Reformasi Belum Selesai..
Menyikapi
berbagai dinamika di tanah air, saya mulai berfikir tentang berbagai isu
masalah pengelolaan keamanan dalam negeri yang dilakukan oleh Polri saat ini
dan dimasa depan.
Saya
yakin tulisan ini akan banyak mendapatkan pro dan kontra, namun seperti dahulu
sebelum reformasi, ketika ada wacana Polri tidak dibawah ABRI, juga terjadi
resistensi tinggi dikalangan tertentu yang faktanya ternyata dengan dorongan
reformasi menelurkan keputusan berpisahnya Polri dari TNI.
Pemikiran
yang saya lontarkan ini adalah bagian dari proses reformasi kepolisian
yang yang tak pernah berhenti tentunya. Sebagai mana kita ketahui pemisahan
Polri dari TNI yang dituangkan dalam TAP MPR No. VI/1999 dan TAP MPR No.
VII/1999 pada dasarnya adalah untuk mengubah kelembagaan polisi. Reformasi
membawa Polri ke dalam wajah baru, dari semata alat keamanan menjadi komunitas
keadilan, dari ”polisi yang militeristik” menjadi ”polisi sipil”, menjunjung
tinggi HAM, sepenuhnya di bawah otoritas pemerintahan sipil demokratis,
mandiri, serta menjalankan peran dan fungsinya secara profesional.
Reformasi
Polri yang dicanangkan dua belas tahun lalu, dan dirumuskan dalam Blue Paper yang berjudul Reformasi Menuju
Polri yang profesional dianggap oleh sebagian kalangan bahwa proses tersebut
belum mampu diejahwantahkan dalam operasional Polri.
Banyak
permasalahan yang masih dihadapi Polri diantaranya kebijakan politik yang
kurang mendukung, juga perubahan paradigmatik di internal Polri tidak berjalan
dengan baik. Permasalahan-permasalahan itu dapat di jabarkan lagi antara lain;
1. Kondisi di lingkungan Polri sendiri
nampak ada suatu dilema antara belum terkikisnya paradigma dan budaya militer
dalam organisasi, dengan trauma reposisi yang masih membayanginya.
2. Keberadaan Polri langsung di bawah
presiden, menyebabkan Polri terposisikan dirinya sebagai lembaga yang
memproduksi kebijakan dan operasionalnya sekaligus (ditandai Polri mengeluarkan
Perkap; seperti Permen). Kedudukan Polri ini digugat banyak pihak
karena menimbulkan kekuatiran adanya politisasi.
3. Format Polri sebagai kepolisian
nasional ini menyebabkan pemenuhan segala kebutuhan dan operasional Polri
ditanggung oleh pemerintah pusat. Ketergantungan anggaran pada pemerintah pusat
menyebabkan panjangnya birokrasi yang harus dilalui.
4. Kendala Anggaran. Upaya membangun
Polri yang mandiri dan profesional membutuhkan dukungan anggaran yang memadai.
Saat ini anggaran dari APBN Polri dirasa belum mencukupi. Hal ini menyebabkan
ada anggapan Polri mencari anggarannya sendiri dan hal ini di dukung oleh UU Polri
dimana tidak secara eksplisit menegaskan anggaran Polri berasal dari APBN,
kecuali anggaran untuk Komisi Kepolisian Nasional. Pada akhirnya, banyak
kalangan yang menduga bahwa sumber anggaran off-budget dari pos masyarakat menjadi titik
lemah dalam akuntabilitas dan transparansi.
5. Rasio perbandingan jumlah anggota
Polri dengan jumlah penduduk. Sebenarnya agak riskan kalau kita menggunakan
logika rasio, namun faktanya dilapangan, para Kasatwil benar-benar merasakan
bahwa mereka kekurangan anggota untuk melaksanakan tugas Pemolisian secara
ideal. Saat ini rasio anggota Polri dengan masyarakat masih berkisar antara
1:750 hingga 1: 1000. sedangkan idealnya 1:350 (dalam artian ini adalah rasio
yang sesungguhnya tergelar dilapangan, bukan termasuk yang di fungsi pembinaan
dll). Rasio perbandingan yang tidak merata ini menyulitkan Polri dalam
menjalankan tugas, khususnya pada Pemolisian Masyarakat (Community Policing)
dan Babinkamtibmas.
Permasalahan di atas menuntut adanya solusi agar
institusi Polri tetap berjalan pada rel reformasi yang benar. Seperti kita
ketahui, bahwa perubahan itu adalah suatu yang tidak dapat dihindari sejalan
dengan perkembangan jaman. Bahkan kata orang bijak, kalau kita tidak mau
berubah, maka akan ada pihak lain yang akan merubah kita.
