Mengapa
tak juga tuntas penyelesaian masalah di beberapa daerah pasca konflik Indonesia ? Perkaranya
karena terjadi kesalahan dalam penanganan keamanan, sejak dari cara berpikir
hingga pilihan kebijakan. Kita-kita ini biasanya mengatakan situasi “aman dan
terkendali”. Jika keadaan diduga akan meledak polisi dan tentara siap
berjaga-jaga.
Sementara sebagian pejabat pemerintahan sipil mengatakan,
daerahnya aman karena tidak ada lagi kerusuhan atau perang antar warga dengan
korban mati. Jika masih ada bom sesekali, dianggap biasa. Citra aman seperti
itu lalu jadi “kesepakatan” umum. Orang (khususnya di pusat kekuasaan di Jawa)
baru kaget ketika daerah pasca konflik meledak lagi, seperti yang terjadi di
kota wilayah Ambon Ambon dan Papua beberapa waktu yang lalu, dengan korban
tewas puluhan orang. Karena itu, situasi aman yang dibayangkan hanya ilusi.
Keamanan (fisik) adalah suatu kondisi atau prasarat dasar
untuk aktifitas pembangunan pasca konflik, seperti pembangunan ekonomi, sosial,
politik. Jika keamanan tak terjamin, pegawai negeri tak bisa bekerja; pedagang
dan investor tak berani datang; petani tak bisa ke ladang; nelayan tak bisa
melaut. Produk rakyat tak terbeli, pengangguran tidak terdidik meningkat, api
kekerasan mudah disulut lagi.
Keamanan karena itu harus dicapai. Sayangnyan ada salah
pikir dalam soal mendapatkan rasa aman itu. Persoalan keamanan sudah jadi
monopoli aparat pemerintah, militer dan polisi. Orang sipil berpikir, keamanan
bukan tanggungjawabnya.
Secara teori ini jelas salah karena keamanan tidak hanya
urusan tentara atau polisi. Dalam negara sebuah negara, urusan keamanan adalah
urusan polisi, tapi, melepas sendiri polisi tanpa keterlibatan masyarakat yang
lain, untuk bekerja menuntaskan persoalan keamanan di daerah pasca konflik,
selain tidak bijak, juga tidak benar. Anggota masyarakat mestilah dilibatkan
karena mereka punya sumber daya dan keahlian.
Dalam banyak hal, di beberapa daerah pasca konflik
kita-kita dianggap tak punya strategi yang jelas untuk menangani keamanan. Pertanyaannya
apakah kita punya indikator yang bisa digunakan untuk mengatakan bahwa situasi
pasca konflik itu aman…????
Kita sebagai pimpinan kewilayahan termasuk rekan-rekan
TNI selalu mengatakan: situasi aman. Indikasinya tak ada lagi orang bertempur.
Tak ada lagi orang berkelahi. Tak ada bom dan tembakan. Kenyataannya, seperti
rusuhnya lagi Ambon sebagai contoh; dengan pemicu yang kecil saja, masyarakat
sudah siap untuk kembali berperang. Hanya dalam hitungan jam, mereka berkumpul
dengan parang di tangan. Senapan rakitan dan organik, yang selama ini
disembunyikan di kebon-kebun dan di rumah-rumah penduduk, siap ditembakkan
lagi.
Keamanan memang rentan karena ada masalah yang tidak
serius ditangani. Yaitu tidak dilakukannya demobilisasi dan pelucutan senjata (disarmament). Pemerintah
juga tidak melakukan perencanaan keamanan jangka panjang menyangkut3 hal:
1. mengidentifikasi persoalan keamanan,
2. mengidentifikasi aktor atau pelaku yang berhubungan
dengan sektor keamanan. Dan,
3. menyusun strategi bedasar 1 dan 2 itu.
Satu pesoalan utama keamanan di daerah pasca konflik
adalah sulitnya mobilitas dari satu wilayah ke lain wilayah.
Berdasarkan beberapa literatur yang saya baca memberikan
sebuah kesimpulan bahwa persoalan utama sektor keamanan di daerah adalah tidak
adanya disarmament policy (kebijakan
pelucutan senjata) Ini jadi masalah karena begitu orang terpicu emosinya,
mereka akan dengan mudah melakukan mobilisasi dan menggunakan senjata yang
masih disimpan.
