Saya tertarik untuk memposting sebuah tulisan menarik dari seorang anggota Polri yang saya nilai cukup layak untuk kita simak. Tulisan ini merupakan buah pikir dari sang penulis Kompol Rahkmad Kurniawan yang saat ini bertugas sebagai Kasubdit 3 Dit ReskrimUm Polda Bengkulu. Saya memberi judul tulisan ini dengan "HUKUM ADALAH GARIS BATAS KEHIDUPAN"
Berikut kira-kira isi tulisan ini..
Hukum
adalah garis batas yang tegas. Artinya, esensi hukum memang mau
menampakkan perbedaan secara jelas, khususnya di wilayah abu-abu, antara
sisi yang satu dengan sisi yang lain.
Ketegasan menjadi penting.
Inilah kepastian dan karena inilah hukum tampak sewenang- wenang. Pun,
selain itu, sebagai garis batas, hukum ada di pinggir hiruk pikuk
kehidupan.
Dari hal ini, tampak pula bahwa merumuskan hukum bukan
perkara sederhana. Seorang pembuat hukum ibarat seorang dokter bedah.
Di satu sisi ia mencermati setiap serpih atau elemen gejala. Di sisi
lain ia berani mengiris untuk membuat takikan perbedaan. Kearifan, bukan
sekadar kepandaian, menjadi kunci agar takikan itu tidak mengoyak
elemen-elemen vital.
Hanya saja, karena hukum ialah perkara
sosial, bukan perkara personal, kompromi berbagai pandangan, termasuk
kepentingan, perlu ditampung dalam hukum.
Kompromi akan
mengurangi sifat kesewenang-wenangan. Kompromi pula yang menegaskan
aspek sosial dan relasional hukum. Kompromi ini menjadi tak terhindarkan
dalam masyarakat plural. Tanpa kompromi, pluralitas dicederai.
Dari
hal itu, muncul masalah, yaitu sejauh mana kompromi bisa dilakukan.
Semakin kompleks masyarakat, semakin banyak pula pendapat dan
kepentingan elemen masyarakat yang perlu diakomodasi.
Oleh karena
itu, bisa terjadi kompromi yang dilakukan makin meminimalkan aspek
keadilan yang mau dicapai. Harap diingat setiap elemen masyarakat
mempunyai pandangan keadilannya sendiri, atau setidaknya ada nuansa
perbedaan. Dalam hal inilah, rumusan HAM menjadi batas minimal kompromi.
Batas kompromi
Cukup
mudah dipahami bahwa semakin banyak pihak yang terlibat, kompromi
menjadi makin sulit. Kalaupun dirumuskan, hasil kompromi itu umumnya
makin jauh dari nilai ideal masing-masing. Selain itu, ada bahaya, pihak
yang lebih kuat akan memaksakan pendapatnya kepada pihak yang lemah.
Dalam hal inilah, rumusan nilai HAM menjadi penting sebagai pijakan
bersama.
Dalam konteks kompromi perumusan hukum, HAM adalah batas
minimal suatu kompromi. Artinya, kompromi yang dilakukan seharusnya
tidak melewati ambang ini. Kompromi antara seorang buruh dengan majikan
bisa dijadikan contoh. Meski seorang buruh sungguh membutuhkan pekerjaan
untuk kelangsungan hidupnya dan pada dasarnya dia mau saja dibayar
rendah, kompromi tentang penggajian tidak seharusnya di bawah standar
HAM.
Dilaluinya ambang ini akan mencederai keadilan dan
keberlanjutan hidup bersama. Tampak bahwa pada dasarnya HAM adalah
keadilan minimal. Tampak pula HAM adalah batas dari batas, yaitu batas
dari hukum sebagai batas.
Batas itu pula yang menghindarkan
dominasi berlebihan dari pihak yang kuat terhadap yang lemah. Kompromi
yang ideal adalah win-win solution, tanpa mengurangi kewajaran bahwa
pihak yang kuat punya pengaruh lebih dibandingkan dengan pihak yang
lemah. Dalam hal ini, rumusan nilai HAM memberi jaminan, khususnya pihak
yang lemah, untuk tetap berada dalam koridor win-win solution tersebut.
Keadilan yang "pasti"
Problematik
filosofis dari ketegangan abadi antara kepastian dan keadilan dalam
filsafat hukum pada dasarnya terletak dalam tidak pastinya makna
keadilan.
Ketidakpastian itu makin besar seiring dengan
perkembangan zaman. Di satu sisi, masyarakat makin berkembang plural,
yang mengakibatkan pluralnya paham keadilan. Di sisi lain, masyarakat
yang berkembang makin kompleks memperluas pula isi keadilan. Dengan kata
lain, makna keadilan pun bersifat kontekstual.
Dalam konteks ini
rumusan nilai HAM dalam Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia, yang
kemudian dilanjutkan dalam rumusan yang lebih bernilai yuridis dalam
The International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan
Tthe International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights
(ICESCR) tahun 1966, bisa berfungsi memberi kepastian akan nilai
keadilan. Pada gilirannya, kepastian ini akan memberi nilai plus pada
fungsi hukum bagi manusia.
Tentu, diandaikan di sini bahwa
rumusan nilai HAM tersebut sungguh dipegang sebagai cakrawala keadilan,
meski bersifat minimal, demi kepastian dalam kebersamaan.
Ini
pula arti penting dari ratifikasi ICESCR dan juga ICCPR oleh banyak
negara di dunia, termasuk Indonesia sejak setahun lalu. Implikasi bahwa
nilai-nilai HAM dalam ICESCR dan ICCPR harus dijadikan landasan setiap
undang-undang dari negara yang meratifikasinya mau menggarisbawahi arti
penting ini.
Yang juga diandaikan, bukan sekadar dianjurkan,
adalah pentingnya setiap hakim mempunyai cakrawala ini. Dalam
problematik tafsir hukum, cakrawala ini menjadi penting agar hukum
sungguh berpijak pada kemanusiaan, bukan pada huruf. Di situ, keadilan
dan kepastian bisa dipertemukan.
No comments:
Post a Comment