Monday, December 31, 2012
Catatan lebih indah di 2013
Lembar Kosong diatas, adalah kesempatan kita untuk membuat catatan kehidupan kita lebih baik lagi ditahun 2013 nanti..
Selamat Tahun Baru Negeriku..
31 Desember 2012
Salam Hormat dari New York
Saturday, December 29, 2012
Gentong Air Gentong Ilmu
Ada yang ingat kotbah Jumat kemarin? Ada yang ingat Kotbah Minggu yang lalu?
Otak manusia itu seperti gentong. Air digentong itu tidak akan berguna
kalau tidak dialirkan, dengan dialirkan maka dia bisa menghidupi, dan
kemudian diisi air kehidupan yang baru. Diisi air yang lebih bersih. Air
digentong kalau tidak dialirkan akan menjadi kotor, berlumut dan bau.
Kalau kata orang jawa ada uget-ugetnya dan tidak bisa dipakai. Kadang
kita diminta orang tua untuk membersihkan gentong tersebut.
Bagaimana cara membersihkan otak kita? Gunakan isi pikiran kita untuk
beramal. Bagikan kepada seluruh umat. Kalau bisa dengan perbuatan,
gunakan dengan perbuatan yang baik. Kalau bisa dengan perkataan, gunakan
perkataan yang baik. Kalau bisa dengan tulisan, gunakan tulisan yang
baik. Berbagi ilmu adalah amal. Menyimpan ilmu untuk diri sendiri tidak
akan bermanfaat. Suatu hari, ilmu bermanfaat akan menjadi ladang amal
kita meskipun kita telah mati.
Setiap selesai shalat Jumat saya selalu merenung dan mencatat sedikit di catatan
harian saya. Jumat kemarin sang Khatib di Masjid Markas Besar PBB
menceritakan kisah tentang menghadapi kematian. Bagaimana kita semua
akan mati dan betapa sakitnya mati itu ketika nyawa dicabut dari badan
kita. Saya sudah mendengar dan membaca tentang kisah ini namun saya selalu ngeri dan takut setiap mendengar kisah tentang kematian. Sebagaimana
kisah Nabi Besar Muhammad SAW menceritakan tentang kisah kematian kepada
sahabat. Dan bahkan Malaikat pencabut nyawapun mengatakan bahwa Kematian
Nabi adalah kematian yang paling lembut sebagaimana mencabut rambut ditepung yang halus, namun tetap saja rasanya sangat
menyakitkan.
Satu lagi catatan jumat saya mengingatkan tentang keajaiban. Banyak
manusia berharap keajaiban, tapi apakah benar keajaiban itu ada? Namun
yang menarik bukan masalah ada dan tidak ada. Sang Khatib bercerita
tentang kisah Siti Maryam ibunda Isa Almasih yang mendapatkan keajaiban
dengan kekuatannya yang lemah dia bisa menggoyangkan pohon Palem dengan
seijin Allah SWT. Namun kata Khatib, intinya bahwa keajaiban pun
membutuhkan langkah pertama seperti kisah Siti Maryam, butuh tangan
kita, butuh tindakan kita untuk memunculkan keajaiban.
Kalau keajaiban saja membutuhkan langkah pertama, apalagi sebuah usaha
dalam diri kita. Seumur hidup belum tentu kita menemukan keajaiban. Dan
Umat Islam dilarang untuk percaya akan keajaiban. Hidup ini adalah usaha
manusia, dan biarkan nasib ditentukan oleh Allah SWT. Ketika seseorang
bercerita kepada saya tentang mimpi-mimpi besarnya, saya selalu
bertanya, apa langkah pertama untuk mewujudkan mimpimu? Dia mengatakan
dia akan melakukan ini dan itu untuk mewujudkan itu, namun dia tidak
pernah memulai langkah itu. Saya katakan kepada dia, kalau kamu
mempunyai mimpi besar, langkah pertama yang harus kamu lakukan adalah
"bangun dari tidurmu". Bagaimana kamu mau mewujudkan mimpimu, kalau kamu
masih tenggelam dalam tidurmu? Mimpi hanya ada di tidur, dan hidup
adalah kenyataan.
Siapa yang masih ingat kotbah Jumat yang lalu?
Saya yakin banyak dari kita yang tercenung ketika sang khatib berkotbah
di mimbar saat itu. Namun, sesaat kemudian kita lupa dan kembali
disibukkan dengan urusan lain yang datang mendera detik demi detik.
Mencatat, mengingat dan menuliskan kembali adalah kegiatan yang dianggap
sepele oleh sebagian besar dari kita. Namun kita lupa bahwa kita bisa
mengetahui ilmu karena catatan orang lain selama ini. Mengapa banyak
diantara kita tidak tertarik untuk menulis? Sebagian mengatakan bahwa
saya orang lapangan, saya bukan pemikir, saya bukan penulis, saya orang
yang langsung bertindak dan sebagainya..
Kita lupa, bahwa semua kehidupan kita adalah catatan sebagaimana telah
digariskan dalam Lauh Makhfudz.. Sebuah kitab besar yang sudah diciptkan
oleh Allah SWT jauh sebelum penciptaan alam semesta raya ini ada. Ini artinya bahwa Allah-pun mempunyai catatan, yang
bahkan malaikatpun tidak tahu apa isi kitab itu. Dan bahkan daun
gugurpun Allah sudah menggariskan ceritanya. Selain itu, jangan lupa bahwa malaikatpun juga mencatat perbuatan baik dan buruk kita setiap hari. Karena itu, saya ingin
sekali dari seluruh pembaca tulisan ini, untuk menggairahkan diri dan
lingkungannya dengan berbagi. Berbagi dalam catatan apapun. Catatan
kecil atau besar, pasti suatu saat ada gunanya. Kalaupun tidak berguna
bagi orang lain, setidaknya berguna bagi diri sendiri.
Dari banyak senior yang saya kagumi ada satu senior yang begitu berkesan
dalam membagikan ilmunya kepada saya. Saya pernah diperintahkan membuat
sebuah naskah Kapolri untuk bahan Rapat Dengar Pendapat dengan DPR.
