Wednesday, May 21, 2014

BEAT PROFILING PADA TUGAS KEPOLISIAN

Mengapa terjadi kemerosotan hubungan Polisi dan Masyarakat: Menurut saya alasan  merosotnya hubungan polisi dengan masyarakat  tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

Pertama, Munculnya gerakan reformasi yang menekankan prinsip-prinsip bahwa kewenangan polisi harus didasarkan pada hukum, penegakan hukum adalah tugas utama kepolisian, dan akhirnya memunculkan asumsi tanggung jawab warga terhadap Kamtibmas yang ada selama ini  telah beralih menjadi tanggung jawab pemerintah/ polisi.

Kedua, gerakan menuju profesionalisasi telah menyebabkan semakin terisolasinya  polisi dari  masyarakat yang dilayaninya, walaupun keadaan ini belum dirasakan menghambat kegiatan tugas-tugas kepolisian. Pada era ini idiologi yang mengemuka adalah bahwa polisi sebagai  professional merupakan orang yang paling mengetahui tentang Kamtibmas dan bahwa masyarakat tidak harus terlibat aktif dalam kegiatan polisi kecuali sekedar memberi informasi tentang kejahatan.

Ketiga, Kebijakan tentang  penugasan anggota polisi yang sering dipindah tugas dari satu penugasan ke penugasan lainnya. Kebijakan ini selain dimaksudkan untuk ”tour of duty”; pembinaan karier juga dimaksudkan untuk mencegah terjadinya Korupsi/KKN. Hal ini berakibat banyaknya polisi kurang mengenal warga dan lingkungan tempat tugasnya.

Keempat, kebijakan manajemen sentralistik yang bertujuan agar anggota mengikuti prosedur standar operasi yang ditetapkan oleh pusat. Kebijakan ini dimaksud untuk mendorong profesionalisme dan agar polisi tidak memihak/netral dalam pelaksanaan tugas. Kebijakan sentralistik ini telah berakibat praktek birokrasi dan depersonalisasi dalam pemolisian.

Kelima, peningkatan penggunaan mobil patroli telah mengurangi kegiatan patroli jalan kaki secara signifikan. Selama ini patroli jalan kaki sangat efisien karena kedekatannya dengan warga, berbeda dengan patroli bermobil yang kurang mudah didekati karena kecepatannya. Polisi semakin jauh dan tidak mengenal dengan baik  warga yang harus dilayaninya.

Keenam, kemajuan teknologi kepolisian terutama dibidang telekomunikasi, informasi teknologi, computer dan lain-lain semakin menjauhkan polisi dari masyarakat.



BEAT PROFILING

Strategi pemolisian tradisional yang selama ini dijalankan adalah pertama, patroli pencegahan (preventive patrol). Kedua, reaksi cepat ke TKP (rapid response), dan ketiga, penyidikan tindak pidana (follow-up investigation) dinilai sebagai strategi pemolisian tradisional  yang tidak efektif telah menyebabkan angka kriminalitas  yang semakin meningkat dan  tantangan tugas kepolisian yang semakin besar.

Indikatornya:
Pertama, masyarakat perkotaan mengalami berbagai masalah seperti Narkoba, perjudian, ancaman premanisme, kejahatan jalanan, dan tingkat kejahatan kekerasan yang cukup tinggi. Hal yang sama juga mulai dirasakan masyarakat yang tinggal di pinggiran kota maupun pedesaan.

Kedua, perubahan masyarakat yang terjadi pada struktur masyarakat, ikatan keluarga tradisional yang sebelumnya kuat mulai melemah. Peranan sekolah dan pendidikan agama dalam membina warga juga semakin melemah.  Masyarakat terutama di perkotaan berkembang menjadi semakin majemuk dengan nilai-nilai dan budaya  yang semakin berbeda. Kesenjangan sosial dan ekonomi dikalangan warga semakin lebar dan mengkhawatirkan.

