Monday, December 31, 2012

Catatan lebih indah di 2013

















































































Lembar Kosong diatas, adalah kesempatan kita untuk membuat catatan kehidupan kita lebih baik lagi ditahun 2013 nanti..

Selamat Tahun Baru Negeriku..

31 Desember 2012
Salam Hormat dari New York

Saturday, December 29, 2012

Gentong Air Gentong Ilmu

 

Ada yang ingat kotbah Jumat kemarin? Ada yang ingat Kotbah Minggu yang lalu?

Otak manusia itu seperti gentong. Air digentong itu tidak akan berguna kalau tidak dialirkan, dengan dialirkan maka dia bisa menghidupi, dan kemudian diisi air kehidupan yang baru. Diisi air yang lebih bersih. Air digentong kalau tidak dialirkan akan menjadi kotor, berlumut dan bau. Kalau kata orang jawa ada uget-ugetnya dan tidak bisa dipakai. Kadang kita diminta orang tua untuk membersihkan gentong tersebut. 

Bagaimana cara membersihkan otak kita? Gunakan isi pikiran kita untuk beramal. Bagikan kepada seluruh umat. Kalau bisa dengan perbuatan, gunakan dengan perbuatan yang baik. Kalau bisa dengan perkataan, gunakan perkataan yang baik. Kalau bisa dengan tulisan, gunakan tulisan yang baik. Berbagi ilmu adalah amal. Menyimpan ilmu untuk diri sendiri tidak akan bermanfaat. Suatu hari, ilmu bermanfaat akan menjadi ladang amal kita meskipun kita telah mati. 

Setiap selesai shalat Jumat saya selalu merenung dan mencatat sedikit di catatan harian saya. Jumat kemarin sang Khatib di Masjid Markas Besar PBB menceritakan kisah tentang menghadapi kematian. Bagaimana kita semua akan mati dan betapa sakitnya mati itu ketika nyawa dicabut dari badan kita. Saya sudah mendengar dan membaca tentang kisah ini namun saya selalu ngeri dan takut setiap mendengar kisah tentang kematian. Sebagaimana kisah Nabi Besar Muhammad SAW menceritakan tentang kisah kematian kepada sahabat. Dan bahkan Malaikat pencabut nyawapun mengatakan bahwa Kematian Nabi adalah kematian yang paling lembut sebagaimana mencabut rambut ditepung yang halus, namun tetap saja rasanya sangat menyakitkan. 

Satu lagi catatan jumat saya mengingatkan tentang keajaiban. Banyak manusia berharap keajaiban, tapi apakah benar keajaiban itu ada? Namun yang menarik bukan masalah ada dan tidak ada. Sang Khatib bercerita tentang kisah Siti Maryam ibunda Isa Almasih yang mendapatkan keajaiban dengan kekuatannya yang lemah dia bisa menggoyangkan pohon Palem dengan seijin Allah SWT. Namun kata Khatib, intinya bahwa keajaiban pun membutuhkan langkah pertama seperti kisah Siti Maryam, butuh tangan kita, butuh tindakan kita untuk memunculkan keajaiban. 

Kalau keajaiban saja membutuhkan langkah pertama, apalagi sebuah usaha dalam diri kita. Seumur hidup belum tentu kita menemukan keajaiban. Dan Umat Islam dilarang untuk percaya akan keajaiban. Hidup ini adalah usaha manusia, dan biarkan nasib ditentukan oleh Allah SWT. Ketika seseorang bercerita kepada saya tentang mimpi-mimpi besarnya, saya selalu bertanya, apa langkah pertama untuk mewujudkan mimpimu? Dia mengatakan dia akan melakukan ini dan itu untuk mewujudkan itu, namun dia tidak pernah memulai langkah itu. Saya katakan kepada dia, kalau kamu mempunyai mimpi besar, langkah pertama yang harus kamu lakukan adalah "bangun dari tidurmu". Bagaimana kamu mau mewujudkan mimpimu, kalau kamu masih tenggelam dalam tidurmu? Mimpi hanya ada di tidur, dan hidup adalah kenyataan. 

Siapa yang masih ingat kotbah Jumat yang lalu? 

Saya yakin banyak dari kita yang tercenung ketika sang khatib berkotbah di mimbar saat itu. Namun, sesaat kemudian kita lupa dan kembali disibukkan dengan urusan lain yang datang mendera detik demi detik. Mencatat, mengingat dan menuliskan kembali adalah kegiatan yang dianggap sepele oleh sebagian besar dari kita. Namun kita lupa bahwa kita bisa mengetahui ilmu karena catatan orang lain selama ini. Mengapa banyak diantara kita tidak tertarik untuk menulis? Sebagian mengatakan bahwa saya orang lapangan, saya bukan pemikir, saya bukan penulis, saya orang yang langsung bertindak dan sebagainya.. 

Kita lupa, bahwa semua kehidupan kita adalah catatan sebagaimana telah digariskan dalam Lauh Makhfudz.. Sebuah kitab besar yang sudah diciptkan oleh Allah SWT jauh sebelum penciptaan alam semesta raya ini ada. Ini artinya bahwa Allah-pun mempunyai catatan, yang bahkan malaikatpun tidak tahu apa isi kitab itu. Dan bahkan daun gugurpun Allah sudah menggariskan ceritanya. Selain itu, jangan lupa bahwa malaikatpun juga mencatat perbuatan baik dan buruk kita setiap hari. Karena itu, saya ingin sekali dari seluruh pembaca tulisan ini, untuk menggairahkan diri dan lingkungannya dengan berbagi. Berbagi dalam catatan apapun. Catatan kecil atau besar, pasti suatu saat ada gunanya. Kalaupun tidak berguna bagi orang lain, setidaknya berguna bagi diri sendiri. 

