Pada hari Rabu, 30 September 2015, saya mengikuti sebuah acara Focused Group Discussion (FGD) yang
diadakan oleh Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Republik Indonesia. Tema yang diangkat pada bahasan tersebut adalah: Perbaikan Manajemen
Penanganan Kasus Pada Satuan Reskrim Polri.
FGD ini menjadi sarana baik bagi Kompolnas maupun bagi para peserta,
yang umumnya berasal dari satuan Reskrim, untuk mengeksplorasi isu tentang
manajemen penangan kasus oleh satuan Reskrim. Pada kesempatan kali ini saya
ingin berbagi beberapa hal menarik dan penting yang saya dapatkan pada FGD
tersebut serta beberapa perspektif saya pribadi.
Salah satu pemikiran dasar dari Kompolnas dalam mengadakan FGD ini
adalah banyaknya kritik atas kinerja satuan Reskrim di tubuh Polri. Statistik
pengaduan kepada Kompolnas menunjukkan hal tersebut, dimana dari 3178 pengaduan
89,5% dari angkat tersebut (2858) ditujukan kepada satuan Reskrim. Secara rinci,
pembagian data Kompolnas tersebut adalah pelayanan yang buruk 60,1%, penyalagunaan wewenang 26,6%, diskriminasi
3,9%, HAM dan kekerasan 6,20%, KKN dan korupsi 0,56%, dan diskresi yang keliru 4,08%.
Selain poin-poin tersebut di atas terdapat juga poin tambahan mengenai
pengawasan dan manajemen penanganan kasus pidana menggunakan teknologi tinggi.
Dalam diskusi tersebut sama-sama diakui bahwa Polri memang sedang dan terus
melakukan upaya pembenahan diri untuk meningkatkan pelayanan dan pelaksanaan
tugasnya. Tidak dipungkiri juga bahwa memang akan ada oknum-oknum tidak
bertanggungjawab yang tidak melaksanakan tugasnya dengan baik. Bahasan tersebut
bukanlah sebuah bahasan yang benar-benar baru, yang menarik dari bahasan FGD
ini adalah ditonjolkannya sistem manajemen kasus pidana sebagai sebuah solusi
peningkatan professionalisme kinerja Polri.
Perbaikan sistem manajemen kasus, sebagaimana menjadi tema dari FGD ini
terkait dengan pengawasan dan kepastian penyelesaian sebuah kasus pidana. Di
Indonesia, manajemen penanganan kasus didasarkan pada beberapa ketentuan,
antara lain KUHAP, Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 14
tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, dan Peraturan Kepala Badan
Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 4 tahun 2014 Standar
Operasional Prosedur Pengawasan Penyidikan Tindak Pidana.
Salah satu bentuk pengawasan yang konkret berlaku di lingkungan Polri,
termasuk di Polda Metro Jaya saat ini adalah adanya gelar perkara dan adanya
posisi Wassidik. Gelar Perkara merupakan mekanisme pengawasan yang berjalan di
lingkungan Ditreskrimum Polda Metro Jaya, dimana proses penyidikan melalui GP
dilakukan sejak laporan diterima, pertengahan proses penyidikan, maupun dalam
menetapkan status tersangka. Sementara Wassidik memiliki tugas untuk melakukan koordinasi dan pengawasan proses
penyidikan tindak pidana serta menindaklanjuti pengaduan masyarakat yang
terkait dengan proses penyidikan.
Secara sistem, Polri juga memiliki sistem bernama Pusat Informasi Kriminal
Nasional (Pusiknas). Berdasarkan sistem ini, seluruh data/laporan yang diterima
Ditreskrimum Polda Metro Jaya dilaporkan ke Mabes Polri secara online oleh
seorang petugas khusus. Akan tetapi Kompolnas menyatakan bahwa sistem ini tidak
berjalan dengan maksimal.
Pada FGD tersebut disampaikan juga paparan dari liaison officer (LO) kepolisian Selandia Baru di Indonesia, Superintendent
Neil Banks, tentang sistem manajemen penanganan kasus di lingkungan kepolisian
Selandia Baru. Dari paparannya diketahui bahwa sistem yang mereka miliki memang
terintegrasi secara online dari pusat data hingga perangkat yang dipegang
langsung oleh petugas di lapangan. Mereka menekankan mobilitas dan
aksesibilitas dalam penggunaan sistem serta menonjolkan prinsip transparansi
dan akuntabilitas sebagai faktor terpenting sistem yang mereka miliki.
