Bagaimana
virus menyebar? Fenomena penyebaran virus yang seperti wabah ternyata bisa
dibalik dalam konteks yang positif. Saya mencoba menggambarkan hal ini dalam
pendekatan manajerial. Banyak orang mengatakan bahwa idealnya organisasi
yang baik itu adalah ketika organisasi itu berjalan pada sistem yang telah
disepakati bersama. Namun nilai ideal itu ternyata tidak pernah bisa
diwujudkan. Oleh karenanya, marilah kita coba pandang dari sisi realisme.
Kenyataanya organisasi itu bisa baik kalau mempunyai pemimpin yang baik.
Pertanyaannya,
bagaimana sebuah organisasi itu menciptakan para pemimpinnya? Kita semua
dilahirkan tidak sebagai pemimpin. Karena itu Polri meng-create orang-orang
yang direkrutnya untuk menjadi pemimpin. Belajar kepemimpinan itu ternyata
tidak mudah. Banyak orang yang sudah menjelaskan tentang berbagai teori
kepemimpinan. Banyak buku dibaca, banyak praktek dilakukan, banyak pelajaran
diberikan, namun pertanyaanya seberapa sulit untuk belajar menjadi pemimpin?
Sebagaimana kata Prof Sarlito Wirawan, Belajar sosial yang paling mudah itu
adalah dengan meniru (Teori Bandura). Seperti anak kita yang meniru gaya bapak atau ibunya
dalam berjalan, berperilaku, berbicara, dlsb. Maka, tidaklah mengherankan kalau
sebagian besar dari kita kemudian belajar kepemimpinan adalah dari meniru
senior-senior terdahulu. Karena itu adalah pola pembelajaran yang paling mudah.
Masalahnya, ketika kita salah meniru atau salah mengambil tiruan, maka akan
semakin jauh kita dari apa yang diharapkan.
Dalam
rangka membagi cerita tentang kepemimpinan, berikut saya share sebuah cerita
tentang model kepemimpinan Tipping Point yang banyak di aplikasikan dalam
manajemen modern saat ini.Tipping Point sudah dikenal sejak 1957 untuk
menjelaskaan segregasi sosial. Tapi dipopulerkan oleh Malcolm Gladwell. Tipping
Point menjawab pertanyaan, mengapa suatu penyakit pada titik tertentu tiba-tiba
menjadi wabah? Apakah sebagai polisi, kita pernah bertanya-tanya, ketika ada
fenomena melawan polisi disatu kota
dan kemudian menjalar dikota lain? Apakah sebagai polisi kita pernah bertanya,
ketika ada anggota yang melakukan pelanggaran dan dibiarkan saja maka anggota
yang lain menyusul melakukan pelanggaran yang sama?
Itulah tipping point. Satu, satu, tipping point, jadilah
wabah yang menjalar ke seluruh penjuru wilayah. Unsur Tipping Point ada 3:
virus yang kuat, penyebar virus yang dinamis, konteks yang kondusif.
Dalam fenomena perlawanan terhadap tindakan polisi, pesannya adalah ini solusi
mudah untuk melawan hukum dengan kekuatan massa . Penyebar virusnya adalah media massa/ internet dan
orang-orang berpengaruh di sekitar kita. Konteksnya adalah situasi krisis
kepercayaan atas wibawa hukum di Indonesia saat ini. Ketiganya menyatu jadilah
wabah perlawanan massa terhadap tindakan kepolisian.
Belajar Tipping Point akan membantu
kita melakukan perubahan besar dengan tindakan kecil yang efektif. Tipping
Point leaderhsip adalah kepepimpinan yang menciptakan ”tipping point” (wabah/
epidemi) untuk menciptakan perubahan keseluruhan sistem (whole system). Dalam
bukunya Blue Ocean Strategy, Kim dan Mauborgne mengajukan
Tipping Point Leadership untuk mengeksekusi blue ocean
strategy. Sebuah strategi Change
management. Korupsi harus dipandang
sebagai fenomena Tipping Point yang hanya bisa diberantas dengan tipping point
leadership.
Perubahan keseluruhan sistem lebih
mudah dikelola dengan mengikuti prinsip prinsip Tipping Point. Kepemimpinan
meyakini perubahan fundamental bisa terjadi dengan cepat ketika keyakinan
energi orang-orang menciptakan gerakan meluas ke arah satu ide. Kepemimpinan
Tipping Point berprinsip pada pemusatan/ konsentrasi pada satu titik, bukan
penyebaran. Tentukan Prioritas Perubahan! Kepemimpinan Tipping Point sadar bhw
ada orang, tindakan dan kegiatan yang memberikan pengaruh tindakan tidak
proporsional terhadap kinerja. Contoh: 80% hasil kerja kita dihasilkan dari 20%
waktu kita. Pareto principle
Ada 4 hambatan yang dihadapi
leadership dalam mengeksekusi blue ocean strategi: 1.Hambatan kognitif.
