Karakteristik lingkungan global dan
regional saat ini ditandai dengan pesatnya perkembangan dan perubahan disegala
bidang. Hal ini berimbas kepada karakteristik lingkungan masyarakat nasional
dan berbagai masyarakat lokal yang melingkupinya. Berbagai perubahan yang
terjadi tersebut menuntut juga terjadinya perubahan terhadap berbagai dunia
usaha dan ekonomi nasional maupun operasi birokrasi sebagai bagian dari pelaku
pelayanan masyarakat dalam berbagai bidang.
Polisi sebagai sebuah industri “Jasa”
dewasa ini mengalami percepatan ekspektasi yang luar biasa sejak bergulirnya
reformasi. Disadari ataupun tidak sebagai kepanjangan tangan dari Negara dalam
upayanya memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat, polisi mengalami stagnasi perubahan karena kultur dominan
birokrasi yang melingkupinya. Aparat-aparat kepolisian cenderung untuk terbiasa
berperilaku rutin sebagaimana biasa terjadi pada birokrat-birokrat pemerintah
lainnya. Mereka terbiasa untuk datang dan memenuhi kewajiban kantornya dan
melayani pelanggan sesempatnya
saja, seolah-olah ini merupakan rutinitas biasa yang harus mereka lakukan
sehari-hari.
Fenomena seperti itulah yang terlihat
dikantor-kantor kepolisian, sehingga “kepuasan
pelanggan”seringkali terabaikan. Berbagai upaya peningkatan pelayanan
selalu dilakukan namun perbandingan percepatan peningkatan yang dilakukan oleh
para manajer kepolisian seringkali sulit dibandingkan dengan tingkat percepatan
permintaan akan rasa kepuasan masyarakat pelanggan yang dilayaninya. Kualitas
pelayanan Polri sebenarnya meningkat cukup pesat sejalan dengan berbagai
perubahan yang dilakukan. Namun apa yang telah dilakukan tersebut seolah-oleh
menjadi sia-sia ketika kita membuka jendela organisasi Polri secara jujur untuk
melihat bagaimana upaya yang dilakukan tersebut cukup dapat diterima oleh
masyarakat.
Pertanyaan yang kemudian mengemuka adalah
apakah strategi perubahan yang telah dilakukan oleh Polri selama ini belum
dapat menjawab tantangan perubahan yang terjadi dimasyarakat ataukah memang ada
sesuatu yang belum dilaksanakan dalam upaya Polri meningkatkan kemampuan
pelayanannya. Pertanyaan tersebut menjadi beban seluruh unsur kepolisian dari
level atas sampai terbawah untuk menjawabnya. Namun beban terberat ada pada
para manajer kepolisian untuk mewujudkan upaya terbaik dalam meningkatkan
pelayanan.
Model pelaksanaan tugas kepolisian secara
universal pada umumnya dibagi menurut pembagian kewilayahan dan pembagian
kerja. Struktur pembagian yang sedemikian rupa secara efektif menghasilkan
lokasi-lokasi pelayanan seperti provinsi dengan Poldanya, karisidenan dengan
Polwilnya, kota/ kabupaten dengan Polresnya serta kecamatan dengan Polseknya.
Setiap satuan kewilayahan tersebut mempunyai lapis kemampuan yang berjenjang
namun pada prinsipnya mereka melakukan pelayanan kepolisian yang sama yaitu
dalam rangka melindungi masyarakat serta menegakkan hukum dalam rangka menjaga
keamanan dan ketertiban masyarakat.
Pelaksanaan tugas yang dilakukan oleh
Polri, tidak bisa dipungkiri pada hakekatnya merupakan sebuah rangkaian
kegiatan pengelolaan jasa pelayanan yang dilakukan oleh negara. Polri adalah
alat negara dalam melaksanakan tugasnya memberikan jasa dibidang keamanan
kepada masyarakat warga negaranya seperti negara memberikan jasa-jasa lainnya
dibidang pendidikan, kesejahteraan, pertahanan, kesehatan, dan sebagainya.
Sebagai pengelola pelayanan jasa dibidang
keamanan, Polri dituntut untuk melakukan pekerjaannya secara professional
layaknya pengelolaan usaha-usaha pelayanan lainnya. Selama ini kita terlena
dengan kultur birokrasi dimana usaha pengelolaan negara merupakan sebuah
monopoli, sehingga lambat laun terjadi degradasi kultur kemampuan pelayanan
karena miskinnya persaingan dari kompetitor. Degradasi kemampuan pelayanan
tersebut terlihat dari ketidak mauan serta ketidak mampuan organisasi
diberbagai tingkatan menyikapi perubahan besar yang terjadi selama ini. Ketika
ini dibiarkan berlangsung terus menerus, maka lambat laun upaya Polri untuk
memperoleh kepercayaan dari masyarakat semakin jauh panggang dari api.
Orientasi pelayanan Polri kedepan, selain
mengacu kepada aspek produktivitas dan kemudahan, ketepatan, dan kecepatan
waktu serta rendahnya harga yang harus ditanggung oleh pengguna jasanya, juga
harus lebih ditekankan kepada aspek
kualitas produk pelayanan yang
diberikan. Untuk memperoleh hal tersebut diatas, maka Polri di seluruh lapisan
dituntut untuk mampu mengadakan perubahan. Perubahan-perubahan yang cepat
dilingkungan lokal, nasional dan global akan membawa implikasi kepada perubahan
organisasi yang dinamis pula.