Dalam rangka menghadapi berbagai perkembangan kekinian
tersebut, kiranya perlu ada langkah-langkah yang bisa di ambil diantara lain;
1. Menghilangkan trauma masa lalu Polri
di bawah saudara tua (TNI) yang membayangi langkah Polri dalam menata
kelembagaannya. (faktanya, TNI selalu jadi bayang-bayang terus diakui atau
tidak). Isu terakhir bahkan TNI sudah bukan jadi bayang-bayang lagi tapi sudah
menjadi hantu ditandai dengan hasil MOU yang ditandatangani antara Panglima TNI
dengan Ketua KPK berkaitan dengan upaya pemberantasan korupsi.
2. Berikutnya, apakah kita perlu
memikirkan untuk memposisikan lembaga polisi pada suatu lembaga yang terlepas
dari bayang-bayang kekuasaan presiden yang memicu kecemburuan antar lembaga
yang menjalankan fungsi keamanan dan pertahanan. Pada negara demokratis, posisi
polisi selalu berada dalam bentuk penyelenggara operasional, apakah di bawah
departemen terkait, membentuk departemen sendiri, atau membuat kementerian yang
khusus mengurusi masalah keamanan dalam negeri.
Hal ini akan mempertegas kemandirian Polri. Dengan berada
di dalam departemen sendiri, intervensi presiden dapat tersaring, sehingga
tidak akan mengganggu konsolidasi internal Polri. Seperti dalam kasus Penarikan
Penyidik KPK ini, apabila secara politis Presiden merasa terganggu, bisa saja
Presiden melakukan langkah-langkah politis yang berdampak kepada ketidak
mandirian Polri. Sejarah sudah membuktikan, bahwa jatuhnya Presiden GusDur pada
tahun 2002 lalu disebabkan oleh mosi tidak percaya DPR terhadap keputusan
Presiden mengganti Kapolri Bimantoro dengan Chaeruddin Ismail yang berakibat
pada ”perpecahan” di tubuh Polri.
3. Kita memang sudah mulai
mempertimbangkan perlunya pendelegasian wewenang ke daerah dalam bentuk
desentralisasi manajemen dan efisiensi anggaran. Apabila selama ini kekurangan
anggaran dibantu dari Partisipasi Teman (Parman), Partisipasi abu-abu (Parbu),
maupun Partisipasi Masyarakat (Parmas), yang tentu saja dianggap bersifat
negatif karena tidak transparan dan menjurus pada kriminal (sebagaimana diatur
dalam UU Tipikor), maka perlu di buat desentralisasi manajemen, Polri di
tingkat Polda, maupun Polres untuk bisa mendapatkan anggaran yang resmi dari
APBD setempat.
Hal ini dimungkinkan karena kepala daerah memiliki garis
koordinasi dan manajemen kepada Polri di daerahnya. Dengan demikian dikemudian
hari, sejalan dengan sistem otonomi daerah yang diterapkan di negara ini,
pengelolaan keamanan bisa menjadi bagian dari pertanggung jawaban para kepala
daerah dalam upaya mewujudkan kelanjutan pembangunan daerah..
Intinya Pembangunan itu berpengaruh kepada keamanan dan
keamanan juga mempengaruhi pembangunan didaerah bukan..???
Kalau dalam terminology militer, mereka memiliki Menteri
Pertahanan (Minister of Defence), Selain Panglima TNI dan Para Kepala Staf TNI
AD, AL,AU, maka dalam konsep keamanan dalam negeri, kita bisa memiliki
Kementrian Keamanan (Minister of Security). Agak aneh memang, namun hal ini
jauh lebih baik daripada tiba-tiba para politisi dan akademisi mengambil
langkah yang tidak inginkan seperti memerger kita kedalam Kemendagri, atau
Kemenkumham dan lain-lain.
Lalu apa saja tugas kementrian Keamana ini? Banyak
sekali, dari mulai merumuskan kebijakan politik keamanan nasional, kebijakan
anggaran, analisa strategis nasional, regional maupun internasional, kerjasama
lintas departemen, sampai pada pengelolaan sistem pembinaan karier, termasuk
dipanggil rapat bolak balik oleh DPR, sehingga Polri lebih fokus kepada masalah
operasional saja.
Coba bayangkan Polri saat ini, anggota Polri yang Cuma
sedikit ini, banyak yang tersedot ke fungsi fungsi anggaran, logistik,
keuangan, perencanaan dll sehingga, selalu saja ada kebutuhan untuk mengisi
jabatan-jabatan tersebut. Sementara itu, sebagian besar dari kita-kita ini
tidak dibentuk dan diciptakan untuk mengisi jabatan-jabatan tersebut, sehingga
membutuhkan proses pembelajaran yang tidak mudah untuk mendapatkan orang-orang
yang ahli dalam fungsi-fungsi seperti contoh diatas.
