Wednesday, November 7, 2012

PERAN ETIKA KEPEMIMPINAN DALAM ORGANISASI POLRI


  

Etika kepemimpinan adalah seperangkat aturan dan norma-norma kepolisian di tingkat wilayah yang menjadi pedoman rule of conduct bagi seluruh aktivitas anggota, lebih khusus lagi bagi jajaran pimpinan Polri di tingkat kewilayahan.  Etika kepemimpinan terinternalisasi dan dipraktekan dalam setiap aktivitas oleh seluruh anggota menjadikan pencapaian tugas pokok dan fungsi kepolisian menjadi lebih efektif.

Sebagai sebuah organisasi profesi, polisi telah dilengkapi dengan seperangkat tata nilai dan norma yang menjadi etika bagi setiap anggotanya, tanpa memandang derajat kepangkatan.  Seperti tercantum di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, pada pasal 21 yang mengatur persyaratan sebagai anggota kepolisian Republik Indonesia antara lain disebutkan, warga negera Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, Setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945.  Tidak pernah dipidana karena melakukan kejahatan, berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan tidak tercela. 

Inilah syarat pertama yang berisi syarat-syarat berdasarkan penilaian moral yang diatur di dalam Undang-undang, sebelum warga negara menjadi anggota Kepolisian RI.  Syarat lain, seperti pembatasan usia, sehat jasmani, dan lulus pendidikan dan pelatihan pembentukan anggota kepolisian, lebih bersifat administratif.

Profesor Satjipto Rahardjo, Guru Besar Emiritus Universitas Diponegoro, mengatakan, “Polisi biasaya menghadapai berbagai pilihan untuk mencapai tujuan dalam menyelesaikan pekerjaannya.  Maka penilaian terhadap seorang polisi didasarkan pada bagaimana ia mampu membuat pilihan tindakan yang benar dengan tujuan yang benar.  Secara singkat polisi yang baik mampu menjadikan moralitas sebagai bagian integral dari pekerjaannya.  Dalam pekerjaannya polisi diperbolehkan menggunakan kekerasan yang ditujukan untuk mencapai satu dari sekian tujuan moral yaitu kelangsungan hidup manusia (the preservation of human life).  Dihadapkan kepada tuntutan yang demikian banyak pekerjaan polisi yang secara moral menjadi problematik.”

Probelamatika, pekerjaan kepolisian ini terkait erat dengan pentingnya pembinaan sumber daya manusia.  Selain oleh faktor organisasi yang sudah memiliki perangkat aturan dan aturan etika, faktor yang tak kalah penting dan menunjang kinerja organisasi adalah sumber daya manusia (SDM).  SDM adalah kunci dalam struktur dan kultur organisasi, khususnya dalam organisasi yang berorientasi pada pelayanan publik seperti kepolisian.


Kepemimpianan dan Budaya Organisasi
Dalam berbagai teori tentang kepemimpinan dan organisasi, ada dua model budaya organisasi yang ideal adalah yang memiliki sifat:
a.      pertama strong (kuat).  Artinya budaya organisasi yang dikembangkan organisasi harus mampu mengikat dan mempengaruhi perilaku (behavior) para individu pelaku organisasi (pemilik, manajemen, dan anggota organisasi) untuk menyelaraskan (goal congruence) antara tujuan individu dan tujuan kelompok mereka dengan tujuan organisasi.  Selain itu, budaya organisasi yang dibangun tersebut harus mampu mendorong para pelaku organisasi itu sendiri untuk mencapai tujuan (goals), sasaran (objectives), persepsi, perasaan, nilai dan kepercayaan.  Interaksi sosial dan norma-norma bersama yang mempunyai arah yang jelas sehingga mampu bekerja mengekspresikan potensi dalam arah dan tujuan yang sama, serta dalam semangat yang sama pula. 

b.      Sifat kedua, dinamis dan adaptif (dynamic and adaptive) artinya budaya organisasi yang dibangun harus fleksibel dan responsive terhadap perkembangan lingkungan internal dan eksternal organisasi (mega environments), seperti tuntutan stake holder eksternal dan perubahan lingkungan, seperti perkembangan hukum, ekonomi, politik, sosial, teknologi informasi dll. 

