Berdasarkan Surat Keputusan Kapolri No.Pol.: Kep/ 17/ VI/
2002 tanggal 24 Juni 2002, Kapolri Jenderal Polisi Drs. Da’I Bachtiar, SH telah
mengesahkan pemaknaan baru TRIBRATA sebagai nilai dasar dan pedoman moral
Polri. Rumusan baru tersebut kemudian secara resmi diberlakukan di seluruh
jajaran Polri dan pada peringatan Hari Bhayangkara tanggal 1 Juli 2002 di Jakarta,
untuk pertama kalinya Pemaknaan Baru TRIBRATA diucapkan dihadapan khalayak
ramai oleh Kombes Pol Drs. Timur Pradopo[1].
Adapun pemaknaan baru TRIBRATA tersebut,
secara lengkap berbunyi sebagai berikut:
TRIBRATA
KAMI POLISI INDONESIA :
1. Berbakti kepada nusa dan
bangsa dengan penuh ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
2. Menjunjung tinggi
kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan dalam menegakkan hukum Negara kesatuan
Republik Indonesia
yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945
3. Senantiasa melindungi,
mengayomi dan melayani masyarakat dengan keikhlasan untuk mewujudkan keamanan
dan ketertiban
Secara kasat mata, pemaknaan baru Tribrata
telah merubah secara signifikan kata, kalimat maupun isi dari Tri Brata yang
telah digunakan oleh Polri sebagai pedoman hidup sejak tanggal 1 Juli 1955[2].
Adapun Tri Brata yang telah ada sebagaimana secara resmi diikrarkan oleh Kepala
Kepolisian Nasional pertama (KKN I), Jenderal RS Soekanto berbunyi sebagai
berikut:
TRI
BRATA
POLISI IALAH:
1. RASTRA SEWAKOTAMA
Abdi utama daripada Nusa
dan Bangsa
2. NAGARA JANOTTAMA
Warga Negara teladan
daripada Negara
3. YANA ANUCASANA DHARMA
Wajib menjaga ketertiban
pribadi daripada rakyat
Adanya pemaknaan baru TRIBRATA yang
berimplikasi pada perubahan fundamental tersebut, tentunya telah
dipertimbangkan secara matang oleh pimpinan Polri kala itu. Meskipun perubahan
Tri Brata kala itu telah diperhalus bahasanya dengan konsep ”Pemaknaan
Baru TRIBRATA”, namun sebagai sebuah pedoman hidup, Perubahan nyata Tri Brata dalam
kalimat dan isi tentunya berimplikasi kepada berbagai perubahan lanjutan
sebagaimana yang diharapkan oleh Tim Pokja. Diakui bersama, bahwa dalam
kehidupan dimuka bumi ini hanya ada satu yang pasti, yaitu perubahan.
Oleh karena itu, pemaknaan baru TRIBRATA diyakini betul oleh Tim Pokja sebagai
suatu bentuk upaya perubahan Polri khususnya dalam bidang instrumental yang dapat
menjadi stimulus terciptanya kultur Polisi yang diharapkan[3].
Seperti kita ketahui bersama, seiring dengan
bergulirnya waktu dimana rezim orde baru telah berganti dengan rezim reformasi,
maka euphoria perubahan begitu menggebu layaknya gelombang besar yang menyapu
kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia . Salah satu perubahan
sosial yang terjadi adalah mulai bergemingnya kehidupan politik masyarakat
sipil ditandai dengan upaya untuk menegakkan supremasi hukum sebagai panglima
kehidupan sosial.
Langkah terbesar dan tercepat dalam rangka
menegakkan supremasi hukum tersebut ditandai dengan dipisahkannya badan
Kepolisian (Polri) dari tubuh militer (ABRI kala itu). Seiring dengan pemisahan
itu, Polri mulai membenahi dirinya sendiri dalam rangka menangkap harapan
masyarakat. Tiga pilar perubahan yang dicanangkan oleh Jenderal Polisi Drs.
Roesmanhadi, Kapolri kala itu, yaitu perubahan struktural, instrumental dan
perubahan kultural. Perubahan
structural adalah perubahan yang paling cepat dan relatif mudah untuk
dilaksanakan, namun demikian perubahan kultural adalah perubahan yang dirasakan
amat lambat oleh semua pihak termasuk oleh Polri itu sendiri. Dalam rangka
mengakselerasi perubahan kultural itulah, maka Jenderal Polisi Da’I Bachtiar
Kapolri beberapa periode selanjutnya mencanangkan untuk mensinergikan perubahan
kultural melalui pembenahan aspek instrumental yang salah satunya dengan
merubah (pemaknaan baru) Tri Brata.
