Friday, October 12, 2012

Matinya Seorang Jagoan


Kawasan Kalijodo selama ini dikuasai oleh dua kelompok geng yang menguasai lahan-lahan, tempat perjudian berdasarkan sistem kekerabatan.

Udara basah masih menyelimuti Kompleks Kalijodo, Kelurahan Pejagalan, Kecamatan Penjaringan. Menjelang tengah malam, 22 Januari 2002, di kawasan lokalisasi judi dan wanita tuna susila (WTS) ilegal, gerimis belum berhenti. Becek menggenangi Jalan Kepanduan yang membelah kawasan padat penduduk. Sebuah sepeda motor yang ditumpangi oleh Udin, seorang jagoan setempat melintas perlahan.
Searah dengan motor, tiga pemuda, Jalal, 31 tahun (bukan nama sebenarnya), Amad, 22 tahun, dan Yanto, 20 tahun, berjalan beriringan, memenuhi gang. Mereka baru saja menyaksikan luapan Sungai Banjir Kanal dari atas jembatan Trading. Di jalan yang sempit itu Udin yang mengendarai sepeda motor berpapasan dengan iring-iringan tadi. Becek membuat Udin memilih jalan yang lebih aman, namun akibatnya motornya nyaris menyenggol Jalal. Jalal yang hampir terserempet itu pun mendelik tajam kepada si pengendara motor yang nyaris mencelakainya.
Namun, mata si pengendara motor membalas lebih galak. Dengan mata melotot, Udin membentak Jalal, “Kamu tidak kenal saya!” Mendengar ancaman itu, Jalal pun menyahut dengan takut, “Saya kenal Daeng, kita sama­sama kenal, maafin saya Daeng,” mendengar jawaban itu, bergegaslah motor meninggalkan ketiga orang tersebut.
Rupanya masalah tak selesai sampai di situ. Permintaan maaf tak membuat amarah jagoan itu reda. Ketika ketiga orang sampai di depan rumah Jalal, Udin yang masih geram berbalik menghampiri Jalal. Kali ini dengan sebilah badik di tangan. Dengan nada mengancam, kerah baju Jalal ditarik, “Sekarang loe tau gua, gua mati’in loe!” kata Udin. Saat itu sebuah bogem mentah mendarat di tengkuk jalal.
Jalal tak kalah cekatan, lepas dari cengkeraman ia kabur ke dalam rumah. Diambilnya sebuah parang dari balik kasur di kamarnya. Kali ini keduanya siap bertarung, sama-sama menghunus senjata. Namun, Parang Jalal lebih panjang ketimbang badik Udin, duel menjadi tidak imbang.
Udin sebelumnya di atas angin kini kewalahan. Tiga kali bacokan mengenai tangan, kuping, dan leher Udin. Tebasan ketiga itulah yang membuat jagoan jatuh tersungkur. Darah pun menetes di jalan dari luka menganga. Darah bercampur air hujan yang masih menggenang.16
Melihat lawannya roboh, Jalal ambil langkahseribu. Ia pun nekad melompat ke Sungai Banjir Kanal yang saat itu tengah meluap karena banjir. Golok dan sarungnya ia lempar ke arus deras. Pembunuh itu pun lenyap ditelan kegelapan malam. Dua kawan Jalal yang sedari tadi menonton hanya terkesima. Kemudian mereka juga ikut lari meninggalkan tempat kejadian. Mereka ngeri kena balasan kawan­kawan Udin.
Oleh warga sekitar Udin yang terkapar kemudian dilarikan ke Rumah Sakit Atmajaya, Pluit. Namun lantaran banyak mengeluarkan darah,nyawa Udin pun tak tertolong. Mendengar Udin mati, gemparlah seluruh kawasan Kalijodo. Dalam sekejab massa yang kebanyakan kawan dan kerabat Udin pun sudah berkumpul di tempat kejadian dengan berbagai senjata tajam seperti tombak dan pedang terhunus. Mereka mencari si pembunuh.
Situasi pun bertambah genting, mengingat Udin berasal dari kelompok Makassar dan kebetulan adik dari Bedul—bukan nama sebenarnya—bos pemilik rumah perjudian yang punya banyak pengikut. Sedangkan tersangka berasal dari Mandar, dua kelompok yang selalu membuat keributan di Kalijodo.
Malam yang dingin oleh hembusan angin laut tak meredakan amarah kelompok yang telah kehilangan jagoannya. Bedul yang mendengar adiknya tewas oleh anak Mandar, langsung menghambur ke lokasi kejadian. Padahal, saat mendapat kabar adiknya tewas, Bedul sedang menikmati mimpi. Namun mimpi berakhir buruk ketika ia terjaga oleh kerabatnya yang mengabarkan kejadian tragis itu. Naik pitamlah darah orang Bugis itu. Ia pun berlari ia dari rumahnya.
