapuskan selamanya.
Mengapa saya kutip cerita ini? Ini bukanlah cerita yang biasa. Banyak dari para reformist masa itu mengalami nasib yang sama, kegagalan yang sama dan keberhasilan yang sama. Bagi banyak kalangan, John Pierpont bukanlah orang yang gagal. Setiap tahun ketika bulan Desember datang, orang-orang Amerika merayakan keberhasilannya. Mereka mematrikan kenangan tentang dia dalam hati dan pikiran mereka.
Itu adalah sebuah lagu. Bukan tentang Tuhan atau malaikat maupun Santa Claus. Ini adalah tentang sebuah lagu yang sangat-sangat sederhana tentang  kegembiraan sederhana , tentang desir gelap musim salju, tentang kereta luncur yang ditarik seekor kuda, dan ditemani oleh seorang teman tertawa dan bernyanyi sepanjang jalan, tidak lebih tidak kurang “Jinggle Bells”..,  Ya John menciptakan lagu itu…

Untuk mengarang lagu gembira itu, untuk menulis lagu  dimana jutaan orang menyanyikannya di seluruh dunia, dimana lagu itu bercerita tentang sesuatu yang tidak pernah dikerjakan oleh  mereka, namun dapat drasakan dan dibayangkan, lagu dimana setiap dari penyanyinya besar kecil, tua muda dapat menyanyikan dan merasakan dalam hati, itu bukanlah sebuah kegagalan.

Perubahan hanya akan terjadi,, Apabila rasa sakit kondisi saat ini jauh  lebih menyakitkan daripada kalau kita berubah

Pengalaman saya ketika mengikuti Command and Staff Course bersama dengan para Polisi Singapura (Singapore Police Force), pada akhir pendidikan kami semua dikirim ke Australia pada tahu 2007. Disana kami mengikuti sebuah pelatihan lapangan dengan model pelatihan yang sangat menarik. Model pelatihan dengan menabrakkan kami semua kepada berbagai kegagalan. Saat itu saya dan rekan-rekan saya banyak sekali menemukan kesalahan sampai kepada titik yang membuat rasa frustasi paling dalam.
Selama dua minggu kami dilepas di alam yang liar pada musim dingin yang menggigit dengan hanya berbekal peta dan sedikit bekal. Berbagai tekanan persoalan kami terima dan menggiring kami kepada pergerakan sejauh ribuan kilometer dengan menggunakan berbagai cara. Mobil, sepeda, berjalan, menyisir sungai, kano dan lain-lain adalah metode pergeseran kami. Titik frustasi menggelayuti kami karena tiada arah yang bisa diraih tanpa memecahkan berbagai persoalan. Sementara disatu sisi, setiap kesalahan dapat menggiring kami menjauhi sasaran.
Kalau dianalogikan, Acara Amazing Race mirip sekali dengan model pelatihan kami. Namun demikian sebuah pelajaran besar dari berbagai kesalahan itu kami dapat. Bagaimana kami melihat ketahanan mental kami diuji untuk tetap berfikir rasional dalam kondisi yang paling down sekalipun....

Berbagai kegagalan kami memecahkan persoalan tidak membuat para pelatih menjadi ”tidak tega” dan memberikan kunci jawaban. Bahkan mereka rela menunggu kami sepanjang 24 jam hanya untuk memecahkan satu persoalan, sehingga dengan jawaban itu kami bisa bergeser kembali ketempat berikutnya.

Begitu menantangnya pelatihan ini bahkan dilaksanakan berpindah diberbagai alam yang buas seperti Australia dan Nepal. Pemerintah Singapura selalu mengirimkan para middle manager nya yang akan menapaki jenjang karier berikutnya untuk mengikuti pelatihan seperti ini, pelajaran mempelejari kegagalan..

Sahabat-sahabatku,,
Jangan pernah mengganggap diri kita gagal,, apalagi menilai orang lain sebagai orang yang gagal... Percayalah, setiap dari kita pasti pernah merasakan sebuah kegagalan. Namun semua dari kita juga harus percaya bahwa dengan kegagalan itu kita belajar sesuatu.. Belajar sebuah sukses yang tertunda, sepanjang tak henti kita untuk ”selalu belajar dari sebuah kegagalan..”

Bahkan kegagalan pun harus dilatihkan...

No comments:

Post a Comment