Hari ini saya ingin bercerita tentang Polwan sebuah profesi yang menarik dan perlu menjadi perhatian kita bersama dalam rangka mulai memikirkan peran mereka bagi upaya pengembangan kapasitas organisasi Polri. Saya akan memulainya dengan sedikit referensi yang saya baca bersumber dari berbagai penelitian di Amerika.
Di Amerika Serikat ada aturan dimana departemen kepolisian harus mempekerjakan orang tanpa memandang ras atau jenis kelamin. Ini telah menjadi aturan selama dua puluh tahun terakhir. Namun, di internal kepolisian, integrasi gender dan kesempatan bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam membentuk kebijakan polisi telah sangat ditentang. Dalam jurnal the National Institute of Justice/National Criminal Justice Reference Service Washington, D.C. saya membaca hasil penelitian Schulz (1995), yang telah mengamati bahwa perempuan hanya bisa mengubah peran penting pekerjaan Polisi wanita dalam kepolisian karena didukung oleh tekad dan perjuangan mereka sendiri. Dia berpendapat bahwa perempuan mengubah peran polisi mereka sepanjang sejarah dengan menggambarkan bagaimana pada kekuatan-kekuatan sosial di luar, serta mengandalkan hukum yang berlaku di Amerika untuk memungkinkan mereka untuk bekerja sebagai polisi. Namun, pada saat itu penerimaan terhadap mereka oleh rekan-rekan pria mereka belum begitu baik. Penerimaan terhadap polisi wanita yang paling baik hanyalah sambutan dingin dari petugas laki-laki dan selebihnya adalah persepsi buruk serta rasa bermusuhan dari rekan polisi pria(Worden 1993:229).
Terlepas dari hal ini, dalam perkembangannya di Amerika sini telah terjadi pertumbuhan yang stabil dalam jumlah perempuan memasuki pekerjaan polisi. Pada tahun 1970, hanya dua persen dari semua polisi adalah perempuan tetapi, pada tahun 1991, sembilan persen dari polisi wanita (Biro Statistik Keadilan, 1993). Di eksekutif, pembuatan kebijakan tingkat atas, terlihat masih sedikitnya representasi perempuan. Kurang dari dua persen dari polisi (1,4%) di eselon paling atas jajaran berseragam adalah perempuan. Dalam jajaran midle manager rendah 2,5% dari letnan dan 3,7% dari sersan adalah perempuan (Martin 1988). Hari ini, di New York Police Department, 15% dari semua petugas berseragam di departemen adalah perempuan, tetapi hanya 9% yang sersan, 6% adalah letnan, 3% adalah kapten dan 4% di atas pangkat kapten (komunikasi personal dengan Kantor Manajemen dan Anggaran, NYPD, data adalah untuk 7/31/96).
Penelitian telah menunjukkan
bahwa perempuan di kepolisian tidak mudah diterima oleh rekan-rekan pria
mereka, supervisor mereka, atau departemen kepolisian sendiri. Perempuan
dipandang secara skeptis atau lebih buruk oleh rekan-rekan pria mereka terlepas
dari kenyataan bahwa perempuan telah melakukan pekerjaan polisi selama lebih
dari seratus tahun. Namun
demikian, berdasarkan penelitian Barbara Raffel Price, ternyata masyarakat berpandangan
jauh lebih positif terhadap Polwan dan sering menyambut kehadiran mereka. Dalam
beberapa tahun terakhir penerimaan oleh masyarakat semakin tumbuh karena mereka
lebih sering melihat kehadiran Polwan dijalanan dalam rangka melaksanakan
patroli.
Sejarah awal kehadiran polwan di Amerika sebagian besar diawali dari keterlibatan para perempuan pada kegiatan pelayanan sosial di mana wanita harus memenuhi standar yang lebih tinggi untuk pekerjaan polisi, tapi menerima upah yang lebih rendah, dibatasi ke unit khusus atau biro, dan ditugaskan terutama untuk administrasi, tugas remaja, penjaga dan wakil kerja (Schulz 1989). Polwan saat itu tidak diizinkan untuk dipromosikan kecuali dalam unit khusus mereka sendiri mereka saat itu juga yang mereka diizinkan untuk mengikuti tes promosi yang sama dengan pria. Dan yang paling fatal adalah ketika saat itu mereka tidak mendapatkan kesempatan untuk menunjukkan perfroma mereka bagi organisasi, dimana mereka tidak diizinkan untuk melakukan tugas dasar patroli (Harga dan Gavin 1982, Peyser 1985).