2.Hambatan sumber daya. 3.Hambatan motivasional. 4.Hambatan politik
Hambatan kognitif:
Hambatan ini melekat pada organisasi
yang terlena dengan kenyamanan status quo. Tantangannya: apa faktor yang memberikan pengaruh positif
tak proposional pada upaya mendobrak status quo? Untuk itu, dalam model
kepemimpinan ini, pemimpin harus mendobrak dengan prinsip “seeing is
believing”. Pemimpin terjun langsung kelapangan dan melaksanakan apa yang
dilakukan anak buah selama sebulan penuh. Atau mari kita sama-sama merasakan
bermacet ria dengan naik angkutan umum selama sebulan. Sejenak kita melupakan
angka atau indikator kinerja. Para pemimpin langsung terjun bebas ke pengalaman
nyata bagaimana rasanya pelayanan yang didapat dari anggota dengan metode
empiris. Silahkan mendengar dan melihat keluhan langsung dari anggota kita
dilapangan dan para pelanggan kita yang tidak puas. No defense! Gunakan metafor
sbg alat bantu untuk “melihat” gambaran besar akan apa yang terjadi
Hambatan sumber daya:
Ini adalah menyangkut keterbatasan
sumber daya untuk melakukan perubahan besar. Sumberdaya bisa berarti manusia,
anggaran, sarana prasarana, waktu dan sebagainya. Seorang pemimpin dimanapun
dia bekerja akan selalu berhadapan dengan tantangan ini dan tidak ada keluhan
selain mensiasatinya. Kepemimpinan
tidak fokus untuk mencari bantuan, apalagi hutang, tapi melipatgandakan nilai
dari sumber daya yang sudah dimiliki.
Ada 3 faktor yang bisa mempengaruhi
dalam melipatgandakan nilai sumber daya: 1) titik panas, 2) titik dingin dan 3)
dagang sapi.
Titik panas adalah kegiatan yang input sumber daya rendah tapi
outputnya besar. Redistribusi sumber daya ke titik panas. Dalam buku Blue Ocean
Strategy digambarkan bagaimana Polisi NYPD pada bagian Narkoba bekerja pada
hari senin sampai dengan jumat. Padahal transaksi narkoba biasanya banyak
terjadi pada akhir pekan. Redistribusi pada titik panas dilakukan dengan cara
mengerahkan energi kegiatan anggota untuk lebih fokus bekerja pada kegiatan
undercover pada hari-hari di akhir pekan. Dampaknya adalah membuat kejahatan narkoba
turun. Dalam peristiwa yang sedang terjadi saat ini misalnya, Banjir ibukota.
Banyak institusi yang turun ke titik-titik banjir "menolong"
masyarakat dengan membawa atribut masing-masing. Apa yang dilakukan oleh mereka,
entah murni atau tidak, yang jelas kegiatan mereka menjadi "iklan"
gratis pencitraan. Inilah yang dinamakan redistribusi sumber daya ke titik
panas. Titik panas disini adalah musibah banjir yang membutuhkan kehadiran
relawan. Dengan demikian, banyak "organisasi" yang kemudian bergerak
menjadi relawan, namun dengan tidak melepaskan "upaya pencitraan".
Titik dingin adalah kegiatan yang inputnya tinggi tapi outputnya
kecil. Arahkah ulang sumber daya dari titik dingin. Pada contoh kasus Polisi
NYPD, digambarkan bagaimana mereka mebutuhkan waktu hingga 16 jam hanya untuk
membawa para penjahat yang tertangkap ke pusat kota termasuk untuk para pelaku
kasus kejahatan kelas teri. Hal ini menggambarkan bagaimana diperlukan
perubahan kecil untuk mendapatkan output besar. Untuk itu NYPD kemudian mengadakan
bis tahanan di kantor kantor polisi kecil yang disiapkan untuk melakukan
penahanan sebelum mereka disidangkan keesokan harinya. Dengan demikian mereka
telah memangkas waktu yang terbuang karena wira wiri yang tidak diperlukan.
Dalam konteks Kepolisian, kita bisa melihat bahwa membuat SIM itu sangat sulit
di Jakarta. Orang harus pergi ke Daan Mogot yang macet dan berdesak-desakan.
Belum lagin fenomena orang-orang yang mencoba menjadi calo karena tingkat
kesulitan yang tinggi untuk mendapatkan SIM. Ketika Polda Metro memutuskan
untuk membuat SIM keliling ditempat-tempat strategis, maka Polda Metro telah
mengarahkan ulang sumberdaya mereka ketitik dingin dalam rangka melayani
masyarakat dan membuat nilai kepercayaan masyarakat menjadi meningkat.
