Suatu malam di New York sini, saya melihat sebuah mobil polisi parkir ditempat tersembunyi dijalan akses antara rumah saya dengan jalan yang menuju kearah high way. Didepan mata saya, polisi itu tiba-tiba keluar dari persembunyiannya dengan menyalakan rotator yang menyilaukan dan suara sirine besar mengejar sebuah mobil yang diduga melanggar batas kecepatan. Bagi saya yang telah tinggal selama 2 tahun disini, keberadaan mobil polisi parkir ditempat tersembunyi adalah hal yang biasa untuk memantau para pengemudi yang melanggar batas kecepatan. Ketika hal ini saya tanyakan kepada tentangga saya yang warga negara Amerika, dia mengatakan bahwa pengemudi itu memang layak dikenakan tilang karena perbuatannya melanggar batas kecepatan adalah sebuah pelanggaran yang cukup berat di Amerika sini.
Yang jadi masalah bagi saya bukan
pelanggarannya, namun kenapa polisi parkir secara tersembunyi dan baru keluar
setelah ada yang melakukan pelanggaran? Kenapa polisi tidak parkir ditempat
yang terlihat saja sehingga para pengemudi mengurangi kecepatannya. Menurut
saya tentunya polisi punya strategi tersendiri, kenapa mereka melakukan itu. Tindakan
tersebut dilakukan oleh Polisi NYPD karena mereka tidak bisa terus menerus berada
disana sehingga mereka menggunakan metode ”menangkap rubah” untuk membuat jera
para pengemudi bandel yang melewati jalan tersebut. Yang pasti, hampir tidak
ada komplain masyarakat atas tindakan kepolisian disana, karena Masyarakat New
York mempercayai Polisinya.
Hal sebaliknya akan didapat oleh polisi Indonesia ketika mereka melakukan hal yang sama di Indonesia. Ketika polisi parkir ditempat tersembunyi dan mengejar para pelaku pelanggar lalulintas, apa yang akan didapat polisi Indonesia, cercaan? Umpatan? Cibiran? Ejekan karena Mencari-cari kesalahan? Ya, itulah kira-kira yang akan didapat oleh polisi Indonesia, karena ”Kepercayaan” masyarakat akan polisi-nya belum begitu baik saat ini. Permasalahan inilah yang dihadapi oleh polisi Indonesia saat ini dimana upaya meraih kepercayaan merupakan sebuah hal krusial yang harus dilakukan guna meraih sinergitas pemolisian polisi masyarakat dalam rangka meningkakan keamanan dan ketertiban yang lebih baik ditanah air ini.
Mengapa kepercayaan
begitu penting bagi kita? Bagaimanakah kita dapat meraih sebuah kepercayaan? Dan
bagaimana sebuah institusi itu dapat meraih kepercaayaan? Kepercayaan adalah
hal yang sangat penting dalam sebuah bisnis saat ini. Banyak ahli yang telah
mendefinsikan pengertian trust (kepercayaan).
Dalam konteks busines to business, Kepercayaan
(trust) menurut Sheth dan
Mittal (dalam Ciptono, 2002) merupakan faktor
paling krusial dalam setiap relasi, sekaligus berpengaruh pada komitmen. Trust bisa diartikan sebagai kesediaan untuk
mengandalkan kemampuan, integritas dan motivasi pihak lain untuk bertindak
dalam rangka memuaskan kebutuhan dan kepentingan seseorang sebagaimana
disepakati bersama secara implisit maupun eksplisit. Koehn,2003 (dalam Sularto,
2004) mengatakan terdapat beberapa bentuk kepercayaan: (1) berbasis tujuan, (2)
berbasis perhitungan, (3) berbasis pengetahuan, dan (4) berbasis penghargaan.
Kepercayaan berbasis
tujuan muncul ketika dua orang yang mengira mereka memiliki tujuan yang sama. Tujuannya
mungkin bisa baik atau buruk. Pernikahan bisa langgeng ketika sebuah pasangan
mempunyai tujuan yang sama dalam rangka mewujudkan keluarga yang sakinah
mawadah warohmah. Pasangan itu tidak saling kenal sebelumnya dan mereka
disatukan dalam sebuah ikatan pernikahan. Setiap pasangan mungkin mengharapkan
dan bahkan meminta bahwa yang lain mengorbankan kepentingannya demi tercapainya
tujuan. Dalam konteks kepolisian, ketika masyarakat dan polisi mempunyai tujuan
yang sama, maka kepercayaan bisa dibangun.