Ketiga,  dalam situasi seperti ini, gangguan kriminalitas dan ketidak tertiban semakin menonjol, yang diikuti dengan kemerosotan  lingkungan hidup warga telah menyebabkan meningkatnya rasa tidak aman dikalangan masyarakat. Dilain pihak strategi pemolisian tradisional yang dijalankan ternyata tidak mampu mengatasi berbagai masalah tersebut.
Kesimpulan dari situasi ini adalah bahwa perpolisian tradisional yang dijalankan selama ini telah kurang optimal dalam menjamin Kamtibmas yang didambakan warga sehingga perlu strategi baru  dalam pemolisian.

Sebagai upaya untuk mengatasi berbagai masalah tersebut diatas maka kita semua perlu memahami kembali Konsep Problem-oriented Policing (Pemolisian berorientasi masalah) diperkenalkan oleh Prof Herman Goldstein pada 1979, konsep ini pada dasarnya melihat kejahatan sebagai puncak gunung es yang dibawahnya terdapat masalah dan akar masalah.

Selama ini polisi cenderung menangani kasus-kasus kejahatan yang terjadi. Konsep ini menyarankan agar dilakukan analisa atas kejahatan-kejahatan yang terjadi agar dapat mengungkapkan akar masalah penyebab kejahatan. Menanggulangi akar masalah akan dapat menghilangkan sekaligus berbagai kasus kejahatan yang terjadi berulang-ulang.

Metode ini merubah cara penanganan kejahatan yang semula reaktif menangani kasus menjadi proaktif dengan menangani akar masalah kasus-kasus tersebut.  Metode pemecahan masalah yang populer digunakan antara lain menggunakan model SARA (Scanning, Analysis, Response, dan Assess ) dan Segitiga Kejahatan ( Cirme triangle ) yaitu analisa terhadap korban, lokasi, dan pelaku. Ketrampilan baru sebagai Crime Analyst menjadi penting dalam organisasi kepolisian.

Dalam hal ini saya ijin memperkenalkan konsep “beat profiling”, para anggota yang bertugas disuatu lingkungan bersama warga mulai mempelajari topografi, demografi, dan sejarah situasi kamtibmas wilayah tugasnya. Anggota diberikan kebebasan menetapkan patroli sesuai kondisi daerah masing-masing dan harapan warga. Bahwa sangat penting untuk mendapatkan dukungan dan partisipasi warga. Polisi harus kembali bermitra/ bekerja sama dengan warga dan menggunakan pendekatan pemecahan masalah bersama warga, bila ingin berhasil dalam memelihara Kamtibmas.


Monday, May 19, 2014

APA YANG SALAH DENGAN BANGSA INI?

Apakah pembangunan sektor sosial (pendidikan, kesehatan dsb.) telah mengembangkan kwalitas interaksi sosial atau nilai-nilai budaya masyarakat secara keseluruhannya? 

Apakah Pembangunan Sektor pendidikan kita saat ini mampu mengembangkan kreativitas ilmiah atau kemandirian manusia Indonesia? 

Apakah pembangunan sektor kesehatan mampu mengembangkan pola perilaku sehat

Apakah pembangunan sektor agama dapat mengembangkan nilai kerukunan?.

Samuel Huntington pada tulisannya di buku Culture Maters, menggambarkan bahwa: pada tahun 1960-an Ghana dan Korea Selatan memiliki kondisi ekonomi yang kurang lebih sama. Tigapuluh tahun kemudian Korea telah menjadi negara maju, tetapi Ghana hampir tidak mengalami kemajuan apapun dan saat ini GNP per capitanya hanya seperlimabelas Korea Selatan.  Ini disebabkan (terutama) karena bangsa Korea (selatan) memiliki nilai-nilai budaya tertentu seperti: hemat, kerja keras, disiplin dsb. Semua ini tidak dimiliki masyarakat Ghana.

Bagaimana Indonesia dibanding Malaysia dan Korea Selatan? Apakah bangsa kita termasuk pada katagori “kebudayaan yang terkalahkan” (defeated culture)??. Pertanyaan besarnya adalah, Apakah kita ditakdirkan untuk terbelakang?. Apakah kebudayaan merupakan sesuatu yang melekat (inherent) pada suatu masyarakat?, tidak mungkin dirubah atau dibangun?. Pertanyaan yang lebih penting adalah:”Apakah kita memang  telah membangun budaya kita selama ini?”.  Apakah pembangunan kita telah membangun juga unsur-unsur budaya?, atau hanya sibuk mengejar pertumbuhan ekonomi semata?