Saya menyiapkan naskah itu dengan segala keterbatasan saya. Saya
mengirimkan kepada beliau. Saya yakin draft naskah saya sangat jauh dari
sempurna. Namun apa yang terjadi dengan senior saya itu? Dia memanggil
saya ke kediaman Kapolri saat itu, dan diruangan itu saya menyaksikan
sendiri bagaimana beliau memperbaiki naskahh itu satu demi satu menjadi
sebuah naskah yang sangat berisi dan layak disajikan dihadapan anggota
DPR.
Lain cerita adalah ketika saya masih berumur 26 tahun di penugasan di
Misi Perdamaian PBB. Saya berkantor seruangan dengan senior yang lain.
Pangkat saya masih Letnan Satu saat itu, dan beliau sudah berpangkat
Mayor Polisi. Setiap hari beliau menulis sesuatu untuk konsumsi pribadi.
Saya kadang diminta membaca. Saya sangat terkesan dengan tulisan itu.
Sangat inspiratif dan penuh makna. Saya ingin seperti beliau menuangkan
segala pikiran dalam tulisan. Saya dibujuk oleh beliau untuk mulai
menulis. Katanya "Suatu hari kamu akan tertawa membaca tulisan kamu hari
ini, tapi itulah proses kehidupan bahwa kamu telah memulai sesuatu
dengan langkah pertama".
Kedua kisah inspiratif diatas, hanya ingin saya ceritakan dengan maksud
untuk memberikan pemahaman,, bahwa dengan mengalirkan isi kepala, maka
kita akan selalu berfikir. Dengan berfikir maka kita akan selalu
belajar. Dengan selalu belajar maka kita akan selalu memperbaiki diri.
Karena apapun pekerjaan yang kita lakukan tidak akan bermakna apabila
tidak dilandasi ilmu pengetahuan. Bahkan ibadah tanpa ilmu pun tidak ada
artinya.
Syaikh Abdurrahman bin Qasim An Najdi rahimahullah mengatakan, “Amal
adalah buah dari ilmu. Ilmu itu dicari demi mencapai sesuatu yang lain.
Fungsi ilmu ibarat sebatang pohon, sedangkan amalan seperti buahnya.
Maka setelah mengetahui suatu ilmu seseorang harus menyertainya dengan
amalan. Sebab orang yang berilmu akan tetapi tidak beramal dengannya
lebih jelek keadaannya daripada orang bodoh.
Namun,dalam mengamalkan ilmu itu tidaklah semudah seperti apa yang
dibayangkan. Tidak hanya sekedar berbagi dan menjalankan apa yang kita
dapat dari ilmu yg kita miliki. Tapi marilah kita mengamalkan ilmu kita dengan cinta dan
keiklasan hati. Karena sehebat apapun ilmu yg kita miliki, tidak akan
pernah sampai ke hati jika kita tidak menggunakan hati kita dalam
pengamalannya.. Dan jadikanlah keimanan sebagai pedomannya, sehingga kita
tidak terjebak dari hal-hal yg bisa membutakan mata hati kita..
Selamat mencatat dan selamat berbagi ilmu...
Problem Oriented Policing
Some police managers attracted to problem-oriented policing also
apply other strategies, such as community policing, "broken windows"
policing, intelligence-led policing, and CompStat. Depending on how
these other strategies are implemented, they may or may not be
compatible with POP. Even when implemented in a compatible manner, they
are not the same as POP. For these reasons it is critical to understand
how POP differs from these other strategies.
Problem-oriented policing is a method for analyzing and solving crime
problems. Community policing, on the other hand, represents a broader
organizational philosophy. Community policing includes problem-solving
as addressed in problem-oriented policing, but it also includes the
development of external partnerships with community members and groups.
Additionally, community policing addresses organizational changes that
should take place in a police agency (such as decentralized
decision-making, fixed geographic accountability, agency wide training,
personnel evaluations) designed to support collaborative
problem-solving, community partnerships, and a general proactive
orientation to crime and social disorder issues.
Community policing is
therefore more focused on police-public interaction than is
problem-oriented policing and represents a broader organizational
philosophy that incorporates the principles of problem-oriented policing
within it. When done well, community policing provides a strong
overarching philosophy in which to engage in POP, but community policing
that fails to incorporate the principles of POP within it is unlikely
to have a substantial impact on reducing crime.
Problem-oriented policing identifies partners whose help is needed in dealing with specific problem.
In an ideal case, community policing does this as well. If the problem
is assaults around bus stops, a necessary partner will be the local
transit authority. If the problem is shoplifting, then the cooperation
of local businesses is needed. Community members often identify
problems. Specific members of the public (including offenders) can have
important insights useful for problem analysis.
Community members can
help implement solutions (for example, in fitting deadbolts or not
giving money to beggars). And the success of a problem-solving effort
might be defined in terms of community reaction. But rarely can the
community at large help with the specialized technical work involved in
problem analysis, solution development, and evaluation. In addition to
partnering around specific problems, community policing also seeks out
partnerships among the community at large (and government organizations)
in order to increase the level of trust and general cooperation with
them. In this sense, it goes beyond the partnerships described under
problem-oriented policing. Agencies that adopt the broader general
philosophy of community policing should be careful not to let these
partnerships with a different purpose (building trust and cooperation)
dilute the more focused problem-solving partnerships and efforts that
the community policing philosophy also encourages.
These distinctions are most easily confused when the focus of a
problem-oriented project is a deprived neighborhood. In this case, the
project should proceed by identifying the collection of individual
problems that together make up the greater one (see Step 14). Rather
than attempting to build a relationship with the community at large, a
problem-oriented project focuses on solving the specific problems of,
say, drug houses, commercial burglaries, and bar fights. To the extent
that members of the community become productively involved in solving
these discrete problems, they may be a rather different group of
individuals in each case. Broader partnerships with the community could
be developed in order to build trust between police and the community
and this can make the problem-solving process easier; however, even in
the absence of widespread community support, problems need to be
systematically addressed.
It is also important to understand the difference between
problem-oriented policing and broken windows policing. Under the former,
specific solutions to the variety of problems confronting the
police emerge from careful and detailed analysis of the contributory
causes of each. By contrast, "broken windows" advocates the same general
solution - policing incivilities and maintaining order whenever crime
shows signs of becoming out of hand. This approach is based on two
principles, the first of which is that small offenses add up to destroy
community life. For example, littering one piece of paper is nothing
terrible, but if everybody does it the neighborhood becomes a dump. The
second principle of broken windows is that small offenses encourage
larger ones. For example, abandoned and boarded up properties often
become the scene for drug dealing and can spawn more serious crimes.