Pemerintah memang belum ada konsep untuk ini. Memang
acapkali diperlihatkan adanya proses penyerahan senjata oleh masyarakat pada
aparat, sebagaimana nampak di siaran TV. Tapi itu hanyalah sebagian kecil
senjata, itupun hanya senjata tua, rusak, berkarat atau tidak terpakai lagi. Senjata
yang masih bermanfaat dan bagus, masih disimpan untuk jaga-jaga.
Mungkin kita perlu belajar dari Negara2 lain (penulis
bekerja di Markas Besar PBB dan beberapa misi PBB seperti Darfur Sudan dan Ex
Jugoslavia mengikuti proses ini sebagai bagian pelaksanaan tugas). Dari contoh
di beberapa Negara lain, kita belajar bahwa masyarakat sebetulnya besedia
melakukan disarmament kalau pemerintah punya konsep. Pelucutan senjata pada
dasarnya tidak hanya sekedar menyerahkan senjata, tapi terkait juga dengan persoalan
ekonomi.
Di Colombia, pelaksaan disarmament di lapangan dilakukan
sampai ke tahap yang demikian praktis. Misalnya, penyerahan 3 pucuk senjata
diganti dengan 1 buah jeans. Celana jeans merupakan kebutuhan utama buat petani
yang hidup di hutan-hutan Colombia. Di Wajir, Kenya, penduduk yang menyerahkan
sejumlah senjata akan mendapat ganti seekor sapi. Sapi di Wajir merupakan
kebutuhan pokok bertani, meladang maupun diambil susunya. Di Indonesia, kebijakan seperti
ini tidak dilakukan.
Mengapa pemerintah harus memberi kompensasi ekonomi atas
penyerahan senjata itu. Karena senjata harus dibeli. Senjata rakitan sekalipun,
untuk membuatnya dibutuhkan biaya untuk membeli pipa besi dan serbuk mesiu. Apalagi
senjata organik yang harus dibeli dari militer, polisi, atau pedagang senjata
sipil yang biasanya menuai untung dalam situasi kekerasan.
Di Ambon, milisi (pasukan siluman) Haruku, Ambon, harus
menyelam ke dasar laut untuk mengambil sisa-sisa senjata peninggalan jaman
Jepang. Jadi tidak gratis senjata itu.
Karena itu, harus ada policy yang jelas mengenai
pelucutan senjata, tidak hanya membuat senjata yang ada di tangan penduduk bisa
ditarik, tapi juga bisa menciptakan ekonomi penduduk meningkat dengan adanya
sapi, perahu ketinting, bibit, dan faktor produksi lainnya.
Berkaitan dengan upaya demobilisasi pasukan perang yang
dibentuk masyarakat, kita juga harus paham siapa sesungguhnya mereka. Hampir
semua pasukan perang baik Laskar Jihad maupun Laskar Kristus adalah adalah anak
muda umur 15-25 tahun. Mereka adalah kelompok umur yang boleh dikatakan tak
memiliki “resiko” apapun untuk bergabung menjadi milisi selain resiko untuk
diri sendiri. Mereka tak takut mati. Dan, tak ada tanggungan keluarga dan tak
ada harta hilang yang perlu dirisaukan. Kalau dilakukan mobilisasi, apa
kompensasinya buat kelompok usia seperti itu?
Berangkat dari pengalaman di Wajir, Kenya, para mantan
milisi yang dimobilisasi direkrut sebagai pasukan keamanan yang
bertanggungjawab terhadap keamanan desa mereka di bawah koordinasi pemerintah
desa. Wajir adalah sebuah desa sumber air yang jadi rebutan antar suku sejak
lama. Dari perang antar suku, kemudian merembes ke perang agama dan sebaliknya.
Dengan mobilisasi, para mantan milisi itu, tetap Nampak gagah dan merasa
diperlukan. Mantan milisi seusia itu, selain memiliki persoalan ekonomi juga
punya persoalan identitas yang harus dipikirkan.
