Berakhirnya era perang dingin antara
Blok Barat dan Blok Timur yang ditandai dengan keruntuhan Uni Soviet telah
mengubah peta kekuatan politik internasional secara drastis. Secara politik,
sejak bubarnya Soviet pada tahun 1991 hingga kini tinggal ada satu poros
kekuatan politik dunia yaitu Amerika Serikat.
Dominasi kekuatan politik Amerika Serikat jelas dirasakan keberadaannya di berbagai belahan dunia, khususnya kehadiran militer Amerika di wilayah-wilayah negara yang mengalami pergolakan politik. Dari Timur Tengah, Afrika, Asia, hingga Amerika Latin. Posisi Amerika inilah yang kemudian memunculkan istilah Amerika sebagai satu-satunya polisi dunia.
Di Timur Tengah, konflik Palestina
dan Israel, serta revolusi di negara-negara kawasan Teluk sebagai dampak dari “musim
semi” di Jazirah Arab (The Arab Spring),
tidak lepas dari campur tangan Amerika. Juga konflik di Afrika, di Sudan, Sieraleone,
dan Somalia. Di kawasan Asia, gejolak di semenanjung Korea, antara Korea Utara
dengan rivalnya Korea Selatan dan Jepang tidak luput dari perhatian Amerika
untuk menempatkan Armada perangnya di kawasan ini.
Di satu sisi, kekuatan politik
Amerika seperti tidak memiliki tandingan. Namun, di bidang ekonomi, kelesuan
dan krisis ekonomi Amerika yang ditandai krisis utang perumahan atau subprime mortgage, pada Juli 2007, telah
membuat raksasa ekonomi Amerika mengalami kelesuan. Pertumbuhan ekonomi anjlok,
dan ambruknya lembaga-lembaga keuangan seperti bank investasi terbesar keempat
dunia Lehman Brothers yang telah berusia 158 tahun. Pemberian dana talangan
atau bailout pemerintah Amerika
terhadap lembaga Asuransi terbesar Amerika, AIG, menjadi pertanda bagi resesi
ekonomi yang melanda Amerika pada tahun 2008 lalu.
Di sisi yang lain, kebangkitan
ekonomi melanda negara-negara berkembang. Tiongkok, India, Afrika Selatan,
Rusia, dan Brasil. Negara-negara dengan tingkat kemajuan yang spektakuler
inilah yang oleh Lembaga Keuangan dan Perbankkan Amerika, Goldman Sachs pada
tahun 2001 disebut sebagai BRICS yang merupakan singkatan dari Brasil, Rusia,
India, Cina dan Afrika Selatan. Goldman Sachs, memprediksi gabungan keempat
ekonomi negara BRICS pada tahun 2050 akan mengalahkan semua negara kaya di
dunia.
Dari lima Kemajuan negara-negara
ekonomi BRICS, dua diantaranya ada di Asia. Jika sebelumnya Asia didominasi
oleh kekuatan ekonomi Jepang dan Korea Selatan, kini keberadaan Cina dan India,
melebar pengaruhnya hingga ke Indonesia. Walaupun Indonesia sendiri tercatat
masuk di dalam 19 negara dengan kemajuan tinggi di dunia.
BELAJAR DARI KARAKTER KEPEMIMPINAN PEMIMPIM
DUNIA YANG BERWAWASAN GLOBAL
Konferensi Tingkat
Tinggi (KTT) BRICS pertama yang diselenggarakan di Yakaterinburg Rusia, pada 16
Juli 2009, dihadiri oleh empat pimpinan negara, Brasil oleh Luiz Inacio Lula da
Silva, Perdana Menteri Rusia Dmitry Medvedev, Perdana Menteri India Manmohan
Singh dan Presiden Cina Hu Jintao.
Karakter kepemimpinan
wakil Asia di BRICS tersebut, bisa kita telusuri dari profil dan karier politik
dan dua tokoh Manmohan Singh, dari India dan Hu Jintao dari Tiongkok. Kedekatan
budaya sebagai sesama Asia, sedikit banyak bisa kita pelajari, untuk diambil
kebaikannya bagi referensi kepemimpinan nasional di tanah air.
a. Manmohan
Singh
Manmohan Singh dikenal sebagai arsitek dari reformasi perekonomian
India. Doktor Ekonomi terbaik dari Universitas Oxford ini pernah bekerja di
lembaga keuangan internasional IMF dan pernah menjadi Kepala Keuangan untuk
Seksi Perdagangan UNCTAD Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York pada tahun
1987-1990.
Selain menjadi guru besar bidang ekonomi di beberapa universitas
terkemuka di India, ia juga menjadi pejabat di Kementerian Keuangan. Ia
kemudian menduduki kursi Menteri Keuangan India, pada tahun 1991-1996 di saat
krisis ekonomi melanda Asia, pada masa Pemerintahan Partai Kongres Nasional di
bawah Perdana Menteri PV Naramsimha Rao. Kebijakan ekonomi Singh kemudian
terbukti menyelamatkan India dari krisis keuangan yang juga diakui oleh dunia.
Sebagai mantan Gubernur Bank Sentral India, Singh mengubah
perekonomian berorientasi ke dalam negeri menjadi terbuka. Hal itu mampu
membuat perekonomian India tumbuh dari rata-rata 2-3 persen menjadi rata-rata 6
persen. Singh membuka perekonomian bagi investasi asing dengan memangkas
hambatan perdagangan. “Negara sedang terancam dan tidak ada waktu yang boleh
terlewatkan dengan sia-sia,” demikian dikatakan di Parlemen India pada tahun
1991 saat ekonomi India mengalami persoalan besar. Ia kemudian mengurangi
subsidi dan melakukan swastanisasi pada sebagian perusahaan negara.
Singh
juga memaksa para pebisnis untuk mendapatkan persetujuan pemerintah atas setiap
keputusan apapun. “Jika Anda mengelola ekonomi secara kaku dan menutup diri
dari dunia luar, tidak akan ada yang terangsang untuk bereproduksi dan membawa
ide baru,” katanya. Investasi asing masuk, inflasi diturunkan dari 17 persen
menjadi 8,5 persen yang kemudian hanya 4 persen. Di negara yang menjalankan
sistem perekonomian mirip Uni Soviet tindakan demikian menandai awal revolusi
ekonomi India.
Meski
demikian, Singh tidak melupakan akar keluarganya yang berasal dari golongan
miskin kaum Sikh dari Amritsar di utara India. Ia adalah penentang liberalisasi
ekonomi yang liar dan percaya bahwa pasar tidak bisa sepenuhnya dipercaya untuk
membawa kemakmuran bagi warga miskin India. “Diperlukan kebijakan pembangunan
yang manusiawi,” katanya. Dia mengatakan, India memerlukan emansipasi dari
perang keinginan dan eksploitasi.
Manmohan
Singh adalah salah satu contoh kelompok masyarakat terpelajar India yang sukses
menimba ilmu di luar negeri. Pada dasawarsa berikutnya, ribuan kaum terpelajar
India, berduyun-duyun memenuhi kampus-kampus terkemuka di berbagai negara maju.
Mereka inilah yang kemudian kembali ke tanah airnya di India dan ikut mewarnai
negara India yang baru. Sebagai contoh, India memiliki keunggulan dalam bidang
teknologi informasi, pasar keuangan dan industri manufaktur. Kemajuan India
yang kini diidentikkan dengan keberadaan Kota Mumbai, sebagai kawasan bisnis
terbesar atau metropolitan di India dan Asia Selatan pada umumnya, tak bisa
dilepaskan dari gagasan besar pemimpin sekelas Manmohan Singh.
b. Hu Jintao
Contoh kedua adalah Presiden Cina, Hu Jintao. Insinyur hidroulik dari
Universitas Qinghua ini memang politisi terkemuka dari Partai Komunis Cina
(PKT). Ia mengawali karier politiknya dari bawah, sebagai asisten politik di
almamaternya. Sebagai kader menonjol, ia segera mendapatkan perhatian dari
Rektor Universitas Qinghua, Jiang Nanxiang, Hu dipromosikan bekerja sebagai
kader di kantor pusat partai di Beijing.
Seperti lazimnya kader-kader muda Partai Komunis, ia mendapatkan
penugasan penting di daerah-daerah termiskin di Cina di Propinsi Ganzu di
Tiongkok Barat Laut. Di sini ia menjadi Wakil Sekretaris Partai Komunis,
kemudian menjadi Sekretaris PKT Provinsi Guizhou (Tiongkok Barat Daya).
Pada tahun 1988, Hu diangkat sebagai Sekretaris PKT di Tibet. Kawasan
yang penuh gejolak, karena provinsi ini sudah lama ingin memisahkan diri dari
Cina. Di sini, ia memiliki kontroversi, sebelum ia sampai di Lhasa Ibu Kota
Propinsi Tibet, telah terjadi demonstrasi besar-besar menentang pemerintah
pusat yang kemudian ditumpas dengan aksi kekerasan. Pemberlakuan Undang-undang
Darurat dalam mengatasi kekacauan yang juga menjadi preseden dalam penanganan
aksi unjuk rasa mahasiswa di lapangan Tiananmen
Sejak itu tak pernah ada kata kompromi atas setiap aksi yang hendak
memisahkan Tibet dari Tiongkok, sehingga ia dianggap bertanggung jawab atas
kematian Lama Panchen, pemimpin spiritual tertinggi kedua di Tibet, setelah
Dalai Lama. Namanya juga tersangkut dalam kasus Tiananmen yang menewaskan 218
warga sipil dan 23 tentara serta 7.000 orang terluka pada awal 1989.
Tahun 1990, Hu a menghabiskan waktunya di Beijing dan terpilih untuk
mengatur persiapan penyelenggaraan Kongres PKT ke-14 pada tahun 1992. Kongres
ini menjadi penting sebagai pengatur transisi kekuasaan kepemimpinan pasca Deng
Xiaoping. Dalam kongres itulah, Deng Xiaoping mempromosikan Hu Jintao dari
sekretaris partai provinsi memasuki ruang kekuasaan sebagai “kader lintas
generasi”.
Ketika memimpin Sekolah PKT sejak tahun 1993, Hu Jintao melakukan
perubahan dengan mendorong diskusi terbuka membahas masalah reformasi. Lintasan
kariernya menunjukkan bahwa ia mampu bekerja efektif. Lebih dari sepuluh tahun
rela menunggu dan tampaknya dia telah mengakumulasi kekuasaan dan inisiatif.
Posisinya sebagai pengganti Jiang Zemin kian jelas tahun 1998 ketika menjadi
Wakil Presiden dan Wakil Ketua Komisi Militer Pusat pada tahun 1999.
Pada Kongres PKT ke-16 Oktober 2002, Hu Jintao terpilih sebagai
pemimpin Tiongkok. Kongres berakhir dengan memilih 9 anggota Komite Tetap
Politbiro PKT dengan Sekretaris Jenderal Hu Jintao sebagai inti kepemimpinan
Tiongkok. Berbagai kritikan langsung diarahkan padanya. Dalam buku China’s
New Rulers yang mengutip dokumen sangat rahasia Tiongkok menyebutkan
kebiasaan Hu yang setia dan taat. Secara bertahap, ia memperoleh hormat dan
dukungan berspektrum regional dan politik.
Jabatannya kian lengkap ketika menjabat pemimpin negara pada tahun 2003.
Ia menggantikan Jiang Zemin yang mengundurkan diri sebagai Ketua Umum Partai
Komunis pada tahun 2004, segera ia juga merangkap jabatan sebagai Ketua Umum
Komisi Militer Partai Komunis 2004, dan Ketua Umum Komisi Militer Republik
Rakyat Tiongkok. Ia menjabat sebagai Presiden Republik Rakyat Tiongkok hingga
tahun 2013. Pada Maret 2013 setelah sebuah pemungutan suara dalam pertemuan
parlemen di Beijing , ia digantikan oleh Xi Jinping sebagai Presiden Republik
Rakyat Tiongkok.
Pada masa Hu Jintao inilah, kedigdayaan Cina mulai dirasakan oleh Amerika
Serikat. Bahkan, krisis keuangan di Amerika, telah menyebabkan Amerika memiliki
hutang yang besar kepada pemerintah negeri tirai bambu ini. Kebijakan ekonomi
yang mulai dirintis di era Deng Xiaoping dengan membuka pasar bebas, dirasakan
kemajuannya di era Hu Jintao.
Selain kemampuan produksi murah, sebagai warisan kerja bersama sebagai
tradisi negara komunis, telah membuat produk-produk Cina sangat kompetitif di
pasar dunia. Era terbuka Cina, juga telah mendorong kembalinya kelompok Cina
Perantauan atau Chinese Overseas Community. Kelompok perantauan
khususnya datang dari Provinsi Fujian dan Guandong yang menjadi daerah asal
Cina Perantauan. Mereka yang selama ratusan tahun mengelana ke berbagai penjuru
dunia, khususnya di kawasan Asia Tenggara dan sebagian besar sudah menjadi taipan-taipan
bisnis terkemuka. Mereka inilah yang ditarik untuk kembali ke daratan karena
ikatan dengan tanah leluhur mereka.
Dalam perkembangan dunia, kini ekonomi dunia seakan terbelalak dengan
kebesaran Cina dan India. Bahkan Presiden Amerika Barrack Obama harus
menundukkan kepala ketika berjabat tangan dengan Presiden Hu Jintao dalam
pertemuan para pemimpin Negara Gerakan 20 (G-20) di Seoul, Korea Selatan, awal
Nopember 2010 lalu. Gerak tubuh Obama seakan memberi pengakuan akan kebesaran
Sang Naga. Apalagi banyak pengamat ekonomi yang menyebutkan krisis ekonomi di
Amerika hanya akan tertolong oleh budi baik negeri Tirai Bambu.
MASALAH GLOBAL DAN TANTANGAN KEPEMIMPINAN
NASIONAL INDONESIA
Kemajuan pesat yang terjadi,
khususnya di kawasan Asia inilah yang menjadi tantangan baru bagi Indonesia. Apalagi,
di Asia letak geografis Indonesia yang berada di tengah-tengah jalur
perdagangan internasional. Letak yang strategis seharusnya menjadi kunci
penting bagi peran strategis Indonesia di kawasan Asia maupun dunia. Ada
seperlima hingga seperempat distribusi perdagangan laut dunia melewati Selat
Malaka yang membelah Sumatera dan negara-negara tetangga, seperti Thailand,
Malaysia dan Singapura.
Ada 40 persen lebih jalur
distribusi energi baik minyak dan gas dunia yang berasal dari Timur Tengah dan
Afrika, melewati perairan sempit yang membelah dari Aceh hingga Kepulauan Riau
ini. Selanjutnya bahan bakar tersebut diangkut ke negara-negara dengan
kebutuhan energi yang tinggi seperti Indonesia, Jepang, Korea, dan Cina. Selat
Malaka menjadi jembatan penghubung antara negara-negara di Samudera Hindia
dengan kawasan Pasifik.
Kemajuan Ekonomi Cina dan pertambahan
anggaran belanja bagi kekuatan militernya yang spektakuler, telah membuat
Amerika di bawah pemerintahan Presiden Barack Obama, mulai melirik kawasan Asia
Pasifik. Jika pendahalunya, seperti George Bush Senior dan George W Bush
Junior, yang lebih menitikberatkan perhatian di kawasan Atlantik dan Timur
Tengah, Presiden Barak Obama, menaruh perhatian yang lebih besar terhadap
kawasan Asia Pasifik.
Perhatian ini kemudian ditandai
dengan penambahan kekuatan militer Marinir Angkatan Laut Amerika yang baru-baru
ini ditempatkan di Darwin, Australia. Keberadaan pangkalan AL Amerika ini,
disebut-sebut sebagai upaya untuk mengimbangi dominasi kekuatan militer Cina di
kawasan Asia dan Pasifik. Apalagi, hubungan Cina dan negara-negara di kawasan
Asia Timur dan Asia Tenggara memiliki titik-titik panas, terkait sengketa
wilayah perairan. Seperti sengketa wilayah Laut Cina Timur antara Cina, Jepang
dan Korea Selatan. Sedangkan sengketa di Laut Cina Selatan, melibatkan jumlah
negara yang lebih besar, yaitu antara Cina, Filipina, Brunai Darusalam,
Malaysia, Taiwan dan Vietnam.
Klaim sepihak Cina atas gugusan
Pulau Paracels telah memanaskan hubungan Beijing dan Manila dan Hanoi, Vietnam.
Bahkan, kasus penempatan anjungan minyak di Kepualuan Paracels telah
membangkitkan sentimen anti Tiongkok di Vietnam, baru-baru ini. Sentimen anti
Cina, yang dibarengi dengan aksi demonstrasi anti Tiongkok di Vietnam, bahkan
sampai menelan korban jiwa pada medio Mei 2014 lalu. Ini semua menunjukkan
bahwa kawasan Asia, walaupun nampak damai, tetapi masih memiliki potensi
kerawanan yang tinggi.
Gugusan Pulau Paracels
yang terletak 220 KM dari Pantai Vietnam, yang diduga memiliki cadangan minyak
yang besar, di klaim Cina sebagai wilayahnya berdasarkan sejarah kekuasaan
leluhurnya di masa lalu. Sedangkan Vietnam dan Filipina, mengklaim bahwa
kawasan tersebut sebagai bagian dari zona ekonomi ekslusif negaranya.
Ketegangan inilah yang
tidak bisa dilewatkan begitu saja oleh Pemerintah Amerika Serikat. Dalam
kunjungan di Hanoi hari Kamis 29 Mei 2014 lalu asisten menteri luar negeri
Amerika, Daniel Russel mendesak kedua negara saling mengekang diri dari
melakukan tindakan sepihak, sambil menambahkan bahwa ekonomi dunia terlalu
rapuh untuk membiarkan terjadi krisis yang dapat berkembang menjadi konflik.
Russel mengatakan, tiap
negara berhak membela posisi dan klaim kedaulatan atas sesuatu wilayah.
Amerika, katanya, tetap berpendirian bahwa pembelaan harus lewat saluran
diplomatik dan cara mengajukan sesuatu klaim mesti sesuai dengan hukum
internasional termasuk Konvensi PBB dan Hukum Laut. Langkah diplomatik,
dilakukan untuk mencegah konflik perairan menjadi konflik bersenjata.
Langkah-langkah
diplomatik, tentu saja membutuhkan kepemimpinan-kepemimpinan yang visioner. Pemimpin
yang melihat bahwa suatu bangsa tidak akan lagi bisa hidup sendirian di
belantara globalisasi sekarang ini. Interdependence
atau saling ketergantungan antara negara, seharusnya dipahami oleh para
pemimpin di kawasan sehingga tercipta perdamaian dunia.
Berkaca pada studi kasus negara-negara anggota BRICS, dimana kita akan mendapatkan karakter kepemimpinan yang kuat dari
masing-masing negara tersebut dan dikaitkan dengan karakter kepemimpinan
nasional dan selanjutnya keterkaitannya dengan kepemimpinan kita yang harus
dibentuk dalam mengantisipasi tantangan masa depan.
Dari dua contoh di atas India dan Cina,
bahwa rekrutmen kader-kader pemimpin begitu berjenjang dan melewati serangkaian
ujian dan krisis bisa menjadi contoh.
Betapa untuk menjadi pemimpin nasional, tidak bisa datang seketika hanya
berlandaskan ketokohan saja. Tetapi
kemampuan-kemampuan teknis yang telah dilakoni dalam kurun waktu yang lama akan
sangat membantu dalam
menyelesaikan problem-problem yang muncul masa kepemimpinannya.
Seperti peribahasa Cina yang mengatakan, “If you are thingking a year ahead, plant a seed. If you are thingking a dekade ahead, plant a tree. If you a thingking a century ahead, educate people”. (Bila Anda memikirkan setahun ke depan, tanamlah benih. Bila Anda memikirkan satu dasarwarsa ke depan, tanamlah pohon. Bila Anda memikirkan satu abad ke depan, didiklah manusia). Dengan mendidik manusia akan akan melahirkan generasi-generasi pemimpin bangsa yang tangguh.