Bertitik tolak dari pengertian falsafah
sebagai ilmu yang bermakna mencari kebenaran dibalik semua fakta yang kita
hadapi, maka falsafah Kepolisian pada hakekatnya juga bermakna mencari
kebenaran atas eksistensi Polisi. Dalam rangka mencari makna atas eksistensi
Polisi itulah, maka Tim Pokja “Pemaknaan baru Tribrata” mencoba untuk menarik
benang merah tantangan waktu, situasi dan kondisi yang dikaitkan dengan
tantangan tugas Polri di era millennium sebagai dasar pemikiran perubahan Tribrata
agar sesuai dengan tuntutan tugas Polri dimasa yang akan datang[4].
Lebih lanjut Tim Pokja juga mencantumkan
kendala rumusan bahasa yang penuh filsafat pada Tri Brata lama sebagai
permasalahan yang mendasari perubahan. Kendala bahasa ini oleh mereka dianggap
sebagai sebuah kesulitan bagi para anggota Polri di tingkat bawah untuk
mencerna nilai-nilai yang sifatnya filsafat, sehinga mereka merumuskan Tribrata
baru dalam bahasa Indonesia yang menurut mereka rumusannya lebih mudah
dimengerti
Permasalahan yang diangkat dalam naskah ini
adalah dalam rangka perubahan aspek instrumental tersebut, mengapa harus
merubah Tri Brata? Permasalahan tersebut menjadi menarik untuk menjadi bahan
diskusi dalam tulisan ini dikarenakan berbagai sintesa bahwa perubahan aspek instrumental
bukan berarti merubah pedoman hidup yang sudah ada.
Kalau boleh dianalogikan, sebuah perubahan
tentunya ditujukan untuk menjadikan sesuatu menjadi lebih baik. Dengan demikian
bisa dikatakan perubahan Tri Brata menjadi TRIBRATA bermakna bahwa Tri Brata
yang lama dirubah menjadi lebih baik. Pertanyaan yang kemudian timbul,
apakah Tri Brata yang telah ada sebelumnya tidak cukup layak untuk dijadikan
pedoman sehingga harus dirubah dengan pemaknaan baru Tri Brata?
Tri Brata dan Tribrata
Inkonsistensi perubahan Tri Brata menjadi Tribrata sudah
mulai terlihat dalam mengkritisi alasan perubahan. Salah satu alasan utama
perubahan yang diusung oleh Kapolri kala itu adalah unsur bahasa (liguistik).
Bahasa Sansekerta yang digunakan dalam rumusan pedoman moral Polri tersebut
dianggap sebagai bahasa yang sulit dipahami dan perlu dirubah dalam bahasa Indonesia .
Faktanya perubahan bahasa dalam rumusan
naskah Tri Brata ternyata tidak merubah judul pedoman Polri itu sendiri (Tri
Brata tetap Tribrata, hanya bedanya yang lama tidak disambung yang baru
disambung). Meskipun Tim telah menjustifikasi bahwa kata “Tribrata” sudah termaktub dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia kata “Tribrata” telah diadopsi kedalam bahasa Indonesia menjadi satu
kata yang artinya tiga asas kewajiban Polri yang dilambangkan dengan
bintang[5].
Apabila dicermati, bahwa klaim yang
mengatakan bahwa rumusan telah seluruhnya menggunakan bahasa Indonesia adalah
benar adanya. Namun demikian apabila kita hanya mendasarkan sebuah perubahan
hanya karena faktor bahasa sebagai alasan utama, pertanyaan yang kemudian
timbul mengapa Tim tidak menghilangkan saja kalimat-kalimat sansekerta dalam
rumusan “Tri Brata” lama sehingga yang tertinggal hanya kalimat-kalimat dalam
bahasa Indonesia ?
Mengapa Tim harus merumuskan naskah dalam bentuk baru yang secara total merubah
isi Tri Brata lama?
