Kontra argumen terhadap wacana dan pandangan buruk
terhadap Polri dewasa ini tidak dapat diatasi semata-mata dengan menggunakan pendekatan
legalistik formil saja. Karena pendekatan legalistik saja tidak cukup, maka
harus dicari kontra argumen yang bersumber pada paradigma atas jatidiri Polri. Sesungguhnya,
menjadi polisi itu menjadi apa? Menjadi polisi yang “baik” itu seperti apa:
baik hati atau berlaku benar? Benar menurut UU dan aturan hukum yang ada, atau
benar menurut norma dan nilai-nilai sosial, atau benar menurut anggapan,
pandangan, asumsi, dan perasaan publik?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut,
perlu disandingkan paradigma polisi yang lama, dengan paradigma baru yang
seharusnya bukan hanya dipahami, melainkan dihayati (internalized) oleh setiap polisi.
Bagan 2
Sandingan Paradigma Polisi
Paradigma
Polisi
|
|
Lama
|
Baru
|
Status: alat kekuasaan
|
Status: alat negara
|
Eksekusi
kewenangan
|
Pemenuhan
kewajiban
|
Polisi
bagian dari militer
|
Polisi
“Sipil”
|
Pemolisian Reaktif:
Penekanan pada tindakan gakkum
|
Pemolisian
Proaktif:
Pergeseran
dari Gakkum ke Preventif dan Preemtif.
|
Dilayani
|
Melayani
|
FKK sebagai faktor penjelas, lingkungan
strategis
|
IPK sebagai lingkungan strategis yang dapat
diubah melalui perlakuan.
|
Kejahatan sebagai anomali, penyakit sosial
|
Kejahatan
sebagai produk komunitas
|
Polisi
“pembina” masyarakat
|
Polisi
bagian, “mitra” masyarakat
|
Simbol-simbol
|
Substansi
|
Polisi
sebagai Okupasi
|
Polisi
sebagai Profesi
|
Dari alat kekuasaan menjadi alat negara
Di bawah paradigma lama, Polri adalah alat
kekuasaan. Jadi, polisi mengabdi pada kekuasaan politik, atau rejim
pemerintahan yang berkuasa. Itulah sebabnya, dalam sejarah Indonesia modern,
polisi seringkali terlibat dalam berbagai konflik politik.
Polri sebagai alat kekuasaan pernah menjadi
instrumen bagi penguasa rejim politik untuk merebut, membangun, atau
mempertahankan kekuasaan seseorang atau suatu rejim politik. Di bawah paradigma
lama, Polri memang menjadi alat kekuasaan. Sejarah telah menjadi pengalaman
pahit, namun sekaligus sangat berharga untuk mendewasakan Polri.
Di bawah paradigma baru, Polri bukan lagi alat
kekuasaan. Artinya, Polri tidak mengabdi pada seorang penguasa politik
(Presiden, atau yang lainnya) dan tidak boleh dijadikan alat untuk merebut atau
mempertahankan kekuasaan suatu rejim pemerintahan. Polri adalah alat negara.
Jadi, kalau suatu rejim pemerintahan baru muncul, dan kabinet baru dibentuk,
dengan kementerian dan departemen yang ditentukan oleh Presiden sebagai kepala
pemerintahan, maka Polri harus tetap ada.
Sebagai kepala pemerintahan, Presiden RI berhak
melikuidasi suatu departemen yang dianggap tidak sejalan dengan visi dan misi
pemerintahan yang dijalankannya, atau dapat pula membentuk kementerian atau
departemen baru, yang sebelumnya tidak ada, yang dipercaya akan menunjang
pencapaian visi dan misinya. Tetapi, Presiden tidak berhak membentuk “Polri
baru,” apalagi membubarkan Polri. Presiden berkuasa atas Polri dalam kedudukan
Presiden sebagai kepala negara.
Lalu, apakah parameter atau ukuran Polri sebagai
alat negara, dan bukan alat kekuasaan? Parameter terpentingnya adalah hukum.
Mereka yang melanggar hukum, harus ditindak dan ditangani polisi. Mereka yang
berpotensi melanggar hukum, harus dicegah oleh polisi. Dan mereka yang belum
melanggar hukum, harus ditangkal oleh polisi.
Eksekusi
kewenangan menjadi pemenuhan kewajiban
Di bawah paradigma lama, polisi semata-mata
bertindak selaku penegak hukum, sehingga perilakunya lebih mengedepankan kewenangan.