Dari banyak senior yang saya kagumi ada satu senior yang begitu berkesan dalam membagikan ilmunya kepada saya. Saya pernah diperintahkan membuat sebuah naskah Kapolri untuk bahan Rapat Dengar Pendapat dengan DPR. Saya menyiapkan naskah itu dengan segala keterbatasan saya. Saya mengirimkan kepada beliau. Saya yakin draft naskah saya sangat jauh dari sempurna. Namun apa yang terjadi dengan senior saya itu? Dia memanggil saya ke kediaman Kapolri saat itu, dan diruangan itu saya menyaksikan sendiri bagaimana beliau memperbaiki naskahh itu satu demi satu menjadi sebuah naskah yang sangat berisi dan layak disajikan dihadapan anggota DPR. 

Lain cerita adalah ketika saya masih berumur 26 tahun di penugasan di Misi Perdamaian PBB. Saya berkantor seruangan dengan senior yang lain. Pangkat saya masih Letnan Satu saat itu, dan beliau sudah berpangkat Mayor Polisi. Setiap hari beliau menulis sesuatu untuk konsumsi pribadi. Saya kadang diminta membaca. Saya sangat terkesan dengan tulisan itu. Sangat inspiratif dan penuh makna. Saya ingin seperti beliau menuangkan segala pikiran dalam tulisan. Saya dibujuk oleh beliau untuk mulai menulis. Katanya "Suatu hari kamu akan tertawa membaca tulisan kamu hari ini, tapi itulah proses kehidupan bahwa kamu telah memulai sesuatu dengan langkah pertama". 

Kedua kisah inspiratif diatas, hanya ingin saya ceritakan dengan maksud untuk memberikan pemahaman,, bahwa dengan mengalirkan isi kepala, maka kita akan selalu berfikir. Dengan berfikir maka kita akan selalu belajar. Dengan selalu belajar maka kita akan selalu memperbaiki diri. Karena apapun pekerjaan yang kita lakukan tidak akan bermakna apabila tidak dilandasi ilmu pengetahuan. Bahkan ibadah tanpa ilmu pun tidak ada artinya.



Syaikh Abdurrahman bin Qasim An Najdi rahimahullah mengatakan, “Amal adalah buah dari ilmu. Ilmu itu dicari demi mencapai sesuatu yang lain. Fungsi ilmu ibarat sebatang pohon, sedangkan amalan seperti buahnya. Maka setelah mengetahui suatu ilmu seseorang harus menyertainya dengan amalan. Sebab orang yang berilmu akan tetapi tidak beramal dengannya lebih jelek keadaannya daripada orang bodoh.
 

Namun,dalam mengamalkan ilmu itu tidaklah semudah seperti apa yang dibayangkan. Tidak hanya sekedar berbagi dan menjalankan apa yang kita dapat dari ilmu yg kita miliki. Tapi marilah kita mengamalkan ilmu kita dengan cinta dan keiklasan hati. Karena sehebat apapun ilmu yg kita miliki, tidak akan pernah sampai ke hati jika kita tidak menggunakan hati kita dalam pengamalannya.. Dan jadikanlah keimanan sebagai pedomannya, sehingga kita tidak terjebak dari hal-hal yg bisa membutakan mata hati kita.. 


Selamat mencatat dan selamat berbagi ilmu...

Problem Oriented Policing

Some police managers attracted to problem-oriented policing also apply other strategies, such as community policing, "broken windows" policing, intelligence-led policing, and CompStat. Depending on how these other strategies are implemented, they may or may not be compatible with POP. Even when implemented in a compatible manner, they are not the same as POP. For these reasons it is critical to understand how POP differs from these other strategies.

Problem-oriented policing is a method for analyzing and solving crime problems. Community policing, on the other hand, represents a broader organizational philosophy. Community policing includes problem-solving as addressed in problem-oriented policing, but it also includes the development of external partnerships with community members and groups. Additionally, community policing addresses organizational changes that should take place in a police agency (such as decentralized decision-making, fixed geographic accountability, agency wide training, personnel evaluations) designed to support collaborative problem-solving, community partnerships, and a general proactive orientation to crime and social disorder issues.

Community policing is therefore more focused on police-public interaction than is problem-oriented policing and represents a broader organizational philosophy that incorporates the principles of problem-oriented policing within it. When done well, community policing provides a strong overarching philosophy in which to engage in POP, but community policing that fails to incorporate the principles of POP within it is unlikely to have a substantial impact on reducing crime.

Problem-oriented policing identifies partners whose help is needed in dealing with specific problem. In an ideal case, community policing does this as well. If the problem is assaults around bus stops, a necessary partner will be the local transit authority. If the problem is shoplifting, then the cooperation of local businesses is needed. Community members often identify problems. Specific members of the public (including offenders) can have important insights useful for problem analysis.

Community members can help implement solutions (for example, in fitting deadbolts or not giving money to beggars). And the success of a problem-solving effort might be defined in terms of community reaction. But rarely can the community at large help with the specialized technical work involved in problem analysis, solution development, and evaluation. In addition to partnering around specific problems, community policing also seeks out partnerships among the community at large (and government organizations) in order to increase the level of trust and general cooperation with them. In this sense, it goes beyond the partnerships described under problem-oriented policing. Agencies that adopt the broader general philosophy of community policing should be careful not to let these partnerships with a different purpose (building trust and cooperation) dilute the more focused problem-solving partnerships and efforts that the community policing philosophy also encourages.

These distinctions are most easily confused when the focus of a problem-oriented project is a deprived neighborhood. In this case, the project should proceed by identifying the collection of individual problems that together make up the greater one (see Step 14). Rather than attempting to build a relationship with the community at large, a problem-oriented project focuses on solving the specific problems of, say, drug houses, commercial burglaries, and bar fights. To the extent that members of the community become productively involved in solving these discrete problems, they may be a rather different group of individuals in each case. Broader partnerships with the community could be developed in order to build trust between police and the community and this can make the problem-solving process easier; however, even in the absence of widespread community support, problems need to be systematically addressed.

