Saturday, October 27, 2012

Kisah Lima Orang Srikandi Polri di Tanah Darfur






Kiprah perempuan-perempuan tangguh selama mengemban tugas di Darfur, Sudan.

Tak hanya mengirimkan 139 polisi lelaki yang tergabung dalam kontingen Police Formed Unit (FPU), Mabes Polri juga mengirimkan delapan orang Police Advisor (PA) ke Darfur, Sudan dibawah komando UNAMID.

Dari delapan PA itu, lima orang adalah polisi wanita (Polwan). Bagaimana kiprah para perempuan tangguh itu? Berikut laporan Farouk Arnaz.



"Des, kamu bersihkan sepatumu ribuan kali pun tak akan berpengaruh. Medan di sini berpasir, bukan di office. Sepatu kita toh akan kotor lagi," kata Brigadir Rusiana Kartika Sari kepada rekannnya Briptu Dessy Christina di klinik Garuda Kamp kontingen FPU Rabu (24/10) pagi waktu setempat.



Mendapat "protes" dari rekannya, Dessy tetap kukuh dan tetap cuek meneruskan aktivitasnya membersihkan sepatu hitamnya dengan tisu basah. 



Sejurus kemudian, Nana--nama panggilan Rusiana -- itu pun sibuk dengan dirinya sendiri. Dia tak kalah seru mempersiapkan dirinya siang itu. Gincu dipulaskan di bibir.

Maklum saja, kendati di tengah gurun sekalipun, dimana-mana, perempuan tentu ingin tampil sempurna.

Bau wangi parfum meruap memenuhi udara di klinik yang dibuat dari kontainer berpendingin udara itu. 

Rabu ini memang ada momen istimewa yang akan digelar di Kamp Garuda di El Fasher, Darfur : upacara Medal Parade.

Itu adalah upacara pemberian medali kepada semua peace keeper yang telah berdinas di UNAMID minimal 6 bulan. Joint Special Representatives and Deputy Mission Chief of staff Miguel Martin hadir dalam acara itu bersama petinggi UNAMID lainnya.



Tak ketinggalan, para kontingen dari negara lain, baik polisi maupun tentara, yang tergabung dalam UNAMID juga diundang. Makanya semua anggota FPU dan PA sengaja bersiap maksimal di acara spesial ini. Heboh. Yang FPU mengenakan Pakaian Dinas Lapangan Gurun dan yang PA mengenakan Pakaian Dinas Upacara I.

Tarian Indonesia pun telah dipersiapkan untuk menyambut para tetamu.

Nana menceritakan jika nasib baik yang membawanya ke Darfur itu terjadi tiga tahun lalu saat dirinya mendaftar tes untuk seleksi sebagai PA di Mabes Polri.

Lolos Seleksi di Mabes Polri
Pendaftaran itu awalnya di level Mabes Polri dengan materi seleksi kemampuan berbahasa Inggris, komputer, kesehatan jiwa, dan psikologi.
 Nana yang masih betah membujang meski sudah ditaksir empat orang PA dari berbagai negara itupun lulus.

Dia yang selama ini berdinas di Divisi Hubungan Internasional Polri ini kemudian di tes oleh utusan khusus PBB yang terbang langsung ke Jakarta dari markas mereka di New York, Amerika Serikat.



"Hampir sama juga materinya, tapi ditambah tes mengemudi kendaraan roda empat 4 WD, dan menembak dengan revolver. Alhamdullilah, saya lulus tes dan nasib membawa saya kemari," tambah perempuan asal Wonogiri, Jawa Tengah ini.



Lain Nana, lain lagi cerita Dessy. Polisi kelahiran 4 Desember 1987 di Pekanbaru, Riau ini mengatakan jika dirinya terpilih menjadi PA berbarengan dengan Nana. Seingatnya, di awal-awal seleksi di Mabes Polri, dia berkompetisi dengan 130 an Polwan lainnya yang dikirim untuk mengikuti tes dari seluruh Indonesia.