Sejarah awal kehadiran polwan di Amerika sebagian besar diawali dari keterlibatan para perempuan pada kegiatan pelayanan sosial di mana wanita harus memenuhi standar yang lebih tinggi untuk pekerjaan polisi, tapi menerima upah yang lebih rendah, dibatasi ke unit khusus atau biro, dan ditugaskan terutama untuk administrasi, tugas remaja, penjaga dan wakil kerja (Schulz 1989). Polwan saat itu tidak diizinkan untuk dipromosikan kecuali dalam unit khusus mereka sendiri mereka saat itu juga yang mereka diizinkan untuk mengikuti tes promosi yang sama dengan pria. Dan yang paling fatal adalah ketika saat itu mereka tidak mendapatkan kesempatan untuk menunjukkan perfroma mereka bagi organisasi, dimana mereka tidak diizinkan untuk melakukan tugas dasar patroli (Harga dan Gavin 1982, Peyser 1985).
Perempuan hanya bisa
dipromosikan dalam biro mereka sendiri karena mereka diberitahu oleh atasan mereka
bahwa polwan tidak mempunyai "pengalaman yang cukup sebagai polisi" untuk
melaksanakan patroli. Hal
itu terjadi karena kecenderungan para polisi laki-laki yang menolak selama
bertahun-tahun untuk menugaskan polwan melaksanakan patroli umum. Dengan
demikian akses para polwan telah diblokir untuk mendapatkan pengalaman yang
dibutuhkan (Harga dan Gavin 1982). Ketika
perempuan akhirnya diberi kesempatan sebagai dampak dari hukum federal yang
memberikan mandat agar kepada negara untuk memberikan kesempatan yang sama
tanpa memandang jenis kelamin atau ras untuk melakukan pekerjaan polisi umum
dan termasuk melaksanakan tugas umumnya, ternyata para polwan tersebut
berhasil menunjukkan performa terbaik mereka dalam melaksanakan pekerjaan
polisi khususnya bagi mereka yang terjun di lapangan.
Semua penelitian terdahulu pada wanita polisi di Amerika telah difokuskan pada upaya mencari tahu bagaimana kemampuan perempuan untuk melakukan pekerjaan polisi, dan hampir semua menyimpulkan bahwa perempuan memang memiliki kemampuan tersebut. Kapasitas ini meliputi kebugaran fisik serta mental dan emosional. Studi menunjukkan kemampuan perempuan ini telah mencakup bidang pekerjaan patroli (Bloch dan Anderson 1974, Sherman 1975, Townsey 1982) kepuasan masyarakat (Sherman 1975), evaluasi kepala polisi (Seligson 1985), respon terhadap situasi berbahaya (Elias 1984), akademi kinerja akademik (Elias 1984), kemampuan fisik (Townsey 1982), penerimaan pelatihan fisik (Moldon 1985), dan penanganan konfrontasi kekerasan (Moldon 1985, Grennan 1987).
Berbagai penelitian yang saya pernah baca mengungkapkan bahwa dalam menjadi polisi wanita itu banyak mengalami tantangan yang sangat besar, terutama sebagai akibat dari sikap negatif dari laki-laki. Banyak polisi pria yang menunggu kegagalan mereka (Brookshire 1980). Mereka (polisi pria) juga ragu apakah wanita bisa menyamai mereka dalam melaksanakan pekerjaan-pekerjaan sulit (Bloch dan Anderson 1974). Mereka tidak melihat perempuan sebagai polisi yang melakukan ”the real police job”(Melchionne 1976). Mereka juga mempunya mitos bahwa perempuan tidak cukup kuat secara emosional (Bell 1982). Ras, usia dan pendidikan tampaknya mempengaruhi sikap terhadap wanita: Para polisi berkulit hitam agak lebih baik dalam memandang terhadap polwan dibandingkan yang berkulit putih (Bell 1982, Bloch dan Anderson 1974). Penelitian lain menggambarkan bahwa di St Louis muda, petugas polisi yang terpelajar lebih permisive dalam menerima peran Polwan (sherman 1975).
