Ketika rezim Orde Baru mulai melemah kekuasaannya dan Negara (state) mulai kehilangan sebagian besar kontrolnya terhadap rakyat (society) maka pada periode pertengahan tahun 1997, konflik horizontal (konflik komunal atau kerusuhan sosial) telah terjadi di beberapa daerah yang sebelumnya terlihat “stabil”. Bahkan dewasa ini konflik berupa aksi kekerasan yang melibatkan dua kelompok atau lebih seolah-olah menjadi menu sehari-hari bagi pemberitaan media
Konflik
berbentuk kekerasan ini hingga kini telah menjadi sumber kerisauan banyak
kalangan, karena disamping “terasa lamban” diselesaikan oleh Negara, juga telah
menimbulkan korban yang tidak sedikit. Beberapa aspek yang menjadi keprihatinan
masyarakat antara lain semakin murahnya harga nyawa bagi orang lain serta
semakin mudahnya masyarakat memuntahkan kemarahannya dalam bentuk aksi-aksi
kekerasan kelompok.
Banyak sudah pihak yang mengadakan berbagai penelitian dalam rangka
menganalisa fenomena konflik yang terjadi ini. Salah satu pandangan yang acap
kali mengemuka adalah adanya pengaruh dari proses transisi dari otoriterisme
orde baru menuju demokrasi sejak bergulirnya reformasi 1998 diduga sebagai
salah satu variable perantara terjadinya konflik-konflik komunal. Diakui maupun
tidak, fakta sejarah menunjukan bahwa terjadinya proses reformasi didahului,
bersamaan dan diikuti dengan terjadinya proses kekerasan yang dilakukan oleh
berbagai pihak. Semua fakta sejarah tersebut direkam oleh pers dan disiarkan
keseluruh penjuru tanah air bahkan mancanegara. Sejarah juga mencatat bahwa
pada akhirnya rezim Soeharto dapat ditmubangkan akibat dari berbagai aksi
tersebut.
Alih-alih proses transisi yang terjadi tersebut menjadi sebuah proses
pendewasaan bangsa. Namun disisi lain juga sebagaimana teori belajar sosial
dari Bandura, maka apa yang tersiarkan dalam berbagai media massa tersebut
dapat dengan cepat ditangkap dan ditiru oleh berbagai lapisan masyarakat yang
selama ini “termaginalkan” bahwa kekerasan adalah salah satu cara yang dianggap
dengan cepat dapat mencapai tujuan yang diharapkan.
Berangkat dari perkembangan fenomena yang ada tersebut, maka jelas
terlihat bahwa peran Negara menjadi penting dalam rangka menciptakan rasa aman
bagi rakyatnya. Bila fenomena kerusuhan dan kekerasan komunal ini tidak dengan
cepat dapat diatasi, dihentikan bahkan bila perlu ditiadakan saat ini dan
kedepan, maka dampak yang ditimbulkan akibat dari permasalahan ini dapat
merugikan semual lapisan masyarakat dan Negara. Sebuah upaya dalam rangka
menyelesaikan konflik menelan biaya yang luar biasa dan dapat menguras cadangan
keuangan pemerintah. Belum lagi kerugian harta benda dan jiwa raga yang tidak
terkirakan. Yang lebih besar lagi tentunya “cap” Negara yang tidak aman dapat
berakibat pada lemahnya kepercayaan investor asing yang pada akhirnya dapat
melemahkan berputarnya roda ekonomi makro maupun mikro bangsa kita.
Peran Negara dalam rangka mengatasi konflik tersebut berkait erat dengan
peran Polri sebagai alat Negara yang bertugas dalam menegakkan hukum serta
menciptakan rasa aman bagi masyarakat. Untuk itulah maka menjadi penting bagi
seluruh penyelenggara kepolisian agar memahami tentang berbagai fenomena
konflik sosial terjadi serta memahami bagaimana peran yang dapat dimainkan oleh
kepolisian didalamnya. Upaya kita memahami permasalahan tersebut salah satunya
adalah dengan memahami tentang berbagai ilmu pengetahuan yang melatar belakangi
dan melingkupi sebuah fenomena konflik sosial.