Secara eksplisit ternyata Tim Pokja telah
memasukkan sebuah argumentasi strategis lain bahwa perubahan isi naskah secara
total tersebut adalah adanya unsur tambahan pada dimensi hubungan
Polri yang selama ini hanya tiga unsur dan kini bertambah menjadi empat.
Adapun ketiga unsur yang telah ada selama ini adalah dimensi hubungan dengan
nusa dan bangsa, dimensi hubungan dengan Negara, dan dimensi hubungan dengan
masyarakat. Sedangkan dimensi tambahan yang dimasukan adalah dimensi hubungan
dengan Tuhan[6].
Bila kita jeli, keempat dimensi hubungan
tersebut sebenarnya sudah tercantum dalam Tri Brata lama, namun tidak secara
eksplisit tertulis sebagaimana Tribrata baru. Meskipun tidak secara eksplisit
tertulis, Tri Brata lama sebagai pedoman moral telah dijabarkan ke dalam Kode
Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia
sebagai mana dibawah ini[7]:
KODE ETIK
KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
I.
SETIAP
ANGGOTA POLRI INSAN RASTRA SEWA-KOTTAMA:
1. Mengabdi kepada Nusa dan
bangsa dengan penuh ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2. Berbakti demi keagungan
nusa dan bangsa yang bersendikan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945,
sebagai kehormatan yang tertinggi
3. membela tanah air,
mengamankan dan mengamalkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dengan tekad
pantang menyerah.
4. Menegakkan hukum dan
menghormati kaidah-kaidah yang hidup dalam masyarakat secara adil dan
bijaksana.
5. melindungi, mengayomi, serta membimbing masyarakat sebagai wujud
panggilan tugas pengabdian yang luhur.
II. SETIAP ANGGOTA POLRI INSAN NEGARA JANOTTAMA
1. Berdharma untuk menjamin
ketentraman umum bersama-sama warga masyarakat membina ketertiban dan keamanan
demi terwujudnya kegairahan kerja dan kesejahteraan lahir dan batin.
2. Menampilkan dirinya sebagai
warga Negara berwibawa dan dicintai oleh sesame warga Negara.
3. Menampilkan disiplin,
percaya diri, tanggung jawab, penuh keikhlasan dalam tugas, kesungguhan, serta
selalu menyadari bahwa dirinya adalah warga masyarakat ditengah-tengah masyarakat.
4. Selalu peka dan tanggap
dalam tugas, mengembangkan kemampuan dirinya, menilai tinggi mutu kerja penuh
keaktifan dan efisien serta menmpatkan kepentingan tugas secara wajar diatas
kepentingan pribadinya.
5. Memupuk rasa persatuan,
kesatuan dan kebersamaan serta kesetiakawanan dalam lingkungan tugasnya maupun
dalam lingkungan masyarakat.
6. Menjauhkan diri dari sikap
dan perbuatan tercela serta mempelopori setiap tindakan mengatasi
kesulitan-kesulitan masyarakat sekelilingnya.
III. SETIAP ANGGOTA POLRI INSAN ANUCA CANADHARMA
1. Selalu waspada, siap sedia
dan sanggup menghadapi setiap kemungkinan dalam tugasnya.
2. Mampu mengendalikan diri
dari perbuatan-perbuatan penyalah gunaan wewenang.
3. Tidak mengenal berhenti
dalam memberantas kejahatan dan mendahulukan cara-cara pencegahan daripada
penindakan secara hukum.
4. Memelihara dan meningkatkan
peran serta masayarakat dalam upaya memelihara ketertiban dan keamanan
masyarakat.
5. Bersama-sama segenap
komponen kekuatan pertahanan keamanan lainnya dan peran serta masyarakat, memelihara
dan meningkatkan kemanunggalan ABRI rakyat.
6. Meletakkan setiap langkah
tugas sebagai bagian dari pencapaian tujuan pembangunan Nasional sesuai amanat
penderitaan rakyat.
Menyimak Kode Etik Kepolisian Negara
Republik Indonesia dan menyandingkan dengan Tri Brata lama serta Tribrata baru,
maka terlihat bahwa Kode Etik tersebut sebenarnya merupakan penjabaran dari
Pedoman Moral Tri Brata yang lama. Sedangkan Tribrata yang baru isi dan
kandungannya ternyata hampir menyerupai jabaran Kode Etik Kepolisian Republik Indonesia .