Semua penelitian terdahulu pada wanita polisi di Amerika telah difokuskan pada upaya mencari tahu bagaimana kemampuan perempuan untuk melakukan pekerjaan polisi, dan hampir semua menyimpulkan bahwa perempuan memang memiliki kemampuan tersebut. Kapasitas ini meliputi kebugaran fisik serta mental dan emosional. Studi menunjukkan kemampuan perempuan ini telah mencakup bidang pekerjaan patroli (Bloch dan Anderson 1974, Sherman 1975, Townsey 1982) kepuasan masyarakat (Sherman 1975), evaluasi kepala polisi (Seligson 1985), respon terhadap situasi berbahaya (Elias 1984), akademi kinerja akademik (Elias 1984), kemampuan fisik (Townsey 1982), penerimaan pelatihan fisik (Moldon 1985), dan penanganan konfrontasi kekerasan (Moldon 1985, Grennan 1987).
Berbagai penelitian yang saya pernah baca mengungkapkan bahwa dalam menjadi polisi wanita itu banyak mengalami tantangan yang sangat besar, terutama sebagai akibat dari sikap negatif dari laki-laki. Banyak polisi pria yang menunggu kegagalan mereka (Brookshire 1980). Mereka (polisi pria) juga ragu apakah wanita bisa menyamai mereka dalam melaksanakan pekerjaan-pekerjaan sulit (Bloch dan Anderson 1974). Mereka tidak melihat perempuan sebagai polisi yang melakukan ”the real police job”(Melchionne 1976). Mereka juga mempunya mitos bahwa perempuan tidak cukup kuat secara emosional (Bell 1982). Ras, usia dan pendidikan tampaknya mempengaruhi sikap terhadap wanita: Para polisi berkulit hitam agak lebih baik dalam memandang terhadap polwan dibandingkan yang berkulit putih (Bell 1982, Bloch dan Anderson 1974). Penelitian lain menggambarkan bahwa di St Louis muda, petugas polisi yang terpelajar lebih permisive dalam menerima peran Polwan (sherman 1975).
Sebaliknya, sebuah penelitian
di Atlanta menyimpulkan dengan tegas bahwa petugas laki-laki tidak menerima
perempuan sebagai petugas polisi (Remmington 1981). Horne
(1980) telah menunjukkan bahwa tantangan terbesar yang dihadapi petugas
perempuan adalah resistensi yang ditampilkan oleh petugas laki-laki dalam sikap
mereka terhadap Polwan. Hunt
(1990) menyimpulkan bahwa para wanita yang menjadi polisi banyak dilecehkan dan ditolak oleh petugas
laki-laki karena mereka takut bahwa perempuan akan membongkar rahasia
organisasi (rahasia tentang korupsi polisi dan kekerasan yang banyak
dilakukan oleh polisi pria). Dengan
demikian ketakutan adanya kebocoran rahasia yang dilakukan oleh polwan dianggap
sebagai penyebab perlawanan yang signifikan dari para Polisi pria. Hal ini penting untuk menunjukkan bahwa situasi yang
ditemukan di AS dan dilaporkan dalam literatur mirip dengan yang ditemukan di
Eropa, Eropa Timur, Asia, dan negara-negara Amerika Latin.
Selain sikap negatif polisi
laki-laki, perempuan menghadapi sejumlah masalah sosial lainnya yang melekat
dalam masyarakat dan menjadi salah satu isu utama di kepolisian. Diantaranya
adalah menyangkut tanggung jawab keluarga (Brookshire 1980, Martin 1980),
ketegangan peran dan konflik peran (Martin 1980, Jacobs 1983) keraguan tentang
kompetensi dan harga diri (Glaser dan Saxe 1982) pelecehan seksual (Wong 1984)
dan ketakutan sering mengeluh tentang penyalahgunaan
(Dewan Kota New York, Komite Perempuan 1986) dan, terakhir, ketiadaan sarana
dan prasarana, termasuk kondisi-kondisi fasilitas seperti kamar ganti (Horne
1980, Washington 1974), seragam (Brookshire 1980), dan kekurangan
kursi pada mobil patroli (Horne 1980).
Perempuan kulit hitam menghadapi hambatan tambahan, seperti konflik yang disebabkan oleh karena pandangan buruk dari sesama wanita berkulit hitam dan para polisi pria. Kesemua hal tersebut memunculkan berbagai tekanan bagi para Polwan di Amerika sini.
