Mengapa
kepolisian harus concern dengan media
massa untuk melaksanakan tugas dan fungsinya?
Sebagai lembaga negara yang bertugas tidak hanya untuk menegakkan hukum,
tapi juga memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, serta memberikan perlindungan,
pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat, seharusnya kepolisian RI bisa
menampilkan diri lebih utuh dalam semua pelaksanaan tugas dan fungsinya
tersebut. Kebutuhan komunikasi melalui media massa merupakan keharusan mutlak
mengingat jangkauan sasaran kegiatan yang meluas di seluruh Indonesia. Hal itu
disebabkan khalayak jaman kontemporer seperti sekarang ini lebih banyak
mengandalkan pengalaman bermedia sebagai pendefinisi realita yang utama dibanding
pengalaman personal mereka.
Situasi semacam itu
dengan tepat digambarkan oleh Ball-Rokeach dan DeFleur (McQuail dan Windahl,
1984) melalui teori dependensia mereka. Menurut kedua tokoh ini, anggota
khalayak masyarakat modern sampai pada situasi ketergantungan luar biasa pada
informasi dari media massa sebagai sumber pengetahuan dan orientasi mereka
untuk mengetahui apa yang sedang terjadi dengan masyarakat mereka.
Penetrasi media
massa sekarang ini sungguh luar biasa. Belum lagi informasi yang mengalir
dengan cepat melalui media modern semacam internet, media sosial seperti
facebook dan twitter yang bisa diakses dengan mudah di blackberry dan hand phone. Dalam situasi sekarang,
apabila kepolisian tidak bijak memperlakukan media, dikhawatirkan upaya apapun
yang dilakukan oleh Polri dalam rangka meningkatkan kepercayaan kepada
masyarakat semakin jauh api dari panggang.
Bagaimana pers nasional menampilkan Polri selama ini?
Dari pengamatan saya selama 4 bulan
terakhir ini, ditemui ada sebanyak 157 item informasi terkait dengan isu
kepolisian dengan rincian sebanyak 104 (66.2%) berupa berita dan sebanyak 53
(33.8%) non berita (kolom, tajuk rencana, surat pembaca, komentar, dan
lain-lain).
Diantara tiga macam tugas kepolisian
yang ada, nampaknya liputan tentang tugas untuk menegakkan hukum relatif lebih
banyak dibanding dengan tugas untuk memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat, serta untuk memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan
kepada masyarakat. Artinya selama empat bulan terakhir ini media massa kita
telah menjadikan isu perseteruan antara KPK dan kepolisian sebagai isu menarik
untuk dibicarakan. Bagaimana nada (tone)
media tersebut memberitakan isu-isu penegakan hukum tersebut? Dari pengamatan
saya, diantara berbagai berita yang ada, utamanya terkait tugas kepolisian
untuk menegakkan hukum, nada pemberitaan yang ada relatif lebih banyak bersifat
negatif, dibanding yang positif. Belum lagi kalau kita melihat berbagai
komentar masyarakat terhadap setiap isi pemberitaan online tersebut Nada
pemberitaan semacam ini bisa dipahami apabila mencermati isu yang menjadi
perhatian media pada pada kurun 4 bulan terakhir ini banyak dipengaruhi oleh
warna KPK vs Polri. Kasus “KPK vs Polri” benar-benar telah menggerogoti
deposito prestasi kepolisian dalam menggulung berbagai komplotan penjahat
jalanan serta pengungkapan jaringan teroris di berbagai wilayah tanah air
termasuk kasus tewasnya anggota Polri dalam berbagai pengabdian di lapangan.
Bagaimana dengan informasi non
berita? Hampir setali tiga uang. Dari 8 informasi non berita berita bernada
positif, separuhnya diperuntukkan bagi tugas polisi untuk menegakkan hukum.
Dari 45 informasi non berita bernada negatif yang saya amati, informasi terbanyak
mempermasalahkan tugas polisi untuk menegakkan hukum dalam penanganan Kompol
Novel dengan implikasi pada adanya rekayasa hukum untuk mengkriminalisasikan
KPK menjadi pusat perhatian informsi non berita ini (75%).
Di kalangan media, entah disadari
atau tidak, ketika mewartakan perseteruan antara KPK dengan Polri, secara
serentak mereka menempatkan diri dalam kubu KPK, dengan demikian kubu Polri seolah-olah
menjadi musuh bersama media pada saat itu. Pandangan umum yang dianut oleh
media di Indonesia adalah ada rekayasa untuk melemahkan KPK dan penangkapan
Kompol Novel dianggap sangat mengusik rasa keadilan. Bahkan, pasca Pidato
Presiden beberapa waktu yang lalu, ada suasana umum yang menghendaki agar Polri
segera melaksanakan perintah Presiden tersebut.