Dari sini, maka terlihat bahwa secara etimologi, susunan kalimat dan bahasa
dari Tribrata baru jauh lebih sederhana dan pragmatis sebagaimana isi dan bunyi
Kode etik.
Disisi lain, apabila alasan penambahan
dimensi hubungan dikemukakan sebagai argumentasi perubahan isi Tri Brata, maka
ternyata jelas terlihat bahwa Tri Brata lama sudah mengakomodir keempat
hubungan tersebut sebagaimana dijabarkan oleh Kode Etik Kepolisian Negara
Republik Indonesia .
Kedua analisa awal, yaitu alasan bahasa yang sulit dimengerti serta
alasan penambahan dimensi hubungan baru inilah yang bagi kami sebagai
argumentatiif sulit diterima sebagai alasan perubahan isi secara total dari Tri
Brata.
Mengapa ini sulit diterima, karena bahkan
salah satu brata yang adapun diabadikan dalam lambang-lambang kepolisian yang
ada di Polri seperti yang tiap hari kita kenakan yaitu Topi Polisi. Pada topi
polisi dengan lambang Tri brata tertulis dengan jelas kalimat “Rastra Sewa
Kottama” yang berarti abdi utama daripada nusa dan bangsa. Ini berarti apabila
Brata pertama tersebut telah berganti, maka kalimat dalam lambang Polri
tersebut juga berubah dengan kalimat sebagaimana brata pertama yang baru yaitu
“Kami Polisi Indonesia
berbakti kepada Nusa dan Bangsa dengan penuh ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa”.
Perubahan kalimat dalam lambang Polri
tersebut tentunya adalah sesuatu yang sulit dilaksanakan mengingat panjangnya
kalimat itu sendiri. Apabila demikian tentunya akan terjadi perbedaan yang
signifikan antara lambang Polri dengan Tribrata. Lalu dimana letak kalimat
“Rasta Sewa Kottama” dalam konteks filosofi Polri apabila dalam Tri Brata pun
sudah tidak terakomodir?
Argumentasi berikutnya yang sangat mendasar
dalam rangka pemaknaan baru Tribrata adalah bahwa pemaknaan baru Tribrata telah
menggambarkan secara konkrit “nilai dasar” dari filosofi tugas
pengabdian setiap anggota Polri dalam menjawab tuntutan dan harapan masyarakat
madani. Diyakini bahwa pemakanaan baru Tribrata mengandung nilai-nilai dasar
seperti Nilai paham kebangsaan dan Nilai Ketuhanan, nilai paham Negara hukum,
dan nilai social welfare state, yang merupakan jatidiri Polri dan
pedoman moral setiap anggota Polri dalam mengemban tugas dan wewenangnya serta
memelihara kemampuan profesinya.
Argumentasi ini sebenarnya tidak cukup
beralasan apabila kita menyimak seperti apa yang disampaikan oleh Drs R.
Soeparno Soeria Atmadja[8]
yang mengatakan:
Diatas kita sering
menyinggung tentang Tri Brata sebagai pedoman hidup Kepolisian, tanpa memberi
uraian tentang apa sebabnya. Padahal untuk pengamalan Tri Brata dalan
pelaksanaan tugas polisi sehari-hari, kita harus mengetahui mengapa Tri Brata
merupakan pedoman hidup itu.
Untuk mengetahui itu, pada
pertamanya kita harus mengadakan pembedaan antara kaidah (norma) disatu fihak
dan azas (beginsel) dilain fihak.
Kaidah itu berisikan
larangan atau keharusan konkrit yang mempunyai daya paksa untuk ditaati, sebab
jika tidak diindahkan akan timbul reaksi dari masyarakat , yang biasanya
diletakan dalam suatu hukuman…..dst..
