Friday, May 10, 2013

Belajar Dari Cara NYPD dan UN Police dalam Melakukan perekruatan Personilnya



Untuk menjadi polisi di Amerika bukanlah hal sulit. Pekerjaan ini terbuka untuk siapapun dan pada usia batas maksimal yang tidak terlalu ketat. Latihan dasar menjadi polisi pun tidak terlalu banyak, yang penting setelah mereka lulus akan ada pelatihan spesialisasi menurut bidang pekerjaan yang akan dilaksanakan. 

Kira-kira ini beberapa pertanyaan mendasar yang ditanyakan terhadap mereka yang akan menjadi polisi di Amerika pada saat test wawancara..

1. Why do you want this job? Why police officer? What motivates you about law enforcement career?
2. What education or training have you undertake that makes you fit for this law enforcement position?
3. Did you have a volunteering experience? How did this experience prepare you to be a police officer?
4. Do you have any allergies or medical conditions that would hamper your job as a police officer?
5. What do you think is the role of the law enforcement department?
6. What is the most important aspect of being a police officer?
7. What are the key values of a police officer and how do you demonstrate these values?
8. What are conversation impressions other than words? How do you use these to communicate effectively with others?
9. What are the techniques that you use to clarify un-cleared messages meanings?
10. Have you ever take initiatives to solve problems that where beyond/above your responsibilities?
11. How frequently do you support others and get a support from others?
12. What is the importance of building relationships with colleges to your professional life?
13. How do you cope with stressful situations in general?
14. Describe a situation when you had to direct others.
15. What practices do you implement during conflict situations and are they successful?
16. Give an example of a mistake you made. What did you learn from that mistake?
17. Do you have an example of a situation when you have followed strict rules to complete a task?
18. Give me a situation of an efficient teamwork. Why did this situation require an efficient team work?
19. Give me an example of a situation when you helped someone.
20. Do you need to learn something new that is related to the police duties? What are your development needs?

Seorang yunior saya, AKP Wahyu Bram bertutur: 

Untung di Indonesia, ujiannya tdk seperti itu, mungkin kami tdk akan lulus klu saat daftar polisi, semua pertanyaan tsb ditanyakan kepada kami. Jadi ingat situasi di kelas gakkum saat PTIK, salah satu dosen kami, mr. Reza Indragiri, pernah bertanya:"siapa yg merasa bisa sukses di kepolisian?"
(Beberapa siswa angkat tangan.)

Kemudian, ditanyakan lagi: "dari nilai 1 s.d 10 saudara beri nilai berapa terkait kemungkinan anda bisa sukses di kepolisian?"

Beberapa siswa menjawab:
1. 9, karena banyak pengalaman
2. 8, karena yakin dengan kemampuannya
3. 9, karena terlatih dan terdidik dgn baik, dsb.

Kemudian, ybs menyampaikan bahwa pertanyaan yg sama pernah ditanyakan kepada anggota kepolisian di inggris di tahun 1960-an.

Dan jawabannya adalah sebagai berikut: "memiliki kemampuan berkomunikasi, ramah, murah senyum, suka menolong, pintar bercanda, memiliki selera humor yg baik, punya rasa kepedulian, punya rasa empati, simpatik dan bisa mengetik"

Maksud saya dan, pola pikir kita dgn bangsa luar sangat jauh berbeda, terlihat dr jawaban siswa yg satu kelas dgn saya yg merasa bisa sukses karena 'aku bisa .....' (ke-aku-annya tinggi sekali). Sedangkan polisi Inggris dr tahun 60-an sdh berpikir bahwa sukses hanya bisa diraih dengan cara memanusiakan manusia, dan memiliki kemampuan umum yg orang lain juga rata2 bisa melakukannya, bisa mengetik.

Back topik,
Pertanyaan2 tsb bukan pertanyaan standar dan, sangat jelas terlihat pertanyaan2 tersebut dirancang dengan konsep keilmuan yg baik dengan tujuan agar bisa menemukan sebuah sosok polisi yg sejati dr para pelamar. Dalam arti amrik menggunakan standar yg sangat tinggi sekali dalam memilih para polisinya.



Pola rekrutmen calon anggota Polisi di AS sangat berbeda dengan pola rekrutmen di Polri. Mungkin yg di AS bisa kita terapkan untuk para calon siswa PPSS, karena sudah Sarjana S1 ingin menjadi anggota Polri. Dengan masa pendidikan yang relatif cepat, mereka sudah bisa jadi Perwira Polri yang disejajarkan dengan lulusan Akpol yang dididik selama tiga atau empat tahun.

Yang jelas bahwa pendidikan yang kita alami di Akpol sangat berbeda, karena kita masih dianggap tidak tahu apa-apa. Kita memulainya dari nol. Oleh karena itu, kalaupun ada calon yang pernah berdinas sebagai anggota Polri atau TNI, dianggap tidak tahu apa-apa. Pertanyaan yang kita terima dalam test wawancara Mental Ideologi juga berkisar seleksi tentang latar belakang ideologi kita. Bukan mempertanyakan kemampuan kita tentang tugas kepolisian.

Sedikit saya mengutip tanggapa BJP Ronny F Sompie: Tulisan ini sangat bagus sekali untuk wawasan kita. Apakah kita pernah bertanya kepada anak buah yang baru saja mutasi ke kantor kita untuk berdinas bersama kita dengan pertanyaan yang berkaitan dengan kemampuan yang bersangkutan, apa yang bisa diandalkan dari ybs, aspek apa yang terpenting untuk menjadi seorang Polisi, dsb dsb sebagaimana pertanyaan yang diberikan kepada calon Polisi di AS ? Mungkin saja, pertanyaan-pertanyaan seperti itu bisa kita tanyakan untuk memastikan anak buah tersebut bisa kita terima di kantor kita atau tidak. Atau untuk menentukan fungsi yang sesuai dengan kemampuan ybs.