This important insight has led some cities to pay much more attention to
policing against small offenses.
All policing requires discretion, and broken windows policing
requires some very important decisions to be made by officers on the
street. (This is why it should not be confused with "zero tolerance"
which is a political slogan, impossible for the police to deliver
because it would soon result in clogged courts and an alienated
population.) One has to figure out which of the small offenses multiply
into more crimes and which do not. For example, New York City subway
system managers learned that young men jumping turnstiles to travel free
often committed robberies within the system. Controlling the minor
crime helped reduce the major one. But the subway managers also learned
that those painting graffiti did not normally commit more serious
crimes. Although their efforts to control graffiti were very effective
(see Step 41), they did not reduce robbery.
Problem-oriented policing also addresses these less serious offenses
even if there is no expectation that they will lead to worse problems.
Vandalism in a public park might not increase the chances of robbery,
but it does destroy public facilities, so it is a problem that needs to
be addressed. Citizens in a neighborhood may be very concerned about
speeding, traffic congestion, or noise. As long as these meet the
criteria for a problem (Step 14) they are addressable by POP, even if
there is no expectation that the neighborhood will deteriorate should
these go unaddressed.
Crime analysts are given a central role in intelligence-led policing,
which puts a premium on the need for sound information to guide
policing operations. However, intelligence-led policing is primarily a
methodology for producing sound, useable intelligence. It does not guide
police through the whole process of designing and implementing a crime
reduction initiative in the way that the SARA model is intended to do.
Nor does it give a central role to crime analysts at every stage in such
an initiative. This is why problem-oriented policing has a great deal
more to offer crime analysts and why it expects much more of them.
Finally, problem-oriented policing is not the same as CompStat,
though they share some common features. Both focus police attention,
though CompStat as normally practiced restricts itself to geographic hot
spots while POP can be applied to a wider array of crime
concentrations. Though both use data to drive police action, the variety
of data and depth of analysis used in POP is greater than quick-paced
CompStat targeting. CompStat uses law enforcement tactics almost
exclusively, while POP uses these along with a wider variety of
responses. CompStat may have short-term impacts on geographic hot spots
of crime that wear off and require more enforcement. A problem-oriented
approach seeks longer-term solutions. If CompStat is used as a
"first-aid" response while POP is applied to enact a longer-term cure,
then the two approaches can work well together.
Friday, December 28, 2012
Tidak Berpura-Pura
Sungguh tidak terasa akhir tahun 2012 ini sudah semakin dekat. Sebagian dari kita sedang berlari kencang demi menggapai resolusi dan cita-cita masa depan. Tetapi sebagian yang lainnya belum menentukan arah atau bahkan tidak tahu sama sekali akan lari kemana. Semoga kita semua termasuk orang-orang yang sudah menentukan arah, dan dalam kecepatan berlari, atau sedang menambah kecepatan untuk mengejar apa yang yang menjadi impian kita.
Apa yang anda pikirkan
jika anda mendengar sebuah nasihat seperti ini?
“Berpura-puralah seolah-olah sudah menjadi orang baik” Ada Nasihat tentang jadi Polisi di Amerika ini yang cukup menggelitik saya: Jadi Polisi itu itu hanya membutuhkan sebuah kepura-puraan. Menurut si pemberi nasihat, jika memang menginginkan jadi polisi yang selamat selama bertugas di kepolisian, maka pandai-pandailah berpura-pura!
“Berpura-puralah seolah-olah sudah menjadi orang baik” Ada Nasihat tentang jadi Polisi di Amerika ini yang cukup menggelitik saya: Jadi Polisi itu itu hanya membutuhkan sebuah kepura-puraan. Menurut si pemberi nasihat, jika memang menginginkan jadi polisi yang selamat selama bertugas di kepolisian, maka pandai-pandailah berpura-pura!
Dari nasihat diatas,
saya jadi merenung sedikit tentang kepura-puraan ini. kok kita malah harus
berpura-pura ? bukankah pura-pura itu menipu?
Apa iya kalau jadi
polisi itu kita harus selalu berpura-pura jadi polisi yang sabar agar Polisi dilihat
orang sebagai penyabar. Katanya lagi, jika polisi mampu bertahan dengan pura-pura
sabar selama jadi polisi, maka sabar itu akan menjadi kepribadian kita.., beneran
gak ya??
Apa iya kalau jadi Polisi itu
harus juga mampu berpura-pura tersenyum dikala masyarakat diluar sana selalu
membenci polisi termasuk dikala para polisi itu sedang banyak masalah dan
banyak alasan sedih lainnya yang bisa membuat mereka untuk menangis??? Menurut saya; dengan melihat polisi yang selalu
tersenyum meskipun apapun yang terjadi, pasti masyarakat akan mengira polisi
itu selalu bahagia dan mereka akan senang bergaul dengan polisi yang senang
tersenyum (apalagi kalau senyumnya ikhlas, tulusss dari hati).
Seingkali polisi juga
harus bisa berpura-pura tegar. Dikala ombak cobaan menerjang terlalu kuat, yang
perlu dilakukan hanyalah ”just forget it”. There is no OMBAK masbro, mbaksis! Semua
musibah yang kita rasakan Cuma halusinasi. lupakan masalah itu, bungkus dalam
plastik dan buang kelaut, tatap masa depan dengan wajah ceria! Hidup itu terlalu
indah jika kita ga berpura-pura tegar!
Seringkali juga Polisi
itu harus berpura-pura sehat meskipun dikala seribu penyakit mendera fisiknya. Lagipula
kalau Polisi sakit, siapa yang perduli?? Paling juga hanya istri dan anak kita.
Terus kalau kita sakit, apa boss kita di kantor harus bilang wow gitu..??? Apa
masyarakat mau peduli?? Apa kata negara?? Cepat sembuh ya pak,. Wong yang
jelas-jelas mati saja sudah dilupakan apalagi yang masih sakit.. Jadi katanya;
Polisi itu harus selalu pura-pura sehat terus..
Masih nasihat si temen polisi Amrik ini datang kesaya. Ketika jadi anak buah; Jangan lupa untuk berpura-pura bodoh dihadapan pimpinan,, karena itu yang mereka senang). Jangan juga lupa untuk berpura-pura aktif pas pimpinan dihadapanmu, karena kamu pasti dikira sudah kerja (kebayang juga sih kalau ada bos malas-malasan kira-kira apa akibatnya. Jangan juga kalian lupa untuk berpura-pura rajin setiap hari, supaya dapat promosi, dan yang penting jangan lupa untuk berpura-pura respek sama atasan (meskipun kamu ngomongin dibelakang boss).
