Dalam uraiannya mengenai tuntutan profesionalisme di kalangan kepolisian, Prof Harsja Bachtiar mengatakan bahwa polisi
Indonesia, sangat berbeda daripada kebanyakan negara lain di dunia kita ini,
bahkan merupakan kepulauan yang amat banyak pulaunya, dan berpenduduk sedemikian
banyak sehingga merupakan negara ke-empat di dunia, sesudah Cina dan Amerika Serikat,
bila diukur atas dasar jumlah penduduknva. Indonesia merupakan kepulauan yang
memperlihatkan daerah-daerah yang berbeda-beda keadaan lingkungan alamnya. berbeda-beda
bahasa dan kebudayaan penduduknya, berbeda-beda agamanva, berbeda-beda sejarah
perkembangan pendidikan dan tingkat pendidikan pada umumnya, berbeda-beda tingkat
perkembangan ekonomi dan teknologinva, berbeda-beda prasarana komunikasinva. berbeda-beda
prasarana pengangkutan dan perhubungannya, serta berbeda-beda dalam berbagai hal
lain. Begitulah keadaan umum wilayah negara yang menjadi lapangan kerja kepolisian
Republik Indonesia .
Sesungguhnya masyarakat Indonesia bukan hanya amat kompleks
tetapi juga bercorak majemuk. Sebagai sebuah masyarakat majemuk, Indonesia adalah sebuah masyarakat-negara yang
terdiri atas banyak sukubangsa, yang jumlahnya lebih dari 500 buah, yang
dipersatukan oleh sistem nasional Indonesia (Iihat Suparlan 1979).
Sukubangsa sebagai sebuah golongan sosial yang askripitif dapat memuwujudkan diri
dalam bentuk kelompok-kelompok atau masyarakat-masyarakat sukubangsa.
Masing-masing dengan kebuduyaan atau pedoman bagi kehidupan yang digunakan oleh
para pelakunya untuk memahami, memanfaatkan, dan menguasai sumber-sumber daya dalam
lingkungan yang mereka hadapi sehari-.hari untuk pemenuhan kebutuhankebutuhan mereka.
Secara samar-samar maupun secara jelas masing-masing sukubangsa di Indonesia
mengakui dan diakui hak kepemilikan dan penguasaannya atas wilayah-wilayah yang
merupakan lingkungan tempat hidup dan mata pencaharian mereka. Hak yang sudah
ada sebelum adanya hak nasional yang dipunyai oleh sistem nasional Indonesia , karena sukubangsa-sukubangsa di
Indonesia sudah ada sebelum adanya Republik Indonesia yang diproklamasikan pada
17 Agustus 1945.
Sukubangsa-sukubangsa di Indonesia memperlihatkan
keanekaragaman secara horizontal dan vertikal. Keanekaragaman secara demografi
ekonomi dan teknologi, politik dan corak kebudayaan pada umumnya.
Keanekaragaman sukubangsa tersebut diperkaya Iagi dengan masuk dan diterimanya
agama-agama tradisi besar (Hindu, Budha, Islam, Katolik, Kristen Protestan).
Agama-agama tradisi besar tersebut secara terseleksi menjadi agama dari
masing-masing sukubangsa di indonesia
yang menjadi pedoman bagi kehidupan dunia dan akhirat, sehingga agama tersebut
menjadi bagian atau bahkan inti dari kebudayan sukubangsa yang bersangkutan.
Setiap orang Indonesia adalah seorang warga
sukubangsa. Dia mempunyai jatidiri sukubangsa atau kesukubangsaan tanpa mampu
untuk menolaknya. Karena setiap orang Indonesia dilahirkan oleh orang tua
yang masing-masing mempunyai jatidiri sukubangsa. Dalam keadaan dimana kedua
orang tua berasal dari sukubangsa yang berbeda maka dia mempunyai pilihan
jatidiri sukubangsa yang dapat diacunya, yaitu. kesukubangsaan bapaknya,
ibunya. atau daerah tempat dilahirkan dan dibesarkannya (Suparlan 1972).
Seorang anak bukan hanya dilahirkan dalam keluarga sukubangsa tetapi juga sejak
bayi dibesarkan menjadi manusia dan mahluk sosial serta berbudaya oleh keluarga
atau orang tuanya yang dilakukannya dengan mengacu pada kebudayaan
sukubangsanya. Karena itu kesukubangsaan dan kebudayaan sukubangsa yang
dipunyai oleh seseorang adalah sesuatu yang utama dan yang pertama atau yang
primordial dalam kehidupannya. Karena itu sentimen kesukubangsaan dengan mudah
digalang untuk solidaritas guna memenangkan sesuatu persaingan atau konflik.
