Supremasi Hukum
Supremasi
hukum berarti segenap tindakan Negara ditundukkan pada hukum (rechstaat), bukan
pengoperasionalan kekuasaan semata-mata (machtstaat). Ini berarti tidak semuanya melanggar hak-hak
rakyatnya, apalagi sewenang-wenang.
Demikian pula warga juga harus patuh kepada hukum, dan pelanggaran
atasnya (hukum public) memberikan wewenang pada negara untuk mencampurinya,
atau wewenang bagi perseorangan untuk melakukan gugatan.
Dalam kaitan ini, sistem hukum dibentuk,
dikembangkan sebagai pranata manusia secara utuh. Sistem Hukum menurut Lawrence Friedman,
terdiri atas struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum. Struktur hukum terdiri atas pembuat UU,
lembaga penegak hukum, termasuk badan peradilan, sementara substansi hukum
terdiri atas UU secara berjenjang (UUD atau konstitusi, UU, Perpu, PP, Perpres,
dst). Substansi ini tidak boleh saling
bertentangan, karena berada dalam suatu piramida (stufenbau) menurut Hans
Kelsen.
Adapun budaya hukum adalah berkenaan dengan
perilaku dan penghayatan hukum dalam sistem sosial. Dengan demikian supremasi hukum bukan sekedar
penegakan hukum semata, atau lebih sempit lagi Polisi, namun orang awam melihat
hukum itu dalam praktek nyata sehari-hari.
Dan karena Polisi sebagai penegak hukum jalannya, yang nampak dan
dirasakan oleh warga masyarakat sehari-hari, maka harapan yang diletakkan
dipundak polisi atas supremasi hukum sering kali berkelebihan.
Dalam konteks masyarakat demokrasi, penegakan
hukum hendaknya dipandang sebagai perlindungan atau pemulihan hak warga yang
terlanggar, karena fungsi hukum pada hakekatnya adalah melindungi hak
(protecting right). Penegakan hukum
bukan sekedar drama kekerasan lawan kekerasan, atau pembalasan dendam, namun
lebih merupakan sarana pemulihan keseimbangan yang terganggu. Pada berbagai masyarakat adapt sebelum masa
kolonialisme Belanda, nenek moyang bangsa Indonesia juga menganut paham
pemulihan keseimbangan ini, didalam penyelesaian perkara hukumnya.
Polisi oleh hukum diberi wewenang penggunaan
kekerasan jika terpaksa (if necessary), dengan tujuan penyelamatan dan
penertiban masyarakat. Wewenang ini
hanya dioperasionalkan secara terbatas (bukan penggunaan kekerasan total yang
dimiliki oleh TNI/ Militer). Karenanya,
etika profesi kepolisian diharapkan dapat menghindarkan petugas Polisi dari
emosi dan semangat keagamaan, atau semangat sekitar lainnya. Dalam pelaksanaan tugasnya Polri diharapkan
mengoperasikan semangat kebangsaan dan semangat kemanusiaan.
Dalam konteks supremasi hukum ini, ditingkat
lokalitas Polisi yang memiliki ketrampilan komunikasi sosial (social and human
skill) akan mampu melakukan dialog-dialog dengan warga guna memperoleh makna
kolektif (collective meaning) atas berbagai cita-cita hukum yang tidak jarang
kontrobersial (antinomi). Makna kolektif
yang sama secara luas dapat mengurangi ketegangan, perlawanan, yang pada
akhirnya berimplikasi pada menurunnya penggunaan paksaan dan kekerasan oleh
petugas Polisi.
No comments:
Post a Comment