It is also important to understand the difference between problem-oriented policing and broken windows policing. Under the former, specific solutions to the variety of problems confronting the police emerge from careful and detailed analysis of the contributory causes of each. By contrast, "broken windows" advocates the same general solution - policing incivilities and maintaining order whenever crime shows signs of becoming out of hand. This approach is based on two principles, the first of which is that small offenses add up to destroy community life. For example, littering one piece of paper is nothing terrible, but if everybody does it the neighborhood becomes a dump. The second principle of broken windows is that small offenses encourage larger ones. For example, abandoned and boarded up properties often become the scene for drug dealing and can spawn more serious crimes. This important insight has led some cities to pay much more attention to policing against small offenses.

All policing requires discretion, and broken windows policing requires some very important decisions to be made by officers on the street. (This is why it should not be confused with "zero tolerance" which is a political slogan, impossible for the police to deliver because it would soon result in clogged courts and an alienated population.) One has to figure out which of the small offenses multiply into more crimes and which do not. For example, New York City subway system managers learned that young men jumping turnstiles to travel free often committed robberies within the system. Controlling the minor crime helped reduce the major one. But the subway managers also learned that those painting graffiti did not normally commit more serious crimes. Although their efforts to control graffiti were very effective (see Step 41), they did not reduce robbery.

Problem-oriented policing also addresses these less serious offenses even if there is no expectation that they will lead to worse problems. Vandalism in a public park might not increase the chances of robbery, but it does destroy public facilities, so it is a problem that needs to be addressed. Citizens in a neighborhood may be very concerned about speeding, traffic congestion, or noise. As long as these meet the criteria for a problem (Step 14) they are addressable by POP, even if there is no expectation that the neighborhood will deteriorate should these go unaddressed.

Crime analysts are given a central role in intelligence-led policing, which puts a premium on the need for sound information to guide policing operations. However, intelligence-led policing is primarily a methodology for producing sound, useable intelligence. It does not guide police through the whole process of designing and implementing a crime reduction initiative in the way that the SARA model is intended to do. Nor does it give a central role to crime analysts at every stage in such an initiative. This is why problem-oriented policing has a great deal more to offer crime analysts and why it expects much more of them.

Finally, problem-oriented policing is not the same as CompStat, though they share some common features. Both focus police attention, though CompStat as normally practiced restricts itself to geographic hot spots while POP can be applied to a wider array of crime concentrations. Though both use data to drive police action, the variety of data and depth of analysis used in POP is greater than quick-paced CompStat targeting. CompStat uses law enforcement tactics almost exclusively, while POP uses these along with a wider variety of responses. CompStat may have short-term impacts on geographic hot spots of crime that wear off and require more enforcement. A problem-oriented approach seeks longer-term solutions. If CompStat is used as a "first-aid" response while POP is applied to enact a longer-term cure, then the two approaches can work well together.

Friday, December 28, 2012

Tidak Berpura-Pura



Sungguh tidak terasa akhir tahun 2012 ini sudah semakin dekat. Sebagian dari kita sedang berlari kencang demi menggapai resolusi dan cita-cita masa depan. Tetapi sebagian yang lainnya belum menentukan arah atau bahkan tidak tahu sama sekali akan lari kemana. Semoga kita semua termasuk orang-orang yang sudah menentukan arah, dan dalam kecepatan berlari, atau sedang menambah kecepatan untuk mengejar apa yang yang menjadi impian kita.

Apa yang anda pikirkan jika anda mendengar sebuah nasihat seperti ini?
“Berpura-puralah seolah-olah sudah menjadi orang baik” Ada Nasihat tentang jadi Polisi di Amerika ini yang cukup menggelitik saya: Jadi Polisi itu itu hanya membutuhkan sebuah kepura-puraan. Menurut si pemberi nasihat, jika memang menginginkan jadi polisi yang selamat selama bertugas di kepolisian, maka pandai-pandailah berpura-pura!

Dari nasihat diatas, saya jadi merenung sedikit tentang kepura-puraan ini. kok kita malah harus berpura-pura ? bukankah pura-pura itu menipu?

Apa iya kalau jadi polisi itu kita harus selalu berpura-pura jadi polisi yang sabar agar Polisi dilihat orang sebagai penyabar. Katanya lagi,  jika polisi mampu bertahan dengan pura-pura sabar selama jadi polisi, maka sabar itu akan menjadi kepribadian kita.., beneran gak ya??

Apa iya kalau jadi Polisi itu harus juga mampu berpura-pura tersenyum dikala masyarakat diluar sana selalu membenci polisi termasuk dikala para polisi itu sedang banyak masalah dan banyak alasan sedih lainnya yang bisa membuat mereka untuk menangis???  Menurut saya; dengan melihat polisi yang selalu tersenyum meskipun apapun yang terjadi, pasti masyarakat akan mengira polisi itu selalu bahagia dan mereka akan senang bergaul dengan polisi yang senang tersenyum (apalagi kalau senyumnya ikhlas, tulusss dari hati).

Seingkali polisi juga harus bisa berpura-pura tegar. Dikala ombak cobaan menerjang terlalu kuat, yang perlu dilakukan hanyalah ”just forget it”. There is no OMBAK masbro, mbaksis! Semua musibah yang kita rasakan Cuma halusinasi. lupakan masalah itu, bungkus dalam plastik dan buang kelaut, tatap masa depan dengan wajah ceria! Hidup itu terlalu indah jika kita ga berpura-pura tegar!

Seringkali juga Polisi itu harus berpura-pura sehat meskipun dikala seribu penyakit mendera fisiknya. Lagipula kalau Polisi sakit, siapa yang perduli?? Paling juga hanya istri dan anak kita. Terus kalau kita sakit, apa boss kita di kantor harus bilang wow gitu..??? Apa masyarakat mau peduli?? Apa kata negara?? Cepat sembuh ya pak,. Wong yang jelas-jelas mati saja sudah dilupakan apalagi yang masih sakit.. Jadi katanya; Polisi itu harus selalu pura-pura sehat terus..


Masih nasihat si temen polisi Amrik ini datang kesaya. 
Ketika jadi anak buah; Jangan lupa untuk berpura-pura bodoh dihadapan pimpinan,, karena itu yang mereka senang). Jangan juga lupa untuk berpura-pura aktif pas pimpinan dihadapanmu, karena kamu pasti dikira sudah kerja (kebayang juga sih kalau ada bos malas-malasan kira-kira apa akibatnya. Jangan juga kalian lupa untuk berpura-pura rajin setiap hari, supaya dapat promosi, dan yang penting jangan lupa untuk berpura-pura respek sama atasan (meskipun kamu ngomongin dibelakang boss).

