Saya baru saja membuka-buka Perkap Nomor 14, 2012. Ada sebuah catatan kecil yang ingin saya
sampaikan disini.
Dalam Pasal 14 disebutkan tentang
(1) Penyidikan tindak pidana dilaksanakan
berdasarkan Laporan Polisi dan surat perintah penyidikan.
(2) Laporan Polisi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) yang diterima Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) atau
Siaga Bareskrim Polri dibuat dalam bentuk Laporan Polisi Model A atau Laporan
Polisi Model B.
(3) Setelah Laporan Polisi dibuat,
penyidik/penyidik pembantu yang bertugas di SPKT atau Siaga Bareskrim Polri
segera menindaklanjuti dengan melakukan pemeriksaan terhadap pelapor dalam
bentuk berita acara pemeriksaan saksi pelapor.
Bila kita cermati dengan seksama,, dan bila pasal 14 ini
dipedomani betul oleh para petugas Polri yang berada di SPKT,, maka beberapa
langkah yang akan dilakukan oleh mereka ketika menerima pengaduan masyarakat,
antara lain yaitu:
1) Pelapor datang, diterima dengan 3S
(senyum sapa salam)
2) Setelah itu pelapor akan diinterogasi
secara singkat tentang peristiwa yang dilaporkan termasuk tentang identitas
pelapor.
3) Petugas mencatat dalam kertas kosong
tentang peristiwa yang dilaporkan tersebut
4) Petugas menanyakan “barang bukti”
ataupun “alat bukti” lain yang sekiranya bisa dijadikan dasar mendukung laporan
tersebut.
5) Ada kalanya petugas meminta pelapor
kembali lagi mebawa “barang bukti” yang dibutuhkan tersebut (sebenarnya ini
tugas penyidik)
6) Setelah petugas memahami peristiwa yang
dilaporkan, maka dia akan membuka-buka KUHP ataupun peraturan perundang2an yang
lain untuk memastikan pasal yang akan diterapkan dalam LP (bayangkan disini,
petugas SPKT sudah bisa menentukan pasal yang disangkakan, sementara
penyelidikan saja belum dilakukan)
7) Kalaupun petugas SPKT tidak memahami
pasal yang disangkakan, ybs akan berkonsultasi dengan para penyidik untuk
mengetahui pasal apa yang disangkakan dan “dituliskan” di dokumen LP
8) Selanjutnya petugas mulai duduk
didepan computer, mengetik LP tersebut sambil bertanya ulang tentang peristiwa
yang dilaporkan kepada saksi korban.
9) Setelah LP selesai dibuat, maka
petugas mencetak LP tersebut dan menyodorkan kepada pelapor untuk dibaca ulang
dan ditandatangani,
10) Setelah
selesai menandatangani LP, maka petugas SPKT membawa korban ke piket reskrim
untuk dilakukan pemeriksaan dan dibuat BAP (Pasal 14 ayat 3)
11) Kembali
lagi piket reskrim menanyakan dari awal duduk masalah yang dialami oleh
pelapor,.,
12) Pelapor
kembali menjelaskan ceritanya untuk yang kesekian kali..
13) Setelah
agak paham duduk masalahnya, maka petugas piket reserse kembali duduk didepan
computer untuk membuat BAP.
14) Kembali
lagi pertanyaan yang sama diulang kepada pelapor tentang identitas pelapor, apa
yang dilaporkan, siapa yang disangkakan, dimana peristiwanya dsb…
15) Setelah
itu BAP dibacakan kembali kepada pelapor dan diperbaiki bila ada yang tidak pas
16) Selanjutnya
BAP ditanda tangani
17) Dan
pelapor dibuatkan surat tanda penerimaan laporan
18) Pelapor
diantar dengan senyum sapa salam keluar ruangan
Kalau
ditelisik secara mendalam rangkaian proses diatas, maka aka ada beberapa
kondisi kritis yang menyertai proses pelaporan tersebut, yaitu:
Pertama;
Seramah-ramahnya
ataupun secepa-cepatnya pelayanan,, proses diatas membutuhkan waktu yang cukup
lama dan berbelit. Kalau hal ini kita lakukan survey kepada mereka secara
tertutup dan dilakukan bukan oleh Polri, maka kita akan dapatkan jawaban yang
mencengangkan bahwa proses pelaporan ini membutuhkan waktu yang cukup lama.
Kedua:
Ada
satu titik kritis dimana petugas seperti “tidak perlu merasa bersalah” apabila
mereka menerima laporan, dan mereka tidak mendatangi TKP., karena dalam
prosedur penerimaan Laporan di perkap tersebut, tidak dijelaskan kewajiban/ keharusan/
saran untuk mendatangi TKP
Ketiga:
Apabila
kita mengacu kepada pendekatan “titik kepuasan” maka akan terlihat bahwa ketika
langkah2 diatas diikuti dengan penuh rasa tanggung jawab oleh para petugas di
SPKT, mereka dianggap telah melakukan pekerjaan dengan mengikuti prosedur,
namun hasilnya apakah akan membuat para “pelanggan kita” menjadi puas akan
pelayanan Polri...????