Ketika kita jadi
pimpinan, meskipun tidak peduli dengan anak buah, berpura-puralah peduli.. Ingat
nama mereka satu persatu, berpura-puralah peduli hari ulang tahunnya, berpura-puralah
peduli kalau dia sakit, berpura-puralah tidak pelit dan uangmu selalu banyak
sehingga bisa dibagi dengan anak buah, berpura-puralah tidak pernah marah
meskipun kamu pemarah, berpura-puralah berada dilapangan ketika anak buahmu
sedang kerja, berpura-puralah selalu tegar meskipun banyak masalah, berpura-puralah
kita menjunjung HAM meskipun rasanya ingin membalas dendam kematian anak buah
kita yang ditembak penjahat. Dan berpura-puralah bicara teratur di depan media,
meskipun rasanya ingin nyemprot wartawan itu pakai bogem mentah..
Apakah Nasihat diatas
mengajari kita untuk munafik,.?? Silahkan diinterpretasikan masing-masing.. Bagi
saya, sesuatu yang tulus itu jauh lebih baik daripada pura-pura. Meskipun kalaupun
kita terpaksa berpura-pura melakukan yang baik-baik seperti yang diatas,, tokh
ternyata akhirnya tidak akan dapat pahala akhirat, dan hanya dapat riya’ saja.
Pelaku
riya` ini, tatkala di dunia dia ingin mendapatkan pujian & penghormatan
dari orang karena ibadahnya, maka pada hari kiamat Allah akan mempermalukannya
di hadapan seluruh makhluk dgn menyuruhnya utk mencari pahala amalan kepada
makhluk yang dia harapkan pujiannya di dunia. Tidak cukup sampai di situ,
setelah Allah Ta’ala mempermalukannya di hadapan seluruh makhluk, Allah Ta’ala
langsung mencampakkan para pelaku riya` ini ke dlm jahannam (HR.
Muslim no. 1905).
Dunia ini memang
panggung sandiwara, tinggal karakter apa yang mau kita mainkan.. Kalaupun kita
semua mau berpura-pura baik selalu selama hidup kita, ada satu hal yang tidak
bisa kita bermain dengan berpura-pura. Yaitu jangan pernah berpura-pura dalam
berIMAN dan berIBADAH.. Padahal; semua perilaku kita akan menjadi ibadah kalau
kita tidak berpura-pura..
GAYA HIDUP APA YANG KITA PILIH?
Seperti di negara-negara lain, di tanah air
kita bisa membedakan beberapa gaya hidup dengan empat indikator;
1. Orang Berharta Dan Memperlihatkan
Hartanya; Orang seperti ini biasanya bergaya hidup mewah. Untung perilakunya
ini masih sesuai dengan penghasilannya sehingga secara finansial
sebenarnya tidak terlalu bermasalah. Namun dia terlihat seperti sombong dan
menjadi hina ketika tidak membelanjakan hartanya di jalan Allah.
2. Orang Yang Tidak Berharta
Banyak Tetapi Ingin Kelihatan Berharta; Gaya hidup mewah sebenarnya diluar
kemampuan dia, namun ia selalu ingin tampil lebih daripada kenyataannya.
Tidaklah aneh jika keadaan finansialnya “lebih besar pasak daripada tiang”.
Tampaknya, orang seperti ini benar-benar tahu seni menyiksa diri. Hidupnya amat
menderita, dan sudah barang tentu ia menjadi hina dan bahkan menjadi bahan tertawaan
orang lain yang mengetahui keadaan yang sebenarnya.
3. Orang Tak Berharta Tetapi
Berhasil Hidup Bersahaja; Orang seperti ini tidak terlalu rumit dalam menjalani
hidup karena tidak tersiksa oleh keinginan, tidak ruwet oleh pujian dn
penilaian orang lain, kebutuhan hidupnya pun sederhana saja. Dia akan hina
kalau menjadi beban dengan menjadi peminta-minta yang tidak tahu diri. Namun,
tetap juga berpeluang menjadi mulia jikalau sangat menjaga kehormatan dirinya
dengan tidak berharap dikasihani, tidak menunjukan kemiskinannya, tegar dan
memiliki harga diri.
4. Orang Yang Berharta Tetapi
Hidup Bersahaja; Inilah orang yang mulia dan memiliki
keutamaan. Dia mampu membeli apapun yang dia inginkan, namun berhasil menahan
dirinya untuk hidup seperlunya. Dampaknya hidupnya tidak berbiaya tinggi, tidak
menjadi bahan iri dengki orang lain, dan tertutup peluang menjadi sombong,
serta takabur plus riya. Dan yang lebih menawan akan menjadi contoh kebaikan
bagi orang lain. Memang aneh tapi nyata jika orang yang berkecukupan harta
tetapi mampu hidup bersahaja (tentu tanpa kikir). Sungguh ia akan mempunyai
pesona kemuliaan tersendiri. Pribadinya yang lebih kaya dan lebih berharga
dibandingkan seluruh harta yang dimilikinya
Bagaimana pandangan kita
terhadap seseorang yang selalu tampil dengan keluaran terbaru baik fesyen, gadget, maupun
kendaraan terbaru? Gadget terbaru selalu ada di genggamannya.
Kadang kita juga melihat rekan kerja yang menggunakan tas dengan merk yang
cukup mahal dengan jenis dan warna berbeda. Dan lucunya, ternyata gaya yang
sama tak hanya diidap oleh rekan kita tersebut. Istri dan anak-anaknya pun
punya gaya yang sama.
Salah satu pelajaran hidup
terpenting yang saya dapatkan dengan tinggal di Amerika sini adalah berkaitan
dengan gaya hidup tersebut. Banyak tokoh yang dewasa ini mengaitkan antara gaya
hidup dan budaya korupsi suatu bangsa. Dalam perkembangannya, mereka kemudian
mencontohkan gaya hidup budaya barat adalah salah satu pembanding yang tidak
perlu ditiru, karena mengajarkan tentang kemewahan. Gaya hidup mewah inilah
yang kemudian ditenggarai sebagai salah satu elemen utama merebaknya tindakan
korupsi ditanah air dewasa ini.