Ketika kita jadi pimpinan, meskipun tidak peduli dengan anak buah, berpura-puralah peduli.. Ingat nama mereka satu persatu, berpura-puralah peduli hari ulang tahunnya, berpura-puralah peduli kalau dia sakit, berpura-puralah tidak pelit dan uangmu selalu banyak sehingga bisa dibagi dengan anak buah, berpura-puralah tidak pernah marah meskipun kamu pemarah, berpura-puralah berada dilapangan ketika anak buahmu sedang kerja, berpura-puralah selalu tegar meskipun banyak masalah, berpura-puralah kita menjunjung HAM meskipun rasanya ingin membalas dendam kematian anak buah kita yang ditembak penjahat. Dan berpura-puralah bicara teratur di depan media, meskipun rasanya ingin nyemprot wartawan itu pakai bogem mentah..

Apakah Nasihat diatas mengajari kita untuk munafik,.?? Silahkan diinterpretasikan masing-masing.. Bagi saya, sesuatu yang tulus itu jauh lebih baik daripada pura-pura. Meskipun kalaupun kita terpaksa berpura-pura melakukan yang baik-baik seperti yang diatas,, tokh ternyata akhirnya tidak akan dapat pahala akhirat, dan hanya dapat riya’ saja.

Pelaku riya` ini, tatkala di dunia dia ingin mendapatkan pujian & penghormatan dari orang karena ibadahnya, maka pada hari kiamat Allah akan mempermalukannya di hadapan seluruh makhluk dgn menyuruhnya utk mencari pahala amalan kepada makhluk yang dia harapkan pujiannya di dunia. Tidak cukup sampai di situ, setelah Allah Ta’ala mempermalukannya di hadapan seluruh makhluk, Allah Ta’ala langsung mencampakkan para pelaku riya` ini ke dlm jahannam (HR. Muslim no. 1905).

Dunia ini memang panggung sandiwara, tinggal karakter apa yang mau kita mainkan.. Kalaupun kita semua mau berpura-pura baik selalu selama hidup kita, ada satu hal yang tidak bisa kita bermain dengan berpura-pura. Yaitu jangan pernah berpura-pura dalam berIMAN dan berIBADAH.. Padahal; semua perilaku kita akan menjadi ibadah kalau kita tidak berpura-pura..





GAYA HIDUP APA YANG KITA PILIH?




Seperti di negara-negara lain, di tanah air kita bisa membedakan beberapa gaya hidup dengan empat indikator;
1. Orang Berharta Dan Memperlihatkan Hartanya; Orang seperti ini biasanya bergaya hidup mewah. Untung perilakunya ini masih sesuai dengan  penghasilannya sehingga secara finansial sebenarnya tidak terlalu bermasalah. Namun dia terlihat seperti sombong dan menjadi hina ketika tidak membelanjakan hartanya di jalan Allah.

2. Orang Yang Tidak Berharta Banyak Tetapi Ingin Kelihatan Berharta; Gaya hidup mewah sebenarnya diluar kemampuan dia, namun ia selalu ingin tampil lebih daripada kenyataannya. Tidaklah aneh jika keadaan finansialnya “lebih besar pasak daripada tiang”. Tampaknya, orang seperti ini benar-benar tahu seni menyiksa diri. Hidupnya amat menderita, dan sudah barang tentu ia menjadi hina dan bahkan menjadi bahan tertawaan orang lain yang mengetahui keadaan yang sebenarnya.

3. Orang Tak Berharta Tetapi Berhasil Hidup Bersahaja; Orang seperti ini tidak terlalu rumit dalam menjalani hidup karena tidak tersiksa oleh keinginan, tidak ruwet oleh pujian dn penilaian orang lain, kebutuhan hidupnya pun sederhana saja. Dia akan hina kalau menjadi beban dengan menjadi peminta-minta yang tidak tahu diri. Namun, tetap juga berpeluang menjadi mulia jikalau sangat menjaga kehormatan dirinya dengan tidak berharap dikasihani, tidak menunjukan kemiskinannya, tegar dan memiliki harga diri.

4. Orang Yang Berharta Tetapi Hidup Bersahaja; Inilah orang yang mulia dan memiliki keutamaan. Dia mampu membeli apapun yang dia inginkan, namun berhasil menahan dirinya untuk hidup seperlunya. Dampaknya hidupnya tidak berbiaya tinggi, tidak menjadi bahan iri dengki orang lain, dan tertutup peluang menjadi sombong, serta takabur plus riya. Dan yang lebih menawan akan menjadi contoh kebaikan bagi orang lain. Memang aneh tapi nyata jika orang yang berkecukupan harta tetapi mampu hidup bersahaja (tentu tanpa kikir). Sungguh ia akan mempunyai pesona kemuliaan tersendiri. Pribadinya yang lebih kaya dan lebih berharga dibandingkan seluruh harta yang dimilikinya

Bagaimana pandangan kita terhadap seseorang yang selalu tampil dengan keluaran terbaru baik fesyen, gadget, maupun kendaraan terbaru? Gadget terbaru selalu ada di genggamannya. Kadang kita juga melihat rekan kerja yang menggunakan tas dengan merk yang cukup mahal dengan jenis dan warna berbeda. Dan lucunya, ternyata gaya yang sama tak hanya diidap oleh rekan kita tersebut. Istri dan anak-anaknya pun punya gaya yang sama.

Salah satu pelajaran hidup terpenting yang saya dapatkan dengan tinggal di Amerika sini adalah berkaitan dengan gaya hidup tersebut. Banyak tokoh yang dewasa ini mengaitkan antara gaya hidup dan budaya korupsi suatu bangsa. Dalam perkembangannya, mereka kemudian mencontohkan gaya hidup budaya barat adalah salah satu pembanding yang tidak perlu ditiru, karena mengajarkan tentang kemewahan. Gaya hidup mewah inilah yang kemudian ditenggarai sebagai salah satu elemen utama merebaknya tindakan korupsi ditanah air dewasa ini.

