Tuesday, January 29, 2013

KOMUNIKASI POLISI DI MEDIA SOSIAL

Saya yakin bahwa 7 diantara 10 pembaca tulisan ini, adalah pengguna Media Sosial Facebook. Bagaimana dengan media sosial yang lain seperti twitter? Percayakah kita bahwa akun twitter @TMCPoldaMetro saat ini mempunyai ”follower” sejumlah 1.177.949 orang?? Mungkin pada saat rekan-rekan membaca ini, follower dari dari akun twitter itu sudah bertambah banyak. 

Apakah media sosial itu?  Media sosial mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
- Pesan yang di sampaikan tidak hanya untuk satu orang saja namun bisa keberbagai banyak orang contohnya pesan melalui SMS ataupun 
- Pesan yang di sampaikan bebas, tanpa harus melalui suatu Gatekeeper
Pesan yang di sampaikan cenderung lebih cepat di banding media lainnya.
- Penerima pesan yang menentukan waktu interaksi

Sebagaimana saya telah uraikan pada tulisan sebelumnya, media sosial didefinisikan sebagai "internet berbasis aplikasi yang [memungkinkan] terciptanya pertukaran user-generated content". Media sosial adalah sebuah media online, dengan para penggunanya bisa dengan mudah berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan isi meliputi blog, jejaring sosial, wiki, forum dan dunia virtual. Blog, jejaring sosial dan wiki merupakan bentuk media sosial yang paling umum digunakan oleh masyarakat di seluruh dunia. Andreas Kaplan dan Michael Haenlein mendefinisikan media sosial sebagai "sebuah kelompok aplikasi berbasis internet yang membangun di atas dasar ideologi dan teknologi Web 2.0 , dan yang memungkinkan penciptaan dan pertukaran user-generated content" (http://id.wikipedia.org/wiki/Media_sosial).



Media sosial teknologi mengambil berbagai bentuk termasuk majalah, forum internet, weblog, blog sosial, microblogging, wiki, podcast, foto atau gambar, video, peringkat dan bookmark sosial. Dengan menerapkan satu set teori-teori dalam bidang media penelitian (kehadiran sosial, media kekayaan) dan proses sosial (self-presentasi, self-disclosure) Kaplan dan Haenlein menciptakan skema klasifikasi untuk berbagai jenis media sosial dalam artikel Horizons Bisnis mereka diterbitkan dalam 2010. Menurut Kaplan dan Haenlein ada enam jenis media sosial: 

1) Proyek Kolaborasi: Website mengijinkan usernya untuk dapat mengubah, menambah, ataupun me-remove konten – konten yang ada di website ini. contohnya wikipedia
2) Blog dan microblog: User lebih bebas dalam mengekspresikan sesuatu di blog ini seperti curhat ataupun mengkritik kebijakan pemerintah. contohnya twitter
3) Konten; para user dari pengguna website ini saling meng-share konten – konten media, baik seperti video, ebook, gambar, dan lain–lain. contohnya youtube
4) Situs jejaring sosial; Aplikasi yang mengizinkan user untuk dapat terhubung dengan cara membuat informasi pribadi sehingga dapat terhubung dengan orang lain. Informasi pribadi itu bisa seperti foto–foto. contoh facebook
5) Virtual game world; Dunia virtual, dimana mengreplikasikan lingkungan 3D, dimana user bisa muncul dalam bentuk avatar – avatar yang diinginkan serta berinteraksi dengan orang lain selayaknya di dunia nyata. contohnya game online. 
6) Virtual social world; Dunia virtual yang dimana penggunanya merasa hidup di dunia virtual, sama seperti virtual game world, berinteraksi dengan yang lain. Namun, Virtual Social World lebih bebas, dan lebih ke arah kehidupan, contohnya second life.

Banyak cara yang bisa di aplikasikan oleh Kepolisian dalam menghadapi berkembangnya fenomena Media Sosial selain untuk kepentingan investigasi. Media sosal dewasa ini bisa dikembangkan oleh institusi apapun termasuk Kepolisian untuk digunakan sebagai sarana membangun komunikasi dengan stake holdernya sekaligus menunjukkan eksistensi polisi ditengah-tengah masyarakat. Kalau kita amati, sangat sedikit sekali pihak yang berkompeten dalam Kepolisian yang mau memanfaatkan fenomena Media Sosial sebagai desain pengembangan interaksi Polisi dan masyarakatnya.

Dalam sebuah penelitian dari COMPOSITE, saya mendapatkan gambaran bahwa keaktifan sebuah organisasi dalam media sosial dapat mempengaruhi tingkat tanggapan positif masyarakat terhadap polisinya. Beberapa organisasi Kepolisian yang aktif pada media sosial, mampu menghadapi sejumlah isu penekan yang berhubungan dengan peningkatan isu-isu sensitif yang berkembang di media sosial dan beberapa hal lain yang sangat relevan dalam kehidupan warga.



Sampai hari ini, sejumlah besar Kepolisian di Eropa dan Amerika telah begitu aktif dalam penggunaan media sosial di luar penggunaan sebagai sumber informasi kriminal. Ada mulai pemikiran diantara mereka dimana banyak dari isu-isu penekan yang semakin bermunculan di dalam kaitan dengan tugas kepolisian. Hal tersebut saat ini menjadi landasan pemikiran bagi mereka untuk memperluas kegiatan mereka pada Media Sosial diluar fungsi penyelidikan dan sebagai pendorong utama untuk membangun sendiri suara 'polisi' di tengah-tengan masyarakat yang semakin modern dewasa ini.