Dagang sapi: kegiatan menukar sumber daya dari satu unit kerja ke
unit kerja lain. Hal ini dilakukan dalam rangka mendapatkan manusia-manusia
yang ”mau dan mampu” melaksanakan tugas sesuai bidangnya. Sudah menjadi rahasia
umum bahwa polisi bertugas berdasarkan perintah. Oleh karenanya banyak polisi
yang melaksanakan pekerjaan disatu bidang meskipun dia tidak menguasai bidang
tersebut dan atau bahkan mereka tidak tertarik sama sekali. Untuk itu, disana
dilakukan dagang sapi dengan menanyakan kembali kemampuan dan kemauan mereka
untuk bekerja dibidang yang mereka lebih bisa memberikan kontribusi.
Hambatan motivasional
Hambatan ini adalah menyangkut adanya anggota organisasi
yang tidak termotivasi untuk melakukan perubahan. Pemimpin perubahan
yang biasa-biasa saja akan memberi instruksi teknis secara top down, yang
justru membebani bawahannya. Kepemimpinan
memberikan arahan strategis dan membangun manajemen yang memotivasi dan
menginspirasi para bawahan. Ada tiga faktor dari manajemen yang memotivasi:
pemain kunci, manajemen kolam ikan, dan atomisasi.
Pemain kunci adalah perhatian
pemimpin difokuskan pada orang yang mempunyai pengaruh kunci dalam organisasi. Bisanya,
dalam sebuah organisasi hanya ada sedikit pemain kunci yang bisa memberi
pengaruh kepada orang lain. Untuk itu perlu diidentifikasi siapa mereka dalam
rangka memudahkan pemimpin memotivasi anggota organisasi yang lain. Apabila
anggota para pemain kunci ini sudah termotivasi, maka dia akan menyebarkan
motivasi itu ke orang lain yang dibawah pengaruhnya.
Manajemen kolam ikan adalah menempatkan
pemain kunci dalam kolam ikan (aquarium) sehingga inisiatif atau
ketidakpeduliannya tampak transparan. Pemimpin perlu memperjelas tanggung jawab
pemain kunci. Tunjukkan dengan cara visual agar dia bisa melihat secara jelas. Pastikan sesama pemain kunci bisa melihat kinerja sesama
pemain kunci. Biarkan rasa malu dan kehormatan bekerja. Dalam contoh kepolisian
NYPD dan Polisi Jepang, hampir tidak ada sekat ruangan yang diciptakan antara
satu anggota dengan anggota lain termasuk dengan pimpinan unit. Dengan
demikian, kinerja mereka dapat terpantau dengan jelas dan mereka bisa saling
mengawasi.
Atomisasi adalah pembingkaian
sasaran strategis menjadi sasaran mikro yang lebih realistis bagi setiap
level. Atomisasi membuat orang berani dan percaya diri mengemban tanggung
jawabnya.
Hambatan politis
Hambatan ini merupakan sebuah
tantangan dari kepentingan-kepentingan yang kuat baik dari dalam maupun luar
organisasi. Pemimpin menyadari tidak
hanya butuh kecemerlangan fungsional, tapi harus juga mewaspadai adanya jebakan
politik kantor dan politik eksternal. Semakin besar perubahan semakin besar
tentangan kekuatan politis. Bentuk tentangan bisa sangat merusak. Ada 3 faktor
untuk merobohkan hambatan politis: manfaatkan malaikat, membungkam iblis,
rekrut seorang consigliere
Manfaatkan malaikat berarti membangun
aliansi dengan pihak yang paling diuntungkan dengan adanya perubahan yang kita
lakukan. Sedangkan membungkam iblis berarti menghadapi
berbagai kemungkinan serangan dari pihak yang paling dirugikan dari adanya
perubahan dalam organisasi kita. Pemimpin
harus mengetahui semua sudut serangan dan bangun kontra argumen yang didukung
oleh fakta dan alasan yang tak bisa dibantah. Rekrut Consigliere berarti
kita perlu mengangkat seorang yang disegani semua orang sekaligus lihai
berpolitik menjadi penasehat atau orang kedua. Ini bukan berarti kita
mengangkat seorang pembisik.
Kepemimpinan biasa menggerakkan
seluruh/ mayoritas orang. Kepemimpinan Tipping Point juga perlu fokus pada beberapa
orang minoritas yang ekstrim, beberapa tindakan serta kegiatan yang perlu
dihilangkan, dikurangi, ditambahkan atau diciptkan. Untuk itu dalam
mengimplementasikan Kepemimpinan Tipping Point, kita butuh kreativitas untuk
menerjemahkan prinsip-prinsip tipping point dalam organisasi yang kita kelola.
Ini hanya sebuah resume kecil dari hasil bacaan saya, dan
tidak akan bisa dipahami secara komprehensif kalau kita membaca
sepotong-potong. Namun setidaknya, saya ingin menularkan virus membaca dan
menulis kepada rekan-rekan sekalian..
Salam
hormat
No comments:
Post a Comment