Pengelolaan Keamanan Seperti Belajar Musik
Meski teknologi keamanan dan kejahatan
semakin canggih, bukan berarti kita-kita sebagai polisi kemudian melupakan
teori dasar pemolisian. Sebab teori dasar itu seperti kita belajar musik.Apa
yang saya maksudkan disini adalah, mau teknologi pengelolaan keamanan
berkembang seperti apapun, namun tetap berasal dari teori sederhana yang
diajarkan di kelas dulu; Menurut saya, pedoman dasar ini wajib dikuasai
oleh polisi siapapun sebelum terjun dilapangan., termasuk oleh kita-kita pada
level apapun. Teori pengelolaan keamanan boleh berkembang dengan berbagai
varian tingkat kecanggihan, namun semua itu sama seperti musik, semua itu
mempunyai nada dasar yang sama dan hanya mencakup tujuh not saja (do re mi fa
sol la si do).
Jadi boleh saja sebagian dari kita
sekolah kemana-mana dan belajar apa saja, namun jangan dilupakan bahwa semua
itu harus berangkat dari kemampuan kita untuk mengetahui teori-teori dasar
Pemolisian seebagaimana pemahaman para pemusik terhadap nada-nada dalam notasi
dasar musik.
Apa yang terjadi dengan para pemusik
dan penyanyi, ketika mereka pertama kali belajar musik, maka hal pertama yang
mereka pelajari adalah bagaimana mereka belajar nada-nada terlebih dahulu,
sebelum masing-masing dari mereka mampu menyanyikan ataupun memainkan alat
musik tertentu. Ketika mereka paham tentang nada, maka selanjutnya mereka
diajarkan menyanyikan satu dua lagu yang sederhana, dengan melatihkan intonasi
yang tepat termasuk olah vokal yang baik. Dalam perkembangannya, ketika kemampuan
mereka semakin tinggi, berbagai lagu dengan bermacam tingkat kesulitan bisa
mereka mainkan karena mereka semua sudah memahami nada-nada yang ada dalam
masing-masing lagu tersebut. Dan bahkan dalam kapasitas tertentu, seorang
pemusik selanjutnya bisa menciptakan lagu, karena mereka memahami nada-nada
dasar tersebut secara baik.
Dengan pemahaman diatas, maka layaknya
seorang pemusik, kita akan bisa mengkreasikan dan mennyanyikan lagu apapun
sepanjang kita memahami nada tersebut dengan baik. Dalam musik, kita paham
bahwa semua lagu apapun hanya mempunyai nada dasar; do re mi fa sol la si do,
dan kemudian berkembang menjadi milyaran lagu. Kemudian kita ketahui bahwa juga
terhadap milyaran lagu itu, para penggemarnya mengelompokkan lagi dalam
berbagay rythim seperti; klasik, slow, slow rock, rock, rock n roll, jazz, pop,
instrumental, tradisional, blues, reggae, instrumental dan lain-lain.
Bagaimana korelasi hal tersebut dengan
teori pengelolaan keamanan? Untuk menjawab hal tersebut, maka kita juga harus
mampu memahami, menghayati, merasakan, hingga menyanyikan intonasi dasar pada
nada-nada pengelolaan keamanan. Kalau sebuah lagu punya intonasi nada dasar do
re mi fa sol la si do, maka teori pengeloaan keamanan yang harus dilakukan oleh
Polri adalah mencakup pada tiga ”elemen nada dasar” yang saling terkait
satu sama lain dan akan menjadi lagu yang sumbang apabila kita hanya memainkan
satu atau dua nada saja.
Adapun ketiga elemen nada dasar dalam
pengeloaan keamanan yang harus kita pahami, adalah:
1. Kemampuan
mengelola daya tangkal
2. Kemampuan
mengelola daya cegah
3. Kemampuan
mengelola penanggulangan
Ketiga elemen nada dasar diatas
bukanlah karangan saya, namun merupakan kompresi dari yang diamanatkan dalam UU
No 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara RI.
Tugas kita sebagai para pengelola
keamanan adalah bagaimana kita memahami dengan sebenar-benarnya paham akan
esensi dasar dari ketiga elemen nada dasar tersebut dengan memadukan alat-alat
musik yang berbeda fungsi untuk di ”arrange” menjadi musik yang indah. Nah,
semakin jelas bagi kita sebagai manusia-manusia Polri yang akan dan sedang
menjadi manajer-manajer Polri dalam tingkatan manapun, bahwa dalam rangka
mengelola Keamanan, kita diberi Fungsi, Peran,Tugas, wewenang, Tanggung Jawab
termasuk peran Kerjasama Kepolisian untuk dapat mengkreasikan ataupun
menyanyikan lagu-lagu yang pas bagi para pendengar kita.