Perempuan kulit hitam menghadapi hambatan tambahan, seperti konflik yang disebabkan oleh karena pandangan buruk dari sesama wanita berkulit hitam dan para polisi pria. Kesemua hal tersebut memunculkan berbagai tekanan bagi para Polwan di Amerika sini.
Dengan demikian, dari uraian diatas kita mendapatkan gambaran bahwa ada banyak rintangan, baik dari dalam organisasi maupun dari luar organisasi yang berhubungan – dengan penerimaan wanita yang memilih pekerjaan polisi sebagai karir mereka.
Dari referensi yang saya miliki tentang keberadaan perempuan ke kepolisian di NYPD (Price, Sokoloff, dan Kuleshnyk: 1992) ternyata saat ini perempuan berkulit hitam ada sekitar tiga puluh persen dari seluruh polisi wanita di Amerika Serikat saat ini. Sebaliknya, laki-laki hitam hanya lima belas persen dari semua orang polisi (The Book Tahun Municipal 2011). Selain itu saya mendapatkan data bahwa 93,3% dari perempuan polisi atau detektif, 5,7% adalah sersan, 1% adalah letnan, kapten atau lebih tinggi. Perbandingan dengan kota-kota besar lain mengungkapkan distribusi yang sama.
Bagaimana dengan Polwan di
Indonesia?
Sejarah kelahiran
Polisi Wanita di Indonesia tak jauh berbeda dengan proses kelahiran Polisi
Wanita di negara lain yang berawal dari kebutuhan terhadap penaganan dan
penyidikan terhadap kasus kejahatan yang melibatkan kaum wanita baik korban
maupun pelaku kejahatan. Polwan di Indonesia lahir pada 1 September 1948, berawal dari kota Bukit Tinggi Sumatera Barat takkala pemerintah Indonesia menghadapi Agresi II pengungsian besar-besaran
antara lain dari semenanjung Malaya yang sebagian besar kaum wanita. Mereka
tidak mau diperiksa apalagi digeledah secara fisik Polisi pria.
Pemerintah Indonesia
menunjuk SPN (Sekolah Polisi Negara) Bukit Tinggi untuk membuka
"Pendidikan Inspektur Polisi" bagi kaum wanita , setelah melalui
seleksi terpilih 6 (enam) orang gadis remaja yang kesemuanya dari ranah minang
al; Mariana Saanin , Nelly Pauna , Rosmalina , Dahniar , Djasmainar dan Rosnalia.
Keenam gadis remaja tersebut secara resmi tanggal 1 September 1948 mulai
mengikuti Pendidikan Inspektur Polisi di SPN Bukit Tinggi , sejak itu
dinyatakan lahirlah Polisi Wanita yang akrab dipanggil Polwan. Ke enam Polwan angkatan pertama tersebut juga
tercatat sebagai wanita ABRI pertama di tanah air yang kini kesemuanya sudah
pensiun dengan rata-rata berpangkat Kolonel Polisi (Kombes).
Tugas Polwan di Indonesia terus berkembang tidak hanya menyangkut masalah kejahatan wanita, anak-anak dan remaja, narkotika dan masalah administrasi bahkan berkembang jauh hampir menyamai berbagai tugas Polisi prianya. Kenakalan anak-anak dan remaja, kasus perkelahian antar pelajar yang terus meningkat dan kasus kejahatan wanita yang memprihatinkan.
Dewasa ini adalah
tantangan amat serius Korps Polisi Wanita untuk lebih berperan dan membuktikan
eksistensinya di tubuh Polri. Tantangan terpenting bagi para Polwan di
Indonesia adalah bukan pada ”tuntutan” kesetaraan jabatan dengan Polisi Pria
saja, namun lebih dari itu tantangan terpenting bagi mereka adalah bagaimana
mereka mampu dapat menunjukkan performa dalam melaksanakan pekerjaan ”the real
police job” di lapangan.
Dengan demikian,
ketika para Polwan ini mampu menunjukkan sebagaimana harapan kita diatas, maka kesempatan
terbuka bagi mereka akan selalu ada bukan saja di tanah air, namun juga sampai
jauh ke berbagai belahan dunia lainnya sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh
para perintis Polwan selama ini yang bergabung dalam misi Perdamaian PBB di negara-negara yang terlibat konflik di seluruh dunia
Selamat Hari Ibu pada
para Polisi Wanita...
No comments:
Post a Comment