Mengutip Berita Okezone.com Kamis, 25 Oktober 2012 - 12:09 wib
Fiddy Anggriawan - Okezone
TB Hasanuddin
JAKARTA - Draft terbaru Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional (RUU Kamnas) yang baru diberikan Pemerintah kepada DPR, diakui Wakil Ketua Komisi I DPR RI, TB Hasanuddin, masih banyak mengandung pasal bermasalah.
Hasanuddin memang sudah mendapatkan dan membaca draf yang dikirimkan Kementrian Pertahanan (Kemhan) pada 16 Oktober lalu. "Kesimpulan saya, kalau kita mau kembalikan peran TNI seperti jaman Orba dulu, mari kita berlakukan UU ini. Kalau mau reformasi dilanjutkan, ya mari kita kritisi," kata Hasanuddin di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (25/10/2012).
Politisi PDI Perjuangan itu mengatakan, sedikitnya ada delapan pasal dalam draf terbaru RUU Kamnas yang patut dicurigai karena bisa merusak tatanan Orde Reformasi Indonesia.
Pertama, pasal 14 ayat 1 yang menyatakan status darurat militer diberlakukan bila ada kerusuhan sosial. "Padahal aslinya darurat militer hanya kalau ada pemberontakan senjata atau ada serangan milier dari luar. Untuk urusan sosial, misalnya seperti kerusuhan 1998, tak perlu darurat miiter, cukup darurat sipil. Kalau darurat sipil, seharusnya TNI tak perlu masuk," paparnya.
Kedua, Pasal 17 ayat 4, yang menyebutkan ancaman potensial dan aktual ditentukan dan diatur oleh Peraturan Pemerintah. "Ini bahaya. Karena artinya nanti Presiden boleh buat skenario apa saja yang jadi ancaman. Jadi kalau ada mogok, misalnya, bisa dikeluarkan Perpres untuk mengerahkan pasukan," terangnya.
Purnawirawan TNI Bintang Dua ini juga menilai pasal 22 ayat 1, yang masih tetap menggunakan penyelenggaraan Kamnas melibatkan peran aktif intelijen negara. "Mestinya dibuat jelas mana intelijen yang boleh dan yang tidak," kata Hasanuddin.
Kemudian, lanjut Hasanuddin, Pasal 27 ayat 1 yang berbunyi Panglima TNI dapat menetapkan kebijakan operasi dan strategi militer berdasarkan kebijakan dan strategi kebijakan penyelenggara Kamnas.
"Itu tak boleh. Mestinya Panglima TNI menyelenggarakan operasi militer menurut fungsi TNI saja. Tak harus ikuti kebijakan Dewan Kamnas. Kalau pasal seperti ini, nantinya dia (Panglima TNI) bisa digunakan melakukan apa saja, termasuk hal yang keluar dari tugas militer sesuai UU," jelasnya.
Menurut Hasanuddin, ada yang unik, dalam ayat selanjutnya dari pasal tersebut, yakni polisi ditugaskan sesuai fungsi Kepolisian yang diatur UU. "Jadi TNI dibuat leluasa, Polisi dikunci. Ini artinya TNI ada keleluasaan, sementara Polri berjalan di koridornya," sambungnya.
Sementara dalam, Pasal 30, disebutkan presiden dapat menggunakan usur TNI dalam menanggulangi ancaman bersenjata dalam kondisi tertib sipil. "Ini juga tak jelas. Dengan demikian, kalau ada kriminal bersenjata, penugasan TNI bisa dilaksanakan," kata Hassanudin.
Lalu pasal 32 ayat 2, dinyatakan pelibatan masyarakat dalam kamnas lewat komponen cadangan (Komcad) dan komponen pendukung. Ini baru, sebab RUU Komcad sendiri sedang digodok dan mendapat banyak penolakan.
Sedangkan, di pasal 48 ayat 1C, dinyatakan bahwa komando dan kendali tingkat operasional di wilayah provinsi, ditangani panglima atau komandan satuan terpadu. Dalam hal ini berarti Panglima Kodam. Dan ayat D, disebutkan penanganan di tingkat kabupaten dilaksanakan pejabat setingkat komandan batalion dan atau komandan distrik militer (Kodim).
"Nah kami kembalikan, apakah TNI mau digeser seperti peran jaman Orba dulu? Atau kita ikuti UU TNI. Kami kembalikan ke rakyat mau seperti apa," simpulnya.
