Putri Nur Fauziah menjadi korban kesekian kalinya dari
predator-predator yang mengincar anak-anak. Walaupun bukan yang pertama, kasus
ini menjadi indikasi bahwa kasus kekerasan, apapun bentuknya, terhadap anak
sudah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Adik kita ini tidak hanya
mengalami kekerasan seksual dan fisik, bahkan nyawanya pun dihilangkan oleh
para pelaku. Kita tidak lagi bisa bersikap biasa saja atau malah lupa atas
kasus-kasus seperti ini.
Apabila kita berbicara tentang kekerasan seksual
terhadap anak-anak, kita akan menemukan bahwa kasus ini cukup banyak terjadi.
Baru saja kami menangkap tiga orang tersangka dimana satu orang mencabuli anak
tetangganya, satu orang mencabuli teman anaknya, dan yang paling memperihatinkan
satu orang mencabuli anak kandungnya sendiri berkali-kali.
|
Sesaat sebelum penyisiran TKP untuk mencari barang bukti |
Barangkali masih ada yang ingat nama Robot Gedek,
kemudian Baekuni alias Babeh. Keduanya melakukan kekerasan seksual sekaligus
membunuh para korbannya yang kesemuanya adalah anak-anak dibawah umur. Sebelum ini ada kasus Angeline di Bali yang juga menyita perhatian masyarakat. Walaupun perhatian masyarakat sangat tinggi, kejadian yang sama masih terus terjadi.
Mungkin tidak banyak yang menyadari bahwa kasus
kekerasan terhadap anak, khususnya kekerasan seksual terhadap anak, tidak hanya
dilakukan oleh orang asing, tetapi justru banyak juga dilakukan oleh orang yang
dekat dengan korban. Kasus-kasus seperti ini selayaknya menjadi sebuah
peringatan bagi kita bahwa kita harus mengawasi dengan baik lingkungan dimana
anak-anak beraktivitas. Mulai dari lingkungan rumah, sekolah, dan dimana sang
anak beraktivitas sehari-harinya.
Dengan adanya kasus-kasus seperti ini, saya rasa sudah
saatnya Indonesia membudayakan sebuah kebiasaan yang mengajarkan anak-anak kita
kewaspadaan terhadap orang asing dan tindakan-tindakan yang berpotensi mengarah
kekerasan dan pelecehan seksual.
Saya mengambil contoh di Amerika Serikat, dimana
perlindungan terhadap anak sudah membudaya baik di tengah masyarakat maupun
pengambil kebijakan. Saya mengambil contoh Amerika Serikat karena pernah
melihat langsung praktek perlindungan tersebut. Konteks perlindungan anak
disini menggunakan Bahasa abuse, kalau
dipadankan ke Bahasa Indonesia bisa dikatakan sebagai perbuatan yang kejam,
kekerasan, atau penyiksaan. Di New York, perlindungan terhadap anak ini
mencakup kekerasan fisik, kekerasan seksual, hingga penelantaran yang terkait
dengan kesejahteraan anak.
Kembali ke budaya, saya memperhatikan bahwa para
orangtua di Amerika Serikat akan terbiasa mengajarkan anak-anak mereka untuk
waspada terhadap orang asing. Mereka diajarkan untuk tidak berbicara dengan
orang asing, menghampiri orang yang tidak dikenal, dan bagaimana bereaksi
terhadap orang asing yang menghampiri mereka. Mereka juga diajarkan untuk
mengidentifikasi bagaimana mencari bantuan ketika tersesat atau semisalnya,
dengan menghampiri Polisi atau menelpon 911 untuk meminta bantuan.
|
Contoh buku anak-anak yang mengajarkan kewaspadaan |
Slogan seperti ‘no,
go, yell, tell’ merupakan salah satu slogan yang popular dan diajarkan pada
anak-anak. Slogan tersebut dapat diartikan dengan mengatakan tidak pada orang
tak dikenal yang menghampiri, pergi dengan segera dari orang tersebut, berteriak
agar menarik perhatian orang lain, dan segera memberitahukan pengalaman
tersebut pada orang dewasa yang dikenal seperti orang tua, guru, dan lainnya.