Sebagai organisasi yang bersifat kuat (strong), Polri sudah memiliki perangkat aturan yang terdapat di dalam Bab V tentang Pembinaan Profesi pada UU Nomor 2 tahun 2002.  Pada pasal 31 disebutkan, Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya harus memiliki kemampuan profesi.  Sedangkan pada pasal 32 ayat (1) disebutkan: Pembinaan kemampuan profesi pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia diselenggarakan melalui pembinaan etika profesi dan pengembangan pengetahuan serta pengalamannya di bidang teknis kepolisian melalui pendidikan, pelatihan dan penugasan secara berjenjang dan berlanjut.


Kode Etik Kepolisian Sebagai Landasan Perilaku Organisasi Polri
Di dalam pasal 34 ayat (1) disebutkan: sikap dan perilaku pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia terikat pada Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.  Sedangkan dalam ayat (2) dinyatakan: Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menjadi pedoman bagi pengemban fungsi kepolisian lainnya dalam melaksanakan tugas sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Mengapa etika profesi dan kode etik profesi kepolisian diperlukan?  Sebagai organisasi profesi, kepolisian RI mengharuskan seluruh anggotanya di setiap tingkat dan jajaran, berlaku dan bertindak secara professional.  Seperti halnya profesi dokter, wartawan, dan profesi-profesi dengan keahlian khusus lainnya, kepada para anggotanya diberlakukan kode etik profesi.  Dokter yang melakukan mal praktek sangat membahayakan jiwa pasiennya.  Demikian pula, tindakan unprofessional oleh polisi yang memiliki kewenangan penggunaan kekerasan bagi perlindungan masyarakat, akan sangat membahayakan jika tidak dilandasi oleh kekuatan moral dan keterikatan pada etika profesi. 

Pembinaan sumber daya manusia, erat kaitannya dengan pembentukan perilaku anggota agar sesuai dengan tugas pokok dan fungsi kepolisian.  Tugas Pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia, secara jelas tercantum di dalam pasal 13 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI.  Yang antara lain disebutkan: Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.

Lantas, apakah tugas pokok ini hanya menjadi kewenangan di level pimpinan?  Tentu saja tidak, tugas pokok dan fungsi ini melekat pada seluruh personil Polri.  Tugas pimpinan di level kewilayahan seperti Kapolda, Kapolres/ta/tabes, Kapolsek dan sebagainya sudah tentu menjadi penanggungjawab utama.  Sedangkan kewenangan masing-masing didelegasikan atau distribusikan kepada kepala satuan-satuan, kepala unit-unit kerja, sesuai dengan fungsi dan tugasnya masing-masing.

Salah satu definisi kepemimpinan adalah daya untuk untuk mendorong dan mengarahkan orang-orang untuk bergerak sesuai dengan tujuan kepolisian.  Kepemimpinan dalam satu organisasi menentukan struktur, sistem, dan budaya kerja terpelihara dan dikembangkan sehingga terjadi “gerak” bersama untuk menjadi misi kepolisian. 

Pendistribusian dan pendelegasian wewenang memang memiliki resiko.  Karena tidak semua pimpinan satuan dibawahnya memiliki kemampuan yang merata untuk memahami misi dan menjalankan tugas pokok dan fungsi yang diemban.  Karena itulah fungsi pembinaan personil secara berjenjang menjadi tugas dan tanggungjawab langsung pimpinan.    

Cara yang paling efektif menggerakan seluruh potensi di semua bidang satuan, adalah dengan menerapkan reward and punishment.  Reward atau hadiah diberikan kepada seluruh anggota yang berprestasi.  Prestasi yang diberikan kepada anggota juga diberikan kepada kepala satuannya, sebagai hadiah atas bekerjanya fungsi pembinaan dari kepala satuan atau kepala unit.  Reward ini menjadi bagian dari penilaian atau raport anggota atau personal assessment (PA).  PA inilah yang menjadi bahan rujukan utama pada promosi kenaikan pangkat, penugasan khusus, keikutsertaan pada jenjang pendidikan.  

Sedangkan punishment, dilakukan sebagai hukuman kepada mereka atau anggota yang melakukan pelanggaran kode etik profesi, pelanggaran kedisplinan dan pelanggaran lain.  Penerapan hukuman, itu sendiri disesuaikan dengan peraturan Kapolri.  Sehingga pemberian hukuman tidak didasarkan oleh perasaan suka atau tidak suka atasan atau pelaporan rekan kerja (partner).  Dengan model seperti ini sistem meritokrasi akan berjalan dan organisasi kepolisian di tingkat kewilayahan diharapkan akan berjalan dengan baik.