Permasalahannya
adalah bahwa di Indonesia belum ada kesepahaman tujuan dalam mengurai
permasalahan keamanan dan ketertiban. Tujuan kamtibmas perlu di propagandakan
agar menjadi tujuan bersama. Dengan demikian ketika tujuan pembinaan kamtibmas
ini dipercayai sebagai tujuan bersama, maka kepercayaan antara polisi dan
masyarakat akan terbangun. Saya mengambil contoh pada kasus pemeriksaan identitas
dan badan ketika kita memasuki gedung obyek vital. Ketika sesesorang meyakini
bahwa tujuan pemeriksaan itu adalah guna kepentingan bersama, baik bagi
keamanan semua pihak, maka siapapun akan rela identitasnya diperiksa termasuk
badan dan bawaannya digeledah setiap kali memasuki bangunan tersebut. Namun
ketika tujuan ”keamanan bersama” itu tidak dipahami, maka seseorang yang
diperiksa oleh petugas keamanan, akan merasa bahwa pemeriksaan itu hanyalah
sebuah proses yang ”anoying” sekali (mengganggu kenyamanan orang).
Kepercayaan
perhitungan mencoba meramalkan apa yang dilakukan mitra terpercaya dengan
mencari bukti untuk hal-hal yang bisa dipercaya lainnya, misalnya, apakah suatu pihak memiliki sejarah
menepati janjinya? Apakah dia memiliki reputasi yang bagus? Polisi selalu
mempunyai ”praduga bersalah” terhadap para pelaku pelanggaran. Disisi lain
aturan UU mengharuskan seseorang dianggap tidak bersalah sebelum ada keputusan
pengadilan yang menyatakan dia bersalah (praduga bersalah). Ambiguitas ini
adalah dilema dalam pekerjaan polisi. Perhitungan yang salah dari polisi terhadap
posisi seseorang yang melakukan kesalahan berhadapan dengan ekspektasi
masyarakat yang menganggap dirinya tidak merasa bersalah. Untuk itu polisi
selalu mengedepankan pada pendekatan formil yang dianggap sebagai sistem legal
yang sah dalam menjaga tindakan mereka. Disisi lain masyarakat mempunyai ”nilai”
lain dalam pranata hubungan mereka dan menganggap bahwa sistem legal tersebut tidak
konsisten dilaksanakan oleh banyak pihak. Ada kenyataan bahwa tindakan untuk inkonsistensi
dalam implementasi sistem legal dalam semua tindakan menjadikan kelemahan
kepercayaan.
Kepercayaan berbasis
pengetahuan muncul ketika orang saling mengenal satu sama lain dan atau sering
berinteraksi. Hubungan kepercayaan berbasis pengetahuan mungkin berubah ketika
kedua pihak saling mencurigai pihak lainnya, Dalam konteks hubungan kepolisian dan
masyarakat, Ada muncul pemikiran dari polisi bahwa para pelanggar adalah pihak
yang mengambil keuntungan dari kondisi tertentu, sedangkan dari pihak
masyarakat mempunyai pengetahuan yang mempercayai bahwa ketika polisi melakukan
tindakan tertentu selalu berupaya mendapatkan keuntungan dari pelanggaran yang
mereka perbuat. Pengetahuan masyarakat terhadap masalah hukum juga mempengaruhi
hubungan mereka dengan polisinya. Hubungan itu bisa afektif bisa juga kognitif.
Berbasis pengetahuan, opini, seteorotip dan ditularkan dari cerita mulut ke
mulut oleh orang-orang yang pernah berurusan dengan polisi.
