Kawasan Kalijodo selama ini dikuasai oleh dua kelompok geng yang menguasai lahan-lahan, tempat perjudian berdasarkan sistem kekerabatan.
Udara basah masih menyelimuti
Kompleks Kalijodo, Kelurahan Pejagalan, Kecamatan Penjaringan. Menjelang tengah
malam, 22 Januari 2002, di kawasan lokalisasi judi dan wanita tuna susila (WTS)
ilegal, gerimis belum berhenti. Becek menggenangi Jalan Kepanduan yang membelah
kawasan padat penduduk. Sebuah sepeda motor yang ditumpangi oleh Udin, seorang
jagoan setempat melintas perlahan.
Searah dengan motor, tiga pemuda,
Jalal, 31 tahun (bukan nama sebenarnya), Amad, 22 tahun, dan Yanto, 20 tahun,
berjalan beriringan, memenuhi gang. Mereka baru saja menyaksikan luapan Sungai
Banjir Kanal dari atas jembatan Trading. Di jalan yang sempit itu Udin yang
mengendarai sepeda motor berpapasan dengan iring-iringan tadi. Becek membuat
Udin memilih jalan yang lebih aman, namun akibatnya motornya nyaris menyenggol
Jalal. Jalal yang hampir terserempet itu pun mendelik tajam kepada si
pengendara motor yang nyaris mencelakainya.
Namun, mata si pengendara motor
membalas lebih galak. Dengan mata melotot, Udin membentak Jalal, “Kamu tidak
kenal saya!” Mendengar ancaman itu, Jalal pun menyahut dengan takut, “Saya
kenal Daeng, kita samasama kenal, maafin saya Daeng,” mendengar jawaban itu,
bergegaslah motor meninggalkan ketiga orang tersebut.
Rupanya masalah tak selesai sampai di
situ. Permintaan maaf tak membuat amarah jagoan itu reda. Ketika ketiga orang
sampai di depan rumah Jalal, Udin yang masih geram berbalik menghampiri Jalal.
Kali ini dengan sebilah badik di tangan. Dengan nada mengancam, kerah baju
Jalal ditarik, “Sekarang loe tau gua, gua mati’in loe!” kata Udin. Saat itu
sebuah bogem mentah mendarat di tengkuk jalal.
Jalal tak kalah cekatan, lepas dari
cengkeraman ia kabur ke dalam rumah. Diambilnya sebuah parang dari balik kasur
di kamarnya. Kali ini keduanya siap bertarung, sama-sama menghunus senjata.
Namun, Parang Jalal lebih panjang ketimbang badik Udin, duel menjadi tidak
imbang.
Udin sebelumnya di atas angin kini
kewalahan. Tiga kali bacokan mengenai tangan, kuping, dan leher Udin. Tebasan
ketiga itulah yang membuat jagoan jatuh tersungkur. Darah pun menetes di jalan
dari luka menganga. Darah bercampur air hujan yang masih menggenang.16
Melihat lawannya roboh, Jalal ambil
langkahseribu. Ia pun nekad melompat ke Sungai Banjir Kanal yang saat itu
tengah meluap karena banjir. Golok dan sarungnya ia lempar ke arus deras.
Pembunuh itu pun lenyap ditelan kegelapan malam. Dua kawan Jalal yang sedari
tadi menonton hanya terkesima. Kemudian mereka juga ikut lari meninggalkan
tempat kejadian. Mereka ngeri kena balasan kawankawan Udin.
Oleh warga sekitar Udin yang terkapar
kemudian dilarikan ke Rumah Sakit Atmajaya, Pluit. Namun lantaran banyak
mengeluarkan darah,nyawa Udin pun tak tertolong. Mendengar Udin mati, gemparlah
seluruh kawasan Kalijodo. Dalam sekejab massa yang kebanyakan kawan dan kerabat
Udin pun sudah berkumpul di tempat kejadian dengan berbagai senjata tajam
seperti tombak dan pedang terhunus. Mereka mencari si pembunuh.
Situasi pun bertambah genting,
mengingat Udin berasal dari kelompok Makassar dan kebetulan adik dari
Bedul—bukan nama sebenarnya—bos pemilik rumah perjudian yang punya banyak
pengikut. Sedangkan tersangka berasal dari Mandar, dua kelompok yang selalu
membuat keributan di Kalijodo.
Malam yang dingin oleh hembusan angin
laut tak meredakan amarah kelompok yang telah kehilangan jagoannya. Bedul yang
mendengar adiknya tewas oleh anak Mandar, langsung menghambur ke lokasi
kejadian. Padahal, saat mendapat kabar adiknya tewas, Bedul sedang menikmati
mimpi. Namun mimpi berakhir buruk ketika ia terjaga oleh kerabatnya yang
mengabarkan kejadian tragis itu. Naik pitamlah darah orang Bugis itu. Ia pun
berlari ia dari rumahnya.