Pemerintah Orde Baru telah berhasil mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi (rata-rata 7%) pada  kurun waktu satu dekade (1990 an) sehingga Indonesia disebut “economic miracle” dan dikategorikan sebagai “Macan Asia” oleh Bank Dunia. Namun apa reaksi rakyat?  Pada akhir dekade itu Suharto digulingkan oleh gerakan Reformasi Rakyat.

Saat ini dimasa reformasi, ekonomi makro kita  selalu dilaporkan baik, pertumbuhan ekonomi beberapa tahun terakhir berada diatas 6% walaupun  terjadi krisis di Amerika dan Eropa. Namun apa reaksi rakyat? : cacimaki rakyat, demo, boikot dsb.

Bila kita merujuk pada Jajak pendapat (Kompas 2013), terkait dengan Aspirasi sosial- budaya rakyat ternyata Pembangunan bukan hanya ”meningkatkan angka pertumbuhan ekonomi”,  tetapi meningkatkan ”kualitas kehidupan Sosial-budaya” .
Ø  60,8% responden tidak puas pada kinerja Pemerintah menjaga kebhinekaan
Ø  65.5 % persen tidak puas pada Pemerintah menjaga kerukunan
Ø  67.4% tidak puas pada pencegahan konflik antar etnis.
Ø  54% merasa  warga minoritas belum terlindungi dalam beribadah dan mendirikan rumah ibadah. Mereka juga merasa tidak terlindungi dari kekerasan.

Saat ini pengukuran kinerja pemerintah Sangat Kuantitatif karena didominasi oleh GNP dan GDP. Padahal Kehidupan Sosial-Budaya bersifat kualitatif  perlu seperti :
Ø  kehidupan politik yang lebih demokratis dan bisa dipercaya,
Ø  kehidupan beragama yang lebih toleran dan sejuk,
Ø   hubungan  etnis yang rukun dan mesra,
Ø  sikap budaya yang lebih multikultur,
Ø  kehidupan yang lebih aman dan bebas dari ketakutan dan kekerasan,
Ø  hak azasi yang lebih dihargai dan dilindungi, 
Ø  bakat dan kreativitas yang lebih diberi tempat,
Ø  aspirasi yang lebih didengar dsb.

Pada tahun 1994 di Copenhagen diselenggarakan “World Summit of Social Development yang lebih menekankan “Pembangunan Sosial” terutama pada isu kemiskinan. Untuk itu perlu dicatat bahwa kemiskinan material hanya merupakan suatu akibat dari masalah yang lebih mendasar dalam kehidupan sosial-budaya suatu bangsa yaitu eksklusi sosial (tidak dipenuhinya hak-hak dasar kehidupan secara merata bagi seluruh warga Negara).

PBB melalui UNDP telah  memperkenalkan Human Developmen Index (HDI) menekankan pada “kualitas manusia” (pendidikan dan kesehatan). Kriteria baru untuk mengukur keberhasilan pembangunan  setiap negara  (disamping GNP) berupa Human Development Report (HDR). Saat ini kita juga melihat munculnya berbagai indeks Pembangunan yang lebih “manusiawi” seperti Happy Planet index, Social Development indicator, Cultural Development dan sebagainya.

Dari sini kita bisa melihat bahwa yang terpenting dari pembangunan aspek sosial-budaya adalah “nilai” yang membimbing pembangunan itu. Pembangunan yang hanya berorientasi pada pertumbuhan jelas bukan merupakan pembangunan “yang sebenarnya” karena tidak ada substansi nilai-nilai yang menjadi acuannya. Misalnya pada pembangunan pendidikan, bila hanya diukur dari berapa “pertumbuhan” jumlah sekolah yang dibangun, berapa jumlah lulusan dsb., maka itu bukan “pembangunan nilai”. Pertanyaan besar kita pada fenomena Ujian Nasional saat ini, Apakah  UN menghasilkan kehidupan Sosial-Budaya yang lebih baik?”