Sedangkan sistem nasional, yang terwujud sebagai
negara dan pemerintahan, dibentuk berlandaskan pada prinsip ideologi kebangsaan
yang rasional yang berada di atas dan memayungi berbagai bentuk sistem
kesukubangsaan dari sukubangsa-sukubangsa di Indonesia. Termasuk dalam
pengertian ini adalah konsep hak atas air, udara, dan bumi beserta segala
isinya yang mendudukkan posisi hak sukubangsa sebagai berada dibawah hak yang
dipunyai oleh negara. Dalam keadaan demikian, hubungan antara sistem nasional
dengan sukubangsa-sukubangsa yang ada di Indonesia sebenarnya dapat dilihat
sebagai berada dalam hubungan konflik atau hubungan persaingan untuk
memperebutkan hak penguasaan dan pendistribusian atas air dan bumi beserta
segala isinya, serta hak untuk mengatur dan memerintah masyarakat-masyarakat
sukubangsa yang ada.
Sistem nasional Indonesia adalah sebuah sistem yang
didasari oleh ideologi kebangsaan yang rasional dan terbuka bagi semua warga
negaranya untuk memasuki dan menduduki jabatan-jabatan yang tersedia dalam
pranata-pranata atau lembaga-lembaganya. Karena sistem nasional tersebut
terbuka dan karena dalam sistem nasional Indonesia tidak ada ketentuan bahwa
kesukubangsaan tidak boleh diaktifkan dalam persaingan untuk memperebutkan
sumber-sumber daya dan jabatan-jabatan yang tersedia dalam
struktur-strukturnya, maka sistem nasional merupakan ajang pertentangan antar
sukubangsa dalam upaya memperebutkan atau mempertahankan sesuatu jabatan atau
sesuatu penguasaan atas sumber-sumber daya yang tersedia.
Masyarakat majemuk, termasuk masyarakat Indonesia ,
adalah masyarakat yang rawan konflik yang dapat menjurus pada disintegrasi masyarakatnya.
Konflik-konflik yang potensial menuju disintegrasi masyarakat adalah konflik
antar sukubangsa, termasuk konflik antar pemeluk agama karena melibatkan
sentimen-sentimen primordial yang mendalam dan mendasar (Suparlan 1999a).
Tidaklah mengherankan bahwa dalam masa pemerintahan Orde Baru sistem nasional Indonesia bercorak otoriter, karena hanya dengan
corak pemerintahan otoriter yang didukung oleh militer dan polisi tersebut
integrasi masyarakat Indonesia
sebagai masyarakat majemuk dapat dijaga keutuhannya. Dampak dari pemerintahan
yang otoriter tersebut adalah bahwa dinamika kehidupan sukubangsa dan
kesukubangsaannya tertekan, dari pada waktu pemerintahan Orde Baru digantikan
oleh pemerintahan reformasi yang demokratis dalam perbandingannya dengan corak
pemerintahan Orde Baru, maka berbagai bentuk kekerasan dan kerusuhan antar
sukubangsa bermunculan yang dapat dilihat sebagai ungkapan kebebasan mereka dari
berbagai tekanan kekerasan.
Pemerintahan reformasi dibawah presiden Habibie yang
bertujuan menciptakan masyarakat madani Indonesia yang modern dan demokratis,
sebagaimana dikemukakan oleh beliau di dalam berbagai kesempatan, akan
dihadapkan pada berbagai permasalahan yang lebih kompleks Iagi berkaitan dengan
berbagai permasalahan kesukubangsaan dan hubungan antar sukubangsa, dengan
permasalahan primordialitas dan modernitas, dengan prinsip-pdnsip yang hakiki
dan demokrasi, dan dengan berbagai bentuk perubahan sosial budaya akibat dari
globalisasi yang dalam abad kita dewasa ini sudah tidak ada Iagi yang dapat
membendungnya (Suparlan 1999b).
Masyarakat madani atau masyarakat sipil menurut
Gellner (1995: 32) adalah sebuah masyarakat dengan seperangkat pranata non pemerintah
yang cukup kuat untuk menjadi penyeimbang dari kekuasaan negara, dan yang pada
saat yang sama, mendorong pemerintah untuk menjalankan peranannya sebagai
penjaga perdamaian dan penengah diantara berbagai kepentingan utama dalam
masyarakat, serta mempunyai kemampuan untuk menghalangi atau mencegah negara
untuk mendominasi dan mengecilkan peranan masyarakat. Corak masyarakat sipil
bertentangan dengan corak masyarakat yang despotik, karena di dalam masyarakat
yang despotik kesadaran sosial yang ada dalam berbagai kelompok masyarakat
golongan bawah akan ditindas dan dieksploitasi untuk kepentingan dan keuntungan
pemerintah. Sedangkan masyarakat madani atau sipil yang modern dibangun
berlandaskan demokrasi, yang mencakup prinsip-prinsip : kedaulatan rakyat, pemerintahan
berdasarkan persetujuan dan yang diperintah, kekuasaan mayoritas, hak-hak
minoritas, jaminan hak-hak azasi manusia, pemilihan yang bebas dan jujur,
persamaan hak di depan hukum, proses hukum yang wajar, pembatasan kekuasaan
pemerintah secara konstitusional, kemajemukan sosial, ekonomi, dan politik,
nilai-nilai toleransi, pragmatisme, kerjasama dan mufakat (Iihat; Lubis : 1994).
