Waktu saya kecil, saya pernah menonton film
“The Bridge on The River Kwai”. Film itu
merupakan adaptasi karya David Lean yang hebat dari buku karangan Pierre Boulle
tentang tawanan perang ditengah rimba Asia dalam perang dunia ke II dan penggambaran yang
cemerlang mengenai kekuatan KONSISTENSI…!!!
Mungkin kita masih ingat, bahwa Alec
Guinness memainkan peran sebagai seorang perwira Inggris, yang dibujuk oleh
tentara Jepang untuk membangun sebuah jembatan di atas Sungai Kwai. Dia
bertekad bahwa itu akan menjadi jembatan paling indah yang bisa dibangun olehnya
bersama anak buahnya. (Boulle menulis buku tersebut berdasarkan kisah nyata,
ketika tentara Jepang menyebrangi perbatasan masuk ke Negara Thailand yang
netral untuk membangun jalur perbekalan yang dibuat oleh tenaga kerja tawanan
perang).
Hal yang sangat mempesona bagi saya adalah
bahwa David Lean membuat filmnya pada tahun 1957, kira-kira 15 tahun sesudah
peristiwa tersebut terjadi. Dan hari ini setelah lebih dari 55 tahun film
tersebut diedarkan, lokasi jembatan yang sesungguhnya masih menjadi daya tarik
pariwisata utama di Thailand .
Saya sangat beruntung sekali, pada tahun 1989, saat saya berumur 19 tahun,
ketika saya cuti sebagai taruna mengunjungi orang tua saya di Bangkok Thailand
berkesempatan mengunjungi jembatan tersebut dan menyaksikan sendiri betapa
kokohnya jembatan tersebut. Bahkan lokasi dimana film tersebut dibuat, sejauh
sekitar seribu mil dari Srilanka, menjadi tempat favorit yang harus dikunjungi
oleh wisatawan mancanegara yang datang ke Srilanka.
Pertanyaannya;
mengapa saya sangat terpesona? Setelah beberapa tahun kemudian, saya membaca
buku tersebut dan menyaksikan film serta mendatangi lokasi jembatan tersebut,
saya belajar sesuatu yang sangat besar tentang kekuatan paling besar bagi seorang
pemimpin,,; kekuatan Konsistensi..
Dalam film itu
digambarkan bagaimana sang kolonel Inggris tersebut menderita karena penyiksaan
yang sangat berat. Awalnya dia menolak untu mengijinkan anak buahnya
mengerjakan jembatan Jepang, yang dampaknya akan sangat vital bagi upaya
pemenangan perang Jepang di kawasan Asia Tenggara. Namun pada akhirnya dia
setuju dengan memberikan pembenaran pada dirinya sendiri; bahwa hal itu akan
menjadi sebuah terapi yang sangat baik bagi anak buahnya.
Pasukan dibawah
pimpinannya mengira bahwa sang kolonel sedang merencanakan sebuah strategi tipuan
tertentu, dan merka mengira juga bahwa sang kolonel akan meminta mereka membuat
sabotase dengan hasil kerja yang buruk pada jembatan tersebut. Dalam hal ini
terlihat bahwa para anak buah dari kolonel itu sama sekali tidak memahami
kebulatan tekad sang Kolonel Angkatan Darat Inggris tersebut.
Setelah
melewatkan sepanjang hidup dengan mempertahankan kehormatan di negaranya, dalam
resimennya, dalam pengabdiannya kepda Raja, dia menganggap sebagai hal yang
tidak konsisten kalau tidak berupaya sebaik-baiknya untuk membangun jembatan
tersebut. Dia menyadari penuh bahwa dampak terbangunnya jembatan itu akan dapat
menguntungkan musuh (tentara Jepang), namun dia tetap mendesak anak buahnya
untuk memperlihatkan kepada sang musuh si tentara Jepang sebagus apa jembatan
buatan orang Inggris.
Dari gambaran
cerita kisah nyata diatas, saya melihat sebuah ironi bagaimana seorang tawanan
perang Inggris yang bekerja membangun sebuah jembatan yang akan membantu pertempuran
musuh bebuyutannya. Dalam kisah tersebut juga digambarkan bagaimana ketika
seorang tawanan lain yang berhasil melarikan diri dari kamp yang bernama
William Holden. Dia adalah seorang militer Amerika yang tergabung dalam pasukan
sekutu saat itu.
Ketika William
kembali dari pelariannya dan berusaha meledakkan jembatan tersebut, apakah
Kolonel Guinness memberikan persetujuan? Ternyata sama sekali tidak!! Dia
melakukan upaya apapun sebisanya untuk mencegah Holden meledakkan jembatan ”miliknya”.
Inilah yang
menakjubkan bagi saya. Siapakah pahlawan dalam kisah film tersebut? Orang
Amerika yang mempertaruhkan nyawanya untuk menghancurkan jembatan tersebut? Atau
orang Inggris, yang diperankan oleh Alec Guinness.. Bagi saya pahlawan dalam
film tersebut adalah sang Kolonel Inggris tersebut. Mengapa? Karena saya
mengagumi orang yang mempunyai perilaku konsisten. Kita membenci dan takut pada
orang yang perbuatannya tidak ajeg. Bagi saya kekuatan konsistensi dalam
perilaku merupakan daya yang sangat kuat, karena hal tersebut membentuk orang
lain untuk mempercayai kita.