Apalagi,,,
kalau ternyata petugas pelayanan melaksanakan pekerjaannya dengan mental,
kemampuan dan sarana yang tidak kapabel,, bisa dibayangkan kualitas jasa yang
kita berikan kepada para pelapor..
Cobalah
kita andaikan kalau diri kita yang menjadi korban kejahatan, misalnya kita
sebagai pihak yang kehilangan mobil/ sepeda motor. Segera setelah kita
kehilangan kendaraan tersebut maka, kita akan lari ke kantor polisi terdekat
untuk membuat Laporan Polisi.
Faktanya,
setelah kita lari ke kantor polisi delapan belas langkah seperti diatas lah
yang akan kita hadapi sebagai korban. Berapa lama kira-kira waktu yang
dibutuhkan untuk menyelesaikan proses tersebut? Dan apa hasil yang kita
dapatkan sebagai korban? Hanya sebuah Surat tanda penerimaan Laporan? Sementara
apa harapan tertinggi korban ketika mereka melaporkan peristiwa pidana?
Mari
kita elaborasi tingkat harapan korban kehilangan kendaraan.
Ketika
mereka melaporkan peristiwa yang dihadapi apakah kira2 harapan tertinggi
mereka? Pelaku tertangkap?
Menurut
saya bukan. Harapan tertinggi kita ketika kita melapor ke Polisi adalah
kendaraan kita kembali dengan utuh ketangan kita. Namun apakah polisi bisa
melakukan itu?
Kalaupun
polisi tidak bisa melakukan itu, syukur-syukur kita harapkan polisi bisa
membantu menangkap pelakunya? (sebenarnya banyak pelapor yang tidak peduli,
apabila polisi bisa menangkap atau tidak menangkap pelakunya) Bagi mereka itu
urusan polisi untuk menangkap pelaku, bagi mereka urusan mereka tetaplah barang
bisa kembali.
Permasalahannya,
apakah Polisi mampu mengembalikan barang mereka yang dicuri? Apakah polisi
mampu menangkap pelaku curanmor tsb? Kalau saya berkaca kepada diri saya
sendiri, maka jujur saya katakana tidak lebih dari 5 persen kasus curanmor yang
terungkap selama saya bertugas di kewilayahn. Dan hanya sedikit sekali barang
bukti yang bisa kita temukan apalagi kita kembalikan kepada pemiliknya.
Ini
artinya, Polisi tidak bisa memenuhi harapan tertinggi dari para pelapor. Pada
titik ini polisi tidak bisa memenuhi tingkat “kepuasan pelanggan” spt yang
diharapkan.
Jadi
mari kita sebagai korban menurunkan sedikit harapan kita, kita lapor karena
berharap setidaknya kalaupun barang kita tidak bisa ketemu, ya sukur2 ada surat
pengantar ke Asuransi bahwa kita telah kehilangan ranmor.
Nah
disini lagi-lagi proses panjang menghadang kita dari mulai BAP, sampai resume
dan…… harus ada surat pengantar dari Polda… OMG (Oh My God)… Bagaimana kita
bisa puas kalau proses panjang ini menghadang kita?
Memang
sulit menggabungkan antara prosedur formal dan tingkat kepuasan. Ini sangat
paradoksal karena seperti sisi mata uang yang tak saling ketemu.
Mungkin banyak dari manajer kepolisian yang melakukan langkah-langkah inovatif dilapangan dalam
menyikapi fenomena Prosedur vs Pelayanan. Namun yang berbahaya adalah ketika
inovasi kita membuat orang senang, maka mereka akan disebut sebagai orang yang
inovatif, dan bila berdampak kepada permasalahan,, maka mereka akan menghadapi
pelanggaran prosedural…
Sementara itu upaya
kreativitas dan inovasi yang diupayakan seringkali terhambat oleh pagar
mekanisme birokrasi yang begitu mengungkung. Pertanyaan yang kemudian harus
dicarikan jawaban tentunya seringkali berkutat kepada berbagai hal yang akan
menguras energi kedalam organisasi Polri sendiri, sehingga akibat langsung dari
berbagai upaya perubahan yang dilakukan seringkali malah berdampak kepada
menurunnya kinerja pelayanan.
Fenomena seperti itulah yang
terlihat dikantor-kantor kepolisian, sehingga “kepuasan
pelanggan”seringkali terabaikan. Berbagai upaya peningkatan pelayanan
selalu dilakukan namun perbandingan percepatan peningkatan yang dilakukan oleh
para manajer kepolisian seringkali sulit dibandingkan dengan tingkat percepatan
permintaan akan rasa kepuasan masyarakat pelanggan yang dilayaninya. Kualitas
pelayanan Polri sebenarnya meningkat cukup pesat sejalan dengan berbagai perubahan
yang dilakukan. Namun apa yang telah dilakukan tersebut seolah-oleh menjadi
sia-sia ketika kita membuka jendela organisasi Polri secara jujur untuk melihat
bagaimana upaya yang dilakukan tersebut cukup dapat diterima oleh masyarakat.
