Thursday, October 1, 2015

Mencapai Manajemen Penanganan Kasus Yang Optimal



Pada hari Rabu, 30 September 2015, saya mengikuti sebuah acara Focused Group Discussion (FGD) yang diadakan oleh Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Republik Indonesia. Tema yang diangkat pada bahasan tersebut adalah: Perbaikan Manajemen Penanganan Kasus Pada Satuan Reskrim Polri.

FGD ini menjadi sarana baik bagi Kompolnas maupun bagi para peserta, yang umumnya berasal dari satuan Reskrim, untuk mengeksplorasi isu tentang manajemen penangan kasus oleh satuan Reskrim. Pada kesempatan kali ini saya ingin berbagi beberapa hal menarik dan penting yang saya dapatkan pada FGD tersebut serta beberapa perspektif saya pribadi.

Salah satu pemikiran dasar dari Kompolnas dalam mengadakan FGD ini adalah banyaknya kritik atas kinerja satuan Reskrim di tubuh Polri. Statistik pengaduan kepada Kompolnas menunjukkan hal tersebut, dimana dari 3178 pengaduan 89,5% dari angkat tersebut (2858) ditujukan kepada satuan Reskrim. Secara rinci, pembagian data Kompolnas tersebut adalah pelayanan yang buruk  60,1%, penyalagunaan wewenang 26,6%, diskriminasi 3,9%, HAM dan kekerasan 6,20%, KKN dan korupsi 0,56%,  dan diskresi yang keliru  4,08%.

Selain poin-poin tersebut di atas terdapat juga poin tambahan mengenai pengawasan dan manajemen penanganan kasus pidana menggunakan teknologi tinggi. Dalam diskusi tersebut sama-sama diakui bahwa Polri memang sedang dan terus melakukan upaya pembenahan diri untuk meningkatkan pelayanan dan pelaksanaan tugasnya. Tidak dipungkiri juga bahwa memang akan ada oknum-oknum tidak bertanggungjawab yang tidak melaksanakan tugasnya dengan baik. Bahasan tersebut bukanlah sebuah bahasan yang benar-benar baru, yang menarik dari bahasan FGD ini adalah ditonjolkannya sistem manajemen kasus pidana sebagai sebuah solusi peningkatan professionalisme kinerja Polri.


 
Perbaikan sistem manajemen kasus, sebagaimana menjadi tema dari FGD ini terkait dengan pengawasan dan kepastian penyelesaian sebuah kasus pidana. Di Indonesia, manajemen penanganan kasus didasarkan pada beberapa ketentuan, antara lain KUHAP, Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, dan Peraturan Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 4 tahun 2014 Standar Operasional Prosedur Pengawasan Penyidikan Tindak Pidana.

Salah satu bentuk pengawasan yang konkret berlaku di lingkungan Polri, termasuk di Polda Metro Jaya saat ini adalah adanya gelar perkara dan adanya posisi Wassidik. Gelar Perkara merupakan mekanisme pengawasan yang berjalan di lingkungan Ditreskrimum Polda Metro Jaya, dimana proses penyidikan melalui GP dilakukan sejak laporan diterima, pertengahan proses penyidikan, maupun dalam menetapkan status tersangka. Sementara Wassidik memiliki tugas untuk melakukan koordinasi dan pengawasan proses penyidikan tindak pidana serta menindaklanjuti pengaduan masyarakat yang terkait dengan proses penyidikan.

Secara sistem, Polri juga memiliki sistem bernama Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas). Berdasarkan sistem ini, seluruh data/laporan yang diterima Ditreskrimum Polda Metro Jaya dilaporkan ke Mabes Polri secara online oleh seorang petugas khusus. Akan tetapi Kompolnas menyatakan bahwa sistem ini tidak berjalan dengan maksimal.

Pada FGD tersebut disampaikan juga paparan dari liaison officer (LO) kepolisian Selandia Baru di Indonesia, Superintendent Neil Banks, tentang sistem manajemen penanganan kasus di lingkungan kepolisian Selandia Baru. Dari paparannya diketahui bahwa sistem yang mereka miliki memang terintegrasi secara online dari pusat data hingga perangkat yang dipegang langsung oleh petugas di lapangan. Mereka menekankan mobilitas dan aksesibilitas dalam penggunaan sistem serta menonjolkan prinsip transparansi dan akuntabilitas sebagai faktor terpenting sistem yang mereka miliki.