Yang lebih hebat lagi, ini juga bisa sebagai sebuah ruang
terbuka bagi para pejabat Polri untuk mengembangkan karier lebih lanjut dimana
ruang penugasan di Polri menjadi lebih luas.
Dalam konteks personil yang mengawaki kementrian ini,
tentunya bisa saja diisi oleh pejabat kepolisian aktif maupun siapapun yang
diatur dalam UU. Dengan demikian, apabila dikemudian hari ada berbagai kendala
permasalahan yang dihadapi oleh Polri, maka tugas kementrian inilah yang
menjembatani permasalahan ini agar anggota Polri dilapangan tidak dibenturkan
secara langsung dengan para permasalahan tersebut, sehingga mereka lebih konsen
melaksanakan tugas dengan baik.
Bayangkan para Kapolres dan Kasatwil saat ini menanggung
beban pekerjaan yang luar biasa. Dia harus mampu menjadi Ahli Anggaran (sbg
KPA), ahli politik (hadir di acara-acara undangan protokoler), ahli TPTKP
(hadir di TKP), ahli Lalulintas (macet di operasi Ketupat), ahli Penerangan
(berhadapan dengan media), ahli akademis (berhadapan dengan mahasiswa), ahli
reserse (harus mengarahkan penyidikan), ahli nujum (harus mampu meramal kapan
bom meledak) dan ahli segala ahli lainnya termasuk ahli kepemimipinan, dan ahli
terima tamu (pasti banyak yang komplain kalau kapolres susah ditemuin). Ini
artinya Kapolres harus orang super, padahal kalau kita lihat dari sisi yang
lain, ini adalah potensi kelemahan bagi kejatuhan seorang pejabat, karena di
dunia ini sejatinya tidak ada orang yang sempurna.
Jujur saya menulis ini karena kegundahan saya melihat TNI
yang sudah mulai membuat Konsep Keamanan Nasional dalam perspektif mereka yang
pada ujungnya lagi-lagi akan bersentuhan dengan kewenangan kepolisian.. Mereka
punya institusi dimana kebijakan tersebut dirumuskan dan diperkuat dengan
anggaran yang cukup untuk menggolkan itu semua, dan kita Polri selalu menjadi
sasaran gebuk dari itu semua.
Selain gebukan TNI, masih banyak gebukan-gebukan lain
yang menghantam Polri, karena memang Polri ini sasaran pukul yang paling mudah
diserang dari berbagai posisi. Rentang masalah yang ditangani polisi terlalu
luas, dari sandal jepit sampai terorisme, dari maling ayam sampai korupsi
milyaran, dari urusan rumah tangga sampai urusan konflik komunal, dari urusan
Ribut tetangga sampai sengketa pemilu, dari urusan penghinaan sampai urusan
pembunuhan, dari urusan demo sampai penggusuran, dari urusan pemalsuan sampai urusan
cybercrime, dari urusan kisruh pemilihan Lurah sampai urusan Pilpres,, weleh2
ngetiknya aja capek, apalagi ngeberesinnya, belum lagi kalau ada yg komplain,
diperiksa atasan, propam, irwasda, komnas ham, sampai penyidik, wasrik yang
bertubi2 dll sudah menguras energi operasional yang bisa membuat para anggota
terkulai sebelum bertanding..
Kata Mantan Kapolda saya pada saat saya Kompol dulu,
Bagaimanapun kuatnya kita, kalau digebukin tiap hari, dan tidak ada perlawanan,
lama-lama bisa KO juga... (lah yang melawan aja bisa KO, apalagi yang tidak
melawan?)..
Tindakan paling gampang, adalah apatis, masing2 individu
cuek yang penting cari selamat, tapi membuat Polri sbg institusi sll
terjermbab.
Oleh karena itu, supaya ini tidak terjadi, mari kita
lawan,, caranya..???? Seperti lagu klasik, ayo mainkan hal-hal yang mendasar
ditengah-masyarakat, kecil tapi besar, karena dilaksanakan secara konsisten..
Kembali ke kittah pekerjaan kita.. Tulus, responsif dan tuntas.. Turjagwali
secara baik, menerima laporan dengan tulus, mendatangi tkp dg responsif,
menyelesaikan masalah dg tuntas, melaksanakan gak tib dengan nurani,
melaksanakan gakkum secara obyektif, melakukan upaya paksa dengan baik dan
benar, dan sebagainya..
Reformasi belum selesai..
No comments:
Post a Comment