Beberapa waktu yang lalu, saya menjadi penanggung jawab pelaksanaan seleksi pejabat "Policy Coordinator" di kantor saya. Sebagai gambaran saya bekerja di Seksi SPDS (Strategic Policy Development Section) yang didalamnya ada beberapa koordinator, seperti koordinator perencana, koordinator bidang Kebijakan, Gender, Kebijakan FPU, Strategic Guidance Framework dsb.

Kebetulan koordinator bidang Policy kosong dan lamaran kami kirimkan kepada seluruh negara anggota PBB. Para pelamar datang dari berbagai negara dengan jumlah total sebanyak 49 orang. Dari sejumlah itu, hanya 5 orang saja yang layak untuk maju ketahap berikutnya diwawancarai oleh panitia. Yang mencengangkan bahwa dari 49 pelamar, kebanyakan adalah orang-orang berpengalaman dalam dunia internasional termasuk bertahun-tahun tugas di misi PBB dan bahkan ada beberapa senior polisi dengan gelar PhD (doctor) tidak lolos masuk dalam seleksi berikutnya.

Mengapa banyak diantara mereka yang tidak lolos dalam seleksi berikutnya? Karena ada beberapa persyaratan yang tidak dapat dipenuhi oleh mereka, misalnya:
- Minimal bekerja 15 tahun di Kepolisian (ada beberapa negara tertentu yang sistem kepolisiannya berbeda dengan kita, dg 15 tahun bekerja mereka sudah berpangkat tinggi karena mereka adalah alumni Sarjana sebelum jadi polisi).
- Minimal 7 tahun berkecimpung dalam bidang tugas policy (kebijakan kepolisian)
- Minimal berpendidikan S2
- Minimal 3 tahun pernah bekerja pada organisasi internasional
- Punya kemampuan bahasa Inggris fasih dalam bicara maupun tulisan
- Punya kemampuan menulis dan pernah dipublikasikan

Cukup sulit memang mencari calon yang kita harapkan, namun akhirnya ada 5 calon yang lolos untuk diwawancara, dan kesemua dari mereka adalah mantan-mantan anggota Polisi PBB yang berdinas di berbagai kantor PBB diseluruh dunia.

Pada tahap wawancara, kami mendesain beberapa pertanyaan sederhana yang harus dijawab mereka, seperti:
- Pewawancara menanyakan mengapa mereka menginginkan jabatan tersebut, mengapa kami harus memilih mereka, pengetahuan dan pengalaman apa yang membuat mereka cocok dengan jabatan dan pekerjaan tersebut?

- Apa tantangan utama yang dihadapi oleh PBB dan Polisi PBB pada operasi misi perdamaian PBB? dan Bagaimana cara menghadapi tantangan tersebut?

- Apa pengalaman mereka selama ini baik ditingkat lokal regional maupun internasional

- Kami meminta mereka menyebutkan setidaknya 3 dokumen yang pernah mereka tuliskan berkaitan dengan konsep kebijakan dan pernah di publish selama ini, dan kami minta bukti untuk dikirimkan dokumen tersebut

- Bagaimana pandangan para calon tentang issue gender dalam konteks PBB dan lainnya?

- Kami menjelaskan bahwa pekerjaan yang akan dilaksanakan penuh tekanan, dan membutuhkan kemampuan manajerial yang matang. Mereka akan bekerja dalam lingkungan yang tidak nyaman setiap waktu bisa bergeser dengan cepat antar negara, deadline yang sangat tiba2, bekerja di kantor yang sangat sibuk, dsb.. 
Kemudian mereka ditanyakan bagaimana dan kapan mereka mengalami deadline? 
Mengapa bisa itu terjadi? 
Apa pertanggung jawaban yang bersangkutan? 
Apa yang dilakukan oleh ybs dalam rangka menyelesaikan masalah tersebut?

- Kami juga menanyakan kapan kondisi ketika para calon mengalami pekerjaan sebagai tim, dimana mereka pernah setuju atau tidak setuju dalam mengambil sebuah prioritas pekerjaan, bagaimana mereka menghadapi itu? mengapa bisa terjadi? dan bagaimana cara menyelesaikannya?

Kesemua pertanyaan diatas pada prinsipnya dilakukan dalam rangka untuk mengetahui sampai sejauh mana kemampuan dan pemahaman mereka terhadap bidang tugas yang akan digeluti termasuk kemampuan bahasa Inggris, kemampuan leadership, profesional, manajerial, teamwork dan penilaian lainnya..

Sayangnya dari 5 orang tersebut, hanya ada 1 orang yang benar-benar memuaskan kami dan kami rekomendasikan untuk menduduki jabatan tersebut... Padahal kelima calon itu semuanya mempunyai kemampuan kepolisian yang luar biasa..

Demikianlah kira-kira proses "lelang jabatan" yang dilakukan oleh PBB, tidak ada KKN, tidak ada unsur politis apalagi sotologi.. Bahkan yang satu kantor dengan saya saja tidak bisa kami loloskan karena kemampuan dia masih kalah dengan orang lain yang kami wawancarai dari negara New Zealand.

Hal ini juga kami sampaikan untuk menepis rumor-rumor yang mengatakan bahwa untuk bekerja di PBB harus ada pendekatan khusus atau karena ada faktor-faktor lain. Ini berarti bahwa kedepan Polri harus menyiapkan para calon yang akan menduduki jabatan strategis di misi PBB sejak jauh-jauh hari (saya sudah sharing isi rekaman wawancara dengan AKBP Tommy Aria Dwianto untuk dibawa ke Indonesia dan menjadi alat pembelajaran rekan-rekan di Indonesia)

Dalam kaitan dengan konteks Polri, sebenarnya proses "lelang jabatan" bisa kita lakukan dengan cara lokal.

Misalnya ketika ada musim mutasi Kapolsek di sebuah Polda, maka para polisi yang sudah waktunya promosi ataupun sudah waktunya diputar dimasukkan namanya dalam list calon kapolsek. Selanjutnya Polda bisa membuat panitia seleksi Polda yang melibatkan unsur Kapolres yang polseknya masuk dalam putaran.

