Pendahuluan
Demokrasi
pada dasarnya adalah sebuah kebudayaan konflik, yaitu menekankan pada
pentingnya perolehan sesuatu dengan melalui persaingan. Persaingan yang harus
mengikuti aturan-aturan main atau hukum yang adil dan beradab yang berada
dibawah pengawasan wasit (Suparlan: 2000). Dalam kehidupan masyarakat yang
demokratis, polisi dapat dilihat sebagai berperan wasit atau penjaga untuk
ditaatinya hukum oleh warga masyarakat. Pada waktu sebuah masyarakat baru saja
terbebas dari kekuasaan pemerintahan yang otoriter, hukum atau aturan main yang
berlaku biasanya tidak adil dan tidak beradab. Karena hukum tersebut telah
dibangun untuk memenangkan penguasa atau pemerintah dan yang dijalankan dengan
menggunakan kekerasan secara paksa.
Membangun
masyarakat madani yang modern berarti juga membangun kebudayaan profesional
berikut pranata-pranata yang menjadi wahana dari sarananya. Berbagai
permasalahan yang muncul dalam masyarakat-masyarakat modern akan juga muncul
dalam masyarakat Indonesia termasuk masalah korupsi yang menjadi perhatian kita
bersama dewasa ini. Disini polisi dituntut perannya dalam
turut mencegah, menegakkan hukum dan melindungi masyarakat dari cengkeraman
tindaka koruptif.
Peranan
ini hanya mungkin dapat dilaksanakan bila fungsi polisi tersebut sesuai dengan
tuntutan kebutuhan masyarakat dan yang dilakukan oleh petugas kepolisian secara
profesional. Dalam zaman reformasi yang kita jalani sekarang ini, yang penuh
dengan berbagai gejolak masyarakat, peran polisi menjadi sangat penting dalam
turut meniadakan perilaku korupsi bukan saja yang dilakukan oleh pihak lain,
namun juga yang dilakukan oleh pihak internal Kepolisian. Dunia
Polri akhir-akhir ini rasanya, tidak henti-hentinya dihebohkan dengan headline
korupsi. Kalau merunut pada beberapa komentator profesional maupun
amatir, maka Polri di seteorotip-kan sebagai salah satu organisasi yang memberi
kontribusi dalam tren terjadinya korupsi diIndonesia.
Korupsi Sebagai Budaya
Korupsi di Indonesia dianggp bukan hanya
sebagai gejala, melainkan juga sebagai budaya. Dalam penelitian Local Government Corruption Study (LGCS) di Indonesia tahun 2007, Bank Dunia menyimpulkan
bahwa Modus operandi korupsi di Indonesia antara lain dengan cara
1) memperbanyak dan memperbesar mata anggaran; 2) menyalurkan dana APBD bagi
lembaga/ yayasan fiktif; dan 3) manipulasi perjalanan dinas. Sementara di
lembaga eksekutif terjadi modus korupsi sebagai berikut: 4) penggunaan sisa
dana (UUDP) tanpa prosedur; 5) penyimpangan prosedur pengajuan dan pencairan
dana kas daerah; 6) sisa APBD dan 7) manipulasi dalam proses pengadaan (Memerangi Korupsi Di Indonesia Yang
Terdesentralisasi; Mei 2007; Justice for Poor Program; Bank Dunia).
Dilingkungan
Kepolisian, hal yang sama sebagaimana penelitian diatas juga berpotensi terjadi
dilakukan oleh para pimpinan kesatuan Polri (sebagai Kuasa pengguna
Anggaran maupun Pejabat Pembuat Komitmen). Jika
tidak berhati-hati, dapat saja para kasatwil yang tidak memiliki pengetahuan
dan pengalaman birokrasi serta tidak memiliki niat untuk korupsi menjadi
korban. Kasus ”Simulator SIM” yang saat ini sedang ditangani oleh KPK adalah
sebuah fenomena dimana para Kuasa Pengguna Anggaran di level apapun harus lebih
hati-hati dalam mengelola keuangan negara yang menjadi beban pekerjaannya.