Ada beberapa alasan, mengapa kita perlu memikirkan untuk mulai ”bersuara” di media sosial:
Pertama, terlepas apakah ada atau tidak ada kekuatan tertentu yang menekan kita saat ni (apalagi organisasi Polri dengan tekanan opini yang sangat tinggi), maka Polisi perlu mulai menjadikan media sosial sebagai salah satu pertimbangan mereka dalam berinteraksi dengan masyarakat. Dalam konteks ini, polisi bisa berinteraksi langsung dengan masyarakatnya untuk membahas berbagi masalah baik yang sifatnya pribadi maupun profesional. Dengan memasuki dunia maya ini, maka organisasi kepolisian dipandang telah memberikan ruang komunikasi dimana polisi dianggap sebagai organisasi yang mau mendengar berbagai keluhan warganya. Disisi lain, polisi juga mampu mempersempit ruang bagi siapapun untuk menciptakan opini tanpa “counter’ apapun dari polisinya.




Kedua, Dewasa ini di dunia maya ada ruang kosong yang mulai diisi oleh beberapa pihak untuk menjadikan isu kepolisian sebagai isu yang ”empuk” untuk disantap. Sebagaimana yang terjadi di Indonesia, bila kita melihat akun media sosial di facebook dan twitter dengan kata kunci “polisi”, maka disana kita tahu bahwa banyak sekali orang-orang yang tidak bertanggung jawab mengisi ruang kosong dunia maya dalam konteks dengan polisi. Disisi lain, kita juga bisa melihat bahwa ternyata ada anggota Polri yang memiliki “nama” cukup terkenal di dunia maya, seperti blog www.reinhardjambi.wordpress.com atau www.masway.wordpress.com dan beberapa lain yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu. Dengan keaktifan polisi sebagai organisasi maupun sebagai individu mengisi ruang kosong didunia maya ini, maka akan dapat memberi kontribuasi suara bagi upaya interaksi positif antara polisi dan masyarakatnya.

Ketiga, media sosial memberdayakan warga masyarakat untuk melakukan tindakan yang secara tradisional hanya dilakukan oleh polisi. Misalnya pada kasus orang hilang atau kendaraan yang hilang, media sosial dengan cepat menginformasikan secara berantai tentang masalah ini dan menimbulkan dampak pada kepedulian warga masyarakat untuk secara tidak langsung terlibat dalam tindakan pemolisian.

Keempat, polisi semakin dihadapkan dengan fakta bahwa komunikasi melalui sumber media yang bersifat tradisional tidak lagi dapat mencapai orang-orang yang relevan. Dalam beberapa hal dimana pengguna media sosial adalah kebanyakan anak muda, dimana opini mereka sangat terasa sekali pengaruhnya dalam mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap polisinya. Untuk itu polisi bisa mendapatkan informasi dari para anak-muda yang lebih mempunyai pengaruh dimasyarakat saat ini. Dewasa ini, kebanyakan orang tidak berlangganan koran lagi, dan kebanyakan dari kita menyandarkan informasi berita dari media sosial online. Oleh karena itu perlu untuk polisi perlu memiliki suara pada media sosial agar dapat lebih efektif menjangkau pada target orang yang kita kehendaki.



Kelima, media sosial semakin berdampak pada kehidupan kita sehari-hari. Polisi dihadapkan dengan dunia nyata sebagai efek dari media sosial. Polisi di Eropa dan Amerika (termasuk di Indonesia) dewasa ini harus berurusan dalam dunia nyata dengan banyak orang yang dikoordinir melalui media sosial. Isu apapun yang dibahas dalam media sosial selalu memiliki efek di dunia nyata. Bahkan saat ini ada upaya bunuh diri yang diumumkan pada media sosial. Selain itu misalnya di media sosial, polisi bisa mendapatkan laporan tentang pelecehan anak yang dilaporkan secara online. Banyak dari kesemua issue-issue tersebut yang relevan dengan dunia polisi dan membutuhkan tindakan nyata dari polisi dengan merespon apa yang didengar di media sosial yang dapat dan juga sebaliknya untuk mampu berbicara merespon apa yang diharapkan dari masyarakat. Pada situasi tertentu dalam kondisi krisis misalnya, para pengguna media sosial telah menunjukkan empatinya dengan membantu orang untuk mengorganisir diri, untuk mendapatkan dan berbagi informasi penting menyangkut berbagai masalah diantara mereka.

Pada peristiwa berkumpulnya sejumlah orang dalam waktu cepat di kantor KPK ketika terjadi tindakan kepolisian terhadap salah satu anggota KPK misalnya, hal itu menunjukkan bahwa fenomena media sosial tidak bisa dianggap ringan oleh polisi. Gerakan yang dilakukan oleh “semut-semut” itu menunjukkan bahwa issue yang bertebaran dalam dunia maya melalui media sosial tersebut telah berwujud pada kegiatan nyata dilapangan. Dalam isu lain misalnya pada saat ada anggota kepolisian yang berselisih paham dijalan dengan pengendara lain dan yang bersangkutan melakukan tindakan "merusak" spion pengendara lain. Saat itu kejadian tersebut direkam oleh seseorang dan kemudian dimasukkan ke media online dan menjadi berita heboh tentang tindakan seorang oknum kepolisian. 

Kalau fenomena diatas dibalik dalam konteks kepolisian, dimana polisi mampu menggunakan “potensi” sosial media dalam kegiatan pembinaan kamtibmas, maka betapa dahsyatnya peran media sosial ini bagi kelanggengan kamtibmas di setiap tingkatan di tanah air tercinta..

Follow my twiiter @krishna_bd
Visit my facebook at www.facebook.com/krishna.bd91
my blog at http://catatansibedu.blogspot.com/


No comments:

Post a Comment