Thursday, November 15, 2012

Katak yang Tuli


Cerita dongeng yang selalu saya kenang adalah cerita tentang Katak yang tuli. Cerita ini diceritakan oleh sahabat kecil saya sewaktu saya masih kelas 3 SMP di Malang dulu. Berarti sudah lebih dari 28 tahun yang lalu.  Cerita sederhana yang tetap selalu bisa dipakai untuk menyemangati diri maupun orang lain untuk selalu maju ke depan walaupun banyak orang yang berkomentar tidak menyenangkan. 

Sahabat kecil saya itu berkirim surat dan meninggalkan dilaci bangku saya. Saya sungguh senang dan kaget membacanya.. Surat itu bukan surat cinta,, tapi surat sebuah dongeng indah... Dalam suratnya dia mendongeng:


Krishna, pernahkah kamu mendengar dongeng tentang katak kecil yang tuli.  Katak kecil yang berhasil mencapai puncak menara hanya karena dia tuli.  Semua katak-katak yang lebih besar dan kekar tidak ada yang pernah berhasil mencapai puncak menara.  Rahasia keberhasilannya cuma satu.  Ternyata katak kecil itu tuliiiii…. Sehingga dia tidak pernah mendengar komentar-komentar negatif yang selalu diteriakkan oleh penonton yang bisa melemahkan semangatnya. 

Suratnya hanya segitu saja, tidak lebih tidak kurang.

Sampai suatu hari kala saya semakin dewasa, saya menyadari bahwa tulisan sahabat kecilku itu memang benar dan sungguh menguatkan saya. Kemampuan tidak mendengar itu walaupun kelihatan sangat sepele, ternyata juga butuh keahlian khusus.  Karena sebuah kesuksesan tidak diukur sebaik apa komentar orang lain terhadap apa yang kita lakukan, tapi sebesar apa manfaat yang bisa dirasakan orang lain terhadap apa yang sudah kita lakukan.  Sudah menjadi hukum alam ketika ada kelompok yang senang maka ada pula sekelompok yang mencibir.  Pekerjaan yang mustahil adalah ketika kita berupaya menyenangkan hati semua orang.

Itulah ajaibnya dogeng.  Efek yang ditimbulkan tidak mengenal batasan usia.  Dogeng memberi motivasi dan nasehat dengan cara yang indah.  Mendongeng itu seperti main-main.  Mendongeng itu kadang cuma dilakukan disela-sela waktu luang.  Tetapi bagi yang masih punya anak usia SD, jangan pernah menyepelekan kegiatan mendongeng yang sederhana ini. 

Sampai saat ini, sahabat kecilku itu masih senang mendongeng kala ada kesempatan kami bertemu. Suatu hari dia bercerita kepada saya, bahwa dulu ketika dia masih sibuk bekerja di luar, dia hampir tidak punya waktu banyak untuk mendongeng.  Tetapi dia tidak kehabisan akal.  Dia membeli kaset-kaset kosong dan tape recorder kecil yang bisa dibawa-bawa dan disetel  dimana saja.  Suaranya ketika membacakan dongeng direkam  di 10 kaset.  Maka baginya, berkarier pun akhirnya tidak menjadi halangan untuk tetap bisa mendongeng.  Lebih lanjut katanya, anaknya (sekarang usianya hampir 20th) masih  suka memutar kaset itu dan tertawa terbahak-bahak. 

Sama seperti sahabat kecilku itu, dogeng bagi saya juga mempunyai arti penting.  Mendogeng adalah sarana untuk peduli.  Mendogeng  bisa dipakai utnuk merangkum semua ungkapan cinta, perhatian, masukan dan juga nasehat-nasehat. 

Masa kecil saya juga penuh dengan dogeng-dogeng.  Setiap kali bapak saya punya kesempatan, belia selalu mendongeng kisah-kisah pewayangan dalam buku Mahabarata yang sepertinya beliau hafal betul. Lain waktu beliau juga bercerita tentang kisah silat Kho Ping Ho dengan segala filosofinya. Kadang-kadang saya diajak duduk untuk menemaninya menonton Film Silat Cina bersambung dengan segala kisah pertempurannya.

Pada saat saya masih SD, Momen mendongeng yang paling disenangi bapak saya adalah saat kami pulang mudik dari Jakarta ke kampung halaman di Magelang dan Salatiga. Perjalanan selalu dimulai sore hari dan baru tiba subuh keesokan harinya. Sepanjang perjalanan, sambil menyetir, sebagai anak laki-laki yang paling besar, beliau meminta saya untuk menemani sambil mendongen kisah pewayangan dengan segala intriknya. Setiap kali mata saya mulai terpejam karena mengantuk, beliau tau (mungkin karena melihat dari spion) dan memanggil nama saya untuk bertanya, sampai dimana tadi ceritanya.. hehee sungguh kenangan yang sangat indah, dan saya tau manfaatnya setelah saya dewasa kini.

Kalau kita punya anak perempuan, bagi mereka, dogeng adalah dunia keduanya.  Banyak sekali dogeng klasik yang menempatkan perempuan sebagai tokoh utama.  Walaupun di awalnya penuh dengan perjuangan dan pengorbanan tetapi pada batas waktu tertentu dia akan bahagia dan menjadi seorang putri. 

Cinderela dengan sepatu kacanya.  Walaupun hidup menjadi upik abu  tapi karena bantuan ibu peri, dia berhasil menemui pangerannya dan hidup berbahagia.  Atau Nawang Wulan yang selendang  dicuri dan akhirnya terpaksa menikah dengan manusia.  Walau harus hidup di dunia tapi Damar Wulan tetap menjadi ratu di rumah si Joko Tarub.  Hanya karena Joko Tarub tidak lagi menjaga komitmen yang telah mereka sepakati, maka  mereka harus berpisah.  Joko Tarub menyesali kecerebohannya dan Nawang Wulan kembali menjadi bidadari.  Atau Timun Emas, yang dikejar-kejar buto ijo tapi karena bekal senjata ajaib dari sang ibu, maka dia selamat. 

Dalam dogeng semua yang baik pasti akan menang.  Semua perjuangan pasti akan berhasil.  Dan semangat itulah yang diharapkan menular dan muncul pada diri anak-anak atau siapa saja yang membacanya.  Dogeng selalu menempatkan keberanian untuk memperjuangkan nasib.  Mendobrak ketidak adilan.  Keluar dari kesengsaraan.  Dan dogeng lah yang mengatakan dengan jelas bahwa kebaikan selalu mengalahkan kejahatan.  Setiap yang salah akan terhukum oleh perbuatannya sendiri.

Jadi kalau saya banyak menulis, bukan karena hal-hal lain apapun, namu saya tidak ingin berhenti untuk  mendogeng. 

Saya berharap, semoga kita semua jangan pernah bosan mendengar/ membaca dogeng.  Karena hidup kita pun hanyalah seperti dogeng.  Ketika kita telah sampai pada alam baqa nanti maka lika-liku hidup yang sedang kita lalui sekarang pun akan menjadi sepenggal dogeng.  Jadi tetaplah bersemangat untuk melakukan yang terbaik,  perjuangan terbaik,  perlawanan terbaik,  penggabdian terbaik.  Karena sesungguhnya kamera Allah tidak pernah lepas merekam semua yang kita lakukan.

Selamat  merangkai dongeng indah malam ini...

No comments:

Post a Comment