Bersiaplah Menjadi Kalkun..
Kita tentu pernah mendengar comfort zone atau zona nyaman, atau bahkan kita tidak sadar
telah sekian lama berada dalam zona nyaman tersebut. Namun, pada dasarnya, zona
nyaman adalah suatu kewajaran dan alamiah. Sekilas, tampaknya tidak ada yang salah
dengan zona nyaman ini.
Seperti namanya, zona nyaman adalah
sebuah zona atau wilayah pertumbuhan di mana kita merasa nyaman melakukan
aktivitas di dalamnya. Biasanya, hal ini disebabkan kita sudah terbiasa
melakukan aktivitas tersebut, sehingga tidak lagi merasakan ketakutan atau
kegelisahan, juga tidak perlu bersusah payah menyelesaikannya. Ada sebuah kutipan
yang berisi, there is no growth in comfort zone and there is no comfort in
growth zone ( Tidak ada pertumbuhan di zona
nyaman dan tidak ada kenyamanan dalam zona pertumbuhan).
Semua orang ingin selalu berada di
zona nyaman bukan?
Dalam konteks Mikro:
Sejak kita
dilahirkan, kita dilatih untuk senantiasa berada dalam zona nyaman, daerah yang
nyaman dan terlindungi. Kita diberi ASI dan dicukupkan segala keperluannya oleh
orangtua. Dilindungi dari kepanasan dan kedinginan, didekap dan dicium dengan
penuh kasih sayang. Itu semua adalah zona nyaman yang kita rasakan sejak awal
terlahir ke dunia. Lalu, waktu beranjak dewasa dan
mengusik zona nyaman kita. Alam dan lingkungan telah berubah, mau tidak mau
kita harus bisa cepat beradaptasi lagi. Misalnya, setelah kita agak besar,
orangtua akan berhenti memberi ASI dan mulai menyuruh kita untuk bisa mandiri.
Perubahan ini membuat kita “tidak nyaman” karena zona nyaman kita terusik.
Sebagai bentuk keterusikan, kita akan protes, demo, dan tidak menerima. Namun,
setelah menjalaninya selama sekian lama, akhirnya kita bisa menerima dan
menganggapnya sebagai zona nyaman yang baru.
Mari kita simak narasi lanjutan dari
tulisan ini..
Cobalah kita
lihat rata-rata jalur perjalanan karier yang "ingin" dilalui oleh
sebagian besar dari kita disini. Semuanya berharap dapat melalui jalur jalan
yang secara terminologi tidak resmi kepolisian diakui sebagai jabatan ”basah”
dan menghindari jabatan ”kering”. Karena jabatan basah dianggap sebagai sebuah
zona nyaman dan jabatan kering dianggap sebagai ”zona tidak nyaman”. Akibatnya ada steorotifikasi jabatan,
- bahwa jabatan operasional adalah basah, sedangkan
jabatan non-operasional adalah jabatan kering;
- bahwa di kewilayahan adalah basah di staf dan lemdik
adalah kering;
- bahwa di Polda tertentu adalah enak dan Polda lain
adalah tidak enak,
- bahwa yang berhubungan dengan pelayanan kepada Polisi
rejekinya dari polisi yang dilayani; dan yang berhubungan dengan masyarakat,
rejekinya dari masyarakat yang dilayani;
dan sterortifikasi lain-lainnya. Zona-zona nyaman
sebagaimana contoh diatas, ternyata selama ini diciptakan oleh kita melalui
proses karsa dan rasa selama bertahun-tahun., sehingga memunculkan sebuah
perspektif antara lain perwira/ anggota Polri tertentu merasa terpakai dan yang
lain merasa terbuang/ terpinggirkan karena jabatan/ posisi nya tidak
sebagaimana yang dianggap diatas.
Dan parahnya, ada sebagian dari kita yang menganggap bahwa zona
nyaman itu (yang kita pernah tempati/ kita sedang tempati/ kita harapkan akan
tempati/ kita nanti-nantikan untuk ditempati) ternyata merupakan sebuah
zona nyaman semu yang bukan saja dapat menjerumuskan kita sebagai individu,
juga dapat mendelegitimasi peran kelembagaan Polri dalam Sistem Administrasi
kenegaraan maupun dalam tataran kehidupan berbangsa lainnya. Akibatnya, kalau
kita menengok pada upaya reformasi kultural yang sedang dilaksanakan Polri saat
ini, maka kita bisa melihat betapa beratnya reformasi ini berjalan karena
dipengaruhi oleh faktor diatas.