Setidaknya sekali dalam
hidup, mungkin diantara pembaca ada yang ingin merasakan hidup di luar negeri
seperti yang digambarkan di film-film. Tapi, percaya atau tidak, kehidupan
kebanyakan orang diluar negeri itu tidak seperti cerita film yang hidup dengan
berfoya-foya dan bergelimang kemewahan. Kebanyakan dari kami yang tinggal di
luar negeri ini hidup dan bekerja secara keras, menggunakan transportasi umum
saja, tanpa pembantu rumah tangga dan semua harus mengerjakan sendiri karena
harga tenaga manusia sangat mahal. Demikian juga halnya yang saya lihat
terhadap banyak orang kaya di New York sini, ternyata, beberapa di antara
mereka punya gaya hidup sederhana, jauh dari kesan mewah, seperti orang biasa pada umumnya;
berdesak-desakan di Bus dan Subway, meskipun mereka bergaji jutaan dollar
pertahun.
Saya melihat, merasakan dan mengalami sendiri, bahwa ternyata gaya hidup suatu masyarakat itu berbeda dengan masyarakat yang lain. Kita tidak bisa kemudian membandingkan gaya hidup sebuah masyarakat dengan masyarakat lain dan apalagi gaya hidup sebuah bangsa dengan bangsa lain serta meng-kambing hitamkan sebuah gaya hidup sebagai gaya hidup yang mewah dan memuji gaya hidup yang lain adalah gaya hidup yang sederhana.
Apakah menggunakan pesawat
terbang untuk melakukan perjalanan dari Jakarta ke Medan dianggap sebagai gaya
hidup mewah bila dibandingkan dengan menggunakan bus atau kapal laut? Apakah
menggunakan internet di Amerika adalah sebuah gaya hidup mewah? Apakah naik
mobil bagi orang yang bergaji besar adalah sebuah kemewahan? Apakah berlibur
bagi orang tertentu adalah sebuah kemewahan? Tentu saja tidak, bagi mereka
menggunakan internet adalah sebuah kebutuhan, naik mobil adalah kebutuhan dan
hampir semua keluarga di Amerika memiliki mobil yang bisa dicicil, berlibur
adalah hak yang harus diambil dan digunakan karena hari-hari mereka sudah jenuh
dengan pekerjaan yang menumpuk.
.
Mengukur Gaya Hidup Kita:
Saya sudah menggambarkan bahwa setidaknya ada 4 indikator gaya hidup yang ada di kita. Pertanyaannya adalah, apasih gaya hidup mewah itu? Dan apapula gaya hidup sederhana? Bagaimana Konteks gaya hidup sederhana diaplikasikan dalam sebuah keluarga?
Sebelum panjang lebar membahas
beberapa pertanyaan diatas, marilah kita mencoba menjawab beberapa pertanyaan
sederhana berikut ini:
Apakah Handphone adalah alat komunikasi yang menunjukkan sebuah kemewahan atau kebutuhan pada saat ini?
Apakah Sepeda motor adalah alat transportasi yang menunjukkan sebuah kebutuhan atau kemewahan saat ini?
Apakah menyekolahkah anak di SD sampai SMA adalah sebuah kemewahan dewasa ini?
Apakah Makan dengan 4 sehat 5 sempurna sehari adalah sebuah kemewahan?
Apakah bepergian ke tempat wisata sebulah sekali adalah sebuah kemewahan?
Apakah membeli pakaian satu potong perorang dalam sebulan sekali adalah kemewahan?
Apakah kalau kita makan di sebuah rumah makan sebulan sekali adalah sebuah kemewahan?
Apakah membeli bensin untuk kendaraan bermotor kita adalah sebuah kemewahan?
Apakah mencicil rumah sederhana atau mengontrak rumah tipe 70 adalah sebuah kemewahan?
Apakah membayar listrik dan air adalah sebuah kemewahan?
Apakah mempunyai televisi adalah sebuah kemewahan?
Apakah membeli obat-obatan yang diperlukan untuk anak kita adalah kemewahan?
Apakah berlebaran mudik ke kampung adalah kemewahan?
Apakah menyumbang saudara yang kesusahan adalah sebuah kemewahan?
Apakah menyumbang lingkungan termasuk rumah ibadah adalah kemewahan?
Dan beberapa pertanyaan lainnya
Apakah Handphone adalah alat komunikasi yang menunjukkan sebuah kemewahan atau kebutuhan pada saat ini?
Apakah Sepeda motor adalah alat transportasi yang menunjukkan sebuah kebutuhan atau kemewahan saat ini?
Apakah menyekolahkah anak di SD sampai SMA adalah sebuah kemewahan dewasa ini?
Apakah Makan dengan 4 sehat 5 sempurna sehari adalah sebuah kemewahan?
Apakah bepergian ke tempat wisata sebulah sekali adalah sebuah kemewahan?
Apakah membeli pakaian satu potong perorang dalam sebulan sekali adalah kemewahan?
Apakah kalau kita makan di sebuah rumah makan sebulan sekali adalah sebuah kemewahan?
Apakah membeli bensin untuk kendaraan bermotor kita adalah sebuah kemewahan?
Apakah mencicil rumah sederhana atau mengontrak rumah tipe 70 adalah sebuah kemewahan?
Apakah membayar listrik dan air adalah sebuah kemewahan?
Apakah mempunyai televisi adalah sebuah kemewahan?
Apakah membeli obat-obatan yang diperlukan untuk anak kita adalah kemewahan?
Apakah berlebaran mudik ke kampung adalah kemewahan?
Apakah menyumbang saudara yang kesusahan adalah sebuah kemewahan?
Apakah menyumbang lingkungan termasuk rumah ibadah adalah kemewahan?