Panitia mendesain beberapa persyaratan yang sederhana dan tidak menyulitkan anggota, misalnya:
1. Meminta para calon membuat surat lamaran dengan form yang telah ditentukan dan menuliskan beberapa pengalaman dan kemampuan serta latar belakang pendidikan yang dia miliki

2. Persyaratan administrasi dibuat, misalnya: stratifikasi kepangkatan, stratifikasi kemampuan dasar, berapa lama minimal dia di lemdik, berapa lama minimal dia di staf, berapa lama minimal dia di opsnal dsb

3. Membuat tulisan tentang apa "action plan" kalau dia jadi kapolsek (maksimal 5 halaman)

4. Melakukan wawancara dengan sampel pertanyaan yang didesain dengan pertimbangan matang sehingga bisa mengeksplore kemampuan yang bersangkutan.

5. Panitia pewawancara untuk tiap Polsek harus minimal 4 orang, dan tidak boleh ada conflict of interest karena unsur apapun..

Apa yang saya tuliskan diatas hanyalah sebuah usulan sederhana dan sebagai masukan saja. Pada saat saya menjabat Wakapolres Depok dengan arahan Kapolres KBP Firman Santa Budhi pernah melaksanakan proses demikian pada saat wanjak pemilihan Kapospol (saat itu kami mengembangkan pemekaran Pospol dari 13 Pospol dan berkembang menjadi 67 Pospol hanya dalam jangka waktu 6 bulan).

Menurut saya: Kalau saya Kapolres, pasti saya ingin punya anak buah yang baik, kalau saya Kapolda, pasti saya juga ingin punya anak buah para Dir, Kapolres dsb yang baik, dan ini hanya bisa didapat ketika kita melakukan fit and propper test terhadap orang-orang yang akan bekerja dengan kita. Dan bahkan Kapolri pun di fit and propper test oleh DPR RI, kenapa kita alergi dengan sistem ini??

Saya pernah ditanya oleh seseorang seperti ini: 
Bagaimana sih Polda menentukan seseorang layak untuk jabatan Kapolsek, Kasat, Kabag dsb??? Apa dasarnya? apakah sudah baku? siapa menjabat di polsek mana dan siapa menjabat di kasat mana? dsb... 

Belum lagi menentukan siapa yang tugas di Lantas, siapa di Serse, siapa di Samapta, siapa di Intel, siapa di Bimmas, siapa di Log siapa si Regident. 

Semuanya masih belum baku dan dalam banyak kesatuan semua terserah mau-maunya Kabagmin atau Kapolres saja..

Urusan SDM memang sangat pelik, karena apapun yang dilakukan oleh pimpinan belum tentu memuaskan semua pihak. Saya yakin Mabes Polri selama ini sudah memiliki mekanisme fit and propper test serta sistem assesment dalam rangka memilih pejabat-pejabat tertentu. Problemnya selalu saja ada ketidak puasan yang muncul disana sini. 

Saya berharap, sepanjang kita-kita memberikan masukan dengan obyektif dan demi kebaikan bersama, Insya Allah hal ini akan berdampak kepada kebaikan organisasi Polri, karena pada akhirnya; kita semua adalah para user dari SDM tersebut..

Ditulis dengan tambahan tanggapa dari AKP Wahyu Bram dan BJP Ronnye F Sompie

Salam hormat..

Wednesday, March 27, 2013

Bagaimana Lingkungan Yang Aman?



Salah satu hasil pengamatan dari kesempatan saya berdinas di beberapa negara lain adalah menyangkut masalah keamanan lingkungan. Saya selalu terkagum-kagum dengan model bangunan tanpa pagar yang ada di berbagai negara didunia. Disisi lain, bila kita menengok model bangunan di Indonesia baik yang perkantoran, gedung maupun perumahan, maka terlihat perbedaan yang sangat jauh dengan model bangunan di negara-negara lain.

Sebagai polisi saya memahami betul bahwa model bangunan yang tumbuh di Indonesia berevolusi dari konsep pagar sebagai wujud kekuasaan pemilik yang kemudian berkembang menjadi konsep pagar sebagai cara pemilik bangunan untuk melindungi harta bendanya. Namun yang kemudian dilupakan oleh kita semua, bahwa ternyata meskipun pagar tinggi dibangun, kriminalitas dan ketakutan akan rasa aman tetap tumbuh diantara warga.


Kriminalitas (crime) sebagai perbuatan melanggar hukum, merupakan isu yang meresahkan masyarakat. Salah satu bentuk kriminalitas yang meresahkan masyarakat adalah tindakan kriminalitas yang dilakukan di lingkungan perumahan di kota besar. Kejahatan kriminal banyak menimpa masyarakat kota, dan terjadi setiap saat baik siang maupun malam hari, menyerang perorangan maupun kelompok, ditempat pribadi maupun privat.

Prof B. Randolph (2005) dalam studi di Australia menemukan bahwa faktor sosial dan faktor fisik dalam penanggulangan kriminalitas harus dilakukan secara bersama-sama. Hal ini diperoleh melalui hasil riset di 9 perumahan yang dilakukan oleh Dr. Judd ahli perumahan dan Dr. Samuel seorang expert di bidang strategi pencegahan kriminal dan design, dalam penelitiannya menemukan bahwa walaupun faktor fisik seperti kurangnya penerangan dan tidak cukup baiknya kondisi pagar untuk secara langsung memberikan pengamanan terhadap kriminal, namun pada area yang mengkombinasikan antara penanganan fisik dan penanganan sosiallah yang memberikan hasil positip yang paling nyata.

Adanya rasa takut terhadap kriminalitas mengakibatkan masyarakat perkotaan melakukan pengamanan terhadap pribadi, keluarga serta harta miliknya, untuk meningkatkan rasa aman atau sense of secure. Secara fisik hal itu dapat terlihat dari pembuatan pagar rumah yang tinggi dan kokoh, pembuatan jeruji pada bukaan pintu dan jendela, pembuatan portal-portal sebagai penghalang pada jalan-jalan di permukiman serta pembuatan kelompok hunian tertutup. Fenomena lain yang terjadi akibat fear of crime adalah membatasi kegiatan sosial masyarakat hanya diselenggarakan pada siang hari, kecuali kegiatan yang bersifat entertainment.

