Etika kepemimpinan adalah
seperangkat aturan dan norma-norma kepolisian di tingkat wilayah yang menjadi
pedoman rule of conduct bagi seluruh aktivitas anggota, lebih khusus
lagi bagi jajaran pimpinan Polri di tingkat kewilayahan. Etika kepemimpinan terinternalisasi
dan dipraktekan dalam setiap aktivitas oleh seluruh anggota menjadikan
pencapaian tugas pokok dan fungsi kepolisian menjadi lebih efektif.
Inilah syarat pertama yang
berisi syarat-syarat berdasarkan penilaian moral yang diatur di dalam
Undang-undang, sebelum warga negara menjadi anggota Kepolisian RI. Syarat
lain, seperti pembatasan usia, sehat jasmani, dan lulus pendidikan dan
pelatihan pembentukan anggota kepolisian, lebih bersifat administratif.
Profesor Satjipto Rahardjo, Guru
Besar Emiritus Universitas Diponegoro, mengatakan, “Polisi biasaya menghadapai
berbagai pilihan untuk mencapai tujuan dalam menyelesaikan pekerjaannya. Maka
penilaian terhadap seorang polisi didasarkan pada bagaimana ia mampu membuat
pilihan tindakan yang benar dengan tujuan yang benar. Secara singkat
polisi yang baik mampu menjadikan moralitas sebagai bagian integral dari
pekerjaannya. Dalam pekerjaannya polisi diperbolehkan menggunakan
kekerasan yang ditujukan untuk mencapai satu dari sekian tujuan moral yaitu
kelangsungan hidup manusia (the preservation of human life). Dihadapkan
kepada tuntutan yang demikian banyak pekerjaan polisi yang secara moral menjadi
problematik.”
Probelamatika, pekerjaan
kepolisian ini terkait erat dengan pentingnya pembinaan sumber daya
manusia. Selain oleh faktor organisasi yang sudah memiliki perangkat
aturan dan aturan etika, faktor yang tak kalah penting dan menunjang kinerja
organisasi adalah sumber daya manusia (SDM). SDM adalah kunci dalam struktur
dan kultur organisasi, khususnya dalam organisasi yang berorientasi pada
pelayanan publik seperti kepolisian.
Kepemimpianan
dan Budaya Organisasi
Dalam berbagai teori tentang
kepemimpinan dan organisasi, ada dua model budaya organisasi yang ideal adalah
yang memiliki sifat:
a.
pertama
strong (kuat). Artinya budaya organisasi yang dikembangkan organisasi
harus mampu mengikat dan mempengaruhi perilaku (behavior) para individu
pelaku organisasi (pemilik, manajemen, dan anggota organisasi) untuk
menyelaraskan (goal congruence) antara tujuan individu dan tujuan
kelompok mereka dengan tujuan organisasi. Selain itu, budaya organisasi
yang dibangun tersebut harus mampu mendorong para pelaku organisasi itu sendiri
untuk mencapai tujuan (goals), sasaran (objectives), persepsi,
perasaan, nilai dan kepercayaan. Interaksi sosial dan norma-norma bersama
yang mempunyai arah yang jelas sehingga mampu bekerja mengekspresikan potensi
dalam arah dan tujuan yang sama, serta dalam semangat yang sama pula.
b.
Sifat
kedua, dinamis dan adaptif (dynamic and adaptive) artinya budaya
organisasi yang dibangun harus fleksibel dan responsive terhadap perkembangan
lingkungan internal dan eksternal organisasi (mega environments),
seperti tuntutan stake holder eksternal dan perubahan lingkungan,
seperti perkembangan hukum, ekonomi, politik, sosial, teknologi informasi
dll.
Sebagai organisasi yang bersifat kuat (strong), Polri
sudah memiliki perangkat aturan yang terdapat di dalam Bab V tentang Pembinaan
Profesi pada UU Nomor 2 tahun 2002. Pada pasal 31 disebutkan, Pejabat
Kepolisian Negara Republik Indonesia
dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya harus memiliki kemampuan
profesi. Sedangkan pada pasal 32 ayat (1) disebutkan: Pembinaan kemampuan
profesi pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia diselenggarakan melalui
pembinaan etika profesi dan pengembangan pengetahuan serta pengalamannya di
bidang teknis kepolisian melalui pendidikan, pelatihan dan penugasan secara
berjenjang dan berlanjut.