Perlu diperhatikan bahwa proses pembentukan sistem kepolisian mereka
dalam bentuk yang terkomputerisasi sudah dimulai sejak 1970an. Dapat dikatakan
bahwa mereka sudah terlebih dahulu memiliki sebuah kebiasaan dalam membentuk
serta mempergunakan sistem manajemen kasus yang terkomputerisasi.
Tidak diragukan bahwa ketersediaan sistem manajemen penanganan kasus
pada lingkungan reskrim akan membantu kinerja Reskrim Polri. Yang perlu menjadi
perhatian adalah bagaimana Polri dapat menuju ke kondisi ideal sebagaimana
dikehendaki pada contoh Selandia Baru tersebut.
Kompolnas sudah mengidentifikasi bahwa kepemimpinan (leadership) adalah faktor yang krusial
dalam mewujudkan ataupun memperbaiki sistem tersebut. Kompolnas mengangkat
contoh sistem penanganan kasus yang dibentuk oleh Komjen Pol. (Purn) Ito
Sumardi saat beliau menjabat sebagai Kabareskrim. Sistem tersebut pada akhirnya
tidak berjalan selepas beliau. Hal yang serupa terjadi tidak hanya di Bareskrim
Polri ataupun satuan Reskrim itu sendiri. Disini saya memandang adanya ketidak
sinkronan pandangan dan pemahaman tentang pentingnya sistem ini ketika
terjadinya pergantian kepemimpinan dalam lembaga Reskrim.
Kesamaan perspektif dalam proses pergantian pejabat merupakan hal yang
penting untuk memastikan hal-hal yang sudah terbangun tetap terjaga. Penjagaan
perspektif ini bukanlah satu-satunya hal yang penting ketika akan membangun
sebuah sistem, pemahaman atas sistem itu sendiri dan bagaimana sistem itu dapat
bekerja pun merupakan hal yang penting disini. Ada faktor-faktor kebiasaan yang
perlu untuk dibentuk.
Gambaran teori Lewin |
Pendapat Kurt Lewin terkait manajemen perubahan cukup menggambarkan
bagaimana perubahan kebiasaan dapat dilakukan. Lewin menggambarkan perubahan
kebiasaan dari sebuah kondisi lama ke kondisi baru bagaikan sebuah es, dimana
es tersebut dari kondisi beku (freeze)
yang menggambarkan kondisi kebiasaan yang lama, cair (unfreeze) kondisi transisi dimana kebiasaan baru mulai
diinternalisasi, lalu beku kembali (freeze/refreeze)
kondisi dimana kebiasaan baru terinternalisasi. Apa yang digambarkan pada teori
ini saya alami pada masa pengabdian saya di PBB.
Kami yang bertugas di PBB datang dengan kebiasaan yang dibawa dari
negara masing-masing. Tentunya kebiasaan tersebut berbeda, akan tetapi kami
kemudian mampu bekerjasama dengan baik dan bahkan melaksanakan tugas-tugas yang
sifatnya internasional dengan efektif. Salah satu faktor yang sangat membantu
adalah di masa awal sebelum kami mulai bertugas, PBB menyediakan masa transisi
dimana pada masa tersebut kami difasilitasi untuk memahami bagaimana sistem di
PBB bekerja. Termasuk di dalam sistem tersebut adalah manajemen data, sistem
komputer dan program-program yang digunakan oleh PBB. Kami juga difasilitasi
laptop yang sudah disetting untuk dapat bekerja sesuai dengan spesifikasi PBB
dalam hal keamanan dan lain sebagainya.
Dalam kaitannya dengan sistem tersebut, saya memandang perlu ada
dukungan yang optimal bagi Polri agar sistem manajamen kasus dapat berjalan
dengan baik kedepannya. Bagaimana sistem dapat berjalan apabila fasilitas
seperti internet dan peralatannya tidak tersedia di lapangan bagi petugas
Polri. Ini adalah sebuah PR besar bagi pembangunan sistem, infrastruktur untuk
berjalannya sistem itu sendiri seyogyanya sudah tersedia atau setidaknya siap
disediakan agar proses integrasi kebiasaan dalam penggunaan sistem dapat
berjalan.
Apabila infrastruktur sudah tersedia, saya yakin bahwa secara kultural
setiap anggota Polri dapat dibiasakan untuk menjalankan sistem tersebut. Dengan
demikian apa yang dikehendaki dalam FGD Kompolnas ini, yaitu tentang manajemen
kasus yang baik di lingkungan Reskrim Polri, dapat terwujud. Mungkin akan
membutuhkan waktu dan anggaran yang tidak sedikit, akan tetapi saya yakin
sedikit demi sedikit apa yang dicita-citakan dapat tercapai dengan dukungan
Pemerintah dan masyarakat.
Salam
Good job senior....
ReplyDelete