Setidaknya sekali dalam hidup, mungkin diantara pembaca ada yang ingin merasakan hidup di luar negeri seperti yang digambarkan di film-film. Tapi, percaya atau tidak, kehidupan kebanyakan orang diluar negeri itu tidak seperti cerita film yang hidup dengan berfoya-foya dan bergelimang kemewahan. Kebanyakan dari kami yang tinggal di luar negeri ini hidup dan bekerja secara keras, menggunakan transportasi umum saja, tanpa pembantu rumah tangga dan semua harus mengerjakan sendiri karena harga tenaga manusia sangat mahal. Demikian juga halnya yang saya lihat terhadap banyak orang kaya di New York sini, ternyata, beberapa di antara mereka punya gaya hidup sederhana, jauh dari kesan mewah, seperti orang biasa pada umumnya; berdesak-desakan di Bus dan Subway, meskipun mereka bergaji jutaan dollar pertahun.


Saya melihat, merasakan dan mengalami sendiri, bahwa ternyata gaya hidup suatu masyarakat itu berbeda dengan masyarakat yang lain. Kita tidak bisa kemudian membandingkan gaya hidup sebuah masyarakat dengan masyarakat lain dan apalagi gaya hidup sebuah bangsa dengan bangsa lain serta meng-kambing hitamkan sebuah gaya hidup sebagai gaya hidup yang mewah dan memuji gaya hidup yang lain adalah gaya hidup yang sederhana.

Apakah menggunakan pesawat terbang untuk melakukan perjalanan dari Jakarta ke Medan dianggap sebagai gaya hidup mewah bila dibandingkan dengan menggunakan bus atau kapal laut? Apakah menggunakan internet di Amerika adalah sebuah gaya hidup mewah? Apakah naik mobil bagi orang yang bergaji besar adalah sebuah kemewahan? Apakah berlibur bagi orang tertentu adalah sebuah kemewahan? Tentu saja tidak, bagi mereka menggunakan internet adalah sebuah kebutuhan, naik mobil adalah kebutuhan dan hampir semua keluarga di Amerika memiliki mobil yang bisa dicicil, berlibur adalah hak yang harus diambil dan digunakan karena hari-hari mereka sudah jenuh dengan pekerjaan yang menumpuk.

.
Mengukur Gaya Hidup Kita:



Saya sudah menggambarkan bahwa setidaknya ada 4 indikator gaya hidup yang ada di kita. Pertanyaannya adalah, apasih gaya hidup mewah itu? Dan apapula gaya hidup sederhana? Bagaimana Konteks gaya hidup sederhana diaplikasikan dalam sebuah keluarga?

Sebelum panjang lebar membahas beberapa pertanyaan diatas, marilah kita mencoba menjawab beberapa pertanyaan sederhana berikut ini:
Apakah Handphone adalah alat komunikasi yang menunjukkan sebuah kemewahan atau kebutuhan pada saat ini?
Apakah Sepeda motor adalah alat transportasi yang menunjukkan sebuah kebutuhan atau kemewahan saat ini?
Apakah menyekolahkah anak di SD sampai SMA adalah sebuah kemewahan dewasa ini?
Apakah Makan dengan 4 sehat 5 sempurna sehari adalah sebuah kemewahan?
Apakah bepergian ke tempat wisata sebulah sekali adalah sebuah kemewahan?
Apakah membeli pakaian satu potong perorang dalam sebulan sekali adalah kemewahan? 
Apakah kalau kita makan di sebuah rumah makan sebulan sekali adalah sebuah kemewahan?
Apakah membeli bensin untuk kendaraan bermotor kita adalah sebuah kemewahan?
Apakah mencicil rumah sederhana atau mengontrak rumah tipe 70 adalah sebuah kemewahan?
Apakah membayar listrik dan air adalah sebuah kemewahan?
Apakah mempunyai televisi adalah sebuah kemewahan?
Apakah membeli obat-obatan yang diperlukan untuk anak kita adalah kemewahan?
Apakah berlebaran mudik ke kampung adalah kemewahan?
Apakah menyumbang saudara yang kesusahan adalah sebuah kemewahan?
Apakah menyumbang lingkungan termasuk rumah ibadah adalah kemewahan?
Dan beberapa pertanyaan lainnya

Bila sebagian besar dari kita menjawab semua pertanyaan diatas dengan jawaban yang sama: Itu semua adalah barang sederhana dan sesuai kebutuhan kita..!!!! maka pertanyaan berikutnya adalah berapa kira-kira uang yang diperlukan untuk memenuhi itu semua. Cobalah menghitung dengan logika matematika sederhana dan dikaitkan dengan kondisi terkini dari nilai barang-barang ataupun kebutuhan itu. Maka kita akan mendapatkan angka yang fantastis; setidaknya  seorang suami sebagai kepala rumah tangga dan anak 2 membutuhkan uang sejumlah 10 juta rupiah untuk memenuhi kebutuhan sederhana tersebut (Cobalah hitung dengan teliti)

Fakta diatas, dapat menjelaskan, bahwa untuk hidup sederhana saja kita sulit dengan tingkat pendapatan kita saat ini, apalagi untuk hidup mewah. Pendapatan rata-rata manusia produktif di Indonesia sangatlah tidak sebanding dengan kebutuhan kehidupan minimal yang harus dia penuhi. Belum lagi kalau gelombang konsumerisme dan hedonisme menghempas kehidupan kita setiap hari melalui media informasi, maka tingkat keinginan kita untuk memembeli dan meng-konsumsi sesuatu menjadi naik.

Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila banyak para ”suami” yang merasa harus bertanggung jawab untuk mencukupi kebutuhan dasar tersebut dengan melakukan ”jihad” bagi keluarganya. Salah satu Jihad besar suami adalah mencukupi kebutuhan keluarga. Namun menjadi naif ketika para suami tidak bisa menjawab pertanyaan sampai ”seberapa cukup’???” yang pada akhirnya kita rela melakukan apapun untuk men”cukupi” sesuatu yang tidak pernah cukup tersebut.