Patut dicatat bahwa demokrasi pada dasarnya adalah
sebuah kebudayaan konflik, yaitu menekankan pada pentingnya perolehan sesuatu
dengan melalui persaingan. Persaingan yang harus mengikuti aturan-aturan main
atau hukum yang adil dan beradab yang berada dibawah pengawasan wasit. Dalam
kehidupan masyarakat yang demokratis, polisi dapat dilihat sebagai berperan
wasit atau penjaga untuk ditaatinya hukum oleh warga masyarakat. Pada waktu
sebuah masyarakat baru saja terbebas dari kekuasaan pemerintahan yang otoriter,
hukum atau aturan main yang berlaku biasanya tidak adil dan tidak beradab.
Karena hukum tersebut telah dibangun untuk memenangkan penguasa atau pemerintah
dan yang dijalankan dengan menggunakan kekerasan secara paksa.
Membangun masyarakat madani yang modern berarti juga
membangun kebudayaan profesional berikut pranata-pranata yang menjadi wahana
dari sarananya. Berbagai permasalahan yang muncul dalam masyarakat-masyarakat
modern akan juga muncul dalam masyarakat Indonesia . Masalah-masalah tersebut
mencakup berbagai bentuk kerusuhan yang diakibatkan oleh adanya kesenjangan
sosial, berbagai macam kejahatan termasuk kejahatan kerah putih dan pemadatan
narkoba, dan teror.
Kompleksnya permasalahan yang dihadapi rnasyarakat
dan bangsa Indonesia dalam masa reformasi ini, ditambah Iagi dengan kemunculan
berbagai partai politik dengan penjuangan untuk menguasai politik negara di
satu pihak dan mempertahankan politik negara di pihak yang lain, serta
munculnya berbagai kerusuhan antar sukubangsa dan konflik ideologi, menghadapkan
polisi pada situasi yang menuntut kemampuan profesional untuk dapat mengatasi
dan meredamnya secara tepat dan bijaksana. Untuk itu berbagai pedoman bertindak
yang diwarisi dari zaman pemerintahan Orde Baru dimana polisi menjadi bagian dari
doktrin ABRI atau militer sudah harus ditinggalkan untuk diganti dengan pedoman
pemolisian yang sesuai dengan fungsi polisi yang baru, yaitu sebagai kekuatan
sipil yang diberi kewenangan untuk menjadi pengayom masyarakat dan penegak
hukum.
Mengingat bahwa hampir semua permasalahan itu hanya
dapat dipecahkan secara holistik atau sistemik, artinya permasalahan yang ada
itu dihasilkan oleh sejumlah permasalahan atau gejala-gejala yang secara
keseluruhan merupakan suatu kesatuan yang bulat dan menyeluruh maka peredaman
atau pemecahan permasalahan yang dihadapi hanya mungkin dilakukan dengan cara
meredam berhagai gejala atau permasalahan yang menghasilkan permasalahan tersebut.
Kemampuan mengidentifikasi, meneliti, dan menganalisa, serta mengarnbil keputusan
untuk rekomendasi tindakan peredaman yang tepat atas permasalahan yang dihadapi
hanya mungkin dapat dilakukan oleh perwira polisi dengan pengetahuan bertaraf
pendidikan S3 atau setidak-tidaknya pendidikan S2.
http://www.bursapolitik.com/2017/06/firza-husein-akhirnya-ngaku-bahwa-akan.html
ReplyDeletehttp://fukureta.blogspot.com/2017/06/sukses-di-usia-muda-bukanlah-impian-ayo.html
http://doctoroperaqq.blogspot.com/2017/06/rahasia-bebas-bau-mulut-selama-berpuasa.html
http://babehoror.blogspot.com/2017/06/perempuan-misterius.html
http://babebola168.blogspot.com/2017/06/7-fakta-kemenangan-real-madrid-atas.html
Mari Bergabung Dengan Kami "www.OPERAQQ.com"
Partner Sejati Untuk Permainan Kartu Anda ^^
Penasaran mau daftar ??? PIN BB : D60ED5D7