 
Gejala tersebut disebut sebagai cocooning (cocoon = kepompong) karena warga bersikap mengurung diri, dan secara langsung membatasi segala aktivitas yang dilakukan.

Oscar Newman (1972) dalam bukunya 'Devensible space' banyak melakukan penelitian tentang kriminalitas di perumahan. Perumahan sebenarnya diharapkan merupakan suatu tempat yang aman, termasuk aman dari berbagai gangguan kejahatan. Lingkungan perumahan kota dibangun dengan pertimbangan keamanan terhadap bahaya, seharusnya termasuk juga keamanan terhadap bahaya kriminal, sehingga aktivitas penghuninya dapat terwadahi secara maksimal seperti kegiatan bermukim, bekerja, bersosialisai, beristirahat dan berekreasi. Walaupun kejadian tindak kriminalitas di lingkungan perumahan dapat beragam, namun dalam hal ini hanya dibatasi pada kejahatan yang dikategorikan dalam kejahatan terhadap harta benda.

Rasa takut mengakibatkan rumah maupun kawasan menjadi sangat tertutup. Kehidupan untuk menarik diri dari lingkungan, secara fisik terlihat dari bentuk pagar yang tinggi, dan berkurangnya kenyamanan hidup di perumahan, karena masing-masing mengurung diri di dalam rumah yang sangat tertutup baik terhadap orang yang masih asing maupun terhadap tetangga di sekitarnya.

Pencegahan Kejahatan Melalui Perancangan Lingkungan (PKMPL)


PKMPL merupakan terjemahan dari CPTED (Crime Prevention Throught Environmental Design), merupakan altematif pendekatan dengan mengurangi atau mencegah kriminalitas. Pendekatan ini dilakukan dengan merancang kota atau lingkungan dengan mempersempit atau mengurangi kesempatan untuk berbuat kriminalitas.

Asumsi penanganan yang dilakukan (Jacobs, 1962) adalah : semakin banyak orang dapat melihat ke jalan maka semakin kecil kesempatan tindak kejahatan di jalan. Kejahatan mulai dilakukan dari jalan, sehingga 'eyes on the street' istilah Jacobs, merupakan salah satu upaya penanganan yang dilakukan.

PKMPL adalah suatu filsafat pencegahan kejahatan yang berdasarkan teori bahwa rancangan yang tepat dan penggunaan yang efektif suatu lingkungan terbangun dapat menyebabkan berkurangnya rasa takut dan penurunan kejadian kejahatan, sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Berdasarkan definisi oleh The National Crime Prevention Institute di Amerika Serikat, bahwa:"the proper design and effective use of the built environment can lead to a reduction in the fear and incidence of crime, an overall improvement of the quality of live."

PKMPL merupakan alat bagi perencana kota yang menekankan pada penggunaan ciri-ciri rancangan fisik dan karakteristik pengguna lahan untuk mengurangi atau menyingkirkan kesempatan-kesempatan akan tindak kejahatan dan untuk menghalangi perilaku kejahatan.

PKMPL merupakan metoda aItematif dalam mengurangi kejahatan dengan cara melakukan perubahan-perubahan fisik terhadap lingkungan. Dasar perubahan fisik yang dilakukan adalah dengan mengurangi kesempatan-kesempatan dalam melakukan tindak kriminal.

Berdasarkan temuan dari Oscar Newman (1972), Jane Jacob clan Elizabeth Wood dituturkan adanya perbedaan nyata dalam tingkat kriminalitas antara lingkungan yang sepi, tidak terawat dengan lingkungan yang ramai, terawat dan pengawasan dari penghuninya. Oscar Newman menyatakan bahwa perhatian terhadap aktivitas yang terjadi di jalan yang diistilahkan sebagai 'the eyes on the street' menunjukkan bahwa perhatian penghuni terhadap lingkungannya sangat efektif dalam menekan adanya potensi kejahatan.

Studi Oscar Newman (1972) juga menunjukkan bahwa gedung tinggi dengan loby, elevator, fire escape, tap dan koridor yang terisolir dari pandangan publik, mempunyai angka kejahatan yang tinggi, dari pada gedung rendah. Konsep teritorialitas dapat dijadikan sebagai dasar untuk menciptakan ruang-ruang pengawasan sosial yang bersifat informal, sehingga masyarakat dapat terhindar dari tindak kriminalitas dengan mengambil langkah-Iangkah perlindungan yang perlu dilakukan.



Tiga hal pokok yang perlu dilakukan adalah : pengawasan kawasan, adanya pengendalian kawasan terhadap keamanan, dan hak dan kepemilikan yang jelas. Tiga komponen dasar dalam PKMPL, adalah :
a. mengurangi akses kriminalitas dengan perlengkapan kunci, jendela dan kamera pengawas.

b. Perubahan terhadap lingkungan fisik, sehingga mengurangi kesempatan untuk melakukan kejahatan.
Secara alami dikenali adanya upaya untuk mengurangi kriminalitas, yaitu :
1) Menciptakan ruang yang tanpa disadari dapat mengikut sertakan sebanyak mungkin orang untuk terlibat dalam pengawasan, dan mencegah masuknya orang yang tidak dikenal kedalam kawasan, melalui konsep 'mudah terlihat dan terawasi dari jalan' .
2)tidak menciptakan ruang yang tertutup dari pengawasan, serta membatasi akses masuk ke kawasan.
3)idak menciptakan ruang-ruang yang tidak terdefinisi dengan jelas peruntukannya, atau sebaliknya menciptakan batas-batas kepemilikan yang jelas; sehingga orang asing merasa tidak nyaman berada di lingkungan tersebut.
4)enempatkan aktivitas lingkungan yang sekaligus dapat mengawasi keamanan lingkungan.
5) Makukan pemeliharaan rutin, untuk memberikan kejelasan teritorial dan pengawasan alami. komponen lansekap hendaknya tidak membuat ruang-ruang terisolasi atau tersembunyi, hingga berpotensi sebagai tempat bersembunyi.

c. Peningkatan komunikasi dengan lingkungan sosial melalui penguatan organisasi lingkungan atau kemasyarakatan. Secara fisik desain rumah dan lingkungan. yang baik hendaknya dapat mendorong komunikasi sosial, interaksi antar tetangga serta menghilangkan fear of crime.