Ini berarti menggambarkan kepada kita bahwa sudah tidak pada tempatnya lagi bagi kita untuk bergaya hidup berharta (padahal tidak berharta). Alah SWT bahkan dengan keras meminta kita agar waspada pada bahaya cinta kemewahan dan kemegahan, “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur. Sekali-kali tidak! Kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu)” (Qs At-Takatsur 1-3).

Gaya hidup bersahaja dan sederhana merupakan salah satu gaya hidup yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Rasulullah memilih gaya hidup sederhana dan berzuhud dengan dunia dan isinya. Inilah keteladanan gaya hidup yang ditunjukkan oleh pemimpin besar seperti Rasulullah.

Rasulullah bukan lah orang yang tak bisa kaya raya. Hidup zuhud menjadi pilihan dirinya sebagai seorang Nabi dan Rasul. Seorang Rasul adalah contoh tauladan bagi ummatnya, maka apa yang dipilih oleh Rasulullah adalah suri tauladan terbaik yang akan membuat hidup lebih bahagia.  Meskipun gaya hidup bersahaja dan sederhana merupakan gaya hidup yang dipilih oleh Rasulullah, namun beliau tidak pernah melarang ummatnya untuk menjadi kaya. Bahkan beliau mendukung ummat Islam untuk menjadi kaya.  Para sahabat di masa Rasulullah seperti Usman bin Affan merupakan sahabat dari kalangan yang kaya raya yang selalu siap menafkahkan kekayaannya untuk dakwah Islam. Islam meminta ummatnya untuk menjadi kaya agar dari kekayaan itu diberikan untuk kemaslahatan dakwah Islam itu sendiri. 

Gaya hidup bersahaja dan sederhana merupakan pilihan.  Kaya atau sederhana adalah pilihan, demikian juga zuhud. Ketika seseorang memiliki banyak harta maka pertanggung jawaban pemiliknya di akhirat akan semakin besar.  Di dunia mungkin bisa berbahagia, namun pertanyaan besar yang akan diajukan kepada orang kaya adalah ‘dari mana engkau mendapatkan hartamu dan kau kemanakan hartamu?’ inilah pertanyaan besar yang membuat mereka yang memilih gaya hidup zuhud menjadi takut. Ketika diri kita merasa sebagai sosok yang mudah tergelincir dengan kekayaan dunia atau tidak amanah dengan nikmat harta benda yang diberikan, maka zuhud adalah pilihan hidup terbaik untuk mempermudah segala bentuk pertanggung jawaban di akhirat. Rasulullah adalah suri tauladan gaya hidup zuhud dan sederhana, sementara Usman bin Affan dan sahabat lainnya adalah suri tauladan orang-orang kaya yang menafkahkan kekayaan mereka untuk kemaslahatan dakwah Islam. 



Di dalam memaknai gaya hidup bersahaja dan sederhana perlu dibedakan antara miskin dan zuhud. Zuhud adalah pilihan hidup seseorang yang sebenarnya memiliki peluang atau kesempatan untuk hidup dalam gelimangan harta benda, namun mereka lebih memilih gaya hidup sederhana dan zuhud. 
Sementara miskin merupakan kondisi kehidupan yang sebenarnya tidak diinginkan dan bukan pilihan.  Islam menganjurkan ummatnya untuk menjadi seseorang yang kaya sehingga dengan kekayaannya tersebut akan memberikan banyak kemaslahatan bagi dakwah Islam. Namun bagi mereka yang berhati-hati dalam hidup, tentunya lebih memilih zuhud sebagaia gaya hidup yang aman.

Banyak yang CINTA Nabi Muhammad SAW, tapi SEDIKIT yang mau HIDUP SEPERTI Nabi Muhammad SAW. Sebesar apapun pendapatan yang kita peroleh tidak akan pernah cukup jika hanya memperturutkan hawa nafsu, tapi biarpun sedikit pendapatan yang kita peroleh tapi kita bersyukur maka akan makin Barokah dan memberikan banyak manfaat bagi kita, bukan pendapatan yang membuat orang ‘menghalalkan’ segala cara tapi ‘NAFSU’ yang membuat orang ‘Lupa bahwa ada SIKSA dihari nanti’ kelak.

Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia)". QS Al-Imran [3] Ayat 8

Wednesday, December 26, 2012

Polri dan Media Massa




Mengapa kepolisian harus concern dengan media massa untuk melaksanakan tugas dan fungsinya? 
Sebagai lembaga negara yang  bertugas tidak hanya untuk menegakkan hukum, tapi juga memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat, seharusnya kepolisian RI bisa menampilkan diri lebih utuh dalam semua pelaksanaan tugas dan fungsinya tersebut. Kebutuhan komunikasi melalui media massa merupakan keharusan mutlak mengingat jangkauan sasaran kegiatan yang meluas di seluruh Indonesia. Hal itu disebabkan khalayak jaman kontemporer seperti sekarang ini lebih banyak mengandalkan pengalaman bermedia sebagai pendefinisi realita yang utama dibanding pengalaman personal mereka. 

Situasi semacam itu dengan tepat digambarkan oleh Ball-Rokeach dan DeFleur (McQuail dan Windahl, 1984) melalui teori dependensia mereka. Menurut kedua tokoh ini, anggota khalayak masyarakat modern sampai pada situasi ketergantungan luar biasa pada informasi dari media massa sebagai sumber pengetahuan dan orientasi mereka untuk mengetahui apa yang sedang terjadi dengan masyarakat mereka.

Penetrasi media massa sekarang ini sungguh luar biasa. Belum lagi informasi yang mengalir dengan cepat melalui media modern semacam internet, media sosial seperti facebook dan twitter yang bisa diakses dengan mudah di blackberry dan hand phone. Dalam situasi sekarang, apabila kepolisian tidak bijak memperlakukan media, dikhawatirkan upaya apapun yang dilakukan oleh Polri dalam rangka meningkatkan kepercayaan kepada masyarakat semakin jauh api dari panggang.