Kewenangan dieksekusi atau dijalankan dengan cara-cara menangkap, menahan,
memeriksa, menetapkan status seseorang sebagai saksi atau tersangka, mengenakan
denda, dan sebagainya. Penekanan pada kewenangan ini menjauhkan polisi dari
masyarakat, karena tindakan polisional dilakukan dengan koersi atau represi. Polisi
menjadi ditakuti, bukan disegani, apalagi dihormati.
Kini dan mendatang, polisi harus lebih menekankan
pemenuhan kewajiban dalam hal pelayanan publik. Pelayanan publik mensyaratkan
wajah ramah polisi, bukan wajah garang pemegang kewenangan. Polisi yang
disegani dan dihormati akan lebih mudah memperoleh kepercayaan masyarakat,
sehingga tugas-tugas kepolisian dapat dilaksanakan dengan lebih baik dari waktu
ke waktu.
Sesungguhnya, mengubah paradigma ini tidak sulit.
Motto Polri adalah “Melindungi, Mengayomi, dan Melayani.” Secara implisit,
motto ini tidak memberikan definisi tentang kewenangan yang harus dijalankan
polisi, melainkan justru sebaliknya, yaitu menekankan pemenuhan kewajiban atau
pelayanan.
Dari
polisi yang militer menuju polisi sipil
Semenjak Polri dipisahkan dari TNI (ABRI), timbul
perdebatan yang tidak produktif, mengenai pengertian “polisi” sipil. Di satu
pihak, ada argumen “polisi sipil” berarti vis-à-vis militer, atau suatu kontras
dan dikotomi sipil-militer, sipil versus militer. Di pihak lain, ada argumen
yang menentangnya. Polisi sipil bukan berarti sipil vs militer. Bahkan ada
suara, tidak ada istilah “polisi sipil,” karena polisi ya polisi, yang bukan
sipil dan bukan tentara.
Sebenarnya, kedua pandangan itu sama-sama tidak
tepat. Sipil merupakan turunan atau terjemahan dari berbagai istilah bahasa
Inggris, yaitu civil, yang berkaitan
maknanya dengan civilian (orang
sipil, bukan militer), civic (warga,
kewargaan, kewarganegaraan), civility
(keadaban), civilization (peradaban),
dan civil itu sendiri (yang dalam
konteks masyarakat, juga dirujuk sebagai “madani”).
Jadi, polisi sipil adalah esensi dari semua makna
tersebut. Pada tataran praksis, paradigma ini diterjemahkan sebagai polisi yang bukan
militer. Artinya, tidak menonjolkan kekuatan fisik. Atau dalam bahasa populer,
tidak militeristik. Penekanan lebih pada individu, bukan kelompok (pasukan:
regu, peleton, kompi, dan seterusnya). Jika “bahasa kekerasan” diperlukan dalam
suatu situasi ekstrem, maka menembak adalah melumpuhkan, bukan membunuh.
Polisi sipil yaitu memenuhi tugas-tugas sebagai
alat negara, khususnya yang berkaitan dengan kehidupan kewargaan. Polisi sipil yang
berhasil akan sukses pula mendorong terbangunnya masyarakat madani. Suatu
masyarakat yang demokratis, beradab dan berkeadaban, sehingga mampu menyumbang
bagi perkembangan peradaban umat manusia.
Dari
pemolisian reaktif ke proaktif
Di bawah paradigma lama, polisi hanya bersifat
reaktif dan kurang proaktif. Sikap reaktif sejalan dengan pandangan, polisi
utamanya, atau semata-mata, adalah penegak hukum yang menerapkan pendekatan
tindakan hukum (gakkum). Jadi, polisi cukup menunggu laporan adanya tindak
kejahatan, dan tidak perlu melakukan upaya yang lebih jauh daripada sekadar
respon terhadap suatu tindak kejahatan.
Di bawah paradigma baru, polisi harus berupaya
menggeser pendekatan, dari penegakan hukum yang merupakan eksekusi kewenangan
menuju ke arah pencegahan dan penangkalan. Tindakan kuratif (menindak)
dikurangi, untuk dilengkapi dengan tindakan preventif (mencegah) dan tindakan
preemtif (menangkal). Namun, ini bukan berarti bahwa polisi tidak perlu
melakukan tindakan reaktif. Juga bukan berarti, bahwa pendekatan pemolisian
reaktif itu jelek atau gagal.
Secara umum, pemolisian proaktif mirip strategi
“menjemput bola” dalam pertandingan sepakbola. Polisi tidak lagi semata-mata
memfokuskan aktivitas di “hilir,” yaitu penanganan suatu tindak kejahatan yang
sudah terjadi, melainkan bergeser ke hulu. Dalam hal yang pertama (penanganan
hilir), polisi hanya menunggu terjadinya tindak kejahatan, lalu menerima
laporan dalam hal delik aduan, atau langsung menangani kalau bukan delik aduan.