Hal-hal tersebut sangat membudaya sehingga orang-orang
dewasa akan segera waspada apabila melihat ada orang tidak dikenal yang berada
di lingkungan mereka dan mendekati anak-anak. Para anak-anak pun sudah terbiasa
untuk tidak mendekati orang-orang yang mereka tidak kenali sebelumnya dan
meminta bantuan orang-orang yang dipercaya.
|
Charles Hynes saat pencanangan program Safe Stop (patch.com) |
Budaya perlindungan ini juga terlihat dari reaksi
publik pasca terjadinya kasus pembunuhan terhadap Leiby
Kletzky pada tahun 2011, di Brooklyn, New York. Leiby dikabarkan hilang ketika
ia berjalan sendiri saat pulang dari acara perkemahan dan kemudian ditemukan
tewas dengan kondisi tubuhnya termutilasi. Kematiannya memicu District Attorney (Jaksa) bagian
Brooklyn, Charles Hynes, untuk mencanangkan program Safe
Stop. Program ini dilaksanakan dengan memasang sticker bertuliskan Safe Stop di depan toko-toko daerah
Brooklyn yang artinya toko tersebut aman bagi anak-anak yang tersesat dan
membutuhkan tempat untuk berlindung.
|
sticker safe stop di salah satu toko (https://www.causes.com/posts/810286) |
Program Safe Stop tersebut ditunjang dengan adanya sistem identifikasi yang
baik dari pemerintah. Selain itu, program tersebut juga menggunakan pemeriksaan
latar belakang yang intensif untuk memastikan tempat tersebut memang benar aman
bagi anak.
Berkaitan dengan program di
atas, New York memilliki Sex Offender
Registration Act, Peraturan Registrasi Pelaku Kejahatan Seksual, dimana
para pelaku kejahatan seksual yang terbukti diharuskan mendaftarkan dirinya
kepada New York State Division of
Criminal Justice Services selama sepuluh tahun atau lebih sejak si pelaku
terbukti melakukan tindakannya. Berdasarkan registrasi tersebut, penegak hukum
local dapat mengabarkan warga, terutama populasi yang dinilai rentan seperti
sekolah, bahwa ada seorang yang pernah menjadi pelaku kejahatan seksual dan
dinilai berpotensi mengulangi kejahatannya berada di komunitas mereka.
Pada contoh ini, seorang
pelaku kejahatan seksual tidak akan lepas dari pengawasan negara dan
masyarakat. Ia akan terus diwaspadai dan diamati untuk menghindari kemungkinan
terulangnya tindak pidana tersebut.
Selain program dan regulasi tersebut,
New York City Department of Education,
semacam dinas pendidikan bagi kita disini, mengeluarkan peraturan-peraturan
spesifik untuk mengamankan anak dari bahaya kekerasan seksual. Mereka mengatur
hal-hal berikut ini:
1. Siswa
tidak boleh pulang dengan orang asing
2. Siswa
tidak boleh berbicara dengan orang asing
3. Siswa
tidak boleh menerima barang apapun dari orang asing
4. Jika
siswa didekati orang asing saat berada di dekat sekolah, siswa harus segera
kembali ke sekolah dan memberitahukan staf sekolah
5. Siswa
yang masih kecil harus diantar dan dijemput
6. Siswa
yang lebih tua sebisa mungkin pergi dan pulang sekolah dengan berkelompok
Dari contoh yang saya perhatikan di atas, saya melihat
bahwa semuanya berawal dari budaya di tengah masyarakat. Saya merasa budaya
yang sama penting untuk kita tanamkan di Indonesia. Sebuah budaya kewaspadaan
untuk melindungi anak-anak kita.
Misalnya saja dengan cara kita mengajarkan anak-anak
kita untuk mengenali siapa saja yang boleh menyentuh diri mereka. Misalnya saja
orang tua, saudara kandung, atau orang yang kita percaya untuk berinteraksi
dengan anak-anak kita. Selain itu, mengajarkan anak-anak kita untuk berani
mengatakan frase-frase yang menunjukkan penolakan, seperti ‘JANGAN SENTUH SAYA’ atau berteriak ‘JANGAN DEKATI SAYA’ ketika ada orang lain berusaha mendekatinya.
Frase di atas dapat juga ditunjukkan kepada
orang-orang terdekat. Karena kita juga melihat bahwa pelaku kekerasan seksual
terhadap anak banyak berasal dari orang terdekat seperti keluarga, guru, dan
teman. Mengajarkan anak-anak tentang diri atau fisik mereka, bahwa mereka tidak
boleh disentuh sembarangan, dan ketika disentuh harus dengan tegas menunjukkan
penolakan merupakan hal yang penting.
|
Katakan TIDAK pada orang asing (Richard Sheppard/Alamy- Guardian.com) |
Jadi pada poin selain kemampuan menolak, kita juga
harus menjelaskan kepada anak-anak kita mengenai ruang pribadi mereka. Bahwa
diri mereka berharga dan tidak boleh disentuh sembarangan. Dengan menyadari
ini, diharapkan penolakan akan keluar dengan sendirinya.