Ada orangtua dari
salah satu polisi yang wafat ketika sedang melaksanakan rapat
dikantornya. Sebelumnya, korban bertemu dengan seseorang dan mendapatkan
tindakan ancaman dengan kekerasan ringan yang tidak mengakibatkan luka apapun. Namun
naasnya setelah kejadian tersebut korban mengikuti rapat dikantor dan tiba-tiba
meninggal karena sebab yang belum jelas. Masalah ini sudah ditangani oleh
kepolisian, namun karena ketidak pahaman keluarga korban terhadap masalah hukum
dan tindakan polisi, mereka curiga bahwa polisi tidak melaksanakan penegakkan
hukum dengan benar. Hal-hal berkaitan dengan ketidak tahuan mengenai masalah
hukum seperti inilah yang memberikan kontribusi kepada ketidak percayaan
masyarakat kepada polisi. Masyarakat (padahal itu terjadi pada keluarga polisi) mempunyai asumsi sendiri mengenai hukum
yang ternyata tidak sesuai dengan apa yang dilaksanakan oleh kepolisian.
Salah satu cara mempercepat meraih
kepercayaan masyarakat yang telah terbukti ampuh dilakukan oleh New York Police
Department (NYPD) adalah sebagaimana yang telah dilakukan oleh Bill Bratton dalam
melaksanakan sebuah strategi internal dan eksternal dan berdampak pada
kembalinya kepercayaan masyarakat kepada NYPD. Apa yang terjadi pada NYPD
adalah kurang lebihnya sama dengan apa yang dirasakan oleh Polri dewasa ini. Namun
demikian, dalam tempo 2 tahun, Bratton dapat mengembalikan kepercayaan
masyarakat melalui beberapa langkah strategis yang dia lakukan.
Sebagaimana saya ringkas dari buku ”Blue
Ocean Strategy” karya W Chan Kim dan Renee Mouborgnee; Pada era tahun 90an, Kota New York berada dalam
kondisi yang mengarah pada ”anarki”. Tingkat pembunuhan berada pada titik
puncaknya. Berita-berita tentang Penodongan, perampokan, pembunuhan oleh mafia
dan penjahat jalanan menghiasi headline berita-berita tiap hari. Warga New York
saat itu sedang dalam kondisi yang tidak nyaman dan merasa tidak aman ketika
berada diluar rumah.
Bratton diangkat menjadi Kepala Polisi
NYPD pada tahun 1994 dan menghadapi masalah yang cukup krusial berkaitan dengan
kondisi keamanan yang cukup rumit, kondisi moril semangat 38.000 anggota yang
tidak baik dan kondisi Anggaran Kepolisian tidak cukup untuk mendukung kegiatan
mereka. Banyak ilmuawan yang saat itu menyatakan bahwa dengan tingkat kejahatan
yang sangat tinggi dan ketidak tertiban yang ada di New York, telah menandakan bahwa
polisi NYPD tidak bisa mempenetrasi kota sama sekali. Bahkan digambarkan dalam
buku tersebut dimana halaman depan harian New York Post sampai menuliskan judul
besar ”DAVE DO SOMETHING” (Dave lakukan sesuatu; seruan ini ditujukan kepada
David Dinkins, walikota New York pada tahun 90an untuk melakukan sesuatu dalam
mengatasi masalah keamanan di kota New York hingga akhirnya dia diganti oleh Rudolph
W Giuilani; NYPD adalah organisasi Kepolisian dibawah kendali pemerintah kota
New York).
Bratton adalah Mantan Kepala Polisi di
beberapa Kota Besar lain sebelumnya, seperti di Boston (BPD) dan Los Angeles
(LAPD). Sebagai Kepala Polisi di NYPD, Bratton mendapati beberapa masalah dalam
internal organisasi saat itu, seperti gaji polisi yang minim, anggara keuangan
yang terpaksa dipangkas karena kondisi krisis moneter, jam kerja anggota yang
terlalu panjang (melebihi 8 jam perhari), kecilnya harapan akan promosi, kondisi
kerja yang berbahaya, peralatan yang sudah usang dan rusak, jaminan keselamatan
dan keamanan yang tidak mendukung, sehingga membuat moral anggota dalam titik
nadir dan mengakibatkan mewabahnya korupsi kepolisian dimana-mana.