Dan beberapa pertanyaan lainnya
Bila sebagian besar dari kita
menjawab semua pertanyaan diatas dengan jawaban yang sama: Itu semua adalah
barang sederhana dan sesuai kebutuhan kita..!!!! maka pertanyaan berikutnya
adalah berapa kira-kira uang yang diperlukan untuk memenuhi itu semua. Cobalah
menghitung dengan logika matematika sederhana dan dikaitkan dengan kondisi
terkini dari nilai barang-barang ataupun kebutuhan itu. Maka kita akan
mendapatkan angka yang fantastis; setidaknya
seorang suami sebagai kepala rumah tangga dan anak 2 membutuhkan uang
sejumlah 10 juta rupiah untuk memenuhi kebutuhan sederhana tersebut (Cobalah
hitung dengan teliti)
Fakta diatas, dapat menjelaskan,
bahwa untuk hidup sederhana saja kita sulit dengan tingkat pendapatan kita saat
ini, apalagi untuk hidup mewah. Pendapatan rata-rata manusia produktif di
Indonesia sangatlah tidak sebanding dengan kebutuhan kehidupan minimal yang
harus dia penuhi. Belum lagi kalau gelombang konsumerisme dan hedonisme
menghempas kehidupan kita setiap hari melalui media informasi, maka tingkat
keinginan kita untuk memembeli dan meng-konsumsi sesuatu menjadi naik.
Oleh karena itu, tidaklah
mengherankan apabila banyak para ”suami” yang merasa harus bertanggung jawab
untuk mencukupi kebutuhan dasar tersebut dengan melakukan ”jihad” bagi
keluarganya. Salah satu Jihad besar suami adalah mencukupi kebutuhan keluarga.
Namun menjadi naif ketika para suami tidak bisa menjawab pertanyaan sampai ”seberapa
cukup’???” yang pada akhirnya kita rela melakukan apapun untuk men”cukupi”
sesuatu yang tidak pernah cukup tersebut.
Ini berarti menggambarkan kepada
kita bahwa sudah tidak pada tempatnya lagi bagi kita untuk bergaya hidup
berharta (padahal tidak berharta). Alah SWT bahkan dengan keras meminta kita
agar waspada pada bahaya cinta kemewahan dan kemegahan, “Bermegah-megahan
telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur. Sekali-kali tidak!
Kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu)” (Qs
At-Takatsur 1-3).
Gaya hidup bersahaja dan
sederhana merupakan salah satu gaya hidup yang dicontohkan oleh
Rasulullah SAW. Rasulullah memilih gaya hidup sederhana dan berzuhud dengan
dunia dan isinya. Inilah keteladanan gaya hidup yang ditunjukkan oleh pemimpin
besar seperti Rasulullah.
Rasulullah bukan lah orang yang
tak bisa kaya raya. Hidup zuhud
menjadi pilihan dirinya sebagai seorang Nabi dan Rasul. Seorang Rasul adalah
contoh tauladan bagi ummatnya, maka apa yang dipilih oleh Rasulullah adalah
suri tauladan terbaik yang akan membuat hidup lebih bahagia. Meskipun gaya hidup bersahaja dan sederhana merupakan gaya
hidup yang dipilih oleh Rasulullah, namun beliau tidak pernah melarang ummatnya
untuk menjadi kaya. Bahkan beliau mendukung ummat Islam untuk menjadi kaya. Para sahabat di masa Rasulullah
seperti Usman bin Affan merupakan sahabat dari kalangan yang kaya raya yang
selalu siap menafkahkan kekayaannya untuk dakwah Islam. Islam meminta ummatnya
untuk menjadi kaya agar dari kekayaan itu diberikan untuk kemaslahatan dakwah
Islam itu sendiri.
Gaya hidup bersahaja dan
sederhana merupakan pilihan. Kaya
atau sederhana adalah pilihan, demikian juga zuhud. Ketika seseorang memiliki
banyak harta maka pertanggung jawaban pemiliknya di akhirat akan semakin besar. Di dunia mungkin bisa berbahagia,
namun pertanyaan besar yang akan diajukan kepada orang kaya adalah ‘dari mana
engkau mendapatkan hartamu dan kau kemanakan hartamu?’ inilah pertanyaan besar
yang membuat mereka yang memilih gaya hidup zuhud menjadi takut. Ketika diri
kita merasa sebagai sosok yang mudah tergelincir dengan kekayaan dunia atau
tidak amanah dengan nikmat harta benda yang diberikan, maka zuhud adalah
pilihan hidup terbaik untuk mempermudah segala bentuk pertanggung jawaban di
akhirat. Rasulullah adalah suri tauladan gaya hidup zuhud dan sederhana,
sementara Usman bin Affan dan sahabat lainnya adalah suri tauladan orang-orang
kaya yang menafkahkan kekayaan mereka untuk kemaslahatan dakwah Islam.
Di dalam memaknai gaya hidup bersahaja dan sederhana perlu dibedakan antara miskin dan zuhud. Zuhud adalah pilihan hidup seseorang yang sebenarnya memiliki peluang atau kesempatan untuk hidup dalam gelimangan harta benda, namun mereka lebih memilih gaya hidup sederhana dan zuhud.
Sementara miskin merupakan kondisi kehidupan yang sebenarnya tidak diinginkan dan bukan pilihan. Islam menganjurkan ummatnya untuk menjadi seseorang yang kaya sehingga dengan kekayaannya tersebut akan memberikan banyak kemaslahatan bagi dakwah Islam. Namun bagi mereka yang berhati-hati dalam hidup, tentunya lebih memilih zuhud sebagaia gaya hidup yang aman.
Banyak yang
CINTA Nabi Muhammad SAW, tapi SEDIKIT yang mau HIDUP SEPERTI Nabi Muhammad SAW.
Sebesar apapun pendapatan yang kita peroleh tidak akan pernah cukup jika hanya
memperturutkan hawa nafsu, tapi biarpun sedikit pendapatan yang kita peroleh
tapi kita bersyukur maka akan makin Barokah dan memberikan banyak manfaat bagi
kita, bukan pendapatan yang membuat orang ‘menghalalkan’ segala cara tapi
‘NAFSU’ yang membuat orang ‘Lupa bahwa ada SIKSA dihari nanti’ kelak.
Ya Tuhan kami, janganlah Engkau
jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada
kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena
sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia)". QS Al-Imran [3] Ayat 8
Wednesday, December 26, 2012
Polri dan Media Massa
Mengapa
kepolisian harus concern dengan media
massa untuk melaksanakan tugas dan fungsinya?
Sebagai lembaga negara yang bertugas tidak hanya untuk menegakkan hukum,
tapi juga memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, serta memberikan perlindungan,
pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat, seharusnya kepolisian RI bisa
menampilkan diri lebih utuh dalam semua pelaksanaan tugas dan fungsinya
tersebut. Kebutuhan komunikasi melalui media massa merupakan keharusan mutlak
mengingat jangkauan sasaran kegiatan yang meluas di seluruh Indonesia. Hal itu
disebabkan khalayak jaman kontemporer seperti sekarang ini lebih banyak
mengandalkan pengalaman bermedia sebagai pendefinisi realita yang utama dibanding
pengalaman personal mereka.
