Sunday, January 6, 2013

HUKUM ADALAH GARIS BATAS KEHIDUPAN




Saya tertarik untuk memposting sebuah tulisan menarik dari seorang anggota Polri yang saya nilai cukup layak untuk kita simak. Tulisan ini merupakan buah pikir dari sang penulis Kompol Rahkmad Kurniawan yang saat ini bertugas sebagai Kasubdit 3 Dit ReskrimUm Polda Bengkulu. Saya memberi judul tulisan ini dengan "HUKUM ADALAH GARIS BATAS KEHIDUPAN"

Berikut kira-kira isi tulisan ini..

Hukum adalah garis batas yang tegas. Artinya, esensi hukum memang mau menampakkan perbedaan secara jelas, khususnya di wilayah abu-abu, antara sisi yang satu dengan sisi yang lain. 

Ketegasan menjadi penting. Inilah kepastian dan karena inilah hukum tampak sewenang- wenang. Pun, selain itu, sebagai garis batas, hukum ada di pinggir hiruk pikuk kehidupan.

Dari hal ini, tampak pula bahwa merumuskan hukum bukan perkara sederhana. Seorang pembuat hukum ibarat seorang dokter bedah. Di satu sisi ia mencermati setiap serpih atau elemen gejala. Di sisi lain ia berani mengiris untuk membuat takikan perbedaan. Kearifan, bukan sekadar kepandaian, menjadi kunci agar takikan itu tidak mengoyak elemen-elemen vital.

Hanya saja, karena hukum ialah perkara sosial, bukan perkara personal, kompromi berbagai pandangan, termasuk kepentingan, perlu ditampung dalam hukum.

Kompromi akan mengurangi sifat kesewenang-wenangan. Kompromi pula yang menegaskan aspek sosial dan relasional hukum. Kompromi ini menjadi tak terhindarkan dalam masyarakat plural. Tanpa kompromi, pluralitas dicederai.

Dari hal itu, muncul masalah, yaitu sejauh mana kompromi bisa dilakukan. Semakin kompleks masyarakat, semakin banyak pula pendapat dan kepentingan elemen masyarakat yang perlu diakomodasi.

Oleh karena itu, bisa terjadi kompromi yang dilakukan makin meminimalkan aspek keadilan yang mau dicapai. Harap diingat setiap elemen masyarakat mempunyai pandangan keadilannya sendiri, atau setidaknya ada nuansa perbedaan. Dalam hal inilah, rumusan HAM menjadi batas minimal kompromi.

Batas kompromi 

Cukup mudah dipahami bahwa semakin banyak pihak yang terlibat, kompromi menjadi makin sulit. Kalaupun dirumuskan, hasil kompromi itu umumnya makin jauh dari nilai ideal masing-masing. Selain itu, ada bahaya, pihak yang lebih kuat akan memaksakan pendapatnya kepada pihak yang lemah. Dalam hal inilah, rumusan nilai HAM menjadi penting sebagai pijakan bersama.

Dalam konteks kompromi perumusan hukum, HAM adalah batas minimal suatu kompromi. Artinya, kompromi yang dilakukan seharusnya tidak melewati ambang ini. Kompromi antara seorang buruh dengan majikan bisa dijadikan contoh. Meski seorang buruh sungguh membutuhkan pekerjaan untuk kelangsungan hidupnya dan pada dasarnya dia mau saja dibayar rendah, kompromi tentang penggajian tidak seharusnya di bawah standar HAM.

Dilaluinya ambang ini akan mencederai keadilan dan keberlanjutan hidup bersama. Tampak bahwa pada dasarnya HAM adalah keadilan minimal. Tampak pula HAM adalah batas dari batas, yaitu batas dari hukum sebagai batas.

Batas itu pula yang menghindarkan dominasi berlebihan dari pihak yang kuat terhadap yang lemah. Kompromi yang ideal adalah win-win solution, tanpa mengurangi kewajaran bahwa pihak yang kuat punya pengaruh lebih dibandingkan dengan pihak yang lemah. Dalam hal ini, rumusan nilai HAM memberi jaminan, khususnya pihak yang lemah, untuk tetap berada dalam koridor win-win solution tersebut.

Keadilan yang "pasti"

Problematik filosofis dari ketegangan abadi antara kepastian dan keadilan dalam filsafat hukum pada dasarnya terletak dalam tidak pastinya makna keadilan.

Ketidakpastian itu makin besar seiring dengan perkembangan zaman. Di satu sisi, masyarakat makin berkembang plural, yang mengakibatkan pluralnya paham keadilan. Di sisi lain, masyarakat yang berkembang makin kompleks memperluas pula isi keadilan. Dengan kata lain, makna keadilan pun bersifat kontekstual.

Dalam konteks ini rumusan nilai HAM dalam Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia, yang kemudian dilanjutkan dalam rumusan yang lebih bernilai yuridis dalam The International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan Tthe International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) tahun 1966, bisa berfungsi memberi kepastian akan nilai keadilan. Pada gilirannya, kepastian ini akan memberi nilai plus pada fungsi hukum bagi manusia.

Tentu, diandaikan di sini bahwa rumusan nilai HAM tersebut sungguh dipegang sebagai cakrawala keadilan, meski bersifat minimal, demi kepastian dalam kebersamaan.

Ini pula arti penting dari ratifikasi ICESCR dan juga ICCPR oleh banyak negara di dunia, termasuk Indonesia sejak setahun lalu. Implikasi bahwa nilai-nilai HAM dalam ICESCR dan ICCPR harus dijadikan landasan setiap undang-undang dari negara yang meratifikasinya mau menggarisbawahi arti penting ini.

Yang juga diandaikan, bukan sekadar dianjurkan, adalah pentingnya setiap hakim mempunyai cakrawala ini. Dalam problematik tafsir hukum, cakrawala ini menjadi penting agar hukum sungguh berpijak pada kemanusiaan, bukan pada huruf. Di situ, keadilan dan kepastian bisa dipertemukan.

No comments:

Post a Comment