Mengapa saya
begitu mengagumi karakter konsisten? Saya merasakan betul bahwa kebutuhan kita
akan konsistensi akan bisa disamakan dengan kebutuhan kita yang paling mendasar
yaitu kelestarian dan keamanan. Kalau dilingkungan kita terasa konsisten, maka
kita merasa aman. Kalau menghadapi keadaan dan orang yang tidak konsisten maka
kita merasa tidak aman. Kalau kita menduduki jabatan dengan prediksi waktu yang
tidak jelas, apakah satu tahun, dua tahun, satu bulan, tiga bulan atau
sewaktu-waktu akan dicopot tanpa kejelasan maka kita merasa tidak aman. Hal ini
akan sangat berbeda kalau kita bekerja dalam tatara waktu yang jelas dan
konsisten, misalnya selama dua tahun, maka kita akan merasa aman dan dapat
mengembangkan kapasitas kemampuan kita untuk menggerakkan organisasi yang
menjadi beban tanggung jawab kita.
Roger Dawson
dalam sebuah bukunya yang pertama saya baca pada tahun 1996 yang lalu berjudul ”The
Secrets of Power Persuasion” mengatakan; Bahwa orang bisa digerakkan kalau
mereka berfikir kita bisa memberi mereka imbalan. Selain itu orang bisa juga
digerakkan kalau mereka berfikir kita bisa memberikan hukuman. Namun kedua hal
tersebut memiliki titik kulminnasi dimana imbalan dan hukuman tidak akan cukup
lagi. Berikutnya maka orang lebih bisa digerakkan kalau mereka merasakan adanya
ikatan dengan kita. Dalam kondisi lain, orang juga bisa digerakkan apabila
situasi membatasi pilihan mereka ataupu jika mereka berfikir kita mempunyai kelebihan
dari mereka. Namun lebih dari pada itu, menurut Dawson,, kekuatan konsistensi
lah yang membuat orang benar-benar bisa digerakkan untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu.
Orang tua yang
selalu membujuk anaknya dengan menawarkan hadiah, dengan cepat mendapatkan bahwa
anak-anak belajar mengharapkan hadiah itu dan akan memberontak kalau dia tidak
mendapatkannya. Pemerintah bisa saja menggaji kita tinggi, pada tahap-tahap
awal hal itu akan menjadi motivasi yang sangat hebat. Kita akan melakukan apa
saja untuk memastikan kesinambungan pemberian imbalan tersebut. Tapi tahun demi
tahun nilai imbalan (baca gaji) tersebut merosot. Sebagai pemimpin bisa saja
kita memotivasi anggota kita dengan ancaman akan menghukum mereka kalau
melakukan kesalahan misalnya. Namun demikian, hal tersebut selalu menjadi
bumerang kalau kita terus-terusan mengancam mereka. Kalau kita terus-terusan
memberikan ancaman kepada mereka, entah bagaimana para anggota akan selalu
menemukan cara untuk melepaskan diri dari tekanan, atau sekalian dia belajar
hidup dalam tekanan tersebut.
Kekuatan konsistensi
terbesar adalah kekuatan yang dimiliki oleh sang pencipta sebagaimana diuraikan
dalam kitab-kitab suci. Hukuman dan janji Allah adalah pasti, dan kita yakin
akan itu. Karena yakin, maka banyak dari kita yang sangat takut untuk berbuat
dosa dan sangat ingin berbuat kebaikan, meskipun kita semua tidak pernah
bertemu dengan Allah SWT.
Seandainya kita
semua mempunyai satu rancangan norma yang konsisten sebagai pedoman kerja, maka
kita akan banyak sekali membebaskan energi untuk hal-hal yang sangat penting.
Misalnya ketika kita mengendari mobil ke kantor. Jarak dari rumah kita ke
kantor hanya sejauh 10KM; apakah kita akan repot-repot memasang sabuk pengaman?
Kalau rancangan norma kita mengatakan bahwa sebelum kendaraan bergerak saya
sudah harus memasang sabuk pengaman, maka tidak perlu ada lagi energi terbuang
untuk berfikir tentang hal tersebut (sudah otomatis pasang tanpa perlu ada
pikiran lain).
Dalam perjalanan
ke kantor kita lihat lampu lalu lintas berwarna kuning; aliran adrenalin yang
cepat mengalir,, ada fikiran pilihan gas cepat atau rem yang terus berkelebatan
dalam waktu singkat diotak kita.., padahal kalau kita sudah mempunyai rancangan
norma konsisten bahwa lampu kuning berarti saya mengurangi kecepatan,, maka
kita akan dengan otomatis tanpa energi besar dengan segera mengurangi kecepatan
dan menghentikan kendaraan ketika merah. Begitulah seterusnya,, termasuk ketika
kita bangun pagi,, apakah kita akan memegang HP kita mengecek missed call, sms,
bbm masuk atau kita shalat subuh dulu??? Kalau rancangan norma kita mengatakan
bahwa kita tidak akan menyentuh alat-alat itu sebelum kita menyelesaikan urusan
dengan sang pencipta, maka kita dengan tanpa energi segera melangkah ke kamar
mandi mengambil air wudhu dan berangkat ke masjid terdekat dengan tidak
menghiraukan HP tersebut tergeletak di meja..
Hanya sebuah
renungan di Hari Senin tanggal 26 November 2012 yang dingin...
nuhun kris...
ReplyDeleteentah knp sy masuk kesini, tp setelah sy baca, ulasannya "melengkapi" kepingan puzzle kehidupan sy...
subhanallah *God works in mysterious ways
semoga berkahNya selalu melipah utk kris dan keluarga...amin
Renungan yg penuh dgn inspiratif.. Like it pak krishna.. :)
ReplyDelete