Tuesday, March 26, 2013

Mana Yang Lebih Keren?


Mana yang lebih keren, Tukang sapu dijalan raya atau cleaning service di gedung bertingkat?





Mana yang lebih keren, Supir angkot atau supir taxi limousim?




Mana yang lebih keren, Tukang nasi warteg atau pelayan restoran mahal?




Mana yang lebih keren, tukang bakso jalanan atau tukang bakmi GM di Mall??





Tukang sapu digedung, sampahnya beda dengan tukang sapu dijalanan. Apakah tukang sampah jalanan bisa memilih sampah mana yang dibersihkan dan mana yang dibiarkan? Semua sampah dijalan harus dibersihkan tanpa kecuali tentunya..
Sampah digedung?? Itu adalah sampah terpilih yang hanya dibawa orang tertentu yang masuk gedung saja. Sangat kecil kemungkinan didalam gedung ber AC kita menemukan puntung rokok, karena memang beda peruntukannya antara gedung berAC dengan jalan raya..

Supir angkot juga mengangkut manusia seperti supir taxi limousim. Bedanya bahwa berbagai kalangan bisa naik angkot, namun hanya kalangan tertentu saja yang bisa naik taxi limousim..

Tukang Nasi Warteg bisa melayani semua orang, namun hanya orang tertentu saja yang mampu membeli makan direstoran mahal..

Tukang bakso jalanan bisa melayani semua orang, kaya miskin tua muda semua suka. Tapi hanya sedikit orang yang mampu bayar Mie GM di mall..

Analogi diatas sebenarnya harus kita gunakan ketika kita membandingkan antara KPK dengan Polri.

KPK hanya menyidik masalah korupsi. Tapi polisi mengurusi masalah bangsa ini dari mulai terorisme sampai dengan pencuri sandal. Dari masalah kejahatan Trans National Crime hingga masalah ribut keluarga. Dari masalah Kejahatan Perbankan sampai masalah penipuan sms mama minta pulsa..Dari masalah lalulintas sampai masalah demonstrasi besar-besaran.. Dari masalah konflik tetangga sampai masalah konflik antar etnis..

KPK bisa menolak perkara non korupsi,. Tapi polisi tidak bisa menolak perkara apapun yang dilaporkan kepada mereka.

KPK menyidik dengan dukungan politik, dukungan anggaran, dukungan uu, dukungan sistem, dukungan Sistem peradilan pidana yang saling menyatu antara penyelidikan, penyidikan, penuntutan hingga peradilan. 

Tapi polisi terpisah dalam sistem peradilan pidana, kaarena masih ada jaksa yang belum tentu sepakat, masih ada hakim yang berbeda pendapat, dlsb. Disisi lain dukungan politis kepada polisi yang sangat minim karena semua pihak berupaya memanfaatkan kelemahan institusi untuk berbagai keuntungan perorangan maupun kelompoknya..

KPK bisa bebas melenggang melanggar aturan KUHAP dengan dasar extra ordinary crime,,. Tapi polisi dibatasi dimana-mana karena katanya perlu kontrol yang kuat dengan berbagai alasan..

Terakhir; KPK punya anggaran gaji dan remunerisasi yang berlebih dan polisi harus bertahan dengan apa yang diterimanya namun dituntut selalu memberikan pelayanan terbaik..

Jangan banding-bandingkan satu sama lain dengan alat ukur yang berbeda..

Kalau sudah demikian, sandiwara apa yang sedang terjadi??

Dunia memang panggung sandiwara, peran kita selalu berbeda, apapun kata orang tentang yang baik dan buruk,, tergantung pada nurani kita mau membawa kemana. Pada akhirnya kita semua akan kembali nanti kepada Sang pencipta..

Hendaknya kita berhati-hati dlm berucap & berbuat, karena semua pasti akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Ta’ala di akhirat. “Sesungguhnya pendengaran, penglihatan & hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS. Al Isra’: 36)

Dan balasan yang disediakan oleh Allah Ta’ala di akhirat kelak sesuai dgn amalnya di dunia. Perhatikanlah firman Allah Ta’ala,
“Bagi orang-orang yang memenuhi seruan Tuhannya, (disediakan) pembalasan yang baik. Dan orang-orang yang tak memenuhi seruan Tuhan, sekiranya mereka mempunyai semua (kekayaan) yang ada di bumi & (ditambah) sebanyak isi bumi itu lagi besertanya, niscaya mereka akan menebus dirinya dgn kekayaan itu. Orang-orang itu disediakan baginya hisab yang buruk & tempat kediaman mereka ialah Jahanam & itulah seburuk-buruk tempat kediaman.” (QS. Ar-Ra’du:18)




Cebongan, Kejahatan, dan Impunitas



Siapa yang mengatakan bahwa ada kejahatan yang tidak direncanakan? Terjadinya tindak kriminalitas tidak terjadi secara kebetulan, melainkan dilakukan dalam beberapa tahapan, yaitu :
- intent phase atau fase munculnya keinginan;
- assesment phase yaitu fase memperkirakan atau mempertimbangkan;
- planning phase merupakan fase perencanaan; dan
- action phase atau fase pelaksanaan tindak kriminal.
Escape phase atau fase meloloskan diri dari upaya pengungkapan

Dari kelima fase tersebut, ada satu yang biasanya lepas dari kendali para pelaku, yaitu bahwa tidak ada kejahatan yang tidak meninggalkan jejak.

