Saturday, January 19, 2013

Tipping Point Leadership



Bagaimana virus menyebar? Fenomena penyebaran virus yang seperti wabah ternyata bisa dibalik dalam konteks yang positif. Saya mencoba menggambarkan hal ini dalam pendekatan manajerial. Banyak orang mengatakan bahwa idealnya organisasi yang baik itu adalah ketika organisasi itu berjalan pada sistem yang telah disepakati bersama. Namun nilai ideal itu ternyata tidak pernah bisa diwujudkan. Oleh karenanya, marilah kita coba pandang dari sisi realisme. Kenyataanya organisasi itu bisa baik kalau mempunyai pemimpin yang baik. 

Pertanyaannya, bagaimana sebuah organisasi itu menciptakan para pemimpinnya? Kita semua dilahirkan tidak sebagai pemimpin. Karena itu Polri meng-create orang-orang yang direkrutnya untuk menjadi pemimpin. Belajar kepemimpinan itu ternyata tidak mudah. Banyak orang yang sudah menjelaskan tentang berbagai teori kepemimpinan. Banyak buku dibaca, banyak praktek dilakukan, banyak pelajaran diberikan, namun pertanyaanya seberapa sulit untuk belajar menjadi pemimpin? Sebagaimana kata Prof Sarlito Wirawan, Belajar sosial yang paling mudah itu adalah dengan meniru (Teori Bandura). Seperti anak kita yang meniru gaya bapak atau ibunya dalam berjalan, berperilaku, berbicara, dlsb. Maka, tidaklah mengherankan kalau sebagian besar dari kita kemudian belajar kepemimpinan adalah dari meniru senior-senior terdahulu. Karena itu adalah pola pembelajaran yang paling mudah. Masalahnya, ketika kita salah meniru atau salah mengambil tiruan, maka akan semakin jauh kita dari apa yang diharapkan.

Dalam rangka membagi cerita tentang kepemimpinan, berikut saya share sebuah cerita tentang model kepemimpinan Tipping Point yang banyak di aplikasikan dalam manajemen modern saat ini.Tipping Point sudah dikenal sejak 1957 untuk menjelaskaan segregasi sosial. Tapi dipopulerkan oleh Malcolm Gladwell. Tipping Point menjawab pertanyaan, mengapa suatu penyakit pada titik tertentu tiba-tiba menjadi wabah? Apakah sebagai polisi, kita pernah bertanya-tanya, ketika ada fenomena melawan polisi disatu kota dan kemudian menjalar dikota lain? Apakah sebagai polisi kita pernah bertanya, ketika ada anggota yang melakukan pelanggaran dan dibiarkan saja maka anggota yang lain menyusul melakukan pelanggaran yang sama?

Itulah tipping point. Satu, satu, tipping point, jadilah wabah yang menjalar ke seluruh penjuru wilayah. Unsur Tipping Point ada 3: virus yang kuat, penyebar virus yang dinamis, konteks yang kondusif. Dalam fenomena perlawanan terhadap tindakan polisi, pesannya adalah ini solusi mudah untuk melawan hukum dengan kekuatan massaPenyebar virusnya adalah media massa/ internet dan orang-orang berpengaruh di sekitar kita. Konteksnya adalah situasi krisis kepercayaan atas wibawa hukum di Indonesia saat ini. Ketiganya menyatu jadilah wabah perlawanan massa terhadap tindakan kepolisian.

Belajar Tipping Point akan membantu kita melakukan perubahan besar dengan tindakan kecil yang efektif. Tipping Point leaderhsip adalah kepepimpinan yang menciptakan ”tipping point” (wabah/ epidemi) untuk menciptakan perubahan keseluruhan sistem (whole system). Dalam bukunya Blue Ocean Strategy, Kim dan Mauborgne mengajukan Tipping Point Leadership untuk mengeksekusi blue ocean strategy. Sebuah strategi Change management. Korupsi harus dipandang sebagai fenomena Tipping Point yang hanya bisa diberantas dengan tipping point leadership.

Perubahan keseluruhan sistem lebih mudah dikelola dengan mengikuti prinsip prinsip Tipping Point. Kepemimpinan meyakini perubahan fundamental bisa terjadi dengan cepat ketika keyakinan energi orang-orang menciptakan gerakan meluas ke arah satu ide. Kepemimpinan Tipping Point berprinsip pada pemusatan/ konsentrasi pada satu titik, bukan penyebaran. Tentukan Prioritas Perubahan! Kepemimpinan Tipping Point sadar bhw ada orang, tindakan dan kegiatan yang memberikan pengaruh tindakan tidak proporsional terhadap kinerja. Contoh: 80% hasil kerja kita dihasilkan dari 20% waktu kita. Pareto principle