 Saat itu di tempat kejadian, sudah hadir beberapa anggota polisi dari Polsek Penjaringan yang sedang meredam massa. Saat itu sebagian massa hendak merusak rumah Jalal. Rupanya, Bedul tidak dengan tangan kosong datang ke tempat kejadian. Sebuah pistol ia tenteng dengan wajah merah padam. Pada saat bersamaan di lokasi nampak Amrul (sebut saja demikian), salah satu tokoh dari kelompok Mandar, yang saat itu sedang bersama polisi berpakaian preman, Bedul pun langsung merangsek, dipukulnya Amrul dengan gagang pistol. Dua pukulan lain menghantam pipi dan membuat bibir Amrul terluka.
Kejadian itu begitu cepat, membuat petugas tak sempat bereaksi. Melihat penyerangnya membawa senjata api, Amrul takut alang kepalang. Ia kabur menyelamatkan diri. Saat itulah Bedul menarik pelatuk dor, dor, dua kali suara menggema di udara. Namun, Amrul lolos dan selamat dari maut.
Saat itu, saya sedang berada tak jauh dari lokasi kejadian. Saya kaget mendengar suara letusan, tadinya saya berpikir itu suara senjata anak buah saya. Saya sempat bertanya, suara senjata siapa? Namun, saat melihat Bedul masih menggenggam pistol, saya langsung memerintahkan kepadanya untuk segera menyerahkan pistol itu. Namun, bukannya takut Bedul malah balik menggertak, “Jangan ada yang mendekat!” teriaknya sambil menodongkan pistol ke arah saya.
Nampak mata Bedul merah menyala menahan marah dan todongan pistol membuat suasana seketika menjadi sangat tegang, semua mata warga tertuju kepada Bedul. Jika pelatuk itu ditarik tamat juga riwayat saya. Kalau pun melawan dengan mencabut pistol, pasti ia lebih cepat menarik pelatuk. Dalam hitungan sepersekian detik, sambil menatap tajam matanya, saya katakan, “Saya ini Kapolsek. Jika kamu tembak saya, saya mati tidak masalah karena saya sedang bertugas demi bangsa dan negara. Namun, kalau saya mati Anda semua akan habis!”
Rupanya kata-kata itu mengena, tensi amarah Bedul sedikit mereda. Sambil menurunkan senjata, Bedul sempat mengucapkan, “Saya tahu Bapak Kapolsek, tapi saya minta Bapak jangan ambil senjata saya,” katanya. Setelah itu ia pun ngeloyor meninggalkan tempat kejadian.
Sehari kemudian media massa pun ramai menuliskan kejadian itu. Harian Kompas yang walaupun terlambat satu hari, paling lengkap menuliskan kejadian tersebut dengan judul, “Tukang Ojek Dibunuh di Kalijodo.” Kompas dalam awal tulisan melukiskan, keributan terjadi di tempat perjudian dan sentra lokalisasi wanita tuna susila (WTS) Kalijodo.
Sedangkan cerita penodongan ditulis harian Kompas sebagai berikut: Bahkan, menurut seorang saksi mata yang tidak mau disebutkan namanya, Bedul malam itu sempat menodongkan pistolnya ke Kepala Polsek Metro Penjaringan, mungkin karena tidak mengenal Kepala Polsek Penjaringan dan kebetulan Kepala Polseknya tidak mengenakan seragam. “Namun,
setelah berdialog akhirnya Kepala Polsek bisa meredakan suasana,” ungkap saksi yang enggan disebut namanya.17
Rupanya pemberitaan yang juga mengisahkan drama penodongan itu, menarik perhatian para pimpinan Polda Metro Jaya. Banyak pertanyaan dari teman-teman dan para pimpinan di Polda,
seputar penodongan itu. “Saya katakan, saya lebih mementingkan peredaman keadaanketimbang menangkap Bedul saat itu juga. Suasana saat itu memang sangat emosional, juga setelah kejadian. Kedua kelompok yang sebelumnya pernah bertikai, sama-sama menyiagakan para pengikutnya. Kawasan Kalijodo selama ini dikuasai oleh dua kelompok geng yang menguasai lahan-lahan, tempat perjudian berdasarkan sistem kekerabatan. Kelompok pertama adalah kelompok Bedul berasal dari Makassar dan kelompok kedua Asman —bukan nama sebenarnya— berasal dari Mandar.
Jalal, merupakan anggota kelompok “Anak Macan”, sebuah organisasi preman yang diorganisir oleh Asman. Sedangkan Udin adalah keponakan dari kelompok pesaing Asman, Bedul. Pembunuhan Udin kami prediksikan dapat memantik perkelahian besar, antardua kelompok yang memang sudah lama berseteru.
Prediksi ini didasari oleh keberadaan kelompok Mandar di bawah pimpinan Asman yang sudah memiliki organisasi yang rapi.

No comments:

Post a Comment