Media massa selama ini banyak dan dikesankan
dicitrakan oleh masyarakat menurut orientasi politik dari para pemilik
bisnisnya. Oleh karena itu kesan tersebut seakan berubah ketika mereka
memberitakan tentang tindakan Kepolisian dimana media massa kali ini sepenuhnya
“terlihat” seperti berorientasi pada hati nurani rakyat. Setelah kasus “KPK vs Polri”
agak reda dengan adanya pidato Presiden, artinya pada saat tubuh institusi
Polri belum lagi sembuh benar dari keterpurukan, terjadi lagi insiden konflik
di Lampung dan berbagai kasus penegakkan hukum dilapangan serta kasus
penanganan kecelakaan di Taman Sari karena tidak mengindahkan perilaku
menghormati pelaku (sekaligus korban?). Beberapa berita tersebut bagaimanapun menurut
kita sangat tidak adil bagi upaya yang telah dilakukan oleh Polri selama ini.
Penentu Agenda Media
Terkait dengan
agenda utama media yang lebih menekankan tugas kepolisian untuk menegakkan
hukum dibanding tugas-tugas Kepolisian lainnya, marilah kita mencermati lebih
jauh mengapa media lebih menekankan satu isu tertentu dibanding isu lainnya?
Mengapa menekankan satu aspek tertentu dari sebuah isu dibanding aspek yang
lain?
Shoemaker dan
Reese (1991; 1996) menyatakan, isi media massa tidak bisa dilepaskan dari
pengaruh faktor internal media (level individu, rutinitas media, organisasi
media) dan faktor eksternal media (ekstramedia dan ideologi). Artinya isi media
tampak seperti yang kita konsumsi disebabkan oleh beberapa faktor tersebut. Faktor individu
terkait dengan karakteristik pekerja media (pengalaman, latar belakang profesional,
sikap, perilaku, keyakinan, dan lain-lain). Rutinitas media terkait dengan gate-keeping processes dan ketersediaan
sumber-sumber informasi. Level organisasi media menyangkut persoalan struktur
organisasi dan kebijakan di newsroom.
Faktor ekstra media meliputi persoalan pengiklan, khalayak sasaran, pasar,
kontrol pemerintah, dan perkembangan teknologi. Sementara level ideologi
berhubungan dengan kontrol sosial dan kognisi sosial yang ada di masyarakat.
Mengapa persoalan
tugas penegakan hukum lebih menonjol diliput oleh media massa dibanding
tugas-tugas kepolisian yang lain? Dengan mengacu pada kondisi internal media,
adanya pemberitaan penegakkan hukum telah menyentuh aspek substil para pekerja
media yang menempatkan mereka tidak hanya sekedar penyebar informasi saja namun
juga pelaku kontrol sosial yang aktif. Aspek idealisme profesional para pekerja
media meletup ketika isu ketidaadilan dalam penegakkan hukum tampak kasat mata
di depan mereka. Tindakan penanganan korupsi ditubuh Polri dianggap media massa
sebagai sebuah perjuangan melawan korupsi dan sebaliknya tindakan kepolisian
yang tidak adil dianggap sebagai telah melukai hati masyarakat yang harus
dilawan bersama. Proses penseleksian sudut pandang dan bidik atas peristiwa
tersebut berlangsung (gate keeping
process). Semua media hampir sama dalam menggunakan sudut pandangnya.
Kebijakan newsroom masing-masing
media nampaknya sepakat untuk menempatkan diri pada posisi pembela hati nurani
masyarakat dengan mendukung siapapun yang berhadapan dengan penegakkan hukum
yang dianggap tidak mencerminkan rasa keadilan sebagai news value strategis dan penting (walaupun Polri sudah bekerja
sebaik apapun).
Kondisi eksternal
media pada saat itu sangat diwarnai oleh kognisi sosial yang menempatkan Polri dalam
sasaran bidikan karena adanya resistensi instutional. Dalam kesehariannya
ideologi pasar memang menjadi kiblat para pelaku media. Dalam berbagai fenomena
penegakkan hukum yang dilakukan oleh Polri di berbagai wilayah, ideologi pasar
koheren dengan idealisme media sebagai kontrol sosial untuk mewakili
kepentingan publik. Pada akhirnya semua informasi tentang “perilaku penegakkan
hukum oleh Polri” menjadi komoditas ekonomi-politik yang sangat laku di
khalayak media. Namun yang tidak kalah penting dari semua itu adalah adanya
situasi kebebasan yang luar biasa dirasakan oleh kalangan media pasca
reformasi. Media menjadi ruang publik strategis dan penting pada saat sistem
komunikasi otoritarian semasa Orde Baru beralih menjadi sistem komunikasi
demokratis pada Era Reformasi sekarang ini.