Dalam kondisi ini, NYPD saat itu bisa
dianalogikan sebagai organisasi bisnis berisi 36.000 anggota yang tidak
dipercaya oleh masyarakatnya untuk mengatasi permasalahan di New York. NYPD
saat itu juga berhadapan dengan pemasalahan keuangan yang sangat minim, dianggap
sudah lekat dengan status quo, tidak punya motivasi, karyawan dibayar rendah, basis
konsumen yang tidak puas (masyarakat warga New York), dan kinerja yang menurun
drastis sebagaimana ditunjukkan dalam grafik kejahatan yang meningkat, meningkatnya
kekacauan, meningkatnya rasa kecemasan masyarakat, perang antar geng yang
terjadi dimana-mana dan kekacauan kota lainnya. Sebagai pemimpin baru di NYPD,
Bratton dituntut untuk memiliki strategi khusus dalam rangka merubah situasi
ini.
Namun hebatnya, dalam kurun waktu 2 tahun tanpa peningkatan anggaran, Bratton dapat merubah hal tersebut dan menjadikan New York sebagai kota besar di Amerika yang paling aman sebagaimana saya rasakan saat ini. Dia mendobrak status quo di organisasi NYPD yang merevolusi Kepolisian di Amerika dan menjadi trend pemolisian saat ini. Beberapa :kemenangan” diraih oleh NYPD dalam 2 tahun kepemimpinan Bratton, seperti kejahatan yang menurun hingga 39 persen, pembunuhan menurun 50 persen, pencurian turun 35 persen. Hingga saat ini trend kejahatan di New York terus menurun dan tidak sehebat seperti pada jaman tahun 90an yang lalu.
Konsumen mereka (warga New York),
merasa diuntungkan dengan kondisi ini, sebagaimana dikutip dari Jajak pendapat
Gallup yang menggambarkan bahwa kepercayaan publik kepada NYPD meningkat dari
37 persen menjadi 73 persen. Disisi lain, ternyata banyak anggota NYPD yang
mendapatkan keuntungan dengan kondisi ini dimana berdasarkan survey internal,
didapatkan fakta bahwa kepuasan kerja mereka di NYPD berada pada tingkat
tertinggi. Motivasi anggota NYPD sangat tinggi dan mereka melaksanakan tugas
dengan penuh kebanggaan.
Yang menjadi pertanyaan adalah, apa
yang telah dilakukan oleh Bratton dalam kurun waktu 2 tahun kepemimpinannya
hingga merubah kondisi NYPD dan kota New York menjadi lebih baik saat itu dan
terus berlangsung hingga kini? Disinilah hebatnya Bratton dimana dia mampu mempetakan
beberapa permasalah internal dan eksternal di NYPD dan melakukan strategi perubahan
”status quo” yang melekat pada internal organisasi. Bratton melaksanakan
strategi ”Zero Tolerant Policy” yang intinya adalah melakukan penilaian terhadap
kondisi terkini yang dihadapi oleh organisasi dengan merangkum situasi terkini
dalam ruang pasar yang sudah dikenal. Selanjutnya Bratton mulai menfokuskan
pembenahan pada berapa titik dimulai dari implementasi POP (Problem Oriented
Policing) dengan berdasarkan pada ”Broken Windows Theory” dan peningkatan moril
anggota serta implementasi pada konsistensi pelaksanaan tugas dilapangan. Bratton
juga memperkenalkan pendekatan CompStat (COMPuter STATistics or COMParative STATistics), yang pada
intinya adalah sebuah pendekatan tekhnologi dalam mengatasi kejahatan (secara
detail akan saya bahas dalam tulisan lain). Selain itu, Bratton juga melakukan
reformasi pada sistem perekrutan, pelatihan dan pembinaan karier bagi para
anggota kepolisian NYPD untuk meningkatkan profesionalitas pekerjaan mereka dan
merubah dari mind set status quo kepada mind set perubahan yang sedang dihadapi.
Saat ini kepercayaan masyarakat New York terhadap polisinya sangat tinggi sebagaimana saya ceritakan pada awal tulisan ini. Tidak adalagi cibiran dan ejekan datang kepada mereka. Apapun yang tindakan mereka dipercaya sebagai bagian dari pelaksanaan tugas demi kepentingan mereka.