Faktor tersebut yang kemudian secara perlahan menjadi
kejanggalan "pedoman nilai" dan "mengarahkan" pada pola
tindak dan perilaku manusia-manusia Polri (sebagaimana konsep Budaya Pak
Parsudi Suprlan). Akibat dari semua itu, menjadi tidak mengherankan bahwa
jabatan dan posisi bukan lagi dianggap sebagai amanah, namun dianggap sebagai
"berkah" ataupun "hak" yang harus diraih sebisa-bisanya
ataupun sudah menjadi haknya dan dipertahankan sekokoh mungkin kala dirasa
jabatan atau posisi tersebut masuk dalam katogori zona nyaman (baca: jabatan
basah/ bergengsi) seperti contoh diatas. Saling silang sikut adalah biasa,
susah melihat orang senang juga biasa, dan juga lebih senang lagi kalau melihat
orang susah.
Sama juga dalam lingkungan lebih Makro, dalam
konteks Polri:
Sejarah membuktikan bahwa Polri lahir sejak jaman
kemerdekaan yang lalu. Namun fakta baru, sejarah juga membuktikan bahwa sebagai
Polri yang Polisi sipil baru lahir pada masa Reformasi pada tahun 1999 saat
pemisahan Polri dari ABRI. Ini berarti bahwa Polri masih sedang dalam masa
pertumbuhan untuk betul-betul mentransformasi dirinya sebagai Polisi Sipil.
Umur kita sebagai Polisi Sipil baru 13 tahun, namun masyarakat sudah tidak
sabar menantikan sebuah kedewasaan baru dari kita dengan meninggalkan
"zona nyaman perlindungan dari kewenanagn kekuasaan" yang selama ini
dinikmati.
Banyak kalangan sekarang menilai ”zona nyaman Polri”
mulai terusik dengan keberadaan KPK. Hal itu bisa terjadi karena Polri selama
ini sangat berperan dalam berbagai interaksi kehidupan bangsa dan semenjak ada
KPK, Polri dipandang sebelah mata oleh banyak pihak. Namun kalau dicermati apakah tidak sebaliknya? Bahwa justru
”zona nyaman KPK” yang terganggu dengan ketegasan Polri terakhir ini? Apakah
para komisioner KPK sadar, bahwa sejarah dari lahir, merangkak hingga
berdirinya KPK sampai sekokoh ini ada pengaruh dan peran keikhlasan Polri
didalamnya? Mengapa mereka pada akhir-akhir ini merasa tidak nyaman dengan keberadaan
Polri? sehingga mereka secara smoothly mengurangi peran pelibatan anggota Polri
dalam level atas, dan dengan hanya menyisakan peran kecil Polri pada level
pelaksana.
Bayangkan betapa kinerja mereka
sangat terpengaruh oleh kekuatan penyidik yang faktanya sebagian besar dari
penyidik itu adalah rekan-rekan kita dari Polri namun peran penyidik itu
dikecilkan kala mereka menuai pujian masyarakat dan dibesarkan kala mereka
berhadapan dengan masalah. Yang dimaksud dengan peran penyidik dikecilkan ini adalah
misalnya kala mereka berhasil dalam sebuah kasus, maka dalam berbagai
propaganda tiada pernah sedikipun menyebutkan peran keberhasilan penyidik yang
notabenenya anggota Polri. Sedangkan yang saya maksud dengan peran penyidik
dibesarkan dan dimunculkan adalah ketika terjadi masalah, mereka selalu
berdalih: ”kami tidak dapat bekerja dengan baik karena kekurangan penyidik”.
Ini adalah kata-kata bualan yang sebenarnya mereka mencoba mengalihkan
kegagalan mereka pada pihak lain (Polri). Disisi lain ini sebenarnya
menunjukkan bahwa sebenarnya mereka butuh institusi Polri yang selama 10 tahun
sangat besar perannya.
Kalau kita mau mencermati dengan seksama
perkembangan kondisi tanah air dewasa ini, maka akan terlihat bahwa zona Nyaman
KPK mulai terganggu, oleh konsistensi Polri yang bersikukuh meminta KPK
mengembalikan pinjamannya. Saya selalu percaya, bahwa konsistensi itu adalah
kunci kekuatan. Seperti cerita saya kemarin, Polri harus kuat, karena dengan
kekuatan-lah disitu letak kemampuan kita melayani masyarakat.
Namun disisi lain, apakah Polri bisa merebut
momentum ini untuk mengembalikan "polling kepercayaan masyarakat?"
Lagi-lagi tak bosan-bosanya saya sampaikan bahwa dalam konteks ini dibutuhkan
konsistensi luar biasa dari kita-kita untuk memainkan lagu klasik
"tindakan kecil tapi besar artinya' ditengah-tengah masyarakat..
Biarlah lagu Rock itu sekali-kali berdengung dan dimainkan oleh
group-group besar. Silahkan mereka menciptakan lagu baru untuk memberi hiburan
para penggemarnya, namun Percayalah itu akan berakhir seiring dengan
waktu, dan penonton kembali terlena dengan lagu-lagu klasik yang kita
mainkan..