Saya tidak bermaksud untuk menumbuhkan budaya untuk
saling mencurigai antar anggota masyarakat, akan tetapi lebih ke peningkatan
kewaspadaan. Sudah banyak jatuh korban dan saya rasa kita tidak ingin ada
korban-korban lain berjatuhan. Justru saya mendorong keterlibatan masyarakat
untuk secara bersama-sama melindungi anak-anak kita semua dari ancaman-ancaman
predator yang ada.
Salah satu contoh keterlibatan masyarakat, selain dari
pembudayaan kewaspadaan dari lingkungan terdekat, dapat dilakukan melalui
konsep Pencegahan Kejahatan
Melalui Perancangan Lingkungan (PKMPL), dimana PKMPL merupakan terjemahan dari CPTED (Crime Prevention
Through Environmental Design). Pendekatan ini merupakan merupakan altematif
pendekatan dengan mengurangi atau mencegah kriminalitas dengan merancang kota
atau lingkungan dengan mempersempit atau mengurangi kesempatan untuk berbuat
kriminalitas.
Berikut
ini sedikit ulasan yang pernah saya tuliskan tentang komponen utama PKMPL:
- mengurangi akses kriminalitas dengan perlengkapan
kunci, jendela dan kamera pengawas.
- Perubahan terhadap lingkungan fisik, sehingga
mengurangi kesempatan untuk melakukan kejahatan. Secara alami dikenali
adanya upaya untuk mengurangi kriminalitas, yaitu:
1) Menciptakan ruang yang tanpa disadari dapat mengikut
sertakan sebanyak mungkin orang untuk terlibat dalam pengawasan, dan mencegah
masuknya orang yang tidak dikenal kedalam kawasan, melalui konsep 'mudah
terlihat dan terawasi dari jalan';
2) tidak menciptakan ruang yang tertutup dari pengawasan,
serta membatasi akses masuk ke kawasan;
3) tidak menciptakan ruang-ruang yang tidak terdefinisi
dengan jelas peruntukannya, atau sebaliknya menciptakan batas-batas kepemilikan
yang jelas; sehingga orang asing merasa tidak nyaman berada di lingkungan
tersebut;
4) menempatkan aktivitas lingkungan yang sekaligus dapat
mengawasi keamanan lingkungan;
5) melakukan pemeliharaan rutin, untuk memberikan
kejelasan teritorial dan pengawasan alami. komponen lansekap hendaknya tidak
membuat ruang-ruang terisolasi atau tersembunyi, hingga berpotensi sebagai
tempat bersembunyi.
- Peningkatan komunikasi dengan lingkungan sosial
melalui penguatan organisasi lingkungan atau kemasyarakatan. Secara fisik
desain rumah dan lingkungan. yang baik hendaknya dapat mendorong
komunikasi sosial, interaksi antar tetangga serta menghilangkan fear of crime (ketakutan atas
kejahatan).
|
Contoh implementasi PKMPL (Peel Regional Police, Ontario, Kanada) |
Selengkapnya tentang PKMPL dapat dibaca disini.
Polda Metro Jaya selalu berupaya sekuat tenaga
mengungkap kasus-kasus seperti ini, akan tetapi kami berharap bahwa kasus-kasus
seperti ini tidak terjadi lagi. Sebagaimana saya katakan di atas, saya
mendorong keterlibatan dan dukungan seluruh stakeholder perlindungan anak untuk
terlibat aktif dalam kampanye perlindungan anak.
Selain peningkatan kinerja pemerintah, saya juga
mendorong masyarakat untuk secara aktif menjaga anak-anak kita dan mendidik
mereka agar terhindar dari ancaman predator-predator biadab ini. Pemerintah
kita juga telah melakukan beberapa inisiatif perlindungan anak, salah satunya
bekerjasama dengan UNICEF di gerakan Pelindung Anak (klik disini untuk ke laman Pelindung Anak) dengan konsep bahwa siapa saja, baik remaja maupun orang
dewasa, adalah pelindung bagi anak-anak di wilayahnya.
Saya mendukung inisiatif seperti ini dimana masyarakat
juga turut serta aktif dalam memberikan perlindungan kepada anak. Disaat yang
sama, kita bersama membangun budaya dan sistem yang dapat melindungi anak-anak
kita. Selain itu, saya juga menegaskan bahwa kami tidak akan berhenti memburu para predator yang melakukan tindakan keji seperti ini, dan akan menindak tegas siapapun yang berani melanggar.
Semoga kedepannya kita dapat membangun kebiasaan dan
sistem yang dapat melindungi anak-anak kita dari kejahatan seperti ini,
sehingga anak-anak kita yang juga masa depan bangsa dapat tumbuh dan berkembang
dengan aman.
Salam hormat