Masyarakat di Indonesia terhadap polisi-nya selama ini banyak yang
menganggap bahwa polisi mudah dipengaruhi oleh uang pelicin. Uang pelicin
dianggap sebagai bentuk korupsi yang sudah umum, terutama dalam hubungan dengan
hal-hal pemberian surat keterangan, surat izin, dan sebagainya. Biasanya, orang
yang menyogok dalam hal ini tidak menghendaki peraturan-peraturan yang ada
dilanggar, mereka hanya menginginkan agar berkas-berkas surat dan komunikasi
cepat jalannya, sehingga keputusan yang ditempuh tidak lain ialah dengan cara
korupsi. Secara tidak langsung
sistem uang pelicin ini adalah penyebab utama mengapa timbul
ketidakprofesionalan dalam etos bekerja, juga kelambatan-kelambatan dan
kemampuan yang rendah dalam pelayanan kepada masyarakat.
Penyebab
korupsi di tubuh kepolisian di Indonesia diyakini sebagai bentuk kombinasi
antara tingkat kesejahteraan anggota kepolisian yang jauh dari mencukupi,
anggaran operasional yang minim, dan lemahnya pengawasan serta penjatuhan
hukuman dari atasan (Emerson
Yuntho, Wakil Koordinator ICW; 2010). Korupsi di kepolisian merupakan
persoalan yang tidak kunjung usai dan sudah menjadi rahasia umum di masyarakat.
Bahkan, kondisi ini juga diakui oleh kalangan internal kepolisian sendiri. Hal
tersebut bisa dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa
Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) pada 2004. Hasil penelitian yang
dilakukan mahasiswa PTIK angkatan 39-A menyebutkan, korupsi yang terjadi dalam
tubuh kepolisian dibagi dalam korupsi internal dan korupsi eksternal. Korupsi
internal adalah korupsi yang tak melibatkan masyarakat di luar komunitas
polisi.
Mantan
kepala Divisi Pembinaan Hukum Inspektur Jenderal Aryanto Sutadi (2009) pernah
menyebutkan bahwa mafia hukum di tubuh kepolisian tumbuh subur dalam beberapa
bentuk, mulai dari salah tangkap, melepaskan tersangka tanpa dasar, penanganan
kasus yang tidak benar menurut aturan, hingga memanipulasi data-data
penyelidikan dan penyidikan. Tidak berbeda dengan yang disampaikan oleh kalangan
internal. Pada tahun 2001, penelitian Indonesia Corruption Watch mengenai
proses pola-pola korupsi di lingkungan peradilan yang dilakukan di enam kota
besar di Indonesia (Jakarta, Medan, Surabaya, Makassar, Samarinda, dan
Yogyakarta), menemukan bahwa korupsi yang dilakukan oleh oknum polisi biasanya
terjadi pada proses penyelidikan dan penyidikan suatu kasus. Permintaan uang
jasa, penggelapan kasus, negosiasi kasus, dan pemerasan merupakan pola yang
umum dilakukan oleh oknum anggota kepolisian.
Dalam
survei lain berkaitan dengan integritas KPK yang diumumkan pada akhir tahun
2009 lalu menempatkan Departemen Perindustrian dan Kepolisian RI sebagai
instansi yang memiliki integritas terendah. Survei mulai dilakukan oleh KPK
mulai April hingga September 2009. Survei dilakukan terhadap 371 unit layanan
yang berada di 98 instansi yang terdiri atas 39 instansi tingkat pusat, 10
pemerintah provinsi, dan 49 pemerintah kota/ kabupaten.
Mengapa
berbagai reformasi birokrasi yang dilakukan oleh Polri meskipun telah memberikan
dampak bagi perubahan birokrasi Polri, namun tampaknya tetap saja belum dapat
merubah pandangan publik terhadap Polri sebagai organisasi yang belum bersih
dan melayani?. Sesungguhnya, perilaku koruptif di tubuh kepolisian bukan hanya
terjadi di Indonesia, namun juga terjadi di beberapa negara lain. Singapura
pernah mengalami skandal yang sama pada tahun 1952. Kepolisian Hongkong pada
tahun 1970-an, karena begitu korup, mudah dikendalikan kelompok Mafia Cina,
Triad. Korupsi di tubuh Kepolisian New South Wales, Australia, menyebabkan
parlemen Australia tahun 1994 membentuk komisi investigatif reformasi
kepolisian. Terakhir, pada tahun 2009 lalu, Atahullah Wahaab, wakil kepala
kepolisian di salah satu provinsi Afghanistan, juga ditangkap oleh tentara Amerika
karena terlibat kasus korupsi.