Lain daripada itu, sesuai
dengan aliran positivisme, kaidah-kaidah itu biasanya diletakkan dalam
perumusan kata-kata yang cermat, sehingga kemungkinan salah tafsir dibatasi
sampai sekecil-kecilnya…..dst
Sebaliknya azas,, abdi
utama dari pada nusa dan bangsa dari Brata pertama misalnya, tidak dapat
diterapkan secara langsung kepada suatu perbuatan ditengah-tengah masyarakat
seperti halnya dengan kaidah, ialah dengan adanya konsekwensi reaksi dari pada
masyarakat dalam bentuk hukuman. Kalau azas-azas tersebut dianggap sebagai
kaidah, maka jumlah perbuatan yang akan dikenakan olehnya akan banyak sekali,
sehingga akan menjadi samar-samar…dst
Maka dari sebab itu, baik
Brata pertama kedua maupun ketiga tidak dapat dianggap sebagai kaidah,
melainkan harus dipandang sebagai azas. Azas itu fungsinya sebagai batu ujian
(toetssteen) untuk menilai suatu kaidah, apakah merupakan kaidah yang baik atau
tidak, dan azas merupakan landasan untuk diperinci lebih lanjut dalam
akidah-kaidah, ketentuan-ketentuan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan bagi
pelaksanaan suatu tugas. Tri Brata yang hanya berisikan azas-azas ialah tentang
kepribadian Kepolisian, karena itu merupakan pedoman.
Tri Brata dapat diakatakan
pula sebagai pedoman hidup Kepolisian, oleh karena azas-azas yang tersimpul
didalamnya mempunya hubungan luas dengan seluruh kehidupan Kepolisian
ditengah-tengah masyarakat…dst
Dari uraian diatas, terkadung makna bahwa
bahasa-bahasa yang telah dirumuskan dalam Tri Brata lama, sangatlah mudah
dipahami oleh siapapun pembacanya karena dirumuskan dengan kalimat yang sangat
sederhana dan lugas. Berbeda dengan Tribrata baru, ketiga Brata tersebut
dirumuskan dalam kalimat yang lebih detail dan konkrit sehingga menimbulkan
kesan panjang dan berbelit. Kesan panjang dan berbelit ini berdampak kepada
sulitnya anggota untuk menghafalkan apalagi untuk mengerti dan menghayati serta
mengamalkan.
Meskipun kita sependapat bahwa di dunia ini
tidak ada satupun yang abadi, kecuali perubahan, namun perubahan yang
diharapkan disini tentunya diarahkan kepada perubahan yang lebih baik. Tujuan
akhir dari perubahan Tribrata adalah untuk untuk merubah perilaku anggota Polri
yang sesuai dengan kondisi situasi yang ada dimasa kini dan masa depan. Namun
eksistensi perubahan itu sendiri kini menjadi absurd manakala banyak anggota
Polri tidak hafal Tribrata yang baru (apalagi paham dan mengerti serta
mengamalkan).
Apabila kita mengadakan survey secara acak
terhadap anggota Polri, maka mudah untuk terlihat bahwa Tribrata baru masih
belum familier betul dimata anggota. Kesulitan menghafal Tribrata baru ini
selain kurangnya sosialisasi kepada anggota Polri, juga lebih disebabkan kepada
rumitnya susunan tata kata yang tertuang dalam isi naskah Tribrata. Sebagai
falsafah, layaknya sebuah visi, maka kalimat visi haruslah kalimat yang mudah
diingat. Kalimat-kalimat yang ada dalam Tribrata ini begitu panjang bahkan
lebih panjang dari kalimat-kalimat yang ada dalam “Pancasila”. Panjangnya
kalimat ini menunjukkan bahwa Tim Perumus ingin mengakomodir semua masukan yang
ada. Namun kita acapkali melupakan bahwa panjangnya kalimat mengakibatkan kita
sulit untuk menghafalkan dan akibatnya kedudukan Tribrata itu sendiri menjadi
kurang bermakna.
[1] Pokja Tribrata., Pemaknaan
Baru TRIBRATA, Jakarta
26 Juni 2002
[2] R. Soparno Soria Atmadja,
Drs., Tri Brata,., Jajasan Subarkah Mintaraga, Sumbangsih tak Berkala No I/
1969
[3] Opcit hal 4
[4] Pokja Tribrata., Pemaknaan
Baru TRIBRATA, Jakarta
26 Juni 2002 h 2-3
[5] Opcit, hal 8,. Dan Kamus
Besar Bahasa Indonesia
[6] Opcit, hal 9
[7] Kunarto, Etika
Kepolisian,. PT Cipta Maninggal, Jakarta
1997 hal xl
[8] Drs R Soeparno Soeria
Atmadja adalah alumni PTIK angkatan II yang juga pengucap ikrar Tri Brata
pertama pada tahun 1954 di PTIK. Beliau juga menulis buku dengan judul Tribrata
(penulis)
No comments:
Post a Comment