Wednesday, October 21, 2015

Tempat Aman Anak Untuk Anak Indonesia



Bapak Kapolda beserta para stakeholder
Hari ini, 21 Oktober 2015, bapak Kapolda Metro Jaya dalam acara Coffee Break Bersama Kapolda Metro Jaya mendeklarasikan sebuah inisiatif di wilayah hukum Polda Metro Jaya yang bernama ‘Tempat Aman Anak.’ Dalam kesempatan ini, saya ingin menjelaskan sedikit mengenai apa itu yang dimaksud dengan ‘Tempat Aman Anak’ atau TAA.

Inisiatif TAA ini merupakan inisiatif yang muncul ketika kami mengungkap kasus pembunuhan atas adik kita Putri Nur Fauzia. Selain kasus tersebut, fakta bahwa angka kejahatan terhadap anak cukup tinggi dari tahun ke tahun turut menjadi pemicu kami dalam menelurkan inisiatif ini. 

Tuesday, October 20, 2015

Menjaga Kepedulian Perlindungan Anak



Kemarin, 19 Oktober 2015, Polda Metro Jaya baru saja menjadi tuan rumah bagi deklarasi ‘Stop Kekerasan Terhadap Anak’ yang melibatkan berbagai elemen masyarakat dan negara. Dihadiri oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Asosiasi Manajer Artis Indonesia (AMARI), dan Himpunan Advokat Indonesia (HAMI) serta beberapa selebritis, deklarasi tersebut dibacakan dan ditandangani oleh Kapolda Metro Jaya dan para perwakilan unsur yang hadir.
Penandatanganan deklarasi oleh Kapolda

Deklarasi ini merupakan bentuk konkret Polda Metro Jaya yang baru saja melalui pengungkapan kasus kekerasan terhadap anak yang menyita perhatian publik, yaitu kasus pembunuhan dan kekerasan seksual terhadap Putri Nur Fauzia. Pada tulisan kali ini, saya ingin mengangkat pengungkapan kasus yang menimpa Putri Nur Fauzia sebagai pengingat bagi kita dan apresiasi saya terhadap satgas yang mengungkapkan kasus ini.

Thursday, October 8, 2015

Darurat Perlindungan Anak Indonesia



Putri Nur Fauziah menjadi korban kesekian kalinya dari predator-predator yang mengincar anak-anak. Walaupun bukan yang pertama, kasus ini menjadi indikasi bahwa kasus kekerasan, apapun bentuknya, terhadap anak sudah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Adik kita ini tidak hanya mengalami kekerasan seksual dan fisik, bahkan nyawanya pun dihilangkan oleh para pelaku. Kita tidak lagi bisa bersikap biasa saja atau malah lupa atas kasus-kasus seperti ini.


Apabila kita berbicara tentang kekerasan seksual terhadap anak-anak, kita akan menemukan bahwa kasus ini cukup banyak terjadi. Baru saja kami menangkap tiga orang tersangka dimana satu orang mencabuli anak tetangganya, satu orang mencabuli teman anaknya, dan yang paling memperihatinkan satu orang mencabuli anak kandungnya sendiri berkali-kali.

Sesaat sebelum penyisiran TKP untuk mencari barang bukti

Barangkali masih ada yang ingat nama Robot Gedek, kemudian Baekuni alias Babeh. Keduanya melakukan kekerasan seksual sekaligus membunuh para korbannya yang kesemuanya adalah anak-anak dibawah umur. Sebelum ini ada kasus Angeline di Bali yang juga menyita perhatian masyarakat. Walaupun perhatian masyarakat sangat tinggi, kejadian yang sama masih terus terjadi.

Mungkin tidak banyak yang menyadari bahwa kasus kekerasan terhadap anak, khususnya kekerasan seksual terhadap anak, tidak hanya dilakukan oleh orang asing, tetapi justru banyak juga dilakukan oleh orang yang dekat dengan korban. Kasus-kasus seperti ini selayaknya menjadi sebuah peringatan bagi kita bahwa kita harus mengawasi dengan baik lingkungan dimana anak-anak beraktivitas. Mulai dari lingkungan rumah, sekolah, dan dimana sang anak beraktivitas sehari-harinya.

Dengan adanya kasus-kasus seperti ini, saya rasa sudah saatnya Indonesia membudayakan sebuah kebiasaan yang mengajarkan anak-anak kita kewaspadaan terhadap orang asing dan tindakan-tindakan yang berpotensi mengarah kekerasan dan pelecehan seksual.

