Fungsi Polisi sangat berbeda dengan
fungsi militer, dimana Polisi selalu berada ditengah-tengah masyarakat dalam
rangka memelihara keamanan dan ketertiban bagi kehidupan masyarakat, sedangkan
militer berfungsi membela dan mempertahankan Negara serta keutuhannya. Dalam
hal ini militer terlihat lebih banyak berkaitan dengan Negara lain, ataupun
kekuatan kelompok riil yang mengancam kelangsungan hidup suatu Negara.
Pada kenyataannya, meskipun Polisi
lebih banyak berurusan dengan permasalahan keamanan dalam negeri yaitu
menyangkut penegakkan hukum dan mengatasi berbagai permasalahan keamanan dan
ketertiban yang muncul ditengah-tengah masyarakat, namun para anggota Polisi
dituntut untuk memiliki disiplin dan garis komando yang jelas dalam kehidupan
organisasinya (semi militeristik). Disisi lain, kehidupan internal organisasi
yang semi militeristik itu harus berhadapan dengan gaya pemolisian sipil secara universal yang
selalu mengacu kepada nilai-nilai dan harkat martabat kemanusiaan, manakala
berhadapan dengan masyarakat (kondisi eksternal organsasi).
Sebagai implikasi dari kesemua hal
diatas, maka Polisi dalam menjalankan semua tugasnya harus lebih mementingkan
pelayanan, yang mengutamakan dialog persuasif, nilai keadilan serta hak asasi
manusia. Bilapun harus melakukan tindakan represif, maka Polisi meskipun
diperbolehkan untuk melakukannya, tetap harus menjadikan tindakan ini sebagai
pilihan terkemudian, jauh setelah berbagai tindakan pendahuluan yang bersifat
persuasif dan dialogis dilaksanakan.
Dalam rangka melaksanakan gaya persuasif dan
dialogis inilah, maka kelembagaan Polisi perlu lebih terbuka dalam berinteraksi
dengan masyarakat. Keterbukaan dalam berinteraksi ini menjadikan kepolisian
sebagai lembaga yang inklusif dalam melakukan berbagai kerjasama dengan
pihak-pihak terkait menyangkut pengelolaan keamanan. Dengan
demikian menjadi jelas bahwa semakin banyak polisi berbaur dengan masyarakat,
maka akan semakin mudah baginya dalam dalam menjalankan tugas.
Karakter
kepolisian yang dikemukakan diatas, merupakan bagian dari karakter kepolisian
sipil yang sudah menjadi tuntutan dalam sebuah Negara demokratis. Polisi
bersosok sipil merupakan prasyarat bagi pembudayaan community policing
sebagaimana dikembangkan dalam buku ini. Polisi sipil tidak dapat dilepaskan
dari perilaku sipil, komunikasi sipil, dialog sipil, ineteraksi sipil dam aspek
lain yang lebih berorientasi pada aspek kemanusiaan ketimbang aspek represif. Oleh
karena itu, sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya yang sangat berorientasi
sipil, maka Polisi membutuhkan adanya beberapa prasyarat seperti; adanya
kedekatan dengan masyarakat, akuntabel terhadap masyarakat (baik dari sisi
kegiatan maupun pengorganisasian), merubah pendekatan kekerasan kepada
pendekatan melindungi, melayani, mengayomi, serta peka terhadap urusan-urusan
masyarakat sipil (responsif, tulus dan tuntas dalam melakukan perlindungan,
pelayanan, dan pengayoman), serta aktf dalam memberikan alternatif keadilan
bagi masyarakat.
Kelima hal
yang dikemukakan diatas membutuhkan kearifan dan ketrampilan sipil yang sangat
kental, yang dapat dibentuk dari pendidikan yang memadai, kehidupan demokrasi
dilingkungan internal yang dijiwai oleh disiplin, serta pengalaman sosial yang
matang dilapangan. Faktanya tidak mudah bagi Kepolisian untuk serta merta
merubah karakter dan menerapkan prinsip-prinsip polisi sipil meskipun sampai
saat ini sudah lebih dari sepuluh tahun Kepolisian lepas dari lembaga militer. Empati
merupakan salah satu landasan utama kemanusiaan sipil yang harus tumbuh
diantara polisi, bukan loyalitas berlebih kepada komando atasan atau
keberhasilan sepihak menurut versi kepolisian semata. Oleh karena itu, waktu
yang sudah sekian tahun mengakarnya budaya militer dalam budaya kepolisian
harus segera dipercepat untuk segera dirubah dalam karakter dan budaya polisi
sipil melalui implementasi community policing.
No comments:
Post a Comment