PDI Perjuangan, ditegaskan Hasanuddin tetap menggunakan aturan-aturan yang ada saat ini. Pasalnya, sudah jelas menunjukkan bagaimana peran TNI dan peran Kepolisian. "Dan kalau mau jujur, untuk masalah sosial, peran TNI dan Polri ini sudah ada di UU Penanganan Konflik Sosial. Tak perlu Kamnas lagi," tutupnya. (ful)
TB Hasanuddin
JAKARTA - Draft terbaru Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional (RUU Kamnas) yang baru diberikan Pemerintah kepada DPR, diakui Wakil Ketua Komisi I DPR RI, TB Hasanuddin, masih banyak mengandung pasal bermasalah.
Hasanuddin memang sudah mendapatkan dan membaca draf yang dikirimkan Kementrian Pertahanan (Kemhan) pada 16 Oktober lalu. "Kesimpulan saya, kalau kita mau kembalikan peran TNI seperti jaman Orba dulu, mari kita berlakukan UU ini. Kalau mau reformasi dilanjutkan, ya mari kita kritisi," kata Hasanuddin di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (25/10/2012).
Politisi PDI Perjuangan itu mengatakan, sedikitnya ada delapan pasal dalam draf terbaru RUU Kamnas yang patut dicurigai karena bisa merusak tatanan Orde Reformasi Indonesia.
Pertama, pasal 14 ayat 1 yang menyatakan status darurat militer diberlakukan bila ada kerusuhan sosial. "Padahal aslinya darurat militer hanya kalau ada pemberontakan senjata atau ada serangan milier dari luar. Untuk urusan sosial, misalnya seperti kerusuhan 1998, tak perlu darurat miiter, cukup darurat sipil. Kalau darurat sipil, seharusnya TNI tak perlu masuk," paparnya.
Kedua, Pasal 17 ayat 4, yang menyebutkan ancaman potensial dan aktual ditentukan dan diatur oleh Peraturan Pemerintah. "Ini bahaya. Karena artinya nanti Presiden boleh buat skenario apa saja yang jadi ancaman. Jadi kalau ada mogok, misalnya, bisa dikeluarkan Perpres untuk mengerahkan pasukan," terangnya.
Purnawirawan TNI Bintang Dua ini juga menilai pasal 22 ayat 1, yang masih tetap menggunakan penyelenggaraan Kamnas melibatkan peran aktif intelijen negara. "Mestinya dibuat jelas mana intelijen yang boleh dan yang tidak," kata Hasanuddin.
Kemudian, lanjut Hasanuddin, Pasal 27 ayat 1 yang berbunyi Panglima TNI dapat menetapkan kebijakan operasi dan strategi militer berdasarkan kebijakan dan strategi kebijakan penyelenggara Kamnas.
"Itu tak boleh. Mestinya Panglima TNI menyelenggarakan operasi militer menurut fungsi TNI saja. Tak harus ikuti kebijakan Dewan Kamnas. Kalau pasal seperti ini, nantinya dia (Panglima TNI) bisa digunakan melakukan apa saja, termasuk hal yang keluar dari tugas militer sesuai UU," jelasnya.
Menurut Hasanuddin, ada yang unik, dalam ayat selanjutnya dari pasal tersebut, yakni polisi ditugaskan sesuai fungsi Kepolisian yang diatur UU. "Jadi TNI dibuat leluasa, Polisi dikunci. Ini artinya TNI ada keleluasaan, sementara Polri berjalan di koridornya," sambungnya.
Sementara dalam, Pasal 30, disebutkan presiden dapat menggunakan usur TNI dalam menanggulangi ancaman bersenjata dalam kondisi tertib sipil. "Ini juga tak jelas. Dengan demikian, kalau ada kriminal bersenjata, penugasan TNI bisa dilaksanakan," kata Hassanudin.
Lalu pasal 32 ayat 2, dinyatakan pelibatan masyarakat dalam kamnas lewat komponen cadangan (Komcad) dan komponen pendukung. Ini baru, sebab RUU Komcad sendiri sedang digodok dan mendapat banyak penolakan.
Sedangkan, di pasal 48 ayat 1C, dinyatakan bahwa komando dan kendali tingkat operasional di wilayah provinsi, ditangani panglima atau komandan satuan terpadu. Dalam hal ini berarti Panglima Kodam. Dan ayat D, disebutkan penanganan di tingkat kabupaten dilaksanakan pejabat setingkat komandan batalion dan atau komandan distrik militer (Kodim).
"Nah kami kembalikan, apakah TNI mau digeser seperti peran jaman Orba dulu? Atau kita ikuti UU TNI. Kami kembalikan ke rakyat mau seperti apa," simpulnya.
PDI Perjuangan, ditegaskan Hasanuddin tetap menggunakan aturan-aturan yang ada saat ini. Pasalnya, sudah jelas menunjukkan bagaimana peran TNI dan peran Kepolisian. "Dan kalau mau jujur, untuk masalah sosial, peran TNI dan Polri ini sudah ada di UU Penanganan Konflik Sosial. Tak perlu Kamnas lagi," tutupnya. (ful)
Apa dasar Kengototan Kemhan untuk menyodorkan RUU Kamnas
ini?