Masalah dasar dalam birokrasi
yang korup pada umumnya menyangkut sistem dan budaya. Prosedur yang tidak
jelas, tumpang tindih, kontradiksi satu sama lain, jelas akan menghidupkan
corruption by system (korupsi karena dipaksa). Misalnya saja sistem rekrutmen
dan promosi jabatan yang tertutup dan kolutif. Disisi lain, hampir di semua
negara yang otoriter, gaji pegawai negeri sipil, polisi dan militer amat kecil,
yang besar adalah fasilitas dan pendapatan atau tunjangan yang diterima karena
jabatan yang didudukinya (Suparlan, 2001). Di dalam organisasi Polri hal
tersebut dapat menimbulkan tumbuh dan berkembangnya sistem yang tidak fair dan orientasi pada jabatan
tertentu. Demikian pula sistem penggajian yang tidak berbasis kinerja,
keadilan, dan kecukupan akan menghasilkan corruption by needs (korupsi karena
terpaksa). Jika dua jenis korupsi ini terhubung dengan pengaruh politik
kepentingan (baik individu maupun kelompok), maka akan tercipta corruption by
greedy (korupsi yang memaksa karena keserakahan).
Sebagai suatu sistem tatalaku, kita melihat bahwa budaya
adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam
rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar
(Koentjaraningrat, 1985: 180). Budaya dapat dibedakan ke dalam 3 (tiga) wujud,
yakni:
1) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai,
norma-norma, peraturan, dan sebagainya.
2) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola
dari manusia dalam masyarakat.
3) Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
(Koentjaraningrat, 1985: 186).
Mengacu
kepada berbagai penjelasan diatas, maka kita bisa melihat bahwa Korupsi dalam
organisasi polisi bisa tumbuh dan berkembang dalam pikiran yang selanjutnya memberi
arah pada tindakan pelaku organisasi karena adanya kebutuhan dan atau
keserakahan. Masih mengacu kepada konsep tersebut, wujud nyata budaya korupsi
dalam kenyataan kehidupan organisasi kepolisian tentu tidak terpisah satu
dengan lain. Di Polri ada Kebudayaan ideal dan norma yang mengatur dan memberi
arah kepada tindakan dan karya anggota Polri untuk melaksanakan tugasnya sesuai
dengan norma dan aturan yang harus ditaati. Namun budaya ideal tersebut
bertabrakan dengan kondisi lingkungan faktual yang kemudian dapat terjadi
penyimpangan yang disebabkan oleh adanya pikiran-pikiran dan ide-ide, maupun
tindakan-tindakan manusia didalam kegiatan nyata.
Disinilah
para pelaku organsiasi tadi beradaptasi dan memunculkan sub-kebudayaan baru
yang membentuk suatu lingkungan hidup tertentu yang bisa menjauhkan mereka dari
kebudayaan ideal sebagaimana diamanatkan oleh etika profesi Polri, sehingga
mempengaruhi pula pola-pola perbuatan, dan juga cara berpikir mereka pada saat
melaksanakan tugas pemolisian. Akumulasi terhadap pembiaran perilaku koruptif
ini lama-kelamaan mengakibatkannya menjadi budaya yang diterima. Apalagi sikap mental masyarakat juga membiarkan.
Rekomendasi
Persoalan
sistem dan budaya dalam organisasi Kepolisian memang sangat kompleks. Maka,
perubahannya pun harus bersifat resiprokal dan secara paralel. Sistem yang baik
dan unggul akan mengurangi atau mencegah praktik budaya yang korup dan
mempercepat pembentukan sistem yang paripurna. Kesulitan reformasi birokrasi
Polri adalah pada lamanya waktu yang dibutuhkan untuk mengubah sistem dan
budaya secara bersamaan. Perubahan budaya tidak bisa dilakukan secara instan
dan sering hasilnya bersifat intangible (tidak berwujud). Demikian pula
perubahan sistem birokrasi dilingkungan Polri sangat juga dipengaruhi oleh
sistem tata nilai organisasi, sistem tata politik negara, dan sistem penegakan
hukum, kode etik dan profesi serta pengaruh kuat budaya masyarakat.