Dilayani
atau melayani?
Polri bukan sepotong sejarah yang terlepas dari
masa lampaunya sendiri, maupun dari masa lalu Indonesia. Karena itu, tidak mungkin
memotret dan memandang Polri semata-mata sebagai snapshot, untuk menilai
kondisi polisi masa kini. Salah satu cara melihat potret longitudinal itu adalah melalui
dimensi kultural.
Kultur Polri analog dengan kultur institusi
pemerintahan lainnya. Jadi, kultur polisi harus ditempatkan secara luas dalam
konteks masyarakat, dan secara khusus dalam konteks pemerintahan, dan serta
lebih spesifik lagi dalam konteks kekuasaan (power) dan kewenangan (authority).
Jika Jawa dapat dianggap sebagai kultur dominan yang mendominasi bekerjanya
pemerintahan, maka konsep kekuasaan Jawa, atau kerajaan Nusantara, dapat
dilihat sebagai berikut.
Dalam konsep kerajaan Nusantara—Jawa pada
khususnya—kekuasaan itu berasal makro kosmos atau Illahiah. Kekuasaan bukan
berasal dari rakyat, melainkan “dari langit” yang mewujud dalam diri penguasa
(Raja atau Presiden—dalam konteks Polri, Kapolri). Kemudian, wujud kekuasaan
itu menurun ke pejabat atau atasan, dan turun terus ke pejabat di bawahnya. Karena
itu, pangkat dan jabatan lebih dipandang sebagai “anugerah” atasan, dan bukan
karena pencapaian (achievement).
Dengan konsep hierarki kekuasaan dan kewenangan
seperti itu, maka pelayanan berarti melayani atasan. Kepada bawahan, pejabat
meminta loyalitas, pengabdian, dan pelayanan. Karena itu, “pelayanan” selalu
diartikan kepada atasan, dan bukan ke samping, apalagi kepada bawahan. Konsep
seperti ini menyulitkan perubahan sikap dan perilaku manakala pelayanan harus
diberikan kepada publik atau orang-orang yang status sosialnya lebih rendah.
FKK, IPK
dan kejahatan sebagai produk komunitas
Di bawah paradigma lama, faktor-faktor di luar
kriminalitas itu sendiri diperlakukan sebagai faktor lingkungan strategis yang
berpengaruh terhadap terjadinya tindak kejahatan. Dalam ilmu kepolisian,
faktor-faktor itu disebut Faktor Korelatif Kriminogen (FKK). Meskipun
diperhitungkan sebagai dimensi yang berpengaruh terhadap kriminalitas, FKK
dianggap berada di luar domain kepolisian.
Dalam perkembangannya, FKK ditata sebagai
Infrastruktur Penanggulangan Kejahatan (IPK) sehingga data-datanya dapat
dimanfaatkan secara langsung untuk penanganan kriminalitas. Jadi, sudah ada
perkembangan tentang perlakuan atas lingkungan strategis untuk menekan angka
kriminalitas. Tetapi, pada tahap ini IPK tetap bukan domain kepolisian yang
memerlukan fokus perhatian.
Paradigma baru kepolisian—pemolisian
proaktif—memandang faktor-faktor lingkungan strategis tersebut dapat atau harus
diperlakukan sebagai domain kepolisian, jika berpengaruh langsung terhadap
kriminalitas. Pemahamannya, tanpa peningkatan kesejahteraan, terciptanya
keadilan, dan peningkatan kualitas hidup secara keseluruhan, maka potensi
kriminalitas akan tinggi. Karena itu, polisi harus mendorong upaya-upaya
perbaikan kualitas hidup sehingga sumber-sumber kejahatan pun diminimalisir.
Dalam kerangka pemahaman yang sama, paradigma lama
menganggap, bahwa kejahatan itu adalah penyakit sosial sebagai suatu anomali
yang harus diberantas. Karenanya, tidak mengherankan jika muncul pandangan,
bahwa kejahatan hanya mungkin terjadi jika ada niat dan kesempatan (NK). Di
bawah paradigma baru, faktor-faktornya jauh lebih kompleks daripada sekadar NK.
Kejahatan benar-benar menjadi “a mirror of civilization.”