Ada 4 hambatan yang dihadapi leadership dalam mengeksekusi blue ocean strategi: 1.Hambatan kognitif. 2.Hambatan sumber daya. 3.Hambatan motivasional. 4.Hambatan politik

Hambatan kognitif:
Hambatan ini melekat pada organisasi yang terlena dengan kenyamanan status quo. Tantangannya: apa faktor yang memberikan pengaruh positif tak proposional pada upaya mendobrak status quo? Untuk itu, dalam model kepemimpinan ini, pemimpin harus mendobrak dengan prinsip “seeing is believing”. Pemimpin terjun langsung kelapangan dan melaksanakan apa yang dilakukan anak buah selama sebulan penuh. Atau mari kita sama-sama merasakan bermacet ria dengan naik angkutan umum selama sebulan. Sejenak kita melupakan angka atau indikator kinerja. Para pemimpin langsung terjun bebas ke pengalaman nyata bagaimana rasanya pelayanan yang didapat dari anggota dengan metode empiris. Silahkan mendengar dan melihat keluhan langsung dari anggota kita dilapangan dan para pelanggan kita yang tidak puas. No defense! Gunakan metafor sbg alat bantu untuk “melihat” gambaran besar akan apa yang terjadi

Hambatan sumber daya:
Ini adalah menyangkut keterbatasan sumber daya untuk melakukan perubahan besar. Sumberdaya bisa berarti manusia, anggaran, sarana prasarana, waktu dan sebagainya. Seorang pemimpin dimanapun dia bekerja akan selalu berhadapan dengan tantangan ini dan tidak ada keluhan selain mensiasatinya. Kepemimpinan tidak fokus untuk mencari bantuan, apalagi hutang, tapi melipatgandakan nilai dari sumber daya yang sudah dimiliki.
Ada 3 faktor yang bisa mempengaruhi dalam melipatgandakan nilai sumber daya: 1) titik panas, 2) titik dingin dan 3) dagang sapi.

Titik panas adalah kegiatan yang input sumber daya rendah tapi outputnya besar. Redistribusi sumber daya ke titik panas. Dalam buku Blue Ocean Strategy digambarkan bagaimana Polisi NYPD pada bagian Narkoba bekerja pada hari senin sampai dengan jumat. Padahal transaksi narkoba biasanya banyak terjadi pada akhir pekan. Redistribusi pada titik panas dilakukan dengan cara mengerahkan energi kegiatan anggota untuk lebih fokus bekerja pada kegiatan undercover pada hari-hari di akhir pekan. Dampaknya adalah membuat kejahatan narkoba turun. Dalam peristiwa yang sedang terjadi saat ini misalnya, Banjir ibukota. Banyak institusi yang turun ke titik-titik banjir "menolong" masyarakat dengan membawa atribut masing-masing. Apa yang dilakukan oleh mereka, entah murni atau tidak, yang jelas kegiatan mereka menjadi "iklan" gratis pencitraan. Inilah yang dinamakan redistribusi sumber daya ke titik panas. Titik panas disini adalah musibah banjir yang membutuhkan kehadiran relawan. Dengan demikian, banyak "organisasi" yang kemudian bergerak menjadi relawan, namun dengan tidak melepaskan "upaya pencitraan".

Titik dingin adalah kegiatan yang inputnya tinggi tapi outputnya kecil. Arahkah ulang sumber daya dari titik dingin. Pada contoh kasus Polisi NYPD, digambarkan bagaimana mereka mebutuhkan waktu hingga 16 jam hanya untuk membawa para penjahat yang tertangkap ke pusat kota termasuk untuk para pelaku kasus kejahatan kelas teri. Hal ini menggambarkan bagaimana diperlukan perubahan kecil untuk mendapatkan output besar. Untuk itu NYPD kemudian mengadakan bis tahanan di kantor kantor polisi kecil yang disiapkan untuk melakukan penahanan sebelum mereka disidangkan keesokan harinya. Dengan demikian mereka telah memangkas waktu yang terbuang karena wira wiri yang tidak diperlukan. Dalam konteks Kepolisian, kita bisa melihat bahwa membuat SIM itu sangat sulit di Jakarta. Orang harus pergi ke Daan Mogot yang macet dan berdesak-desakan. Belum lagin fenomena orang-orang yang mencoba menjadi calo karena tingkat kesulitan yang tinggi untuk mendapatkan SIM. Ketika Polda Metro memutuskan untuk membuat SIM keliling ditempat-tempat strategis, maka Polda Metro telah mengarahkan ulang sumberdaya mereka ketitik dingin dalam rangka melayani masyarakat dan membuat nilai kepercayaan masyarakat menjadi meningkat.