Strategi
akselerasi reformasi birokrasi Polri, difokuskan untuk menyelesaikan persoalan
sistem dan budaya birokrasi Polri yang agak kompleks ini. Reformasi
polri pada awalnynya difokuskan pada 3 hal; struktural, intstrumental dan
kultural. Nyatanya sisi reformasi kultural ini memang agak kedodoran. Memang
tidak mudah. Struktur pemerintahan sudah sangat desentralistik, namun struktur
organiasai Polri masih sentralistik. Disatu sisi praktek birokrasi di
pemerintahan daerah sangat fragmented, namun pola tindakan kepolisian
"seolah2 dipaksakan harus seragam". Kesulitan mengubah
sub-budaya birokrasi juga disebabkan kuatnya pengaruh eksternal
organisasi, dimana Polri sebagai "alat negara" dewasa ini menjadi
"utilities" atau seperangkat alat yang dianggap bisa digunakan oleh
siapapun yang berkepentingan dengannya dan menjadi "alat menyebalkan"
bagi siapapun yang berinteraksi dengannya.
Pada
sisi lainnya, sebagian agenda reformasi birokrasi Polri bertujuan jangka
panjang dan baru dirasakan 10 sampai 15 tahun (Grand Strategi Polri berujung
pada kurun waktu 2025). Disisi lain RBP polri juga ada yang bertujuan jangka
pendek untuk memperoleh kepercayaan masyarakat yang secepat-cepatnya, bahwa
birokrasi telah berubah melalui beberapa upaya antara lain quick wins, creative
breakthrough, terobosan, dan berbagai upaya lainnya. Karena itu, pendekatan
reformasi birokrasi Polri harus mampu menggabungkan strategi pada level makro
maupun mikro. Di tingkat makro reformasi sistem dan budaya pada lingkungan
Polri dilakukan dengan perbaikan relasi eksternal dengan berbagi counterpart
(KPK, Ombudsman, BNN, dll) dan para stake holder strategis, baik dalam bentuk
Kerjasama strategis maupun taktis, seperti CJS, Lembaga Tinggi Negara,
Legislatif, akademisi, Pemangku Media massa, LSM vokalis, dan para Opinion
Setter, dan berbagai elemen lainnya.
Secara makro
juga dilakukan melalui pengembangan sistem yang terintegrasi dari berbagai
macam subsistem dengan bantuan teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Oleh
karena itulah, disini kita kembali bicara ttg panggilan darurat (apapun namanya
110/ 112/ 911?) serta integrasi Radio Komunikasi dan kinerja berbasis webnet. Apa
yang diuraikan tersebut bukan hal yang terlalu di awang-awang.. Dan bahkan
apapun program PBB terhadap pengembangan Kapasitas organisasi Kepolisian di
negara-negara yang terlibat konflik saat ini, kinerja tekhnologi dan panggilan
darurat adalah salah satu strategi pengembangan kapasitas kepolisian
negara-negara yang kami program (Penulis saat ini bekerja sebagai Koordinator
Perencana Kepolisian di Divisi Kepolisian, Markas Besar PBB).
Di tingkat
mikro, reformasi birokrasi Polri harus dilakukan oleh masing-masing pimpinan
dalam level apapun. Bentuknya mulai dari mulai perubahan cara berfikir
(mindset) dan culture set, perubahan sistem pengelolan personil diberbagai
tingkatan, perubahan sistem akuntabilitas dan transparansi (keuangan maupun
kinerja), hingga perubahan proses bisnis pelayanan. Untuk itu, sudah sepatutnya
para manager Kepolisian dalam level apapun melakukan Benchmark terhadap
organisasi pemerintahan maupun organisasi kepolisian lain yang telah berjalan
dengan baik selama ini.
Strategi kedua adalah penguatan kontrol masyarakat terhadap roda organisasi Polri melalui participative governance. Kultur organisasi Polri akan berubah jika ada tekanan politik dari masyarakat dalam pelayanan kepolisian, dan proses penegakkan hukum. Penguatan kontrol masyarakat dilakukan melalui pembentukan sistem pengaduan masyarakat, penetapan maklumat pelayanan (ada pengumuman yang jelas prosedur dan prosesnya), pengukuran indeks kepuasaan masyarakat (ini tidak bisa dihindari karena tiap tahun Polri diukur terus oleh LSM-LSM), dan keterbukaan informasi publik (public disclosure).