Situasi semacam itu
dengan tepat digambarkan oleh Ball-Rokeach dan DeFleur (McQuail dan Windahl,
1984) melalui teori dependensia mereka. Menurut kedua tokoh ini, anggota
khalayak masyarakat modern sampai pada situasi ketergantungan luar biasa pada
informasi dari media massa sebagai sumber pengetahuan dan orientasi mereka
untuk mengetahui apa yang sedang terjadi dengan masyarakat mereka.
Penetrasi media
massa sekarang ini sungguh luar biasa. Belum lagi informasi yang mengalir
dengan cepat melalui media modern semacam internet, media sosial seperti
facebook dan twitter yang bisa diakses dengan mudah di blackberry dan hand phone. Dalam situasi sekarang,
apabila kepolisian tidak bijak memperlakukan media, dikhawatirkan upaya apapun
yang dilakukan oleh Polri dalam rangka meningkatkan kepercayaan kepada
masyarakat semakin jauh api dari panggang.
Bagaimana pers nasional menampilkan Polri selama ini?
Dari pengamatan saya selama 4 bulan
terakhir ini, ditemui ada sebanyak 157 item informasi terkait dengan isu
kepolisian dengan rincian sebanyak 104 (66.2%) berupa berita dan sebanyak 53
(33.8%) non berita (kolom, tajuk rencana, surat pembaca, komentar, dan
lain-lain).
Diantara tiga macam tugas kepolisian
yang ada, nampaknya liputan tentang tugas untuk menegakkan hukum relatif lebih
banyak dibanding dengan tugas untuk memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat, serta untuk memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan
kepada masyarakat. Artinya selama empat bulan terakhir ini media massa kita
telah menjadikan isu perseteruan antara KPK dan kepolisian sebagai isu menarik
untuk dibicarakan. Bagaimana nada (tone)
media tersebut memberitakan isu-isu penegakan hukum tersebut? Dari pengamatan
saya, diantara berbagai berita yang ada, utamanya terkait tugas kepolisian
untuk menegakkan hukum, nada pemberitaan yang ada relatif lebih banyak bersifat
negatif, dibanding yang positif. Belum lagi kalau kita melihat berbagai
komentar masyarakat terhadap setiap isi pemberitaan online tersebut Nada
pemberitaan semacam ini bisa dipahami apabila mencermati isu yang menjadi
perhatian media pada pada kurun 4 bulan terakhir ini banyak dipengaruhi oleh
warna KPK vs Polri. Kasus “KPK vs Polri” benar-benar telah menggerogoti
deposito prestasi kepolisian dalam menggulung berbagai komplotan penjahat
jalanan serta pengungkapan jaringan teroris di berbagai wilayah tanah air
termasuk kasus tewasnya anggota Polri dalam berbagai pengabdian di lapangan.
Bagaimana dengan informasi non
berita? Hampir setali tiga uang. Dari 8 informasi non berita berita bernada
positif, separuhnya diperuntukkan bagi tugas polisi untuk menegakkan hukum.
Dari 45 informasi non berita bernada negatif yang saya amati, informasi terbanyak
mempermasalahkan tugas polisi untuk menegakkan hukum dalam penanganan Kompol
Novel dengan implikasi pada adanya rekayasa hukum untuk mengkriminalisasikan
KPK menjadi pusat perhatian informsi non berita ini (75%).
Di kalangan media, entah disadari
atau tidak, ketika mewartakan perseteruan antara KPK dengan Polri, secara
serentak mereka menempatkan diri dalam kubu KPK, dengan demikian kubu Polri seolah-olah
menjadi musuh bersama media pada saat itu. Pandangan umum yang dianut oleh
media di Indonesia adalah ada rekayasa untuk melemahkan KPK dan penangkapan
Kompol Novel dianggap sangat mengusik rasa keadilan. Bahkan, pasca Pidato
Presiden beberapa waktu yang lalu, ada suasana umum yang menghendaki agar Polri
segera melaksanakan perintah Presiden tersebut.
Media massa selama ini banyak dan dikesankan
dicitrakan oleh masyarakat menurut orientasi politik dari para pemilik
bisnisnya. Oleh karena itu kesan tersebut seakan berubah ketika mereka
memberitakan tentang tindakan Kepolisian dimana media massa kali ini sepenuhnya
“terlihat” seperti berorientasi pada hati nurani rakyat. Setelah kasus “KPK vs Polri”
agak reda dengan adanya pidato Presiden, artinya pada saat tubuh institusi
Polri belum lagi sembuh benar dari keterpurukan, terjadi lagi insiden konflik
di Lampung dan berbagai kasus penegakkan hukum dilapangan serta kasus
penanganan kecelakaan di Taman Sari karena tidak mengindahkan perilaku
menghormati pelaku (sekaligus korban?). Beberapa berita tersebut bagaimanapun menurut
kita sangat tidak adil bagi upaya yang telah dilakukan oleh Polri selama ini.
Penentu Agenda Media
Terkait dengan
agenda utama media yang lebih menekankan tugas kepolisian untuk menegakkan
hukum dibanding tugas-tugas Kepolisian lainnya, marilah kita mencermati lebih
jauh mengapa media lebih menekankan satu isu tertentu dibanding isu lainnya?
Mengapa menekankan satu aspek tertentu dari sebuah isu dibanding aspek yang
lain?
Shoemaker dan
Reese (1991; 1996) menyatakan, isi media massa tidak bisa dilepaskan dari
pengaruh faktor internal media (level individu, rutinitas media, organisasi
media) dan faktor eksternal media (ekstramedia dan ideologi). Artinya isi media
tampak seperti yang kita konsumsi disebabkan oleh beberapa faktor tersebut. Faktor individu
terkait dengan karakteristik pekerja media (pengalaman, latar belakang profesional,
sikap, perilaku, keyakinan, dan lain-lain). Rutinitas media terkait dengan gate-keeping processes dan ketersediaan
sumber-sumber informasi. Level organisasi media menyangkut persoalan struktur
organisasi dan kebijakan di newsroom.