Kode
Etik Kepolisian Sebagai Landasan Perilaku Organisasi Polri
Di dalam pasal 34 ayat (1)
disebutkan: sikap dan perilaku pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia
terikat pada Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Sedangkan
dalam ayat (2) dinyatakan: Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia
dapat menjadi pedoman bagi pengemban fungsi kepolisian lainnya dalam
melaksanakan tugas sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Mengapa etika profesi dan kode
etik profesi kepolisian diperlukan? Sebagai organisasi profesi, kepolisian
RI mengharuskan seluruh anggotanya di setiap tingkat dan jajaran, berlaku dan
bertindak secara professional. Seperti halnya profesi dokter, wartawan,
dan profesi-profesi dengan keahlian khusus lainnya, kepada para anggotanya
diberlakukan kode etik profesi. Dokter yang melakukan mal praktek sangat
membahayakan jiwa pasiennya. Demikian pula, tindakan unprofessional
oleh polisi yang memiliki kewenangan penggunaan kekerasan bagi perlindungan
masyarakat, akan sangat membahayakan jika tidak dilandasi oleh kekuatan moral
dan keterikatan pada etika profesi.
Pembinaan sumber daya manusia,
erat kaitannya dengan pembentukan perilaku anggota agar sesuai dengan tugas
pokok dan fungsi kepolisian. Tugas Pokok Kepolisian Negara Republik
Indonesia, secara jelas tercantum di dalam pasal 13 UU Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian RI. Yang antara lain disebutkan: Memelihara keamanan
dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan,
pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.
Lantas, apakah tugas pokok ini
hanya menjadi kewenangan di level pimpinan? Tentu saja tidak, tugas pokok
dan fungsi ini melekat pada seluruh personil Polri. Tugas pimpinan di
level kewilayahan seperti Kapolda, Kapolres/ta/tabes, Kapolsek dan
sebagainya sudah tentu menjadi penanggungjawab utama. Sedangkan
kewenangan masing-masing didelegasikan atau distribusikan kepada kepala
satuan-satuan, kepala unit-unit kerja, sesuai dengan fungsi dan tugasnya masing-masing.
Salah satu definisi kepemimpinan
adalah daya untuk untuk mendorong dan mengarahkan orang-orang untuk bergerak
sesuai dengan tujuan kepolisian. Kepemimpinan dalam satu organisasi
menentukan struktur, sistem, dan budaya kerja terpelihara dan dikembangkan
sehingga terjadi “gerak” bersama untuk menjadi misi kepolisian.
Pendistribusian dan pendelegasian wewenang memang memiliki
resiko. Karena tidak semua pimpinan satuan dibawahnya memiliki kemampuan
yang merata untuk memahami misi dan menjalankan tugas pokok dan fungsi yang
diemban. Karena itulah fungsi pembinaan personil secara berjenjang
menjadi tugas dan tanggungjawab langsung pimpinan.
Cara yang paling efektif menggerakan seluruh potensi di
semua bidang satuan, adalah dengan menerapkan reward and punishment.
Reward atau hadiah diberikan kepada seluruh anggota yang berprestasi.
Prestasi yang diberikan kepada anggota juga diberikan kepada kepala satuannya,
sebagai hadiah atas bekerjanya fungsi pembinaan dari kepala satuan atau kepala
unit. Reward ini menjadi bagian dari penilaian atau raport anggota atau
personal assessment (PA). PA inilah yang menjadi bahan rujukan utama pada
promosi kenaikan pangkat, penugasan khusus, keikutsertaan pada jenjang
pendidikan.
Sedangkan punishment, dilakukan sebagai hukuman
kepada mereka atau anggota yang melakukan pelanggaran kode etik profesi,
pelanggaran kedisplinan dan pelanggaran lain. Penerapan hukuman, itu
sendiri disesuaikan dengan peraturan Kapolri. Sehingga pemberian hukuman
tidak didasarkan oleh perasaan suka atau tidak suka atasan atau pelaporan rekan
kerja (partner). Dengan model seperti ini sistem meritokrasi akan
berjalan dan organisasi kepolisian di tingkat kewilayahan diharapkan akan
berjalan dengan baik.