Dagang sapi: kegiatan menukar sumber daya dari satu unit kerja ke unit kerja lain. Hal ini dilakukan dalam rangka mendapatkan manusia-manusia yang ”mau dan mampu” melaksanakan tugas sesuai bidangnya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa polisi bertugas berdasarkan perintah. Oleh karenanya banyak polisi yang melaksanakan pekerjaan disatu bidang meskipun dia tidak menguasai bidang tersebut dan atau bahkan mereka tidak tertarik sama sekali. Untuk itu, disana dilakukan dagang sapi dengan menanyakan kembali kemampuan dan kemauan mereka untuk bekerja dibidang yang mereka lebih bisa memberikan kontribusi.

Hambatan motivasional
Hambatan ini adalah menyangkut adanya anggota organisasi yang tidak termotivasi untuk melakukan perubahan. Pemimpin perubahan yang biasa-biasa saja akan memberi instruksi teknis secara top down, yang justru membebani bawahannya. Kepemimpinan memberikan arahan strategis dan membangun manajemen yang memotivasi dan menginspirasi para bawahan. Ada tiga faktor dari manajemen yang memotivasi: pemain kunci, manajemen kolam ikan, dan atomisasi.

Pemain kunci adalah perhatian pemimpin difokuskan pada orang yang mempunyai pengaruh kunci dalam organisasi. Bisanya, dalam sebuah organisasi hanya ada sedikit pemain kunci yang bisa memberi pengaruh kepada orang lain. Untuk itu perlu diidentifikasi siapa mereka dalam rangka memudahkan pemimpin memotivasi anggota organisasi yang lain. Apabila anggota para pemain kunci ini sudah termotivasi, maka dia akan menyebarkan motivasi itu ke orang lain yang dibawah pengaruhnya.

Manajemen kolam ikan adalah menempatkan pemain kunci dalam kolam ikan (aquarium) sehingga inisiatif atau ketidakpeduliannya tampak transparan. Pemimpin perlu memperjelas tanggung jawab pemain kunci. Tunjukkan dengan cara visual agar dia bisa melihat secara jelas. Pastikan sesama pemain kunci bisa melihat kinerja sesama pemain kunci. Biarkan rasa malu dan kehormatan bekerja. Dalam contoh kepolisian NYPD dan Polisi Jepang, hampir tidak ada sekat ruangan yang diciptakan antara satu anggota dengan anggota lain termasuk dengan pimpinan unit. Dengan demikian, kinerja mereka dapat terpantau dengan jelas dan mereka bisa saling mengawasi.

Atomisasi adalah pembingkaian sasaran strategis menjadi sasaran mikro yang lebih realistis bagi setiap level. Atomisasi membuat orang berani dan percaya diri mengemban tanggung jawabnya.

Hambatan politis
Hambatan ini merupakan sebuah tantangan dari kepentingan-kepentingan yang kuat baik dari dalam maupun luar organisasi. Pemimpin menyadari tidak hanya butuh kecemerlangan fungsional, tapi harus juga mewaspadai adanya jebakan politik kantor dan politik eksternal. Semakin besar perubahan semakin besar tentangan kekuatan politis. Bentuk tentangan bisa sangat merusak. Ada 3 faktor untuk merobohkan hambatan politis: manfaatkan malaikat, membungkam iblis, rekrut seorang consigliere

Manfaatkan malaikat berarti membangun aliansi dengan pihak yang paling diuntungkan dengan adanya perubahan yang kita lakukan. Sedangkan membungkam iblis berarti menghadapi berbagai kemungkinan serangan dari pihak yang paling dirugikan dari adanya perubahan dalam organisasi kita. Pemimpin harus mengetahui semua sudut serangan dan bangun kontra argumen yang didukung oleh fakta dan alasan yang tak bisa dibantah. Rekrut Consigliere berarti kita perlu mengangkat seorang yang disegani semua orang sekaligus lihai berpolitik menjadi penasehat atau orang kedua. Ini bukan berarti kita mengangkat seorang pembisik.

Kepemimpinan biasa menggerakkan seluruh/ mayoritas orang. Kepemimpinan Tipping Point juga perlu fokus pada beberapa orang minoritas yang ekstrim, beberapa tindakan serta kegiatan yang perlu dihilangkan, dikurangi, ditambahkan atau diciptkan. Untuk itu dalam mengimplementasikan Kepemimpinan Tipping Point, kita butuh kreativitas untuk menerjemahkan prinsip-prinsip tipping point dalam organisasi yang kita kelola.

Ini hanya sebuah resume kecil dari hasil bacaan saya, dan tidak akan bisa dipahami secara komprehensif kalau kita membaca sepotong-potong. Namun setidaknya, saya ingin menularkan virus membaca dan menulis kepada rekan-rekan sekalian..

Salam hormat 

No comments:

Post a Comment