Berkaca dari kisah Bratton dengan NYPD-nya, maka ketika Kepolisian mampu menunjukkan hasil nyata dilapangan seperti turunnya angka kriminalitas dan meningkatnya tingkat ketertiban masyarakat serta eksistensi yang nyata dilapangan dengan fokus pelayanan yang proaktif, responsif, tuntas dan tulus, hingga upaya pemolisian yang berbasis kepada upaya pemecahan yang dilaksanakan dengan konsisten, maka kepercayaan masyarakat akan bisa diraih dengan sendirinya. Tentunya masih banyak hal lain yang harus dilakukan yang tidak bisa dituliskan dalam selembar dua lembar naskah tulisan saja.
Pembaca sekalian, moral yang ingin saya angkat dalam tulisan ini adalah; Bahwa ketika kita mampu menerapkan strategi yang tepat, maka peningkatan kepercayaan itu juga ternyata bukanlah hal yang tidak mungkin bagi kepolisian.
Salam Dari New York...
Saat ini kepercayaan masyarakat New York terhadap polisinya sangat tinggi sebagaimana saya ceritakan pada awal tulisan ini. Tidak adalagi cibiran dan ejekan datang kepada mereka. Apapun yang tindakan mereka dipercaya sebagai bagian dari pelaksanaan tugas demi kepentingan mereka.
Berkaca dari kisah Bratton dengan NYPD-nya, maka ketika Kepolisian mampu menunjukkan hasil nyata dilapangan seperti turunnya angka kriminalitas dan meningkatnya tingkat ketertiban masyarakat serta eksistensi yang nyata dilapangan dengan fokus pelayanan yang proaktif, responsif, tuntas dan tulus, hingga upaya pemolisian yang berbasis kepada upaya pemecahan yang dilaksanakan dengan konsisten, maka kepercayaan masyarakat akan bisa diraih dengan sendirinya. Tentunya masih banyak hal lain yang harus dilakukan yang tidak bisa dituliskan dalam selembar dua lembar naskah tulisan saja.
Pembaca sekalian, moral yang ingin saya angkat dalam tulisan ini adalah; Bahwa ketika kita mampu menerapkan strategi yang tepat, maka peningkatan kepercayaan itu juga ternyata bukanlah hal yang tidak mungkin bagi kepolisian.
Salam Dari New York...
Selama recruitment Police in indonesia masih berbasic pada money, integritas dan kepercayaan masyarakat thd Polri tdk akan pernah terwujud.yang terjadi sekarang adalah pada saat recruitment Polri masih menggunakan suap, intelektual dan SDM anggota Polri akan selalu rendah bila dibandingkan dengan Polisi yang lain di seluruh dunia.
ReplyDeletekadang sempat terpikir, kapan ya Polisi indonesia itu bersih?karena hal tersebut saya pikir tidak akan pernah terwujud, saya ingin berkarir di dunia internasional saja, karena sangat prihatin dengan kondisi Polri sekarang ini.
ReplyDeleteI like you sir, at you become Kapolres Pekalongan.anda memimpin penuh dengan dedikasi tinggi tetapi penuh filosofis (filosofi jari tangan). masih teringat terus sampai sekarang.saya bangga pernah dipimpin oleh orang seperti bapak.semoga selalu sukses.
ReplyDeleteMungkin di POLRI bisa meniru gerakan atau strategi perubahan biru di NYPD ini dengan gerakan cinta coklat. Karena di Indonesia ini korupsi sudah mendarah daging baik itu di aparatur pemerintah amaupun masyarakatnya,dengan semangat mencintai korps coklat inilah semaua gerakan dan strategi pelayanan kepada masyarakat dibuat trasparan mulai dari hal yg menjadi etalase atau pelayanan terdepan yaitu pos lalulintas dan mobil patroli polisi menjadi trasparan, dan ini menjadi catatan bahwa menjadi polisi adalah sebuah pekerjaan relawan yg harus mempunyai dedikasi yang baik. Mudah-mudahan dengan nama yg gampang diingat olehseluruh insan Bhayangkara gerakan ini menjadai sebuah ombak yang semakin lama semakin membesar dan mereka akan bangga dengan pekerjaanya sebagai Bhayangkara Negara
ReplyDelete