Saya mengambil contoh di Amerika Serikat, dimana perlindungan terhadap anak sudah membudaya baik di tengah masyarakat maupun pengambil kebijakan. Saya mengambil contoh Amerika Serikat karena pernah melihat langsung praktek perlindungan tersebut. Konteks perlindungan anak disini menggunakan Bahasa abuse, kalau dipadankan ke Bahasa Indonesia bisa dikatakan sebagai perbuatan yang kejam, kekerasan, atau penyiksaan. Di New York, perlindungan terhadap anak ini mencakup kekerasan fisik, kekerasan seksual, hingga penelantaran yang terkait dengan kesejahteraan anak.

Kembali ke budaya, saya memperhatikan bahwa para orangtua di Amerika Serikat akan terbiasa mengajarkan anak-anak mereka untuk waspada terhadap orang asing. Mereka diajarkan untuk tidak berbicara dengan orang asing, menghampiri orang yang tidak dikenal, dan bagaimana bereaksi terhadap orang asing yang menghampiri mereka. Mereka juga diajarkan untuk mengidentifikasi bagaimana mencari bantuan ketika tersesat atau semisalnya, dengan menghampiri Polisi atau menelpon 911 untuk meminta bantuan.

Contoh buku anak-anak yang mengajarkan kewaspadaan
Slogan seperti ‘no, go, yell, tell’ merupakan salah satu slogan yang popular dan diajarkan pada anak-anak. Slogan tersebut dapat diartikan dengan mengatakan tidak pada orang tak dikenal yang menghampiri, pergi dengan segera dari orang tersebut, berteriak agar menarik perhatian orang lain, dan segera memberitahukan pengalaman tersebut pada orang dewasa yang dikenal seperti orang tua, guru, dan lainnya.

Hal-hal tersebut sangat membudaya sehingga orang-orang dewasa akan segera waspada apabila melihat ada orang tidak dikenal yang berada di lingkungan mereka dan mendekati anak-anak. Para anak-anak pun sudah terbiasa untuk tidak mendekati orang-orang yang mereka tidak kenali sebelumnya dan meminta bantuan orang-orang yang dipercaya.

Charles Hynes saat pencanangan program Safe Stop (patch.com)
Budaya perlindungan ini juga terlihat dari reaksi publik pasca terjadinya kasus pembunuhan terhadap Leiby Kletzky pada tahun 2011, di Brooklyn, New York. Leiby dikabarkan hilang ketika ia berjalan sendiri saat pulang dari acara perkemahan dan kemudian ditemukan tewas dengan kondisi tubuhnya termutilasi. Kematiannya memicu District Attorney (Jaksa) bagian Brooklyn, Charles Hynes, untuk mencanangkan program Safe Stop. Program ini dilaksanakan dengan memasang sticker bertuliskan Safe Stop di depan toko-toko daerah Brooklyn yang artinya toko tersebut aman bagi anak-anak yang tersesat dan membutuhkan tempat untuk berlindung.

sticker safe stop di salah satu toko (https://www.causes.com/posts/810286)
Program Safe Stop tersebut ditunjang dengan adanya sistem identifikasi yang baik dari pemerintah. Selain itu, program tersebut juga menggunakan pemeriksaan latar belakang yang intensif untuk memastikan tempat tersebut memang benar aman bagi anak.

Berkaitan dengan program di atas, New York memilliki Sex Offender Registration Act, Peraturan Registrasi Pelaku Kejahatan Seksual, dimana para pelaku kejahatan seksual yang terbukti diharuskan mendaftarkan dirinya kepada New York State Division of Criminal Justice Services selama sepuluh tahun atau lebih sejak si pelaku terbukti melakukan tindakannya. Berdasarkan registrasi tersebut, penegak hukum local dapat mengabarkan warga, terutama populasi yang dinilai rentan seperti sekolah, bahwa ada seorang yang pernah menjadi pelaku kejahatan seksual dan dinilai berpotensi mengulangi kejahatannya berada di komunitas mereka.

Pada contoh ini, seorang pelaku kejahatan seksual tidak akan lepas dari pengawasan negara dan masyarakat. Ia akan terus diwaspadai dan diamati untuk menghindari kemungkinan terulangnya tindak pidana tersebut.