Situasi semacam itu dengan tepat digambarkan oleh Ball-Rokeach dan DeFleur (McQuail dan Windahl, 1984) melalui teori dependensia mereka. Menurut kedua tokoh ini, anggota khalayak masyarakat modern sampai pada situasi ketergantungan luar biasa pada informasi dari media massa sebagai sumber pengetahuan dan orientasi mereka untuk mengetahui apa yang sedang terjadi dengan masyarakat mereka. Berita yang terjadi menyangkut penegakkan hukum adalah berita yang paling banyak diliput oleh media massa saat ini. Sudah menjadi keniscayaan dimana perjuangan sekecil apapun apabila didukung opini publik melalui media massa akan hebat hasilnya. Dukungan media massa tehadap Kompol Novel yang akan ditangkap oleh Polri beberapa waktu yang lalu adalah contoh lain bagaimana media massa menunjukkan kekuatannya.

Bagaimana pers nasional menampilkan Polri selama ini?
Dari pengamatan saya selama 4 bulan terakhir ini, ditemui ada sebanyak 157 item informasi terkait dengan isu kepolisian dengan rincian sebanyak 104 (66.2%) berupa berita dan sebanyak 53 (33.8%) non berita (kolom, tajuk rencana, surat pembaca, komentar, dan lain-lain).

Diantara tiga macam tugas kepolisian yang ada, nampaknya liputan tentang tugas untuk menegakkan hukum relatif lebih banyak dibanding dengan tugas untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, serta untuk memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Artinya selama empat bulan terakhir ini media massa kita telah menjadikan isu perseteruan antara KPK dan kepolisian sebagai isu menarik untuk dibicarakan. Bagaimana nada (tone) media tersebut memberitakan isu-isu penegakan hukum tersebut? Dari pengamatan saya, diantara berbagai berita yang ada, utamanya terkait tugas kepolisian untuk menegakkan hukum, nada pemberitaan yang ada relatif lebih banyak bersifat negatif, dibanding yang positif. Belum lagi kalau kita melihat berbagai komentar masyarakat terhadap setiap isi pemberitaan online tersebut Nada pemberitaan semacam ini bisa dipahami apabila mencermati isu yang menjadi perhatian media pada pada kurun 4 bulan terakhir ini banyak dipengaruhi oleh warna KPK vs Polri. Kasus “KPK vs Polri” benar-benar telah menggerogoti deposito prestasi kepolisian dalam menggulung berbagai komplotan penjahat jalanan serta pengungkapan jaringan teroris di berbagai wilayah tanah air termasuk kasus tewasnya anggota Polri dalam berbagai pengabdian di lapangan.

Bagaimana dengan informasi non berita? Hampir setali tiga uang. Dari 8 informasi non berita berita bernada positif, separuhnya diperuntukkan bagi tugas polisi untuk menegakkan hukum. Dari 45 informasi non berita bernada negatif yang saya amati, informasi terbanyak mempermasalahkan tugas polisi untuk menegakkan hukum dalam penanganan Kompol Novel dengan implikasi pada adanya rekayasa hukum untuk mengkriminalisasikan KPK menjadi pusat perhatian informsi non berita ini (75%).

Di kalangan media, entah disadari atau tidak, ketika mewartakan perseteruan antara KPK dengan Polri, secara serentak mereka menempatkan diri dalam kubu KPK, dengan demikian kubu Polri seolah-olah menjadi musuh bersama media pada saat itu. Pandangan umum yang dianut oleh media di Indonesia adalah ada rekayasa untuk melemahkan KPK dan penangkapan Kompol Novel dianggap sangat mengusik rasa keadilan. Bahkan, pasca Pidato Presiden beberapa waktu yang lalu, ada suasana umum yang menghendaki agar Polri segera melaksanakan perintah Presiden tersebut.

Media massa selama ini banyak dan dikesankan dicitrakan oleh masyarakat menurut orientasi politik dari para pemilik bisnisnya. Oleh karena itu kesan tersebut seakan berubah ketika mereka memberitakan tentang tindakan Kepolisian dimana media massa kali ini sepenuhnya “terlihat” seperti berorientasi pada hati nurani rakyat. Setelah kasus “KPK vs Polri” agak reda dengan adanya pidato Presiden, artinya pada saat tubuh institusi Polri belum lagi sembuh benar dari keterpurukan, terjadi lagi insiden konflik di Lampung dan berbagai kasus penegakkan hukum dilapangan serta kasus penanganan kecelakaan di Taman Sari karena tidak mengindahkan perilaku menghormati pelaku (sekaligus korban?). Beberapa berita tersebut bagaimanapun menurut kita sangat tidak adil bagi upaya yang telah dilakukan oleh Polri selama ini.

Penentu Agenda Media
Terkait dengan agenda utama media yang lebih menekankan tugas kepolisian untuk menegakkan hukum dibanding tugas-tugas Kepolisian lainnya, marilah kita mencermati lebih jauh mengapa media lebih menekankan satu isu tertentu dibanding isu lainnya? Mengapa menekankan satu aspek tertentu dari sebuah isu dibanding aspek yang lain?

Shoemaker dan Reese (1991; 1996) menyatakan, isi media massa tidak bisa dilepaskan dari pengaruh faktor internal media (level individu, rutinitas media, organisasi media) dan faktor eksternal media (ekstramedia dan ideologi). Artinya isi media tampak seperti yang kita konsumsi disebabkan oleh  beberapa faktor tersebut. Faktor individu terkait dengan karakteristik pekerja media (pengalaman, latar belakang profesional, sikap, perilaku, keyakinan, dan lain-lain). Rutinitas media terkait dengan gate-keeping processes dan ketersediaan sumber-sumber informasi. Level organisasi media menyangkut persoalan struktur organisasi dan kebijakan di newsroom. Faktor ekstra media meliputi persoalan pengiklan, khalayak sasaran, pasar, kontrol pemerintah, dan perkembangan teknologi. Sementara level ideologi berhubungan dengan kontrol sosial dan kognisi sosial yang ada di masyarakat.