Beberapa Rekomendasi
Sebagaimana tulisan
saya terdahulu tentang bagaimana mengelola isu sensitif di media massa sebagai
bagian dari upaya pengelolaan relasi publik oleh Polri, maka para anggota Polri
dilapangan perlu mengembangkan berbagai langkah Strategis dalam rangka mengembalikan pendulum
kepercayaan kepada Polri. Strategi ini membutuhkan konsistensi dari semua
komponen Polri dan semua tindakan yang akan dilakukan oleh jajaran Polri. Tentu
saja ini tidak mengikat hanya pada pimpinan atau top level manajemen di Mabes
Polri, tetapi juga dilakukan sampai tingkat pelaksana di lapangan. Konsistensi
inilah yang seharusnya menjadi prioritas untuk secepatnya memulihkan kondisi
dari berbagai bulan-bulanan yang terjadi saat ini.
Tindakan penegakkan hukum yang dilaksanakan oleh
kepolisian selalu melibatkan pihak-pihak yang berhadapan (korban, saksi dan
pelaku). Pada titik ini harus dicermati oleh Polri, bahwa setiap proses
penegakkan hukum selalu menimbulkan dampak ketidaknyamanan bagi siapapun yang
terlibat. Para pihak yang terlibat dalam proses berperkara selalu berupaya
meraih simpati publik dalam rangka mendukung pihaknya. Mereka bisa menggandeng
siapapun termasuk media massa. Tugas media massa hanyalah menyampaikan apa yang
mereka suarakan. Masalah kebeneran substansi maupun fakta menjadi urusan di
pengadilan nantinya. Masalah menjadi sulit ketika para audience membaca
fenomena ini sebagai sebuah kebenaran yang terangkat menjadi opini umum. Pada
titik ini, mana yang benar dan mana yang salah menjadi absurd dan Polri selalu
dalam posisi yang sulit. Kebenaran dalam proses penegakkan hukum ternyata tidak
berbanding lurus dengan pembentukan opini negatif yang telah dibuat oleh para
pihak yang berkepentingan dengan media massa.
Disinilah para manager Kepolisian harus mulai cermat untuk mulai tidak menonjolkan
dan mengedepankan penggunaan isu penegakkan hukum dalam berhubungan dengan media massa, namun lebih menonjolkan peran
pelaksanaan tugas lain seperti pembinaan kamtibmas dan program kemitraan dalam
rangka memberi kontribusi pada upaya ”social responsibility”. Langkah ini biasa
dinamakan sebagai pseudo event atau event-event bayangan yang bisa
dilakukan untuk meredam isu negatif. Pseudo event bisa dilakukan misalnya
dengan mengadakan kegiatan-kegiatan yang tidak terkait sama sekali dengan
isu-isu penegakkan hukum seperti yang sekarang dikembangkan oleh Polda Metro
Jaya dengan program Pembinaan anak tidak mampu sekolah.
Karena event bayangan ini juga
membutuhkan peliputan media massa, maka komunikasi yang baik dengan media tidak
boleh terputus. Event bayangan bisa berupa kegiatan yang terkait dengan semua
hal positif oleh Polri yang dirasakan manfaatnya secara langsung oleh
masyarakat. Hal ini bisa dilakukan tingkatan Polres sebagai Kesatuan
Operasional Dasar (KOD) yang berhadapan langsung dengan masyarakat. Hubungan
baik dengan media massa harus tetap dijalin secara baik, mengingat peran
sentral media sebagai sarana pembangun opini publik. Hubungan baik ini bisa
dilakukan dengan mengajak media massa untuk memahami realitas yang dihadapai
Polri terkait opini publik yang sudah terbangun yang melebihi realitas yang
sebenarnya (hiperrealitas)
ijin jendral, membaca blog jendral jadi mengingatkan juga blog serupa milik rekan saya.. yang menurut saya pribadi cukup baik karena banyak mendapatkan visitor/respond dari masyarakat..
ReplyDeletebarangkali jendral berkenan untuk sekedar sekilas mereview..
http://pelayanmasyarakat.blogspot.com/