PENGERTIAN KONFLIK SECARA SEDERHANA
Inti dari setiap konflik dimulai dari adanya perbedaan kepentingan. Satu pihak mau
mencari keuntungan besar tanpa memperhitungkan hak orang lain, yang satu mau
merdeka yang lain mau otonomi khusus, seorang bapak dalam keluarga menginginkan
akan menggunakan uang untuk beli tv sedangkan ibunya menginginkan untuk
pendidikan anak-anaknya, seorang anak menginginkan memilih jodohnya sendiri
sedangkan orangtuanya menginginkan agar anaknya menyetuji pilihan mereka. Disini
terlihat bahwa hampir semua orang memilikik kepentingannya masing-masing. Permasalahannya
bahwa setiap kepentingan itu belum tentu sejalan dengan kepentingan orang lain,
bila perbedaan kepentingan ini terinteraksi secara intens, maka dapat
menimbulkan ketegangan dan pada akhirnya akan muncul konflik.
Perbedaaan kepentingan ini bisa menjadi suatu gangguan yang luar biasa
kalau tidak ada suatu dasar
kebersamaan yang membantu untuk
mengatasi perbedaan itu. Seandainya bapak diatas terbuka untuk merundingkan
kepentingan keluarga bersama istrinya karena keduanya mau bahwa keluarga itu
berkembang dan maju, maka secara bersama-sama mereka akan dapat menemukan jalan
keluar; bagaimana menentukan prioritas pemakaian uang yang ada. Menjadi lain
kalau sang bapak berpendapat bahwa dia adalah kepala keluarga yang dapat
menentukan segalanya sedangkan istri dan anak-anaknya hanya mengikuti saja. Contoh
lain bila dalam pemilihan kepala desa dimana kelompok masyarakat yang satu
mengingnkan calonnya untuk jadi kepala desa sedangkan kelompok masyarakat yang
lain menginginkan calon yang lain untuk jadi kepala desa, maka bila dua
kepentingan ini tidak dapat diakomodir dalam sebuah mekanisme penyelesaian yang
disepakati bersama, maka tidak menutup kemungkinan konflik kepentingan dan
ketegangan akan muncul antara dua kelompok ini.
Dalam
rangka memahami inti konflik itu, maka ada tiga pertanyaan mendasar yang
kiranya dapat membantu untuk menemukan jalan untuk mengatasinya, yaitu:
1. Dimanakah letak perbedaan kepentingan yang ada?
2. Adakah suatu kesamaan
nilai, suatu kesepahaman mengenai prioritas atau wajarnya kepentingan yang
diperjuangkan?
3. Apakah kekuatan kesamaan nilai
masih mampu mengalahkan perbedaan kepentingan, kedudukan, kekuasaan, kebiasaan
yang melatar belakangi konflik? Atau pihak yang kuat (kuat fisik, uang,
senjata, massa dll) akan selalu dimenangkan.
Selama dimuka bumi ini masih ada perbedaan kepentingan,
maka selama itu pula potensi konflik masih ada dan berbagai bentuk konflik
tetap akan terjadi. Problemnya adalah “Bagaimana
kita semua mengetahui sebuah potensi konflik dapat berubah menjadi konflik dan
selanjutnya dapat berkembang menjadi aksi-aksi kekerasan yang bersifat
penghancuran?”
Untuk itu penting untuk dipahami bahwa sebuah aksi kekerasan dalam
konflik pada dasarnya sudah didahului oleh adanya potensi dan kerawanan konflik
itu sendiri. Apabila potensi dan kerawanan itu tidak dapat dikelola dengan baik
dan ada pemicu yang muncul, maka percikan api tersebut bagaikan sebuah api
ditengah jerami kering yang dapat membakar lumbungnya. Oleh karena itu besar
sekali peranann kepolisian disini dalam rangka memahami berbagai potensi
konflik yang ada serta memahami berbagai bentuk konflik dan bagaimana sampai
konflik itu berakibat kepada aksi-aksi kekerasan yang bersifat saling
menghancurkan.
No comments:
Post a Comment