Mengapa persoalan tugas penegakan hukum lebih menonjol diliput oleh media massa dibanding tugas-tugas kepolisian yang lain? Dengan mengacu pada kondisi internal media, adanya pemberitaan penegakkan hukum telah menyentuh aspek substil para pekerja media yang menempatkan mereka tidak hanya sekedar penyebar informasi saja namun juga pelaku kontrol sosial yang aktif. Aspek idealisme profesional para pekerja media meletup ketika isu ketidaadilan dalam penegakkan hukum tampak kasat mata di depan mereka. Tindakan penanganan korupsi ditubuh Polri dianggap media massa sebagai sebuah perjuangan melawan korupsi dan sebaliknya tindakan kepolisian yang tidak adil dianggap sebagai telah melukai hati masyarakat yang harus dilawan bersama. Proses penseleksian sudut pandang dan bidik atas peristiwa tersebut berlangsung (gate keeping process). Semua media hampir sama dalam menggunakan sudut pandangnya. Kebijakan newsroom masing-masing media nampaknya sepakat untuk menempatkan diri pada posisi pembela hati nurani masyarakat dengan mendukung siapapun yang berhadapan dengan penegakkan hukum yang dianggap tidak mencerminkan rasa keadilan sebagai news value strategis dan penting (walaupun Polri sudah bekerja sebaik apapun).

Kondisi eksternal media pada saat itu sangat diwarnai oleh kognisi sosial yang menempatkan Polri dalam sasaran bidikan karena adanya resistensi instutional. Dalam kesehariannya ideologi pasar memang menjadi kiblat para pelaku media. Dalam berbagai fenomena penegakkan hukum yang dilakukan oleh Polri di berbagai wilayah, ideologi pasar koheren dengan idealisme media sebagai kontrol sosial untuk mewakili kepentingan publik. Pada akhirnya semua informasi tentang “perilaku penegakkan hukum oleh Polri” menjadi komoditas ekonomi-politik yang sangat laku di khalayak media. Namun yang tidak kalah penting dari semua itu adalah adanya situasi kebebasan yang luar biasa dirasakan oleh kalangan media pasca reformasi. Media menjadi ruang publik strategis dan penting pada saat sistem komunikasi otoritarian semasa Orde Baru beralih menjadi sistem komunikasi demokratis pada Era Reformasi sekarang ini.     

Beberapa Rekomendasi
Sebagaimana tulisan saya terdahulu tentang bagaimana mengelola isu sensitif di media massa sebagai bagian dari upaya pengelolaan relasi publik oleh Polri, maka para anggota Polri dilapangan perlu mengembangkan berbagai langkah Strategis dalam rangka mengembalikan pendulum kepercayaan kepada Polri. Strategi ini membutuhkan konsistensi dari semua komponen Polri dan semua tindakan yang akan dilakukan oleh jajaran Polri. Tentu saja ini tidak mengikat hanya pada pimpinan atau top level manajemen di Mabes Polri, tetapi juga dilakukan sampai tingkat pelaksana di lapangan. Konsistensi inilah yang seharusnya menjadi prioritas untuk secepatnya memulihkan kondisi dari berbagai bulan-bulanan yang terjadi saat ini.

Tindakan penegakkan hukum yang dilaksanakan oleh kepolisian selalu melibatkan pihak-pihak yang berhadapan (korban, saksi dan pelaku). Pada titik ini harus dicermati oleh Polri, bahwa setiap proses penegakkan hukum selalu menimbulkan dampak ketidaknyamanan bagi siapapun yang terlibat. Para pihak yang terlibat dalam proses berperkara selalu berupaya meraih simpati publik dalam rangka mendukung pihaknya. Mereka bisa menggandeng siapapun termasuk media massa. Tugas media massa hanyalah menyampaikan apa yang mereka suarakan. Masalah kebeneran substansi maupun fakta menjadi urusan di pengadilan nantinya. Masalah menjadi sulit ketika para audience membaca fenomena ini sebagai sebuah kebenaran yang terangkat menjadi opini umum. Pada titik ini, mana yang benar dan mana yang salah menjadi absurd dan Polri selalu dalam posisi yang sulit. Kebenaran dalam proses penegakkan hukum ternyata tidak berbanding lurus dengan pembentukan opini negatif yang telah dibuat oleh para pihak yang berkepentingan dengan media massa.

Disinilah para manager Kepolisian harus mulai cermat untuk mulai tidak menonjolkan dan mengedepankan penggunaan isu penegakkan hukum dalam berhubungan dengan  media massa, namun lebih menonjolkan peran pelaksanaan tugas lain seperti pembinaan kamtibmas dan program kemitraan dalam rangka memberi kontribusi pada upaya ”social responsibility”. Langkah ini biasa dinamakan sebagai pseudo event atau event-event bayangan yang bisa dilakukan untuk meredam isu negatif. Pseudo event bisa dilakukan misalnya dengan mengadakan kegiatan-kegiatan yang tidak terkait sama sekali dengan isu-isu penegakkan hukum seperti yang sekarang dikembangkan oleh Polda Metro Jaya dengan program Pembinaan anak tidak mampu sekolah.

Karena event bayangan ini juga membutuhkan peliputan media massa, maka komunikasi yang baik dengan media tidak boleh terputus. Event bayangan bisa berupa kegiatan yang terkait dengan semua hal positif oleh Polri yang dirasakan manfaatnya secara langsung oleh masyarakat. Hal ini bisa dilakukan tingkatan Polres sebagai Kesatuan Operasional Dasar (KOD) yang berhadapan langsung dengan masyarakat. Hubungan baik dengan media massa harus tetap dijalin secara baik, mengingat peran sentral media sebagai sarana pembangun opini publik. Hubungan baik ini bisa dilakukan dengan mengajak media massa untuk memahami realitas yang dihadapai Polri terkait opini publik yang sudah terbangun yang melebihi realitas yang sebenarnya (hiperrealitas)