Diakui atau tidak bahwa peran Polri yg cukup dominan
dalam penyelenggaraan keamanan dalam negeri menimbulkan efek psikologis yang
cukup tinggi bagi beberapa pihak lain. Kondisi yang sangat berkebalikan dengan
peran militer sebelum era reformasi. Padahal jelas tercantum dalam konstitusi,
siapa yg berperan dalam ranah keamanan dan siapa yang berperan dalam bidang
pertahanan.
Kondisi pertahanan dan keamanan yg bak hitam putih, ingin dibuat kembali ada yg abu-abu diantaranya dimanfaatkan untuk pengajuan RUU Kamnas, serta menjadi entri point utk kembali berkiprah di ranah keamanan.
Yang aneh, apabila RUU ini dengan istilah keamanan, kenapa kemhan yang sangat ingin mengajukan ??
Memang sebaiknya Polri lah yang menjadi inisiator dalam pembentukan RUU ini. TNI selain memiliki UU TNI juga memiliki UU pertahanan negara. Didasari hal itu, dan karena keamanan memang domain kepolisian, seharusnya Polri lah yg berinisiasi membentuk suatu sistem keamanan nasional.
Betul bahwa sebagian negara memiliki UU tentang sistem keamanan nasionalnya. Namun tidak berarti melegitimasi penggunaan kekuatan militer dalam penyelenggaraan keamanan.
Polri sudah memiliki manajemen operasional kepolisian, diantaranya mengklasifikasikan ancaman dan tantangan yang dihadapi, dalam 3 bentuk, potensi gangguan (FKK), ambang gangguan (PH), dan gangguan nyata (AF).
Namun apakah hanya itu yg bisa kita andalkan dalam mengelola keamanan di tanah air. Dinamika sosial selalu berubah, polisi hidup di tengah masyarakat, sehingga keterlibatan berbagai pihak dalam penyelenggaraan keamanan harus ditulangpunggungi oleh polri, bukan militer. Adapun pelibatan unsur lain (misal militer, komponen cadangan, pemda) diatur dalam nuansa sipil yng demokratis. Seharusnya disusun suatu sistem keamanan nasional yang menjadikan polri sebagai basis kekuatan inti penyelenggaranya.
Kondisi pertahanan dan keamanan yg bak hitam putih, ingin dibuat kembali ada yg abu-abu diantaranya dimanfaatkan untuk pengajuan RUU Kamnas, serta menjadi entri point utk kembali berkiprah di ranah keamanan.
Yang aneh, apabila RUU ini dengan istilah keamanan, kenapa kemhan yang sangat ingin mengajukan ??
Memang sebaiknya Polri lah yang menjadi inisiator dalam pembentukan RUU ini. TNI selain memiliki UU TNI juga memiliki UU pertahanan negara. Didasari hal itu, dan karena keamanan memang domain kepolisian, seharusnya Polri lah yg berinisiasi membentuk suatu sistem keamanan nasional.
Betul bahwa sebagian negara memiliki UU tentang sistem keamanan nasionalnya. Namun tidak berarti melegitimasi penggunaan kekuatan militer dalam penyelenggaraan keamanan.
Polri sudah memiliki manajemen operasional kepolisian, diantaranya mengklasifikasikan ancaman dan tantangan yang dihadapi, dalam 3 bentuk, potensi gangguan (FKK), ambang gangguan (PH), dan gangguan nyata (AF).
Namun apakah hanya itu yg bisa kita andalkan dalam mengelola keamanan di tanah air. Dinamika sosial selalu berubah, polisi hidup di tengah masyarakat, sehingga keterlibatan berbagai pihak dalam penyelenggaraan keamanan harus ditulangpunggungi oleh polri, bukan militer. Adapun pelibatan unsur lain (misal militer, komponen cadangan, pemda) diatur dalam nuansa sipil yng demokratis. Seharusnya disusun suatu sistem keamanan nasional yang menjadikan polri sebagai basis kekuatan inti penyelenggaranya.
Menjadi besar kecurigaan sebaian masyarakat bahwa kondisi
dilematis Polri saat ini selain juga memang diakibatkan masih kurang optimalnya
pekerjaan Polri, namun juga karena desain-desain pelemahan yang sistematis
supaya kita kembali menggunakan kekuatan militer sebagai kekuatan keamanan di
era demokratis saat ini.
Biarlah rakyat yang menentukan...
Sumber dari berbagai pihak:
Iptu Didik Sulaiman dan AKP Wahyu Nugroho
No comments:
Post a Comment