Apa makna dari ini semua? Pembangunan Sosial-Budaya  banyak diartikan sebagai “sektor” sosial budaya yang seolah olah inputnya uang namun outputnya bukan uang. Saat ini Yang kita perlukan adalah: kualitas “kehidupan Sosial-Budaya”. Untuk itu Ilmu-ilmu Sosial dan Budaya harus berani  mengajukan  “proposisi” bahwa membangun manusia haruslah melalui pembangunan Masyarakatnya,  Bellah misalnya, mengatakan: It is difficult to be a good person  in the absence of good society.(Robert Bellah)

Paulus Wirutomo, seorang sosiolog menawarkan  konsep Pembangunan Sosial  yang bersifat sosiologis  dimana pembangunan Pembangunan Elemen dasar kehidupan Sosial harus mengacu kepada tiga hal: struktur, kultur dan proses sosial.


STRUKTUR SOSIAL
Struktur  Sosial  diartikan sebagai pola hubungan (terutama hubungan kekuasaan) antara kelompok  sosial. Instrumen struktural digambarkan oleh Paulus sebagai alat dari suatu  kelompok sosial untuk  memaksa, memerintah, atau memberi kendala pada manusia atau kelompok yang lain yang dapat menimbulkan  “kekuatan Struktural”.

Kekuatan Struktural bisa menimbulkan  kesenjangan  sosial dan  ketidakadilan. Kekuatan “Struktur Sosial” bisa dilembagakan (institutionalized) secara legal-formal (seperti Undang-Undang, kebijakan Pemerintah dsb.), maupun yang tidak, misalnya kekuatan “memaksa” dari dunia usaha yang walaupun tidak memiliki kekuatan hukum resmi untuk memerintah, tetapi efektif mengatur kehidupan masyarakat luas (melalui iklan, fasilitas fisik yang diciptakan dsb). Kekuatan struktural inilah yang sering digunakan oleh penguasa untuk membangun  pola dominasi yang menindas  di masyarakat

Pembangunan di masyarakat kita saat ini selalu gagal mensejahterakan sebagian besar masyarakat Indonesia karena kondisi struktural kita yang sudah kritis.  Kemiskinan yang terjadi di negeri ini terutama adalah “kemiskinan struktural” yaitu: adanya sistem kekuasaan yang sengaja menciptakan dan mempertahankan kesenjangan pembagian “resources” (segala sumber-sumber mulai dari sumberdaya alam, pekerjaan, kredit, keadilan hukum, pelayanan publik, pendidikan dsb.).

Gambaran kemiskinan struktural di Indonesia
- rata-rata penguasaan lahan petani di pedesaan kini dibawah 0.25 ha. Bandingkan dengan para investor perkebunan sawit masing-masing memperoleh ijin untuk menguasai puluhan ribu hektar.
- Luas tanah terlantar:  7,3 juta ha  (133 kali luas Singapore), 85% dikuasai swasta. 
- Ketimpangan pendapat di Indonesia saat ini telah mencapai 0.536 pada skala Ginie (padahal 0.5 sudah merupakan titik kritis).
- Dari seluruh perkebunan sawit di Indonesia 59% berkonflik dengan rakyat (591 kasus).
- Sejak 2004-2012 terdapat 618 konflik agraria dengan areal 2.399.314,49 ha dan lebih  dari 731.342 keluarga menjadi korban ketidakpastian agraria.
- Pemerintah menyerahkan kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang mempunyai tugas antara lain: reformasi agraria dan penanganan masalah sengketa  pertanahan.
- BPN bekerja berdasar peraturan setingkat PP.

Di masa lalu Bung Karno menempatkan land reform  sebagai sebuah program politik. Tanah tidak boleh menjadi alat untuk menindas dan memeras hidup orang lain. Gambaran diatas menunjukan struktur yang timpang dan telah menjebak masyarakat kita dalam ketidak adilan yang akut. Kebijakan pembangunan ekonomi yang “tambal sulam” tanpa membenahi struktur secara mendasar tidak akan menghasilkan “kehidupan sosial-budaya” yang baik.