"Antara percaya tak percaya, saya lolos tes. Saya tak punya bayangan apapun tentang Darfur pada saat-saat di awal seleksi itu. Namun dari yang dipaparkan dulu, ternyata kondisi di sini lebih baik. Saya kerasan," tambahnya.



Hanya saja, tak semua hal menyenangkan buat mereka--karena faktor budaya. Khususnya faktor perilaku dari para PA dari negara-negara lain. Misalnya saja main cipika cipiki atau memeluk.

Sehari-hari, Dessy tidak berdinas di El Fasher melainkan di Al Geneina, sekitar satu jam terbang menggunakan helikopter.

 Selain Nana dan Dessy, tiga orang PA perempuan lainnya yaitu AKBP Yeni Windarti, AKBP Yuli Cahyanti, dan AKP Elisabet Mutiara.

Sebenarnya, selain lima orang yang perempuan ini, juga ada tiga orang lelaki sebagai PA yakni AKP Rachmat Insan, Iptu Awaluddin Wijaya, dan Briptu Boby Adisaputra.



Untuk para PA mereka tidak tinggal di dalam kamp, melainkan tinggal di rumah sewaan yang dicari dan dibayar oleh mereka sendiri, meski mereka harus memenuhi standar UN seperti adanya penjaga keamanan, teralis, dan genset.



Deassy serumah dengan Elisabet di Al Geneina (bersama dengan dua orang PA asal Nigeria dan seorang sipil dari Zimbawe), sedangkan Nana, Yeni, dan Yuli tinggal di El Fasher.

 Yang paling senior dari para polisi perempuan tangguh itu adalah Yeni.

Ibu dua orang anak itu menceritakan jika tugas dari PA berbeda dengan FPU, dimana PA secara umum bertugas memberikan perlindungan kepada para civillian dan memberikan perlindungan kepada para pengungsi (IDP,s-Internally Displaced Person alias orang-orang terlantar) yang dilindungi UNAMID.



Salah satu kesibukan PA adalah berpatroli ke kamp IDP untuk memberikan rasa aman kepada para pengungsi supaya tidak diserang oleh para pemberontak. Para pemberontak menjadikan pengungsi itu sasaran untuk pemerkosaan dan perampokan, juga diusir, sebagai cara untuk memperluas daerah kekuasaan.


Dukungan dari Keluarga
Yeni mengatakan jika niatnya berangkat ke Darfur didukung penuh oleh suami dan anaknya.

 Apakah berat meninggalkan keluarga? "Dalam batin, tentu meninggalkan keluarga adalah hal berat. Tapi saya bisa ke sini juga menunggunya kan sudah lama, yakni dua tahun. Maka saya harus lakukan tugas ini dengan penuh tanggungjawab dan ini adalah waktu yang terlama bagi saya meninggalkan keluarga," kata ibu dari dua orang ini.



Awal kali pertama datang, Yeni menceritakan, jika dia terenyuh dengan situasi di Darfur yang berbeda dari Indonesia dimana kondisi perempuan dan anak-anak yang sangat memprihatinkan.

Contohnya ada seorang ibu yang harus mencari air dengan jarak jauh dari tempat tinggalnya untuk mendapatkan tujuh jerigen air dibantu anak-anaknya sementara sang suami bermain kartu.



"Ada ibu yang membuat batu bata, dengan menggendong anak di belakang punggungnya. Peristiwa sedih ini kadang membuat saya ingat anak saya dan di sisi lain saya melihat bapak-bapaknya tidak melakukan apa-apa kecuali main kartu. Dominan anak-anak dan perempuan yang bekerja di sini," kata polisi kelahiran 1964 ini.

Sedangkan Elisabet yang biasa dipanggil Sabet punya cerita lain.

Polwan yang berasal dari Polda Sumatera ini menambahkan jika dirinya mendaftar sebagai PA sejak tahun 2009 saat dirinya masih berdinas di Ditreskrim Satpikor Polda Sumut. 