Dari
pembina menjadi mitra masyarakat
Di dalam paradigma lama, masyarakat adalah
“target” pemolisian. Karena konteks sejarah—Polri bagian dari ABRI/militer—maka
masyarakat harus dibina, harus digalang, harus dimobilisasi. Pada waktu itu,
Polri adalah salah satu kekuatan pertahanan nasional, sehingga
komponen-komponen masyarakat pun perlu dimobilisasi sebagai kekuatan cadangan
pertahanan, dalam menghadapi musuh dari luar.
Itulah sebabnya, istilah atau penamaan
Binkamtibmas atau Babinkamtibmas merupakan mobilisasi masyarakat dan penguatan
komponen pertahanan. Kata kuncinya adalah “pembinaan,” mobilisasi dan penguatan
ketahanan masyarakat, dalam konteks bela negara dan pertahanan (nasional). Begitu
pula struktur organisasi Polri, yang dirancang untuk mobilisasi kekuatan secara
cepat. Mobilisasi secara efektif dan cepat memerlukan sentralisme, atau
struktur yang sentralistik.
Di bawah paradigma baru, Polri menekankan pada
diskresi sebagai norma kepolisian universal, dan administrative discretion. Jika di dalam tata pemerintahan sipil
dikenal konsep-konsep otonomi daerah, desentralisasi, dan dekonsentrasi
(kekuasaan tetap di tangan pusat, tetapi kewenangan administratif diberikan ke
daerah), maka Polri kemudian menerapkan strategi serupa. Langkah kongkretnya
berupa penetapan Polda sebagai Kesatuan Induk Penuh (KIP) dan Polres/ta sebagai
Kesatuan Operasional Dasar (KOD).
Strategi tersebut akan mendorong pergeseran ke
arah perlakuan atas masyarakat. Dari mobilisasi berubah menjadi partisipasi, dan
dari penetapan masyarakat sebagai target pemolisian menjadi “masyarakat sebagai
mitra kepolisian.” Istilah mitra pun sesungguhnya belum tepat, karena polisi
adalah bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat. Polisi hanya salah satu
komponen masyarakat, sehingga yang tepat adalah “polisi bagian dari masyarakat”
dan “polisi bermitra dengan komunitas atau komponen masyarakat lainnya.”
Simbol
dan substansi
Di bawah paradigma lama, dengan sentralisme
kekuasaan dan kewenangan, dengan pelayanan yang berorientasi kepada atasan dan
bukan kepada masyarakat (apalagi bawahan), maka tercipta struktur hierarki
kewenangan yang sangat ketat. Hierarki
seperti itu memerlukan simbol-simbol kekuasaan, sehingga tidak terganggu dan
dapat bekerja secara efektif.
Simbol-simbol tersebut muncul dalam bentuk seragam
yang “garang,” lambang-lambang jabatan dan ikon yang seram, dan simbol-simbol
lain. Contoh yang sangat mencolok adalah “tongkat komando,” yang diwarisi dari
tradisi militer. Makna yang tersirat dari keberadaan tongkat komando adalah
hierarki perintah, dan ini bertentangan dengan asas diskresi yang menjadi inti
dari norma kepolisian universal.
Di bawah paradigma baru, simbol-simbol tersebut
tetap diperlukan, namun secara bertahap digeser ke makna substantif. Apa yang
tersirat dari suatu simbol perlu diberi makna ulang supaya lebih sesuai dengan
paradigma baru. Misalnya, pengajaran tentang lencana kepolisian, yang
sebelumnya dipandang sebagai “lambang kewenangan” diganti dengan “lambang
kewajiban,” karena simbol tersebut menyatakan “perlindungan dan pelayanan” yang
sepadan dengan istilah dalam norma kepolisian universal, yaitu “to serve and to
protect.”
Penutup:
Polisi itu Siapa, atau Apa?
Siapakah polisi itu? Atau dalam kalimat lain,
sesungguhnya menjadi polisi itu apa? Pertanyaan seperti ini menjadi sangat
relevan dengan perubahan atau pergeseran paradigma kepolisian. Dalam paradigma
lama, menjadi polisi pada umumnya adalah menjalani suatu pekerjaan. Jadi,
polisi adalah okupasi, pekerjaan. Titik.
Di bawah paradigma baru, polisi adalah profesi,
sebagaimana halnya dengan dokter. Sebagai profesi, maka “roh polisi” melekat
pada diri setiap anggota Polri. Roh polisi itu tidak dibatasi oleh ruang dan
waktu, karena memerlukan pengabdian secara total. Jika tidak siap menjadikan roh
polisi sebagai jatidiri profesi, jangan menjadi polisi!
Rangkuman pembelajaran hidup di Kepolisian, semoga berguna bagi saya pribadi..
No comments:
Post a Comment