Perlu diperhatikan bahwa proses pembentukan sistem kepolisian mereka dalam bentuk yang terkomputerisasi sudah dimulai sejak 1970an. Dapat dikatakan bahwa mereka sudah terlebih dahulu memiliki sebuah kebiasaan dalam membentuk serta mempergunakan sistem manajemen kasus yang terkomputerisasi.

Tidak diragukan bahwa ketersediaan sistem manajemen penanganan kasus pada lingkungan reskrim akan membantu kinerja Reskrim Polri. Yang perlu menjadi perhatian adalah bagaimana Polri dapat menuju ke kondisi ideal sebagaimana dikehendaki pada contoh Selandia Baru tersebut.

Kompolnas sudah mengidentifikasi bahwa kepemimpinan (leadership) adalah faktor yang krusial dalam mewujudkan ataupun memperbaiki sistem tersebut. Kompolnas mengangkat contoh sistem penanganan kasus yang dibentuk oleh Komjen Pol. (Purn) Ito Sumardi saat beliau menjabat sebagai Kabareskrim. Sistem tersebut pada akhirnya tidak berjalan selepas beliau. Hal yang serupa terjadi tidak hanya di Bareskrim Polri ataupun satuan Reskrim itu sendiri. Disini saya memandang adanya ketidak sinkronan pandangan dan pemahaman tentang pentingnya sistem ini ketika terjadinya pergantian kepemimpinan dalam lembaga Reskrim.

Kesamaan perspektif dalam proses pergantian pejabat merupakan hal yang penting untuk memastikan hal-hal yang sudah terbangun tetap terjaga. Penjagaan perspektif ini bukanlah satu-satunya hal yang penting ketika akan membangun sebuah sistem, pemahaman atas sistem itu sendiri dan bagaimana sistem itu dapat bekerja pun merupakan hal yang penting disini. Ada faktor-faktor kebiasaan yang perlu untuk dibentuk.

Gambaran teori Lewin
Pendapat Kurt Lewin terkait manajemen perubahan cukup menggambarkan bagaimana perubahan kebiasaan dapat dilakukan. Lewin menggambarkan perubahan kebiasaan dari sebuah kondisi lama ke kondisi baru bagaikan sebuah es, dimana es tersebut dari kondisi beku (freeze) yang menggambarkan kondisi kebiasaan yang lama, cair (unfreeze) kondisi transisi dimana kebiasaan baru mulai diinternalisasi, lalu beku kembali (freeze/refreeze) kondisi dimana kebiasaan baru terinternalisasi. Apa yang digambarkan pada teori ini saya alami pada masa pengabdian saya di PBB.

Kami yang bertugas di PBB datang dengan kebiasaan yang dibawa dari negara masing-masing. Tentunya kebiasaan tersebut berbeda, akan tetapi kami kemudian mampu bekerjasama dengan baik dan bahkan melaksanakan tugas-tugas yang sifatnya internasional dengan efektif. Salah satu faktor yang sangat membantu adalah di masa awal sebelum kami mulai bertugas, PBB menyediakan masa transisi dimana pada masa tersebut kami difasilitasi untuk memahami bagaimana sistem di PBB bekerja. Termasuk di dalam sistem tersebut adalah manajemen data, sistem komputer dan program-program yang digunakan oleh PBB. Kami juga difasilitasi laptop yang sudah disetting untuk dapat bekerja sesuai dengan spesifikasi PBB dalam hal keamanan dan lain sebagainya.

Dalam kaitannya dengan sistem tersebut, saya memandang perlu ada dukungan yang optimal bagi Polri agar sistem manajamen kasus dapat berjalan dengan baik kedepannya. Bagaimana sistem dapat berjalan apabila fasilitas seperti internet dan peralatannya tidak tersedia di lapangan bagi petugas Polri. Ini adalah sebuah PR besar bagi pembangunan sistem, infrastruktur untuk berjalannya sistem itu sendiri seyogyanya sudah tersedia atau setidaknya siap disediakan agar proses integrasi kebiasaan dalam penggunaan sistem dapat berjalan.

Apabila infrastruktur sudah tersedia, saya yakin bahwa secara kultural setiap anggota Polri dapat dibiasakan untuk menjalankan sistem tersebut. Dengan demikian apa yang dikehendaki dalam FGD Kompolnas ini, yaitu tentang manajemen kasus yang baik di lingkungan Reskrim Polri, dapat terwujud. Mungkin akan membutuhkan waktu dan anggaran yang tidak sedikit, akan tetapi saya yakin sedikit demi sedikit apa yang dicita-citakan dapat tercapai dengan dukungan Pemerintah dan masyarakat.

Salam

1 comment: