Apakah pembangunan sektor sosial (pendidikan, kesehatan dsb.) telah mengembangkan kwalitas interaksi sosial atau nilai-nilai budaya masyarakat secara keseluruhannya?
Apakah Pembangunan Sektor pendidikan kita saat ini mampu mengembangkan kreativitas ilmiah atau kemandirian manusia Indonesia?
Apakah pembangunan sektor kesehatan mampu mengembangkan pola perilaku sehat?
Apakah pembangunan sektor agama dapat mengembangkan nilai kerukunan?.
Apakah Pembangunan Sektor pendidikan kita saat ini mampu mengembangkan kreativitas ilmiah atau kemandirian manusia Indonesia?
Apakah pembangunan sektor kesehatan mampu mengembangkan pola perilaku sehat?
Apakah pembangunan sektor agama dapat mengembangkan nilai kerukunan?.
Samuel Huntington pada tulisannya di buku Culture Maters, menggambarkan bahwa: pada tahun 1960-an Ghana dan Korea Selatan memiliki kondisi ekonomi yang kurang lebih sama. Tigapuluh tahun kemudian Korea telah menjadi negara maju, tetapi Ghana hampir tidak mengalami kemajuan apapun dan saat ini GNP per capitanya hanya seperlimabelas Korea Selatan. Ini disebabkan (terutama) karena bangsa Korea (selatan) memiliki nilai-nilai budaya tertentu seperti: hemat, kerja keras, disiplin dsb. Semua ini tidak dimiliki masyarakat Ghana.
Bagaimana Indonesia dibanding
Malaysia dan Korea Selatan? Apakah bangsa kita termasuk pada katagori “kebudayaan yang
terkalahkan” (defeated culture)??. Pertanyaan besarnya adalah, Apakah kita ditakdirkan untuk terbelakang?. Apakah kebudayaan
merupakan sesuatu yang melekat (inherent) pada suatu masyarakat?, tidak mungkin
dirubah atau dibangun?. Pertanyaan yang lebih penting adalah:”Apakah kita
memang telah membangun budaya kita
selama ini?”. Apakah pembangunan kita
telah membangun juga unsur-unsur budaya?, atau hanya sibuk mengejar pertumbuhan
ekonomi semata?
Pemerintah
Orde Baru telah berhasil mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi (rata-rata
7%) pada kurun waktu satu dekade (1990
an) sehingga Indonesia disebut “economic miracle” dan dikategorikan sebagai
“Macan Asia” oleh Bank Dunia. Namun apa reaksi rakyat? Pada akhir dekade itu Suharto digulingkan
oleh gerakan Reformasi Rakyat.
Saat ini dimasa reformasi, ekonomi makro kita selalu
dilaporkan baik, pertumbuhan ekonomi beberapa tahun terakhir berada diatas 6%
walaupun terjadi krisis di Amerika dan
Eropa. Namun apa reaksi
rakyat? : cacimaki rakyat, demo, boikot dsb.
Bila kita merujuk pada Jajak pendapat (Kompas 2013), terkait dengan Aspirasi sosial- budaya
rakyat ternyata Pembangunan
bukan hanya ”meningkatkan angka pertumbuhan ekonomi”, tetapi meningkatkan ”kualitas kehidupan
Sosial-budaya” .
Ø 60,8% responden tidak puas pada
kinerja Pemerintah menjaga kebhinekaan;
Ø 65.5 % persen tidak puas pada
Pemerintah menjaga kerukunan
Ø 67.4% tidak puas pada pencegahan konflik
antar etnis.
Ø 54% merasa warga minoritas belum terlindungi dalam beribadah
dan mendirikan rumah ibadah. Mereka juga merasa tidak terlindungi dari kekerasan.
Saat ini pengukuran kinerja pemerintah Sangat Kuantitatif karena didominasi oleh GNP
dan GDP. Padahal Kehidupan
Sosial-Budaya bersifat kualitatif perlu
seperti :
Ø kehidupan politik yang lebih
demokratis dan bisa dipercaya,
Ø kehidupan beragama yang lebih
toleran dan sejuk,
Ø hubungan
etnis yang rukun dan mesra,
Ø sikap budaya yang lebih multikultur,
Ø kehidupan yang lebih aman dan bebas
dari ketakutan dan kekerasan,
Ø hak azasi yang lebih dihargai dan
dilindungi,
Ø bakat dan kreativitas yang lebih
diberi tempat,
Ø aspirasi yang lebih didengar dsb.
Pada tahun
1994 di Copenhagen diselenggarakan “World Summit of Social Development”
yang lebih menekankan
“Pembangunan Sosial” terutama pada isu kemiskinan. Untuk itu perlu dicatat bahwa kemiskinan material hanya
merupakan suatu akibat dari masalah yang lebih mendasar dalam kehidupan
sosial-budaya suatu bangsa yaitu eksklusi sosial (tidak
dipenuhinya hak-hak dasar kehidupan secara merata bagi seluruh warga Negara).
PBB melalui
UNDP telah memperkenalkan Human
Developmen Index (HDI) menekankan pada “kualitas manusia” (pendidikan dan
kesehatan). Kriteria
baru untuk mengukur keberhasilan pembangunan
setiap negara (disamping GNP) berupa
Human Development Report (HDR). Saat ini kita juga melihat munculnya berbagai indeks
Pembangunan yang lebih “manusiawi” seperti Happy Planet index, Social
Development indicator, Cultural Development dan sebagainya.
Dari sini kita
bisa melihat bahwa yang terpenting dari pembangunan aspek
sosial-budaya adalah “nilai” yang membimbing pembangunan itu. Pembangunan yang
hanya berorientasi pada pertumbuhan jelas bukan merupakan pembangunan “yang
sebenarnya” karena tidak ada substansi nilai-nilai yang menjadi acuannya. Misalnya pada pembangunan
pendidikan, bila hanya
diukur dari berapa “pertumbuhan” jumlah sekolah yang dibangun, berapa jumlah
lulusan dsb., maka itu bukan “pembangunan nilai”. Pertanyaan besar kita pada fenomena Ujian
Nasional saat ini, Apakah UN
menghasilkan kehidupan Sosial-Budaya yang lebih baik?”
Apa makna dari ini
semua? Pembangunan Sosial-Budaya banyak diartikan sebagai
“sektor” sosial budaya yang
seolah olah inputnya uang namun outputnya bukan uang. Saat ini Yang kita perlukan adalah: kualitas “kehidupan
Sosial-Budaya”. Untuk
itu Ilmu-ilmu Sosial dan Budaya harus berani
mengajukan “proposisi” bahwa
membangun manusia haruslah melalui pembangunan Masyarakatnya, Bellah misalnya, mengatakan: ” It is difficult
to be a good person in the absence of
good society.”(Robert
Bellah)
Paulus Wirutomo,
seorang sosiolog menawarkan konsep Pembangunan Sosial yang bersifat sosiologis dimana pembangunan Pembangunan Elemen dasar
kehidupan Sosial harus mengacu
kepada tiga hal: struktur, kultur dan proses sosial.
STRUKTUR SOSIAL
Struktur Sosial diartikan sebagai pola hubungan (terutama hubungan kekuasaan) antara
kelompok sosial. Instrumen struktural
digambarkan oleh Paulus sebagai alat dari suatu
kelompok sosial untuk memaksa,
memerintah, atau memberi kendala pada manusia atau kelompok yang lain yang dapat menimbulkan “kekuatan Struktural”.
Kekuatan Struktural bisa menimbulkan
kesenjangan sosial dan ketidakadilan. Kekuatan “Struktur Sosial” bisa dilembagakan (institutionalized)
secara legal-formal (seperti Undang-Undang, kebijakan Pemerintah dsb.), maupun
yang tidak, misalnya kekuatan “memaksa” dari dunia usaha yang walaupun tidak
memiliki kekuatan hukum resmi untuk memerintah, tetapi efektif mengatur
kehidupan masyarakat luas (melalui iklan, fasilitas fisik yang diciptakan dsb).
Kekuatan struktural inilah yang sering digunakan oleh penguasa untuk membangun pola dominasi yang menindas di masyarakat
Pembangunan di masyarakat kita saat ini selalu gagal mensejahterakan
sebagian besar masyarakat Indonesia karena kondisi struktural kita yang sudah
kritis. Kemiskinan yang terjadi di
negeri ini terutama adalah “kemiskinan struktural” yaitu: adanya sistem
kekuasaan yang sengaja menciptakan dan mempertahankan kesenjangan pembagian
“resources” (segala sumber-sumber mulai dari sumberdaya alam, pekerjaan,
kredit, keadilan hukum, pelayanan publik, pendidikan dsb.).
Gambaran kemiskinan struktural di Indonesia
- rata-rata
penguasaan lahan petani di pedesaan kini dibawah 0.25 ha. Bandingkan dengan
para investor perkebunan sawit masing-masing memperoleh ijin untuk menguasai
puluhan ribu hektar.
- Luas tanah
terlantar: 7,3 juta ha (133 kali luas Singapore), 85% dikuasai swasta.
- Ketimpangan
pendapat di Indonesia saat ini telah mencapai 0.536 pada skala Ginie (padahal
0.5 sudah merupakan titik kritis).
- Dari
seluruh perkebunan sawit di Indonesia 59% berkonflik dengan rakyat (591 kasus).
- Sejak
2004-2012 terdapat 618 konflik agraria dengan areal 2.399.314,49 ha dan lebih dari 731.342 keluarga menjadi korban
ketidakpastian agraria.
- Pemerintah
menyerahkan kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang mempunyai tugas antara
lain: reformasi agraria dan penanganan masalah sengketa pertanahan.
- BPN
bekerja berdasar peraturan setingkat PP.
Di masa lalu Bung Karno menempatkan land reform sebagai sebuah program politik. Tanah tidak
boleh menjadi alat untuk menindas dan memeras hidup orang lain. Gambaran diatas menunjukan struktur yang
timpang dan telah menjebak masyarakat kita dalam ketidak adilan yang akut. Kebijakan pembangunan ekonomi yang
“tambal sulam” tanpa membenahi struktur secara mendasar tidak akan menghasilkan
“kehidupan sosial-budaya” yang baik.
Apakah kita perlu melakukan
koreksi (amandemen) terhadap Undang-Undang Dasar (terutama dibidang kehidupan
politik) dalam rangka membenahi
Kebijakan Pembangunan serta undang-undang yang menentukan kehidupan rakyat banyak seperti kebijakan
pertanahan, pertanian, perdagangan,
impor-ekspor?
KULTUR BANGSA
Selo Soemardjan mendefinisikan
kebudayaan sebagai : ”Segala hasil karya, cipta dan rasa masyarakat
yang digerakan oleh karsa untuk
berlangsungnya kehidupan masyarakat tersebut. Kebudayaan adalah unsur
paling dasar (basic) dari suatu masyarakat. Faham cultural determinism mempercayai bahwa sikap,
pola perilaku manusia dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaannya.
Acapkali kebudayaan
selalu dipertahankan oleh kelompok tertentu atau tokoh-tokoh masyarakat dalam
rangka melindungi kepentingannya (vested interest). Golongan ini sering
menindas golongan lainnya melalui legitimasi budaya (cultural hegemony). Lihatlah di beberapa daerah, mana yang lebih kuat adat istiadat atau
kekuatan norma agama? Bahkan seringkali kita sulit membedakan mana yang adat
dan mana yang ajaran agama.
Setiap masyarakat perlu agenda membangun Kultur untuk meningkatkan
kualitas system nilai, adat istiadat yang menghambat kesejahteraan. Pembangunan Budaya adalah Pembangunan nilai, seperti: pengembangan
nilai-nilai keadilan, kerukunan, kepedulian , kemandirian, kejujuran, sinergi (win-win solution). Contoh pembangunan budaya di era modern di
Indonesia misalnya Program P4 dimasa Orba, Di Solo Jokowi mengembangkan kebijakan Eco-cultural
City, program “kesetaraan jender”. BKKBN berhasil menanamkan system nilai “keluarga kecil”,
Membangunan Kebudayaan sering bisa dipacu dengan pembangunan fisik. Misalnya Pembangunan Gelanggang Remaja, pembangunan sarana olah raga, pembangunan ruang publik, pembangunan transportasi massal, pembangunan sarana jalan yang manusiawi dsb.
PROSES SOSIAL
“Proses Sosial” menjadi penting, karena
disinilah “dinamika interaksi” sehari-hari antar anggota masyarakat terjadi. Melalui proses
sosial, individu maupun kelompok dapat mengekspresikan aspirasi secara “bebas”, negosiasi yang dinamis dan
kreatif antar anggota masyarakat, dan menjadi sumber perubahan struktur maupun kultur yang ada (”social
order is a negotiated order”). Pembangunan proses sosial
bisa di akselerasi melalui pembangunan fisik, misalnya pada Gelanggang
remaja, taman bermain, panggung-panggung kreatif dsb. Selanjutnya dalam proses sosial dikembangkan
kesempatan masyarakat menyampaikan aspirasi dan opininya (public sphere)
seperti: kebebasan pers, berorganisasi, jejaring social, diskusi publik, unjuk
rasa, pengembangan civil society (LSM, Community Based Organization), termasuk meningkatkan ruang partisipasi bagi masyarakat
misalnya Musrenbang, menghidupkan
tradisi gotong royong di RT/RW dsb.
Kondisi “prosesual” di Indonesia di era Reformasi Secara sosiologis memiliki potensi yang sangat
menjanjikan: ditandai dengan Desentralisasi
dan otonomi, Kebebasan Pers, Kebebasan
memperoleh informasi, adanya
Mahkamah Konstitusi, KPK bahkan DPR/D termasuk pembangunan struktural yang ditujukan untuk
menampung aspirasi masyarakat untuk menegosiasi struktur dan kultur yang ada.
Problemnya adalah ketika “Pembangunan
kehidupan Sosial-Budaya” telah
direduksi menjadi “Pembangunan
sektor sosial-budaya. Padahal
kita tahu Kehidupan Sosial-Budaya (Socio-economic life) adalah mencakup
seluruh kondisi interaksi dan interelasi sosial yang sistemik dan holistic dari aspek ekonomi, politik, agama, keamanan
dan sebagainya.
Dari tulisan yang pak Krishna buat, jelas terpampang bahwa kehidupan sosial dan budaya masyarakat yang ada akan sangat mempengaruhi kualitas suatu bangsa. Permasalahan yang cukup pelik di sini adalah, akankah bangsa itu mau untuk mengadopsi nilai-nilai dan budaya dari bangsa lain (hemat, kerja keras dan disiplin) dengan tanpa kehilangan jatidiri bangsa sendiri, yang telah terbukti mampu dan sukses meningkatkan kualitas hidup suatu bangsa dengan meningkatnya pendapatan perkapita sebagai salah satu indikator pengklasifikasian suatu bangsa dikatakan sebagai negara maju.
ReplyDeleteDalam bukunya "The Clash of Civilizations and The Remaking of World Order", pada tahun 1996 Samuel Huntington mengemukakan teorinya tentang benturan peradaban di masa depan akan bersumber pada perbedaan budaya, BUKAN pada perbedaan ideologi bangsa maupun perebutan sumber kekayaan alam semata. Bangsa besar yang akan bertahan di masa depan adalah bangsa yang mau merubah budaya yang jelek yang ada dalam masyarakatnya dengan tanpa rasa gengsi/malu walau itu budaya barat sekalipun, untuk menuju pada kehidupan sosial-budaya masyarakat yang lebih berkualitas. Budaya malu untuk korupsi makan duit negara, budaya malu tidak menggunakan helm dan menerobos lampu merah dengan alasan maaf buru-buru karena neneknya mau melahirkan.