Wednesday, October 17, 2012

Supremasi Hukum


Supremasi Hukum

Supremasi hukum berarti segenap tindakan Negara ditundukkan pada hukum (rechstaat), bukan pengoperasionalan kekuasaan semata-mata (machtstaat).   Ini berarti tidak semuanya melanggar hak-hak rakyatnya, apalagi sewenang-wenang.  Demikian pula warga juga harus patuh kepada hukum, dan pelanggaran atasnya (hukum public) memberikan wewenang pada negara untuk mencampurinya, atau wewenang bagi perseorangan untuk melakukan gugatan.

Dalam kaitan ini, sistem hukum dibentuk, dikembangkan sebagai pranata manusia secara utuh.  Sistem Hukum menurut Lawrence Friedman, terdiri atas struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum.  Struktur hukum terdiri atas pembuat UU, lembaga penegak hukum, termasuk badan peradilan, sementara substansi hukum terdiri atas UU secara berjenjang (UUD atau konstitusi, UU, Perpu, PP, Perpres, dst).  Substansi ini tidak boleh saling bertentangan, karena berada dalam suatu piramida (stufenbau) menurut Hans Kelsen.

Adapun budaya hukum adalah berkenaan dengan perilaku dan penghayatan hukum dalam sistem sosial.  Dengan demikian supremasi hukum bukan sekedar penegakan hukum semata, atau lebih sempit lagi Polisi, namun orang awam melihat hukum itu dalam praktek nyata sehari-hari.  Dan karena Polisi sebagai penegak hukum jalannya, yang nampak dan dirasakan oleh warga masyarakat sehari-hari, maka harapan yang diletakkan dipundak polisi atas supremasi hukum sering kali berkelebihan.

Dalam konteks masyarakat demokrasi, penegakan hukum hendaknya dipandang sebagai perlindungan atau pemulihan hak warga yang terlanggar, karena fungsi hukum pada hakekatnya adalah melindungi hak (protecting right).   Penegakan hukum bukan sekedar drama kekerasan lawan kekerasan, atau pembalasan dendam, namun lebih merupakan sarana pemulihan keseimbangan yang terganggu.  Pada berbagai masyarakat adapt sebelum masa kolonialisme Belanda, nenek moyang bangsa Indonesia juga menganut paham pemulihan keseimbangan ini, didalam penyelesaian perkara hukumnya.

Polisi oleh hukum diberi wewenang penggunaan kekerasan jika terpaksa (if necessary), dengan tujuan penyelamatan dan penertiban masyarakat.  Wewenang ini hanya dioperasionalkan secara terbatas (bukan penggunaan kekerasan total yang dimiliki oleh TNI/ Militer).  Karenanya, etika profesi kepolisian diharapkan dapat menghindarkan petugas Polisi dari emosi dan semangat keagamaan, atau semangat sekitar lainnya.   Dalam pelaksanaan tugasnya Polri diharapkan mengoperasikan semangat kebangsaan dan semangat kemanusiaan.

Dalam konteks supremasi hukum ini, ditingkat lokalitas Polisi yang memiliki ketrampilan komunikasi sosial (social and human skill) akan mampu melakukan dialog-dialog dengan warga guna memperoleh makna kolektif (collective meaning) atas berbagai cita-cita hukum yang tidak jarang kontrobersial (antinomi).  Makna kolektif yang sama secara luas dapat mengurangi ketegangan, perlawanan, yang pada akhirnya berimplikasi pada menurunnya penggunaan paksaan dan kekerasan oleh petugas Polisi.

No comments:

Post a Comment