Saat itu
di tempat kejadian, sudah hadir beberapa anggota polisi dari Polsek Penjaringan
yang sedang meredam massa. Saat itu sebagian massa hendak merusak rumah Jalal.
Rupanya, Bedul tidak dengan tangan kosong datang ke tempat kejadian. Sebuah
pistol ia tenteng dengan wajah merah padam. Pada saat bersamaan di lokasi
nampak Amrul (sebut saja demikian), salah satu tokoh dari kelompok Mandar, yang
saat itu sedang bersama polisi berpakaian preman, Bedul pun langsung merangsek,
dipukulnya Amrul dengan gagang pistol. Dua pukulan lain menghantam pipi dan
membuat bibir Amrul terluka.
Kejadian itu begitu cepat, membuat
petugas tak sempat bereaksi. Melihat penyerangnya membawa senjata api, Amrul
takut alang kepalang. Ia kabur menyelamatkan diri. Saat itulah Bedul menarik
pelatuk dor, dor, dua kali suara menggema di udara. Namun, Amrul lolos dan
selamat dari maut.
Saat itu, saya sedang berada tak jauh
dari lokasi kejadian. Saya kaget mendengar suara letusan, tadinya saya berpikir
itu suara senjata anak buah saya. Saya sempat bertanya, suara senjata siapa?
Namun, saat melihat Bedul masih menggenggam pistol, saya langsung memerintahkan
kepadanya untuk segera menyerahkan pistol itu. Namun, bukannya takut Bedul
malah balik menggertak, “Jangan ada yang mendekat!” teriaknya sambil
menodongkan pistol ke arah saya.
Nampak mata Bedul merah menyala menahan marah dan todongan
pistol membuat suasana seketika menjadi sangat tegang, semua mata warga tertuju
kepada Bedul. Jika pelatuk itu
ditarik tamat juga riwayat saya. Kalau pun melawan dengan mencabut pistol,
pasti ia lebih cepat menarik pelatuk. Dalam hitungan sepersekian detik, sambil
menatap tajam matanya, saya katakan, “Saya ini Kapolsek. Jika kamu tembak saya,
saya mati tidak masalah karena saya sedang bertugas demi bangsa dan negara.
Namun, kalau saya mati Anda semua akan habis!”
Rupanya kata-kata itu mengena, tensi
amarah Bedul sedikit mereda. Sambil menurunkan senjata, Bedul sempat
mengucapkan, “Saya tahu Bapak Kapolsek, tapi saya minta Bapak jangan ambil
senjata saya,” katanya. Setelah itu ia pun ngeloyor meninggalkan tempat kejadian.
Sehari kemudian media massa pun ramai
menuliskan kejadian itu. Harian Kompas yang walaupun terlambat satu hari,
paling lengkap menuliskan kejadian tersebut dengan judul, “Tukang Ojek Dibunuh
di Kalijodo.” Kompas dalam awal tulisan melukiskan, keributan terjadi di tempat
perjudian dan sentra lokalisasi wanita tuna susila (WTS) Kalijodo.
Sedangkan cerita penodongan ditulis
harian Kompas sebagai berikut: Bahkan,
menurut seorang saksi mata yang tidak mau disebutkan namanya, Bedul malam itu
sempat menodongkan pistolnya ke Kepala Polsek Metro Penjaringan, mungkin karena
tidak mengenal Kepala Polsek Penjaringan dan kebetulan Kepala Polseknya tidak
mengenakan seragam. “Namun,
setelah berdialog akhirnya Kepala Polsek bisa meredakan
suasana,” ungkap saksi yang enggan disebut namanya.17
Rupanya pemberitaan yang juga mengisahkan
drama penodongan itu, menarik perhatian para pimpinan Polda Metro Jaya. Banyak
pertanyaan dari teman-teman dan para pimpinan
di Polda,
seputar penodongan itu. “Saya katakan, saya lebih mementingkan peredaman keadaanketimbang menangkap Bedul saat itu juga. Suasana saat itu memang sangat emosional, juga setelah kejadian. Kedua kelompok yang
sebelumnya pernah bertikai, sama-sama menyiagakan para pengikutnya. Kawasan
Kalijodo selama ini dikuasai oleh dua kelompok geng yang menguasai lahan-lahan,
tempat perjudian berdasarkan sistem kekerabatan. Kelompok pertama adalah
kelompok Bedul berasal dari Makassar dan kelompok kedua Asman —bukan nama
sebenarnya— berasal dari Mandar.
Jalal, merupakan anggota kelompok
“Anak Macan”, sebuah organisasi preman yang diorganisir oleh Asman. Sedangkan
Udin adalah keponakan dari kelompok pesaing Asman, Bedul. Pembunuhan Udin kami
prediksikan dapat memantik perkelahian besar, antardua kelompok yang memang
sudah lama berseteru.
Prediksi ini didasari oleh keberadaan
kelompok Mandar di bawah pimpinan Asman yang sudah memiliki organisasi yang
rapi.
No comments:
Post a Comment