Strategi
ketiga adalah pembentukan sistem pengelolaan SDM yang berbasis kompetensi dan
terbuka. Perilaku korup dimulai dari proses rekrutmen, pendidikan, hingga
promosi jabatan. Upaya untuk mengubahnya, diciptakan sistem rekrutmen yang
terbuka, independen, dan profesional. Sistem promosi jabatan harus dilakukan
secara terbuka dan memberikan kesempatan kepada setiap calon yang memenuhi
syarat kompetensi jabatan untuk memaparkan visi misi dan action plan nya bila dia
ditempatkan dalam jabatan tertentu. Bukan sekadar kepangkatan dan senioritas.
Dewasa
ini, kementian PAN berupaya memperkuat akuntabilitas dan integritas seluruh
birokrat (termasuk Polri) melalui konsep zona integritas menuju wilayah
birokrasi bersih dan melayani. Wujudnya melalui pelaporan harta kekayaan untuk
semua aparat birokrasi, penegakan kode etik, penanganan konflik kepentingan,
pembentukan whistleblower system, post-employment policy, serta penelusuran
transaksi rekening yang tidak wajar.
Untuk
mendukung akuntabilitas dan integritas Polri sebagaimana saya sampaikan diatas,
maka perubahan sistem penggajian yang adil, layak, dan berbasis kinerja juga
merupakan kunci perubahan kultur dalam birokrasi. Strategi ini gabungan antara
perubahan sistem dan perubahan budaya secara bersama-sama. Tidak ada jalan
pintas dalam reformasi birokrasi Polri, tetapi berbagai strategi ini diharapkan
dalam meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap Polri yang kita cintai.
Daftar Pustaka
Ali, Novel.
2006. “Polisi di tengah Masyarakat Demokratis”. Artikel dalam Suara Merdeka, 29 Juni.
Dwipayana, AA.GN. 2002. "Desentralisasi Keamanan". Dalam Desentralisasi dan Demokrasi Lokal: Annual
Report Institute for Research Empowerment. Yogyakarta: IRE.
Emerson Yuntho;
Wakil Koordinator ICW; Waktunya Membersihkan
Korupsi di Kepolisian; Republika 2010
Garna, Judistira K. 2007. Kebiasaan dan Adat dalam Kehidupan: Kajian dan Analisis Budaya
Indonesia. Bandung :
Primaco Akademika dan Judistira Garna Foundation.
Justice for
Poor Program; Bank Dunia. Memerangi
Korupsi Di Indonesia Yang Terdesentralisasi; Hasil Penelitian Local
Government Corruption Study (LGCS)
May 2007;
_____. 1992. Teori-teori
Perubahan Sosial. Bandung: Program Pascasarjana Unpad.
Hudayana, Bambang. 2002. “Profesionalisme TNI dan Polri”. Dalam Arie Sujito
dan Sutoro Eko (eds). 2002. Demiliterisasi,
Demokratisasi, dan Desentralisasi. Yogyakarta: IRE Press.
Koentjaraningrat. 1985. Pengantar
Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
Krishna
Murti. 2005. Geger Kalijodo. Jakarta:
Indonesia Printer
Nasikun. 1984.
Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: CV
Rajawali.
Panggabean,
Rizal. 2002. “Reformasi Sektor Pertahanan dan Keamanan”. Dalam Arie Sujito dan
Sutoro Eko (eds). 2002. Demiliterisasi,
Demokratisasi, dan Desentralisasi. Yogyakarta: IRE Press.
Sujito, Arie. 2002.
"Profesionalisme Militer dan Kepolisian". Dalam Desentralisasi dan Demokrasi Lokal: Annual Report Institute for
Research Empowerment. Yogyakarta : IRE
Press.
_____. 2002. Partisipasi Sipil Mengelola Keamanan. Yogyakarta : IRE Press.
Suparlan, Parsudi. 2000. “Hak
Budaya Komuniti dan Integrasi Kebangsaan”.
_____.
1999. "Etika Publik Polisi
Indonesia". Makalah Sarasehan.
Tanpa penerbit.
_____. 1999.
“Polisi Indonesia dalam rangka Otonomi Daerah. Makalah dalam Seminar Hukum Nasional VII. Jakarta: Departemen
Kehakiman.
_____. 1983.
“Kerangka Teori, Model Teori, dan Masalah Penelitian”. Makalah dalam Seminar Penelitian Kebudayaan. Jakarta, 7 – 10
Februari.
ul Haq,
Mahbub. 1995. Reflections of Human Development. Oxford : Oxford
University Press.
No comments:
Post a Comment