Dalam kacamata konvensional pencegahan kejahatan bisa dilakukan apabila kita mampu mengidentifikasi sasaran dan lokasi tindak kriminal. Teori kejahatan konvensional meyakini betul bahwa kejahatan bisa ditekan bila peluang untuk melakukan kriminalitas itu diperkecil. Untuk itu peran pencegahan selalu mengandalkan pada upaya bertemunya kesempatan dan niat untuk melakukan kejahatan.

Dalam perkembangan dewasa ini, teori konvensional tersebut masih berlaku. Namun demikian, saya perlu memperkenalkan sebuah pendekatan baru, bahwa kejahatan bisa ditekan manakala peluang untuk meloloskan diri dalam melakukan tindak kriminal dipersulit. Bagaimana caranya? Ada dua hal yang harus dipedomani, yaitu
1) dengan mempersulit atau memperpanjang waktu untuk melaksanakan tindakan kriminalitas.
Kejahatan akan terjadi dimana ada kesempatan untuk melakukan perbuatan jahat. Oleh karena itu jika kesempatan untuk melakukan kejahatan dihilangkan, maka tindakan kejahatan akan berkurang. Faktor yang menciptakan kesempatan untuk melakukan kejahatan dapat ditemukan di lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. Dengan dasar tersebut, maka rekayasa sosial terhadap lingkungan dan lokasi yang berpotensi sebagai sasaran kejahatan dapat diciptakan, karena perubahan ini dapat merubah rencana perbuatan jahat.

2) Dengan menutup ruang gerak bagi pelaku untuk membersihkan diri dari upaya pengungkapan oleh petugas.
Sebelum sampai pada penjelasan lebih jauh, saya ingin menggambarkan beberapa contoh yang bereda antara Amerika dan Indonesia.
- bahwa di Amerika; tidak ada kegiatan pemeriksaan mobil dan motor terhadap kendaraan yang akan memasuki gedung parkir, tapi di Indonesia, hampir disemua hotel dan gedung tertentu dilakukan pemeriksaan bagasi cabin kendaraan bermotor
- Di Amerika; tidak ada pemeriksaan tas dan badan terhadap orang-orang yang memasuki mall dan hotel serta gedung bertingkat, tapi di Indonesia selalu ada pemeriksaan.
- Di Amerika: petugas jaga bank cukup satpam dan tidak perlu polisi, tapi di Indonesia banyak bank yang minta jasa pengamanan polisi
- Di Amerika tidak ada kekhawatiran kita kehilangan kendaraan; tapi di Indonesia pencurian kendaraan bermotor bisa terjadi setiap hari

Mengapa ada perbedaan yang signifikan antara di Amerika dan Indonesia? Apakah Amerika bukan sasaran teroris? Disana terlihat ada perbedaan sistem yang signifikan antara Amerika dan Indonesia dimana Amerika sudah mendesain sebuah sistem yang mampu mencegah sekecil mungkin kemungkinan orang untuk meloloskan diri dari melakukan kejahatan. Bahwa hampir semua manusia yang berada di Amerika telah terekam datanya pada pusat data Nasional Amerika. Dan identitas yang terekam ini terkoneksi satu sama lain antara Kementrian Dalam Negeri, Polisi, Imigrasi, Transportasi (SIM), Keuangan dan sebagainya. Dengan demikian sangat mudah bagi petugas penegak hukum di Amerika untuk mencari identitas pelaku yang berbuat kejahatan dengan mencocokan jejak yang tertinggal di TKP dengan data yang ada di mereka. Selain itu, misalnya di kota New York sini; telah tersebar ribuan cctv yang bisa memonitor setiap sudut dari kota dan bisa diputar ulang ketika sebuah kejahatan terjadi. Ini berarti peluang untuk tertangkap sangat tinggi.

Saat ini, Indonesia belum memiliki sistem standar yang berkaitan dengan upaya menutup peluang meloloskan diri bagi para pelaku kejahatan. Oleh karena itu pada kasus Cebongan pada tanggal 23 Maret yang lalu, tidaklah mengherankan ketika para pelaku berupaya menghilangkan berbagai bukti sebagai bagian dari upaya mereka untuk tidak terungkap oleh aparat penegak hukum.

Sejujurnya, dengan kemampuan profesionalitas Polri saat ini, kasus tersebut bukanlah kasus yang sulit untuk diungkap. Sejarah profesionalitas Polri dapat dilihat dari berbagai keberhasilan pengungkapan kasus-kasus sulit yang minim jejak seperti Bom Bali, Bom Marriot, berbagai kasus pembunuhan dengan mutilasi termasuk kasus pengungkapan pembunuhan Dirut ASABA beberapa waktu yang lalu.

Permasalahan terberat yang dihadapi oleh Polri dalam pengungkapan kasus ”Cebongan Berdarah” adalah pada political will pemerintah Indonesia sebagai sebuah bangsa yang demokratis dan beradab. Disini diperlukan kerjasama berbagai pihak yang untuk saling mendukung termasuk dalam membuka diri dan institusinya dengan selebar mungkin dalam rangka pengungkapan kasus tersebut.

Tidak ada kejahatan yang sempurna, dan tidak ada kejahatan yang tidak meninggalkan jejak. Semakin sebuah kejahatan ditutupi, maka semakin banyak kebohongan yang dibutuhkan untuk menutupi kebohongan lain. Semakin banyak kebohongan dilontarkan, maka semakin tidak masuk akal argumentasi yang dibuat. Ketika kejahatan besar semakin ditutupi makan akan semakin banyak dibutuhkan konspirasi, dan semakin banyak konspirasi maka semakin banyak pula jejak bukti yang tertinggal disana.

Apakah kita akan membiarkan peristiwa Cebongan ini tidak terungkap? Apakah kita akan membiarkan ketakutan menyebar ditengah masyarakat bahwa ada segerombolan orang bersenjata mampu menegakkan hukum tanpa pengadilan? Apakah kita akan membiarkan polisi selalu menjadi kambing hitam atas masalah yang dibuat pihak lain? Apakah kita akan menjadikan pengadilan balas dendam sebagai sebuah cara dalam berkehidupan dinegara ini?? 