Kembali kepada Zona Nyaman dan ide judul tulisan saya
diatas, Simaklah cerita populer warga Amerika
seperti dibawah ini:
Dahulu kala, Elang dan Kalkun adalah sahabat baik. Mereka sering
terbang bersama, mencari makanan dan menghabiskan waktu dengan melintasi udara.
Zaman dahulu kalkun dapat terbang setinggi elang dan dengan tubuh rampingnya ia
dapat mencari makanan dengan gesit bersama elang. Bukan sesuatu yang janggal
bila ada elang pastilah di sana terdapat kalkun menemaninya dan manusiapun
merasa hal itu adalah sesuatu yang wajar.
Di suatu hari yang terik saat keduanya sedang asik
terbang, kalkun berkata pada elang “Mari kita mencari makan, perutku mulai
merasa lapar” dan elang menyetujuinya.Turunlah elang dan kalkun disebuh
peternakan yang besar milik seorang petani, tiba-tiba ketika sedang mencari
makan di rindangnya pepohonan, seekor sapi yang lewat mempersilahkan elang dan
kalkun untuk mengambil jagung yang sedang dimakan sapi.
“Silahkan ambil jagung ini jika kalian mau”.
Elang dan kalkun pun terkejut, baru kali ini mereka
ditawari makanan, selama ini mereka harus mencari makanan sendiri, terbang ber
mil mil jauhnya dan tidak pernah berpikir apa yang akan dimakan besok, karena
mereka harus berburu untuk makan.
“Mengapa kau memberikan jagung
ini kepada kami?” Tanya elang kepada sapi. “Kami di sini
memiliki banyak makanan, petani selalu memberikan kami makanan dan kami tidak
perlu mencari apapun, seluruh makanan enak selalu tersedia untuk kami tiap
hari”.
Betapa terkejutnya Elang dan kalkun saat mendengar
jawaban sapi. Dengan lahapnya elang dan kalkun memakan hidangan yang diberikan
sapi. Keesokan harinya elang dan kalkun datang lagi ke peternakan dan memakan
makanan yang disajikan dengan penuh kesenangan.
Hari pun terus berlalu dengan makanan yang berkelimpahan
hingga suatu hari kalkun berkata pada elang
“Sahabatku, sebaiknya kita tetap di sini, di peternakan
ini kita tidak perlu bersusah payah mencari makanan semua tersedia hanya untuk
kita”.
Elang pun menjawab dengan penuh pertimbangan,
keinginannya untuk berpetualang dan menemukan hal baru serta menerima tantangan
baru tiap hari dan menikmati kemerdekaannya untuk terbang bebas membuat Ia
enggan untuk menerima ajakan kalkun.
Kalkun tetap dengan keputusannya untuk tetap tinggal dan
elang mengucapkan salam perpisahan kepada teman lamanya kalkun, sambil terbang
tinggi di angkasa.
Hari berganti hari, kalkun dengan kehidupan di peternakan
dipenuhi dengan kenikmatan makanan yang berlimpah dan setiap hari yang santai
sehingga tubuhnya menjadi gemuk, Ia pun tidak pernah terbang lagi karena untuk
menemukan makanan ia cukup berjalan menggunakan kakinya.
Hingga di suatu malam, kalkun mendengar istri sang petani
akan memasak hidangan kalkun panggang untuk merayakan Thanksgiving, kalkun
merasa terancam dan memutuskan untuk pergi dari peternakan tersebut, namun
tanpa ia sadari keahliannya untuk terbang sudah lenyap, ia hanya bisa mengepak-ngepakkan
sayapnya yang terbebani oleh bobot badannya yang berat. Dan di hari Thanksgiving sang petani pun melahap sajian kalkun
panggang yang lezat.
Dari cerita diatas, kita dapat
menarik pelajaran bahwa orang yang berani mengambil resiko dengan keluar
dari zona nyaman-nya-lah yang akan berhasil menjadi pemenang. Saya selalu kagum kepada orang-orang yang tau apa yang
dia inginkan, konsisten terhadap apa yang dia inginkan, dan berusaha untuk
meraih apa yang dia inginkan. Tidak banyak orang yang seperti itu, karena
mayoritas orang hanya stuck di zona nyamannya masing-masing, tidak berani untuk
mengambil resiko. Padahal,: kapal lebih baik dia berlayar mencapai tujuan
walaupun pada akhirnya dia hancur karena hantaman gelombang, daripada dia
dibiarkan terus berlabuh di dermaga yang akhirnya juga akan tetap menjadi besi
tua..
Saat kita terlalu lama berdiam di comfort zone dan tidak
siap keluar dari kenyamanan semu itu..., saat itu pulalah kita bersiap menjadi kalkun..
Hanya sebuah renungan
No comments:
Post a Comment