Pertanyaan yang kemudian
mengemuka adalah apakah strategi perubahan yang telah dilakukan oleh Polri
selama ini belum dapat menjawab tantangan perubahan yang terjadi di masyarakat
ataukah memang ada sesuatu yang belum dilaksanakan dalam upaya Polri
meningkatkan kemampuan pelayanannya. Pertanyaan tersebut menjadi beban seluruh
unsur kepolisian dari level atas sampai terbawah untuk menjawabnya. Namun beban
terberat ada pada para manajer kepolisian untuk mewujudkan upaya terbaik dalam
meningkatkan pelayanan.
Model pelaksanaan tugas
kepolisian secara universal pada umumnya dibagi menurut pembagian kewilayahan
dan pembagian kerja. Struktur pembagian yang sedemikian rupa secara efektif
menghasilkan lokasi-lokasi pelayanan seperti provinsi dengan Poldanya, kota/
kabupaten dengan Polresnya serta kecamatan dengan Polseknya. Setiap satuan
kewilayahan tersebut mempunyai lapis kemampuan yang berjenjang namun pada
prinsipnya mereka melakukan pelayanan kepolisian yang sama yaitu dalam rangka
melindungi masyarakat serta menegakkan hukum dalam rangka menjaga keamanan dan
ketertiban masyarakat.
Pelaksanaan tugas yang
dilakukan oleh Polri, tidak bisa dipungkiri pada hakekatnya merupakan sebuah
rangkaian kegiatan pengelolaan jasa pelayanan yang dilakukan oleh negara. Polri
adalah alat negara dalam melaksanakan tugasnya memberikan jasa dibidang
keamanan kepada masyarakat warga negaranya seperti negara memberikan jasa-jasa
lainnya dibidang pendidikan, kesejahteraan, pertahanan, kesehatan, dan
sebagainya.
Sebagai
pengelola pelayanan jasa dibidang keamanan, Polri dituntut untuk melakukan
pekerjaannya secara professional dan prosedural layaknya pengelolaan
usaha-usaha pelayanan lainnya. Selama ini kita terlena dengan kultur birokrasi
dimana usaha pengelolaan negara merupakan sebuah monopoli, sehingga lambat laun
terjadi degradasi kultur kemampuan pelayanan karena miskinnya persaingan dari
kompetitor.
Upaya perubahan yang
dilakukan oleh Polri dalam upayanyanya lebih professional merupakan sebuah
tugas yang sangat kompleks. Namun pada prinsipnya berbagai upaya perubahan yang
dilakukan setidaknya harus berorientasi kepada dua hal yaitu perubahan dalam pengelolaan
manajemen kepolisian serta perubahan dalam pengelolaan
keamanan sebagai sebuah produk jasa yang dihasilkan oleh Polri. Kedua hal tersebut diatas merupakan
dua sisi mata uang yang tidak bisa berdiri sendiri dan tidak terpisahkan satu
sama lain. Institusi kepolisian dalam level manapun yang terkelola dengan baik
tidak akan ada artinya manakala output produk yang dihasilkannya tidak sesuai
dengan harapan masyarakat pelanggannya. Begitu pula sebaliknya sebuah
permasalahan keamanan tidak dapat tertangani dengan baik apabila sebuah
institusi kepolisian yang terlibat didalamnya tidak terdukung dengan manajemen
yang baik.
Dimasan depan kedua
orientasi perubahan tersebut merupakan prioritas utama yang harus kita hadapi.
Manajemen Kepolisian yang kita laksanakan harus sejak dini mengevaluasi
tantangan perubahan eksternal yang terjadi untuk segera dilakukan berbagai
penyesuaian sehingga tantangan permasalahan kepolisian yang semakin kompleks
dan berkembang dapat dikelola secara optimal dalam rangka menghasilkan kualitas
pelayanan terbaik kepada masyarakat pelanggannya.
Bandingkalah
dengan fenomena yang terjadi saat ini di kota Aurora, Denver Colorado, Amerika.
Peristiwa
tersebut berkaitan dengan penembakan terhadap 70 penonton dan menewaskan 12
orang pada pertunjukan perdana Film Batman "The Dark Knight Rises".
Peristiwa penembakan terjadi hari Jumat tanggal 20 Juli 2012, dan ternyata,,,
empat hari kemudian tanggal 23 Juli 2012,, sang pelaku "the Joker"
James Holmes sudah duduk menjalani sidang perdana, pembacaan tuntutan,,, luar
biasa..
Salam
Hormat
No comments:
Post a Comment