Selain program dan regulasi tersebut, New York City Department of Education, semacam dinas pendidikan bagi kita disini, mengeluarkan peraturan-peraturan spesifik untuk mengamankan anak dari bahaya kekerasan seksual. Mereka mengatur hal-hal berikut ini:

1.    Siswa tidak boleh pulang dengan orang asing

2.    Siswa tidak boleh berbicara dengan orang asing

3.    Siswa tidak boleh menerima barang apapun dari orang asing

4.    Jika siswa didekati orang asing saat berada di dekat sekolah, siswa harus segera kembali ke sekolah dan memberitahukan staf sekolah

5.    Siswa yang masih kecil harus diantar dan dijemput

6.    Siswa yang lebih tua sebisa mungkin pergi dan pulang sekolah dengan berkelompok



Dari contoh yang saya perhatikan di atas, saya melihat bahwa semuanya berawal dari budaya di tengah masyarakat. Saya merasa budaya yang sama penting untuk kita tanamkan di Indonesia. Sebuah budaya kewaspadaan untuk melindungi anak-anak kita.


Misalnya saja dengan cara kita mengajarkan anak-anak kita untuk mengenali siapa saja yang boleh menyentuh diri mereka. Misalnya saja orang tua, saudara kandung, atau orang yang kita percaya untuk berinteraksi dengan anak-anak kita. Selain itu, mengajarkan anak-anak kita untuk berani mengatakan frase-frase yang menunjukkan penolakan, seperti ‘JANGAN SENTUH SAYA’ atau berteriak ‘JANGAN DEKATI SAYA’ ketika ada orang lain berusaha mendekatinya.

Frase di atas dapat juga ditunjukkan kepada orang-orang terdekat. Karena kita juga melihat bahwa pelaku kekerasan seksual terhadap anak banyak berasal dari orang terdekat seperti keluarga, guru, dan teman. Mengajarkan anak-anak tentang diri atau fisik mereka, bahwa mereka tidak boleh disentuh sembarangan, dan ketika disentuh harus dengan tegas menunjukkan penolakan merupakan hal yang penting.

Katakan TIDAK pada orang asing (Richard Sheppard/Alamy- Guardian.com)
Jadi pada poin selain kemampuan menolak, kita juga harus menjelaskan kepada anak-anak kita mengenai ruang pribadi mereka. Bahwa diri mereka berharga dan tidak boleh disentuh sembarangan. Dengan menyadari ini, diharapkan penolakan akan keluar dengan sendirinya.

Saya tidak bermaksud untuk menumbuhkan budaya untuk saling mencurigai antar anggota masyarakat, akan tetapi lebih ke peningkatan kewaspadaan. Sudah banyak jatuh korban dan saya rasa kita tidak ingin ada korban-korban lain berjatuhan. Justru saya mendorong keterlibatan masyarakat untuk secara bersama-sama melindungi anak-anak kita semua dari ancaman-ancaman predator yang ada.

Salah satu contoh keterlibatan masyarakat, selain dari pembudayaan kewaspadaan dari lingkungan terdekat, dapat dilakukan melalui konsep Pencegahan Kejahatan Melalui Perancangan Lingkungan (PKMPL), dimana PKMPL merupakan terjemahan dari CPTED (Crime Prevention Through Environmental Design). Pendekatan ini merupakan merupakan altematif pendekatan dengan mengurangi atau mencegah kriminalitas dengan merancang kota atau lingkungan dengan mempersempit atau mengurangi kesempatan untuk berbuat kriminalitas.

Berikut ini sedikit ulasan yang pernah saya tuliskan tentang komponen utama PKMPL:
  1. mengurangi akses kriminalitas dengan perlengkapan kunci, jendela dan kamera pengawas.
  2. Perubahan terhadap lingkungan fisik, sehingga mengurangi kesempatan untuk melakukan kejahatan. Secara alami dikenali adanya upaya untuk mengurangi kriminalitas, yaitu:
1)    Menciptakan ruang yang tanpa disadari dapat mengikut sertakan sebanyak mungkin orang untuk terlibat dalam pengawasan, dan mencegah masuknya orang yang tidak dikenal kedalam kawasan, melalui konsep 'mudah terlihat dan terawasi dari jalan';

2)   tidak menciptakan ruang yang tertutup dari pengawasan, serta membatasi akses masuk ke kawasan;

3) tidak menciptakan ruang-ruang yang tidak terdefinisi dengan jelas peruntukannya, atau sebaliknya menciptakan batas-batas kepemilikan yang jelas; sehingga orang asing merasa tidak nyaman berada di lingkungan tersebut;

4) menempatkan aktivitas lingkungan yang sekaligus dapat mengawasi keamanan lingkungan;

5)  melakukan pemeliharaan rutin, untuk memberikan kejelasan teritorial dan pengawasan alami. komponen lansekap hendaknya tidak membuat ruang-ruang terisolasi atau tersembunyi, hingga berpotensi sebagai tempat bersembunyi.