Apakah kita perlu melakukan koreksi (amandemen) terhadap Undang-Undang Dasar (terutama dibidang kehidupan politik) dalam rangka membenahi Kebijakan Pembangunan serta undang-undang yang menentukan kehidupan  rakyat banyak seperti kebijakan pertanahan,  pertanian, perdagangan, impor-ekspor?


KULTUR BANGSA
Selo Soemardjan mendefinisikan kebudayaan sebagai : ”Segala hasil karya, cipta dan rasa masyarakat yang digerakan oleh karsa untuk  berlangsungnya kehidupan masyarakat tersebut. Kebudayaan adalah unsur paling dasar (basic) dari suatu masyarakat. Faham cultural determinism mempercayai bahwa sikap, pola perilaku manusia dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaannya.

Acapkali kebudayaan selalu dipertahankan oleh kelompok tertentu atau tokoh-tokoh masyarakat dalam rangka melindungi kepentingannya (vested interest). Golongan ini sering menindas golongan lainnya melalui legitimasi budaya (cultural hegemony). Lihatlah di beberapa daerah, mana yang lebih kuat adat istiadat atau kekuatan norma agama? Bahkan seringkali kita sulit membedakan mana yang adat dan mana yang ajaran agama.

Setiap masyarakat perlu agenda membangun Kultur untuk meningkatkan kualitas system nilai, adat istiadat yang menghambat kesejahteraan. Pembangunan Budaya adalah Pembangunan nilai, seperti: pengembangan nilai-nilai keadilan, kerukunan, kepedulian , kemandirian, kejujuran, sinergi  (win-win solution). Contoh pembangunan budaya di era modern di Indonesia misalnya Program P4 dimasa Orba, Di Solo Jokowi mengembangkan kebijakan Eco-cultural City, program “kesetaraan jender”. BKKBN berhasil menanamkan system nilai “keluarga kecil”,

Membangunan Kebudayaan sering bisa dipacu dengan pembangunan fisik. Misalnya Pembangunan Gelanggang Remaja, pembangunan sarana olah raga, pembangunan ruang publik, pembangunan transportasi massal, pembangunan sarana jalan yang manusiawi dsb.


PROSES SOSIAL
“Proses Sosial” menjadi penting, karena disinilah “dinamika interaksi” sehari-hari antar anggota masyarakat terjadi. Melalui proses sosial, individu maupun kelompok dapat mengekspresikan aspirasi secara  “bebas”, negosiasi yang dinamis dan kreatif antar anggota masyarakat, dan menjadi sumber perubahan struktur maupun kultur yang ada (”social order is a negotiated order”). Pembangunan proses sosial bisa di akselerasi melalui pembangunan fisik, misalnya pada Gelanggang remaja, taman bermain, panggung-panggung kreatif dsb. Selanjutnya dalam proses sosial dikembangkan kesempatan masyarakat menyampaikan aspirasi dan opininya (public sphere) seperti: kebebasan pers, berorganisasi, jejaring social, diskusi publik, unjuk rasa, pengembangan civil society (LSM, Community Based Organization), termasuk meningkatkan ruang partisipasi bagi masyarakat misalnya  Musrenbang, menghidupkan tradisi gotong royong di RT/RW dsb.

Kondisi “prosesual” di Indonesia di era Reformasi Secara sosiologis memiliki potensi yang sangat menjanjikan: ditandai dengan Desentralisasi dan otonomi, Kebebasan Pers, Kebebasan memperoleh informasi, adanya Mahkamah Konstitusi, KPK bahkan DPR/D termasuk pembangunan struktural  yang ditujukan untuk menampung aspirasi masyarakat untuk menegosiasi struktur dan kultur yang ada. 

Problemnya adalah ketika Pembangunan kehidupan Sosial-Budayatelah direduksi menjadi  “Pembangunan sektor sosial-budaya. Padahal kita tahu Kehidupan Sosial-Budaya (Socio-economic life) adalah mencakup seluruh kondisi interaksi dan interelasi sosial yang sistemik dan holistic  dari aspek ekonomi, politik, agama, keamanan dan sebagainya.