Faktor ekstra media meliputi persoalan pengiklan, khalayak sasaran, pasar,
kontrol pemerintah, dan perkembangan teknologi. Sementara level ideologi
berhubungan dengan kontrol sosial dan kognisi sosial yang ada di masyarakat.
Mengapa persoalan
tugas penegakan hukum lebih menonjol diliput oleh media massa dibanding
tugas-tugas kepolisian yang lain? Dengan mengacu pada kondisi internal media,
adanya pemberitaan penegakkan hukum telah menyentuh aspek substil para pekerja
media yang menempatkan mereka tidak hanya sekedar penyebar informasi saja namun
juga pelaku kontrol sosial yang aktif. Aspek idealisme profesional para pekerja
media meletup ketika isu ketidaadilan dalam penegakkan hukum tampak kasat mata
di depan mereka. Tindakan penanganan korupsi ditubuh Polri dianggap media massa
sebagai sebuah perjuangan melawan korupsi dan sebaliknya tindakan kepolisian
yang tidak adil dianggap sebagai telah melukai hati masyarakat yang harus
dilawan bersama. Proses penseleksian sudut pandang dan bidik atas peristiwa
tersebut berlangsung (gate keeping
process). Semua media hampir sama dalam menggunakan sudut pandangnya.
Kebijakan newsroom masing-masing
media nampaknya sepakat untuk menempatkan diri pada posisi pembela hati nurani
masyarakat dengan mendukung siapapun yang berhadapan dengan penegakkan hukum
yang dianggap tidak mencerminkan rasa keadilan sebagai news value strategis dan penting (walaupun Polri sudah bekerja
sebaik apapun).
Kondisi eksternal
media pada saat itu sangat diwarnai oleh kognisi sosial yang menempatkan Polri dalam
sasaran bidikan karena adanya resistensi instutional. Dalam kesehariannya
ideologi pasar memang menjadi kiblat para pelaku media. Dalam berbagai fenomena
penegakkan hukum yang dilakukan oleh Polri di berbagai wilayah, ideologi pasar
koheren dengan idealisme media sebagai kontrol sosial untuk mewakili
kepentingan publik. Pada akhirnya semua informasi tentang “perilaku penegakkan
hukum oleh Polri” menjadi komoditas ekonomi-politik yang sangat laku di
khalayak media. Namun yang tidak kalah penting dari semua itu adalah adanya
situasi kebebasan yang luar biasa dirasakan oleh kalangan media pasca
reformasi. Media menjadi ruang publik strategis dan penting pada saat sistem
komunikasi otoritarian semasa Orde Baru beralih menjadi sistem komunikasi
demokratis pada Era Reformasi sekarang ini.
Beberapa Rekomendasi
Sebagaimana tulisan
saya terdahulu tentang bagaimana mengelola isu sensitif di media massa sebagai
bagian dari upaya pengelolaan relasi publik oleh Polri, maka para anggota Polri
dilapangan perlu mengembangkan berbagai langkah Strategis dalam rangka mengembalikan pendulum
kepercayaan kepada Polri. Strategi ini membutuhkan konsistensi dari semua
komponen Polri dan semua tindakan yang akan dilakukan oleh jajaran Polri. Tentu
saja ini tidak mengikat hanya pada pimpinan atau top level manajemen di Mabes
Polri, tetapi juga dilakukan sampai tingkat pelaksana di lapangan. Konsistensi
inilah yang seharusnya menjadi prioritas untuk secepatnya memulihkan kondisi
dari berbagai bulan-bulanan yang terjadi saat ini.
Tindakan penegakkan hukum yang dilaksanakan oleh
kepolisian selalu melibatkan pihak-pihak yang berhadapan (korban, saksi dan
pelaku). Pada titik ini harus dicermati oleh Polri, bahwa setiap proses
penegakkan hukum selalu menimbulkan dampak ketidaknyamanan bagi siapapun yang
terlibat. Para pihak yang terlibat dalam proses berperkara selalu berupaya
meraih simpati publik dalam rangka mendukung pihaknya. Mereka bisa menggandeng
siapapun termasuk media massa. Tugas media massa hanyalah menyampaikan apa yang
mereka suarakan. Masalah kebeneran substansi maupun fakta menjadi urusan di
pengadilan nantinya. Masalah menjadi sulit ketika para audience membaca
fenomena ini sebagai sebuah kebenaran yang terangkat menjadi opini umum. Pada
titik ini, mana yang benar dan mana yang salah menjadi absurd dan Polri selalu
dalam posisi yang sulit. Kebenaran dalam proses penegakkan hukum ternyata tidak
berbanding lurus dengan pembentukan opini negatif yang telah dibuat oleh para
pihak yang berkepentingan dengan media massa.
Disinilah para manager Kepolisian harus mulai cermat untuk mulai tidak menonjolkan
dan mengedepankan penggunaan isu penegakkan hukum dalam berhubungan dengan media massa, namun lebih menonjolkan peran
pelaksanaan tugas lain seperti pembinaan kamtibmas dan program kemitraan dalam
rangka memberi kontribusi pada upaya ”social responsibility”. Langkah ini biasa
dinamakan sebagai pseudo event atau event-event bayangan yang bisa
dilakukan untuk meredam isu negatif. Pseudo event bisa dilakukan misalnya
dengan mengadakan kegiatan-kegiatan yang tidak terkait sama sekali dengan
isu-isu penegakkan hukum seperti yang sekarang dikembangkan oleh Polda Metro
Jaya dengan program Pembinaan anak tidak mampu sekolah.
Karena event bayangan ini juga
membutuhkan peliputan media massa, maka komunikasi yang baik dengan media tidak
boleh terputus. Event bayangan bisa berupa kegiatan yang terkait dengan semua
hal positif oleh Polri yang dirasakan manfaatnya secara langsung oleh
masyarakat. Hal ini bisa dilakukan tingkatan Polres sebagai Kesatuan
Operasional Dasar (KOD) yang berhadapan langsung dengan masyarakat. Hubungan
baik dengan media massa harus tetap dijalin secara baik, mengingat peran
sentral media sebagai sarana pembangun opini publik. Hubungan baik ini bisa
dilakukan dengan mengajak media massa untuk memahami realitas yang dihadapai
Polri terkait opini publik yang sudah terbangun yang melebihi realitas yang
sebenarnya (hiperrealitas)