  1. Peningkatan komunikasi dengan lingkungan sosial melalui penguatan organisasi lingkungan atau kemasyarakatan. Secara fisik desain rumah dan lingkungan. yang baik hendaknya dapat mendorong komunikasi sosial, interaksi antar tetangga serta menghilangkan fear of crime (ketakutan atas kejahatan).

Contoh implementasi PKMPL (Peel Regional Police, Ontario, Kanada)
Selengkapnya tentang PKMPL dapat dibaca disini.

Polda Metro Jaya selalu berupaya sekuat tenaga mengungkap kasus-kasus seperti ini, akan tetapi kami berharap bahwa kasus-kasus seperti ini tidak terjadi lagi. Sebagaimana saya katakan di atas, saya mendorong keterlibatan dan dukungan seluruh stakeholder perlindungan anak untuk terlibat aktif dalam kampanye perlindungan anak. 

Selain peningkatan kinerja pemerintah, saya juga mendorong masyarakat untuk secara aktif menjaga anak-anak kita dan mendidik mereka agar terhindar dari ancaman predator-predator biadab ini. Pemerintah kita juga telah melakukan beberapa inisiatif perlindungan anak, salah satunya bekerjasama dengan UNICEF di gerakan Pelindung Anak (klik disini untuk ke laman Pelindung Anak) dengan konsep bahwa siapa saja, baik remaja maupun orang dewasa, adalah pelindung bagi anak-anak di wilayahnya.

Saya mendukung inisiatif seperti ini dimana masyarakat juga turut serta aktif dalam memberikan perlindungan kepada anak. Disaat yang sama, kita bersama membangun budaya dan sistem yang dapat melindungi anak-anak kita. Selain itu, saya juga menegaskan bahwa kami tidak akan berhenti memburu para predator yang melakukan tindakan keji seperti ini, dan akan menindak tegas siapapun yang berani melanggar.

Semoga kedepannya kita dapat membangun kebiasaan dan sistem yang dapat melindungi anak-anak kita dari kejahatan seperti ini, sehingga anak-anak kita yang juga masa depan bangsa dapat tumbuh dan berkembang dengan aman.

Salam hormat

Friday, October 2, 2015

Penjualan Tiket Palsu



Bagi seorang penggemar berat klub sepakbola, grup band musik, maupun penyanyi, menghadiri perhelatan mereka merupakan hal yang tak boleh terlewati. Banyak yang tak segan untuk mengeluarkan uang dalam jumlah besar untuk memenuhi kerinduan menyaksikan secara langsung penampilan idolanya. Sebuah hal yang sangat bisa dimengerti. Akan tetapi akan menjadi sebuah masalah apabila tiket yang dibeli ternyata palsu!

Demikian yang terjadi pada saat Bon Jovi, sang musisi legendaris, datang ke Jakarta untuk menampilkan keahliannya. Tiket siap dijual melalui website-website yang sudah ditunjuk oleh penyelenggara, bahkan ada juga dari calo-calo yang sengaja membeli tiket lalu menjual kembali. Atau dari mereka yang sebenarnya ingin hadir tapi tidak bisa hadir. Pada kasus kali ini, masalahnya terletak pada oknum yang mengaku memiliki tiket tapi ternyata palsu.

Thursday, October 1, 2015

Mencapai Manajemen Penanganan Kasus Yang Optimal



Pada hari Rabu, 30 September 2015, saya mengikuti sebuah acara Focused Group Discussion (FGD) yang diadakan oleh Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Republik Indonesia. Tema yang diangkat pada bahasan tersebut adalah: Perbaikan Manajemen Penanganan Kasus Pada Satuan Reskrim Polri.

FGD ini menjadi sarana baik bagi Kompolnas maupun bagi para peserta, yang umumnya berasal dari satuan Reskrim, untuk mengeksplorasi isu tentang manajemen penangan kasus oleh satuan Reskrim. Pada kesempatan kali ini saya ingin berbagi beberapa hal menarik dan penting yang saya dapatkan pada FGD tersebut serta beberapa perspektif saya pribadi.