"Saya ingin perubahan suasana karena sudah enam tahun berdinas di Polda Sumut setelah lulus dari Perwira Polri Sumber Sarjana (PPSS) tahun 2002. Akhirnya lolos. Saya juga ingin merasakan bagaimana berinteraksi secara internasional," tambahnya.



Apakah faktor gaji jadi pemicu keinginan mendaftar jadi PA? Dengan jujur, Sabet menjawab,"Saya tak terbayang jika gaji saya akan sebesar ini sebelumnya. Saya mendapat sekitar US$4000 per bulan yang bisa saya tabung dan gunakan untuk travelling. Seperti saya kemarin sempat ke Uganda. Itu karena pesawat UN yang ke sana gratis.

"

Dalam setahun mereka mempunyai hak cuti selama 86 hari. Hak ini berbeda dengan anggota FPU yang hanya mendapat gaji US$1100 per bulan dan cuti 30 hari pertahun.

Salah satu PA perempuan yang selalu menggunakan hak cuti adalah Yuli. Selama dua bulan sekali dia pulang ke Jakarta mengambil hak cuti selama 17 -19 hari. Dia akan cuti lagi pada Desember nanti.



"Waktu saya cuti, maka saya akan gunakan waktu saya full untuk mereka. Suami saya itu orang yang well informed dengan perang dan senjata. Dia tahu bahaya di Darfur itu seperti apa, makanya dia sarankan saya tinggal di dalam super camp (milik UNAMID) tapi belum bisa karena penuh," sambungnya.



Perwira kelahiran Jombang, Jawa Timur pada 1970 ini melanjutkan jika ketertarikannya untuk ikut UNAMID adalah karena dia ingin melayani untuk kemanusiaan--bukan sekadar karir atau pride.

Pengalamannya saat mengikuti konferensi polisi wanita di Afghanistan tahun 2007 yang digelar oleh UN membuat dirinya tertarik untuk mengikuti misi PBB demi kemanusiaan mengalahkan rasa takutnya.

 Soal manusia itulah yang membuatnya harus meneteskan air mata.

Ceritanya, sebelum cuti September lalu, dia pergi ke lokasi dia bertugas sebagai PA urusan Family and Child Protection di El Geneina. Di sana dia menemukan ada seorang perempuan yang hendak melahirkan.



Rumah sakit itu sendiri kondisinya sangat minim. Peralatannya sederhana, ruangnya terbuka, tanpa AC. Meski di antara hidup dan mati, menurut Yuli, perempuan yang dia tolong itu tak berteriak kesakitan sama sekali.



"Belakangan saya tahu, kerasnya hidup, beratnya dia bekerja, melatih dirinya untuk tidak menangis karena sakit," tambah perwira yang berkomunikasi tiap hari dengan keluarga di rumah melalui telepon skype, facebook, dan whatsapp ini.



Tak heran memang, semua cerita heroik dari para duta Indonesia ini--termasuk FPU--mendapat acungan jempol dari Miguel Martin dalam sambutannya.

 "Kalian inilah yang merupakan "duta besar" Indonesia yang sebenar-benarnya. Kontingen Indonesia termasuk kontingen yang terpercaya, handal, dan profesional sejak awal. Kalian selalu bekerja dengan senang dan antusias," katanya.



Saat Martin berpidato, Duta Besar Indonesia untuk Sudan dan Eritrea, Dr Sujatmiko, yang hadir dalam acara itupun menganggukan kepala. Pak Dubes yang kenyang pengalaman menjalani penugasan di beberapa negara ini tampak setuju.



"Insyaallah akan ada tambahan PA lagi tahun ini atau depan. Mungkin sekitar 12 atau 14 orang, tapi saya tak janji apakah akan ada perempuannya lagi. Yang jelas perempuan di Indonesia dalam posisi setara dengan lelakinya."


Sumber:

http://www.beritasatu.com/mobile/perempuan/79560-kisah-lima-orang-srikandi-polri-di-tanah-darfur.html

No comments:

Post a Comment