Selain problem internal personil
dan organisasi, yang penilaiannya dilakukan oleh pejabat kepolisian yang lebih
tinggi, sebagai organisasi profesi yang berbasis pelayanan masyarakat
kepolisian masih menghadapi penilaian dari luar institusi kepolisian. Keberhasilan
atas tugas dan pokok dan fungsi kepolisian, di tingkat kewilayahan, ternyata
terkait dengan harapan dan tuntutan masyarakat (public expectation).
Ini lantaran tumbuhnya kesadaran bahwa masyarakat sebagai pembayar pajak,
sehingga masyarakat sebagai stake holder dari kepolisian memiliki hak memberi
penilaian.
Etika
Polri Sebagai Upaya Mengurangi Komplain Pelayanan
Menghadapi persoalan yang
terkait dengan tuntutan dan harapan masyarakat, Prof. Satjipto Rahardjo
memberikan salah satu resep. Menurutnya, “Polisi yang berwatak sipil
harus banyak berkomunikasi, berdialog dengan lingkungannya. Masyarakat
harus menjadi ilham dalam perpolisian. Salah satu cara mendekatkan polisi
kepada masyarakat yang menjadi lingkungannya adalah dengan membuatnya
bertanggungjawab (accountable) terhadap masyarakatnya di mana pun ia
bertugas.”
Lantas, bagaimana bentuk
pertanggungjawaban dari masyarakat bisa diukur. Pimpinan kewilayahan,
bisa menggunakan metode zero complaint atau nol keluhan, atas
pelaksanaan tugas dan kewenangan yang sudah diturunkan kepada satuan dan unit
kerja. Jika keluhan itu muncul, pimpinan pun masih harus meneliti
kembali, apakah keluhan tersebut objektif dan proporsional atau tidak.
Khususnya di dalam tugas
penegakkan hukum, selalu ada dua pihak yang saling berhadapan. Kedua
pihak dengan berbagai pengaruh dan kekuasaannya, senantiasa menginginkan
menjadi pemenang. Padahal, pihak pemenang sudah seharusnya diberikan
kepada mereka yang benar sesuai aturan hukum.
JIka situasi seperti ini
terjadi, maka selain meritokrasi dalam pembinaan personil berlangsung dengan
baik, fairness atau asas netralitas sebagai penegak hukum juga bisa
ditegakkan, sehingga keadilan di masyarakat bisa tercapai. Jika semua itu
bisa tercapai, maka citra kepolisian menjadi baik. Citra kepolisian yang
baik sangat dibutuhkan bagi polisi sebagai institusi public agar setiap
tindakannya mendapatkan legitimasi yang tinggi dari masyarakatnya.
Rekomendasi:
a.
Sosialisasi
atas kaidah norma, serta etika profesi dan etika kepimpinan harus terus
dilakukan, seperti awak kabin yang tak bosan-bosannya member petunjuk
keselamatan bagi penumpang pesawat terbang.
b.
Sosialisasi
yang berhasil jika ada internalisasi atas etika profesi dari setiap anggota
dalam segala tindakan di dalam tugas dan kewenangannya.
c.
Pelaksanaan
reward dan punishment sesuai aturan yang berlaku, agar pola gerak
dan anggota selalu berorientasi pada pencapain tugas pokok dan fungsi
kepolisian dengan baik.
d.
Reward and punishment dibakukan menjadi bagian dari personal assessment (PA) atau
raport setiap anggota sehingga setiap anggota memiliki target dan pencapaian
yang terukur.
e.
Sebagai
institusi public pencitraan positif kepolisian erat kaitannya (dapat diukur)
dengan sedikit banyaknya complain masyarakat. Karenanya pimpinan kewilayahan sudah seharusnya memiliki sarana komunikasi
yang baik dengan masyarakatnya, sehingga setiap denyut keluhan negative atau
pun penilaian positif dari masyarakat yang dilayani dapat terdeteksi dengan
baik.
f.
Keluhan
atas tindakan yang dianggap negative, bisa langsung direspon agar energy
negative tidak menumpuk atau akumulatif di masyarakat.
g.
Citra
positif kepolisian yang terbangun dengan sendirinya menjadi penilaian positif
atas pelaksanaan etika kepemimpinan oleh pimpinan Polri di tingkat kewilayahan.
h.
Citra
positif kepolisian menjadi dasar dari legitimasi atas seluruh tindakan
kepolisian. Misalnya, masyarakat tidak akan melakukan keluhan atas tindak
kekerasan oleh anggota polisi karena anggota polisi sudah bertindak benar
dengan tujuan yang benar.
No comments:
Post a Comment