Demikian pula dengan Polri sebagai bagian
dari sistem birokrasi negara dalam usahanya mengelola pelayanan keamanan
masyarakat, perlu segera mereaktualisasi segera peranannya. Pola pengelolaan
pelayanan kepolisian yang sudah dikembangkan selama ini oleh Polri
distrukturkan dalam sistem dan metode kerja yang terbagi habis menurut tempat
dan bidang-bidang pelayanan. Secara umum Polri dengan Markas Besarnya mempunyai
struktur pelayanan berdasarkan kepada karakteristik bidang pekerjaan yang
berafiliasi kepada penggolongan kegiatan-kegiatan kepolisian seperti deteksi
dini (preemtif), pencegahan (preventif), dan penindakan (represif).
Oleh karenanya struktur Satuan Kerja
dilingkungan Polri terstrukturkan pada dua bidang utama yaitu bidang Pembinaan
sebagai fungsi pendukung dan bidang Operasional sebagai fungsi pelayanan. Dalam
rangka operasionalisasi tugasnya maka sistem dan metode kerja Kepolisian
diakomodir dalam manajemen operasional Polri (MOP) baku, baik yang bersifat
rutin maupun khusus dengan siklusnya seperti perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan
dan pengendalian yang dikelola oleh para manajer diberbagai lapisan.
Permasalahan yang kemudian mencuat adalah “Bagaimana seorang anggota Polri
ketika mendapatkan beban untuk mengemban jabatan sebagai manajer kepolisian
tidak hanya terpaku kepada model manajemen baku yang ada di Polri sehingga
mereka dapat melakukan berbagai upaya perubahan dan peningkatan pelayanan
sesuai dengan makin tingginya tuntutan akan citarasa pelayanan yang berkembang
dimasyarakat”.
Sementara itu upaya kreativitas dan inovasi
yang diupayakan seringkali terhambat oleh pagar mekanisme birokrasi yang begitu
mengungkung. Pertanyaan yang kemudian harus dicarikan jawaban tentunya
seringkali berkutat kepada berbagai hal yang akan menguras energi kedalam
organisasi Polri sendiri, sehingga akibat langsung dari berbagai upaya
perubahan yang dilakukan seringkali malah berdampak kepada menurunnya kinerja
pelayanan.
Kebutuhan Melakukan Perubahan Pada Manajemen Polri
Polri beserta seluruh unsur manusia polisi
didalamnya, pada hakekatnya kental dengan berbagai dikotomi (berbeda sekaligus
terjadi) dan kontradiksi (berlawanan sekaligus terjadi) apabila dibandingkan
dengan profesi lainnya. Beberapa contoh yang bisa digambarkan untuk menunjukkan
gejala diatas antara terlihat ketika disatu sisi polisi diharapkan untuk
menjamin penegakkan hukum sementara disisi lain polisi diharapkan untuk menjadi
pemelihara ketertiban masyarakat yang berbasis kepada domokrasi dan penghargaan
kepada hak asasi manusia dan kebebasan individu.
Ketika kita mencoba menggabungkan
kepentingan penegakkan hukum dengan prinsip-prinsip demokrasi, maka akan
munculah sebuah kombinasi yang sulit. Selain itu polisi mempunyai struktur
komando yang ketat dan kuat, akan tetapi hampir semua kegiatannya bersifat
reaktif kontijensi yang memerlukan diskresi. Disisi lain polisi diharapkan
untuk bertanggung jawab untuk turut memberantas korupsi, namun masyarakat
seringkali mengeluhkan polisi sendiri banyak melakukan korupsi.
Dalam upayanya melakukan perubahan, Polri
seringkali dituntut oleh masyarakat untuk menguasai dan menerapkan
profesionalisme dalam tugasnya. Berbagai langkah yang telah dan sedang
dilakukan tercermin dari mulai adanya peningkatan kapabilitas personil polisi,
pengambilan keputusan organisasi polisi yang mulai lebih proporsional, sistem
rekruitmen dan pelatihan yang semakin maju dan berkembang, modernisasi
teknologi pada sarana dan prasarana kepolisian (mobil patroli, alat dan system
komunikasi, teknologi penyidikan ilmiah dsb), obyektivitas dalam menangani
kejahatan, memperkuat kode etik profesi kepolisian, meluruskan perilaku para
anggota kepolisian, menjalankan tugas sebagai pelayanan seperti bisnis, serta
meluruskan ketidak efisienan, korupsi dan ketidak disiplinan.
Upaya perubahan yang dilakukan oleh Polri
dalam upayanyanya lebih professional merupakan sebuah tugas yang sangat
kompleks. Namun pada prinsipnya berbagai upaya perubahan yang dilakukan
setidaknya harus berorientasi kepada dua hal yaitu perubahan dalam pengelolaan
manajemen kepolisian serta perubahan dalam pengelolaan
keamanan sebagai sebuah produk jasa yang dihasilkan oleh Polri. Kedua hal tersebut diatas merupakan
dua sisi mata uang yang tidak bisa berdiri sendiri dan tidak terpisahkan satu
sama lain. Institusi kepolisian dalam level manapun yang terkelola dengan baik
tidak akan ada artinya manakala output produk yang dihasilkannya tidak sesuai
dengan harapan masyarakat pelanggannya. Begitu pula sebaliknya sebuah
permasalahan keamanan tidak dapat tertangani dengan baik apabila sebuah
institusi kepolisian yang terlibat didalamnya tidak terdukung dengan manajemen
yang baik.
Dimasan depan kedua orientasi perubahan
tersebut merupakan prioritas utama yang harus dilakukan. Manajemen Kepolisian
harus sejak dini mengevaluasi tantangan perubahan ekstern yang terjadi untuk
segera dilakukan berbagai penyesuaian sehingga tantangan permasalahan
kepolisian yang semakin kompleks dan berkembang dapat dikelola secara optimal
dalam rangka menghasilkan kualitas pelayanan terbaik kepada masyarakat
pelanggannya.
Hanya sebuah renungan kecil dari New York
No comments:
Post a Comment