Jawabannya hanya satu disini: Apakah kita akan membiarkan Indonesia sebagai negara impunitas, negara dimana ada sekelompok pelaku kejahatan tidak dapat dihukum karena merasa dirinya sebagai warga negara kelas satu?

Tuesday, March 19, 2013

Marah, Kasihan, Kecewa, Mengeluh

Kata pakar; kecewa itu karena ada deviasi antara harapan dan capaian.. Saya sudah menghapus beberapa kata dalam hidup saya, antara lain;

1. Marah; 
Bagi saya marah itu temannya setan,. Apapun masalahnya saya akan menghindari kemarahan.. Kalau dalam teori komunikasi,; marah itu adalah salah satu lambang komunikasi yang digunakan oleh pengirim pesan kepada penerima pesan. Namun ada satu hal yang dilupakan oleh pengirim pesan saat itu; apa dampak yang diharapkan dengan marahnya? Biar dibilang hebat? Biar dibilang jagoan? Biar diperhatikan? Biar anggota baik?? Dalam banyak hal ternyata dampak marah tidak sesuai dengan yang kita harapkan.

Misalnya anggota tidak benar kerjanya, kalau kita marahi terus, apa mereka akan jadi baik?? Makin tegang mereka dan makin ngawur kerjanya.. Kalau mereka kerja tidak baik, berarti butuh dilatih, butuh dibina, butuh diarahkan dan butuh perbaikan,, tidak butuh dimarahi..
Menurut saya, marah adalah tekhnik komunikasi paling primitif. 


Kata kasihan jangan pernah terucap dari diri kita. Misalnya lihat pengemis; kemudian berucap "kasihan",, drpd berucap kasihan, lebih baik kita datangi dia dan beri uang. Lihat yunior susah cuma bisa bilang "kasihan" tanpa ada upaya bantuan apapun. Lihat orang kena masalah cuma bilang "kasihan",, mereka tidak butuh dikasihani, mereka butuh tindakan nyata dari kita. Kalau kita belum bisa bantu (empati),, simpan simpati kita untuk tidak menambah kesusahan mereka..

3. Kecewa


Buat apa kecewa? Kecewa tidak akan merubah nasib kita. Kalau ada yang tidak sesuai harapan, ya kita berusaha dan berdoa lagi. Untuk mengurangi kekecewaan, salah satu tekniknya adalah "mengurangi tingkat harapan" kita.  Jangan berharap yang terlalu tinggi daripada kalau tidak tercapai malah kecewa. Kalau dulu cita-cita kita pengen jadi Presiden, atau Gubernur, atau Anggota DPR yang top, atau direktur yang top, atau jabatan yang top,.. Turunkan saja tingkat harapannya,, daripada kecewa.. 
Saat ini harapan saya tinggal satu; selamat dunia akhirat..

4. Mengeluh
Yang mengeluh itu cuma sapi.. Asal katanya "eluh".. Berasal dari kata "eluhan" sapi.. Sapi mengeluh mengeluarkan suara "moooooo.."


Sapi mengeluh karena hidupnya tidak jelas. Kemana-mana hanya cari makan dan menunggu tarikan pengembala. Kalau masih kuat bisa untuk membajak sawah. Yang bisa mengeluarkan susu untuk diperah bagi kepentingan manusia. Besar dikit siap dipotong.. Masa depannya sapi hanya itu..Kita ini bukan sapi, jadi pantang mengeluh. Masalah untuk dianalisa dan diselesaikan. Mengeluhkan masalah tidak akan menyelesaikan masalah.. Jadi bos mengeluh kurang ini dan itu, maka akan bertambah masalahnya.. Lebih baik kita analisa apa masalah yang ada, kita cari solusi yang tepat, kita jalankan cara yang kita pilih.. Insya Allah semua ada jalannya..Lagipula; kalau kita jadi pimpinan pasti tidak suka kepada anggota yang kerjanya hanya mengeluh..

Terima kasih sudah membaca rangkaian tulisan tanpa arah ini..

Salam Hormat 

Friday, March 15, 2013

Persepsi, Kepercayaan dan Legitimasi Publik kepada Polisi



Bagaimana Persepsi publik terhadap polisi??

Image masyarakat terhadap polisi ternyata sangat kompleks. Bila dikatagorikan, persepsi masyarakat terhadap polisi ternyata dapat dikelompokkan dalam tiga kategori umum, yaitu:
1) Pandangan secara umum
2) Persespsi  terhadap hasil kinerja polisi; dan
3) Persepsi dari proses kinerja polisi.

(*http://www.theiacp.org/PoliceServices/ProfessionalAssistance/ThePublicImageofthePolice/tabid/198/Default.aspx#ch1)


Ada banyak cara yang berbeda untuk mengukur setiap aspek. Hasil temuan dapat bervariasi sesuai dengan yang aspek diukur dan bagaimana masing-masing elemen tersebut diukur.

Polling dari sejumlah populasi warga di di Amerika Serikat menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat memiliki pandangan positif terhadap polisi-nya. Tingkat penilaian tersebut sangat tergantung pada kapan dan bagaimana cara survey dilakukan. Namun rata-rate tingkat persepsi positif mereka terhadap polisi-nya kebanyakan mendapatkan penilaian antara 51 dan 81 persen.

Perbedaan menyolok terjadi ketika survey dilakukan untuk menilai pelayanan polisi pada lingkungan mereka sendiri, responden cenderung menghasilkan evaluasi yang lebih tinggi. Ini berarti bahwa sangat sedikit warga yang memberikan penilaian negatif terhadap polisi-nya.