Pada awalnya, bisa diserahkan untuk dididik polisi, tapi
kemudian diserahkan ke desa. Mereka sebaiknya digaji, meskipun sedikit, tapi
gaji juga menunjukkan ada penghargaan, pengakuan atas status, dan itu penting
secara psikologis. Menempatkan mereka sebagai penjaga keamanan desa
masing-masing dengan dukungan gaji atau honor dari pemerintah, akan lebih murah
dibandingkan harus menempatkan pasukan brimob atau tentara. Sementara citra
bahwa suatu daerah sudah aman, tercapai.
Tentu ada pelajaran lokal, misalnya dari Wayame, sebuah
desa di pulau Ambon. Sampai sekarang desa ini masih dihuni oleh dua komunitas.
Memang ada faktor geopolitik yang mendukung keamanan desa. Wayamo terletak
persis di sebelah kompi AD, dan dekat dengan instalasi Pertamina. Keamanan
kuat. Tapi, di luar itu desa ini juga membangun mekanisme sendiri agar tetap
aman dan mix dengan memberdayakan tokoh islam dan kristen. Raja (kepala desa
adat) Wayame menyerahkan otoritas keamanan desa selama masa konflik pada tim 20
yang terdiri dari tokoh-tokoh agama (Islam dan Kristen) tokoh pemuda, juga
tokoh intelektual. Yang tinggal di desa Wayame, rata-rata memang orang
terdidik, dari pegawai negari sampai para dosen universitas, serta kelas
menengah lain.
Beberapa contoh peraturan, sangsi dan penegakan peraturan
bisa disebutkan di sini. Tim 20 inilah yang melakukan klarifikasi kalau ada
rumor akan terjadi penyerangan terhadap desa Wayame dari keluarga tertentu.
Menghukum pemuda mabuk dan mengatur serta terlibat langsung ronda kampung
setiap malam. Pemuda mabuk adalah salah satu sebab konflik. Tim 20 Wayame
memutuskan, jika yang mabuk kristen, yang menghukum pendeta, jika yang mabuk
Islam yang menghukum imamnya. Jika Wayame akan diserang kelompok kristen, maka
yang maju pasang badan pendeta. Jika yang akan menyerbu kelompok Islam, yang
pasang badan sang imam. Dan kalau ada orang desa Wayame ikut menyerang desa
lain dia akan kena sangsi. Kalau dia mati maka dia tidak berhak dikubur di
desanya. Mati tak terkubur di desa asal adalah sebuah aib buat orang Ambon.
Dengan demikian maka Wayame sempat jadi contoh menarik
bagaimana dalam situasi konflik, di desa ini tetap memiliki pasar dimana orang
Islam dan Kristen bebas berjual beli hasil pertaian, dan hasil laut. Kekuatan
wayame adalah adanya mekanisme, institusi, juga sangsi. Adanya mekanisme,
institusi dan juga sangsi yang bisa dipegang adalah pelajaran penting dari
Wayame.
Dari pengalaman di Wajir, Kenya, mantan milisi yang sudah
dilatih sebagai petugas perdamaian, akan lebih mudah meyakinkan ibu-ibu, yang
juga terlibat sebagai pendukung perang atas alasan balas dendam. Mereka juga
lebih bisa meyakinkan pemuda, dan orang-orang yang lain, termasuk anak-anak
dari desanya untuk meletakkan senjata dan menghentikan perang. Para pemuda
itulah yang nantinya akan memfasilitasi dialog-dialog internal dan ekternal
dengan proses yang lebih nampak natural.
Jika saja usulan ini dilaksanakan, salah satu yang harus
diwaspadi adalah korupsi. Misalnya, jika dana pelucutan senjata mobilisasi
dikorupsi. Korupsi dana kompensasi untuk pelucutan senjata dan mobilisasi,
pasti akan menjadi sumber konflik baru. Karena itu mungkin pemberian kompensasi
dipikirkan kecocokannya, apakah berupa uang atau natura (sapi, perahu, bibit
tanaman dll). Selain itu, jika aparat pemerintah belum efektif sebagai imbas
konflik, bisa dipertimbangkan untuk bekerjasama dengan LSM atau lembaga-lembaga
internasional yang bekerja di wilayah konflik.
No comments:
Post a Comment