Pertanyaan yang kemudian harus dijawab
adalah, bagaimana kita akan ”mengkreasikan” ketiga elemen nada dasar diatas
dengan alat-alat musik yang kita miliki agar dapat tersusun menjadi sebuah
rangkaian lagu indah yang enak dinikmati oleh masyarakat?
Untuk menjawab itu semua, saya perlu
mengajak para pembaca untuk memahami dan mempetakan siapa saja para ”pendengar”
kita. Dalam konteks ”pendengar” yang saya maksudkan disini adalah para konsumen
kita dalam berbagai tingkatan. Secara sederhana, dalam mengelola keamana kita
hanya perlu menggolongkan konsumen pendengar kita dalam 7 golongan, yaitu:
1. Para
calon korban
2. Para
korban
3. Para
calon saksi
4. Para
saksi
5. Para
calon tersangka
6. Para
tersangka
7. Para
pengguna jasa produk pelayanan Polri
Ide penggolongan yang saya kemukakan
diatas mungkin cukup kontroversial, cukup debatable, misalnya dimana kita
tempatkan para pengguna jalan raya? Bagi saya para pengguna jalan raya
sebenarnya semua masuk dalam katagorisasi diatas, karena pengaturan lalulintas
itu sebenarnya tujuan utamanya adalah menciptakan keamanan dan keselamatan
berlalulintas. Artinya kalau kita-kita menaati peraturan lalulintas dengan baik
dan mengikuti arahan bapak polisi, maka kita tidak akan terlibat dalam
kecelakaan lalulintas yang bisa melibatkan kita sebagai korban, saksi maupun
tersangka bukan?
Saya selalu terbuka akan masukan
tentang penggolongan konsumen kita, namun cobalah cermati lebih dalam, bahwa
ketika kita mampu menggolongkan para pendengar kita dengan tepat, maka kita
akan juga mampu mendesain lagu yang tepat bagi mereka.
Sudah barang tentu lagu rock tidak
akan tepat diperdengarkan kepada para orang-orang tua yang tinggal di ujung
Semanu kabupaten Gunung Kidul sana. Bagi mereka, lagu yang enak didengar adalah
lagu langgam jawa dengan gamelan indah yang bisa membuat mereka sejenak
melupakan kepenatan setelah mengambil air berkilometer karena kekeringan
panjang.
Begitu pula dengan para konsumen kita,
kita harus memahami betul bagiamana perlakukan kita terhadap mereka, dengan
demikan kita bisa membedakan lagu yang cocok dan pas dimainkan pada saat kita
melaksanakan pengelolaan pemolisian.
Apa saja jenis lagu yang akan kita
mainkan?
Menurut saya, apapun lagunya, maka
jenis musik yang akan selalu dimainkan oleh Polri adalah antara lain berupa:
- Fungsi
Pemelihara kamtibmas (peace, sure, secure, safe and orderly)
- Fungsi
Penegakkan hukum (kepastian hukum dan keadilan dengan azas murah dan cepat)
- Fungsi
Perlindungan Masyarakat (harta benda dan jiwa raga dan junjung tinggi HAM)
- Fungsi
Pengayoman Masyarakat (perbantuan masyarakat)
- Fungsi
Pelayanan Masyarakat (turjagwali dan pelayanan produk jasa kepolisian lain)
Bila kita melihat kelima ”jenis musik”
yang dimainkan Polri tersebut, maka menarik untuk saya katakan bahwa jenis
musik apapun yang akan selalu terdengar indah dan tak lekang oleh waktu adalah
ketika kita mampu memadukan unsur ”lokalitas” pada setiap lagu apapun. Disinilah Community Policing mulai
muncul perannya dalam rangka memberikan sentuhan lokal. Community menurut
pendekatan etimologi berarti komunitas. Sedangkan Policing berarti Pemolisian
(banyak kesalahan dasar kita ketika mengartikan community policing sebagai
pemolisian masyarakat; sementara dalam wujud aslinya, community policing
sebenarnya berarti Pemolisian Komunitas).
Kembali kepada ide dasar tulisan saya
hari ini, inti tulisan saya hanyalah sebuah ajakan bagi diri saya pribadi dan
rekan-rekan sekalian untuk untuk dapat memahami betul esensi dasar dari
pelaksanaan tugas kita sebagai anggota Polri, untuk dapat melaksanakan peran
pengelolaan keamanan dengan lebih baik dimasa kini dan masa depan..
Apakah kita ingin hanya sebagai
penyanyi Karoke? Banyak dari kita mungkin hanya bisa menyanyikan satu dua
lagu, namun ketika kita disodori lagu lain maka kita akan kesulitan menyanyikan
lagu tersebut, karena kita adalah penghapal lagu, bukan penyanyi yang memahami
nada dan intonasi.
Salam hormat
No comments:
Post a Comment