Polisi di Amerika berbeda organisasi dan saling terpisah satu sama lain. Namun demikian, dari hasil berbagai survey, tergambarkan bahwa tingkat kepercayaan publik terhadap polisi sangatlah tinggi dibandingkan dengan institusi pemerintahan yang lain. Sebagian besar warga merasa puas dengan layanan polisi di lingkungan mereka sendiri, dan tingkat kepuasan ini tampaknya sedikit berbeda dari satu kota ke kota lain.

Pengalaman warga dengan polisi mempengaruhi semua penilaian mereka terhadap polisi. Semakin banyak pengalaman positif dengan polisi, maka semakin tinggi tingkat persepsi warga terhadap polisi. Namun demikian, pengalaman buruk terhadap polisi tidak bisa cepat dirubah menjadi positif dan memerlukan kerja keras polisi untuk melakukannya.

Sebagian besar publik Amerika ternyata jarang yang berurusan secara langsung dengan polisi dalam keseharian mereka. Bila kita cermati, hal ini akan menyulitkan polisi untuk melakukan upaya perbaikan image dengan hanya mengandalkan pada cara kontak langsung dengan masyarakat.

Ternyata selama ini di Amerika, sebagian besar warganya mendasarkan pengetahuan tentang polisi berdasarkan pada berita media massa dan cerita dari mulut kemulut yang dikembangkan oleh beberapa orang yang mempunyai pengalaman berinteraksi dengan polisi. Masyarakat memahami kinerja polisi berdasarkan berita yang dibuat oleh media massa, baik itu dalam bidang penanganan kejahatan maupun dalam bidang-bidang lain. Berita buruk menyangkut kinerja kepolisian dan ketidak mampuan mereka dalam menangani kejahatan akan mempengaruhi pandangan umum masyarakat terhadap polisi. Berita buruk tentang kepolisian akan dapat mendistorsi persepsi publik terhadap polisi dan bisa berdampak pada ketidak percayaan masyarakat pada polisinya.  

Antara 1990-an dan pertengahan 2000-an, dimana organisasi polisi di Amerika mulai berupaya meningkatkan upaya memberikan perlindungan kepada masyarakat melalui berbagai tindakan mengurangi kejahatan, berdampak pada peningkatan penilaian positif masyarakat terhadap polisi-nya. Dengan peningkatan kepercayaan tersebut, maka banyak warga yang kemudian terlibat bersama polisi pada upaya menciptakan keamanan lingkungan secara sinergis.

Pada dekade terakhir ini, mayoritas publik Amerika menyatakan pandangan positif tentang bagaimana polisi memperlakukan masyarakat. Polisi medapatkan peringkat tertinggi sebagai aparat yang membantu warga dengan ramah dan juga dianggap sangat adil dalam memperlakukan mereka. Persepsi publik terhadap kejujuran polisi dan pemenuhan standar etika telah meningkat secara substansial akhir-akhir ini.

Dewasa ini, mayoritas publik Amerika tidak lagi melihat kebrutalan polisi di daerah mereka. Hal sebaliknya terjadi dimana pada pertengahan 1960-an sampai akhir tahun 1990-an persentase warga yang melihat kebrutalan telah meningkat sekitar tiga kali lipat. Berkaca dari persepsi tersebut, maka publik Amerika kemudian mulai melakukan tuntutan kepada polisi untuk mengurangi kekerasan dalam menangani kejahatan kalau tidak ingin image polisi menjadi buruk dimata mereka.

Dari berbagai contoh hasil riset diatas, saya melihat bahwa legitimasi warga masyarakat sangatlah signifikan dalam kaitan dengan tingkat kepercayaan masyarakat. Disatu sisi, legitimasi masyarakat ternyata sangat bergantung pada persepsi warga tentang bagaimana polisi memperlakukan mereka dari pada persepsi keberhasilan polisi dalam mengurangi kejahatan. Kepercayaan masyarakat dan dukungan mereka pada polisi tampaknya sangat tergantung pada persepsi publik tentang bagaimana polisi memperlakukan mereka.

Ketika persepsi publik menjadi meningkat terhadap polisi, maka kepercayaan mereka juga otomatis meningkat dan pada akhirnya akan mempengaruhi kesediaan mereka untuk mematuhi hukum dan mematuhi polisi.

Sebuah pelajaran lain yang bisa dipetik adalah; bahwa ketika publisitas negatif yang berlebihan terhadap polisi di suatu daerah ternyata bisa berdampak secara nasional dan dapat menurunkan persepsi warga ditempat lain terhadap polisinya (yang pada akhirnya dapat menurunkan tingkat kepercayaan warga kepada polisi). Untuk itu, polisi sudah harus mulai memainkan peran public relation secara serius dalam rangka menata kelola publisitas polisi yang sudah berlebihan dewasa ini.

Polisi tidak perlu berkecil hati, karena tingkat persepsi publik itu tidak bersifat ”abadi” dan tentu saja bisa dikelola oleh para pakar kepolisian melalui berbagai langkah positif yang bisa dikembangkan oleh Polri. Berbagai langkah posisitf, seperti mengurangi tindakan kekerasan, mengurangi perilaku menyimpang, dan meningkatkan tindakan pada hal-hal kecil yang bernilai positif. Selain itu, polisi juga harus mulai dapat mengurangi publisitas berlebihan pada berita penegakkan hukum, karena apapun tindakan kepolisian pada penegakkan hukum akan memicu respon negatif dari pihak yang tidak senang yang pada akhirnya bisa berdampak pada penilaian negatif masyarakat tertentu. Tingkat ketertiban masyarakat Indonesia yang berbeda dengan Amerika, memerlukan pendekatan yang lebih membumi dan membutuhkan kejelian para manajer kepolisian dalam mengelola persepsi publik bagi peningkatan kepercayaan dan legitimasi kepolisian.

Salah satu hal yang bisa dikembangkan adalah bahwa ketika warga masyarakat secara bersama merasakan bahwa polisi itu ada untuk mereka, maka kesediaan mereka untuk bekerja sama mematuhi hukum dan termasuk mendukung penciptaan kondisi kamtibmas yang kondusif akan lebih mudah diwujudkan.