Selain problem internal personil dan organisasi, yang penilaiannya dilakukan oleh pejabat kepolisian yang lebih tinggi, sebagai organisasi profesi yang berbasis pelayanan masyarakat kepolisian masih menghadapi penilaian dari luar institusi kepolisian.  Keberhasilan atas tugas dan pokok dan fungsi kepolisian, di tingkat kewilayahan, ternyata terkait dengan harapan dan tuntutan masyarakat (public expectation).  Ini lantaran tumbuhnya kesadaran bahwa masyarakat sebagai pembayar pajak, sehingga masyarakat sebagai stake holder dari kepolisian memiliki hak memberi penilaian.



Etika Polri Sebagai Upaya Mengurangi Komplain Pelayanan
Menghadapi persoalan yang terkait dengan tuntutan dan harapan masyarakat, Prof. Satjipto Rahardjo memberikan salah satu resep.  Menurutnya, “Polisi yang berwatak sipil harus banyak berkomunikasi, berdialog dengan lingkungannya.  Masyarakat harus menjadi ilham dalam perpolisian.  Salah satu cara mendekatkan polisi kepada masyarakat yang menjadi lingkungannya adalah dengan membuatnya bertanggungjawab (accountable) terhadap masyarakatnya di mana pun ia bertugas.”

Lantas, bagaimana bentuk pertanggungjawaban dari masyarakat bisa diukur.  Pimpinan kewilayahan, bisa menggunakan metode zero complaint atau nol keluhan, atas pelaksanaan tugas dan kewenangan yang sudah diturunkan kepada satuan dan unit kerja.  Jika keluhan itu muncul, pimpinan pun masih harus meneliti kembali, apakah keluhan tersebut objektif dan proporsional atau tidak. 

Khususnya di dalam tugas penegakkan hukum, selalu ada dua pihak yang saling berhadapan.  Kedua pihak dengan berbagai pengaruh dan kekuasaannya, senantiasa menginginkan menjadi pemenang.  Padahal, pihak pemenang sudah seharusnya diberikan kepada mereka yang benar sesuai aturan hukum.    

JIka situasi seperti ini terjadi, maka selain meritokrasi dalam pembinaan personil berlangsung dengan baik, fairness atau asas netralitas sebagai penegak hukum juga bisa ditegakkan, sehingga keadilan di masyarakat bisa tercapai.  Jika semua itu bisa tercapai, maka citra kepolisian menjadi baik.  Citra kepolisian yang baik sangat dibutuhkan bagi polisi sebagai institusi public agar setiap tindakannya mendapatkan legitimasi yang tinggi dari masyarakatnya.


Rekomendasi:
a.      Sosialisasi atas kaidah norma, serta etika profesi dan etika kepimpinan harus terus dilakukan, seperti awak kabin yang tak bosan-bosannya member petunjuk keselamatan bagi penumpang pesawat terbang.
b.      Sosialisasi yang berhasil jika ada internalisasi atas etika profesi dari setiap anggota dalam segala tindakan di dalam tugas dan kewenangannya.
c.      Pelaksanaan reward dan punishment sesuai aturan yang berlaku, agar pola gerak dan anggota selalu berorientasi pada pencapain tugas pokok dan fungsi kepolisian dengan baik.
d.      Reward and punishment dibakukan menjadi bagian dari personal assessment (PA) atau raport setiap anggota sehingga setiap anggota memiliki target dan pencapaian yang terukur.
e.      Sebagai institusi public pencitraan positif kepolisian erat kaitannya (dapat diukur) dengan sedikit banyaknya complain masyarakat. Karenanya pimpinan kewilayahan sudah seharusnya memiliki sarana komunikasi yang baik dengan masyarakatnya, sehingga setiap denyut keluhan negative atau pun penilaian positif dari masyarakat yang dilayani dapat terdeteksi dengan baik.
f.        Keluhan atas tindakan yang dianggap negative, bisa langsung direspon agar energy negative tidak menumpuk atau akumulatif di masyarakat.
g.      Citra positif kepolisian yang terbangun dengan sendirinya menjadi penilaian positif atas pelaksanaan etika kepemimpinan oleh pimpinan Polri di tingkat kewilayahan.
h.      Citra positif kepolisian menjadi dasar dari legitimasi atas seluruh tindakan kepolisian.  Misalnya, masyarakat tidak akan melakukan keluhan atas tindak kekerasan oleh anggota polisi karena anggota polisi sudah bertindak benar dengan tujuan yang benar.

No comments:

Post a Comment