Pendahuluan.
Indonesia merupakan negara yang tidak pernah sepi
dengan peristiwa-peristiwa yang mengejutkan. Ketika satu peristiwa belum
sepenuhnya terselesaikan, telah disusul dengan peristiwa lain yang tidak kalah
mengejutkan. Begitulah, seolah-olah tragedi-tragedi itu saling menyusul. Dunia
perbankan, termasuk salah satu bidang yang tidak luput dari terpaan tragedi
itu. Peristiwa yang terjadi di Bank Century adalah salah satu diantaranya.
Meskipun sektor hukum sendiri juga tidak lepas dari
deraan tragedi yang tidak kalah mengejutkan, namun demikian semua persoalan
yang muncul pada akhirnya tetap harus diselesaikan melalui instrumen hukum, baik
itu melalui jalur pengadilan maupun out of court setlement, baik itu
dalam ranah keperdataan maupun dalam skema hukum pidana (penal).
Realitas sosial telah dan akan terus menempatkan
hukum sebagai salah satu sarana untuk menyelesaikan persoalan kehidupan
manusia. Bahkan lebih dari itu, diharapkan hukum benar-benar sebagai a tool
of social engineering sebagaimana dikonsepkan oleh sosiolog Roescoe
Pound.
Mencermati sensitivitas dunia perbankan, sementara
di sisi lain sejarah dunia penegakan hukum terkadang menampakkan wajahnya yang
bertolak belakang dengan arsitektur perbankan nasional dan cenderung tidak
kompromi dengan kekhususan karakter dunia perbankan, tentu saja dalam mencegah
dan menanggulangi tindak pidana perbankan pada masa yang akan datang harus
memperhatikan kekhususan karakter dunia perbankan dan tujuan philosofis dari
penegakan hukum, tidak semata-mata menegakkan hukum positif. Tulisan berikut
ini berusaha untuk mengupas pencegahan dan penanggulangan tindak pidana
perbankan termasuk di dalamya peran BI dan Direktorat Kepatuhan Perbankan.
Tindak Pidana Perbankan dan Tindak Pidana di Bidang
Perbankan.
Tindak Pidana di Bidang Perbankan (TPdBP) dikonsepkan
secara lebih luas dibandingkan dengan pengertian Tindak Pidana Perbankan (TPP).
Secara umum TPdBP diartikan sebagai tindak pidana yang berkaitan dengan
perbankan, sedangkan TPP adalah tindak pidana sebagaimana diatur dalam
undang-undang perbankan. Dengan demikian cakupan TPdBP lebih luas dibandingkan
dengan TPP. TPP hanya beruang-lingkup pada undang-undang perbankan, sedangkan TPdBP
tidak hanya beruang-lingkup pada undang-undang perbankan tetapi juga peraturan
perundang-undangan lain yang berkaitan dengan perbankan.
Bertolak dari konsep tentang TPdBP dan TPP ini,
maka secara umum tindak pidana perbankan sebagaimana diatur dalam Undang-undang
Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah dengan Undang-undang
Nomor 10 tahun 1998, dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1)
Tindak pidana yang berkaitan dengan perijinan (Pasal 46,
16).
2)
Tindak pidana yang berkaitan dengan kerahasiaan bank
(Pasal 40, 41, 41A, 42, 42A, 43, 44, 44A, 45, 47 dan 47A).
3)
Tindak pidana yang berkaitan dengan pengawasan bank oleh
Bank Indonesia (Pasal 29, 30 dan 48).
4)
Tindak pidana yang berkaitan dengan kegiatan usaha bank
(Pasal 49 ayat (1) dan (2)).
5)
Tindak pidana yang terkait dengan Pihak Terafiliasi
(Pasal 50).
6)
Tindak pidana yang terkait dengan Pemegang Saham (Pasal
50A).
Disamping TPP sebagaimana diatur dalam Undang-undang
No 7 tahun 1992 jo Undang-undang No. 10
tahun 1998, juga terdapat TPP sebagaimana diatur dalam undang-undang Bank
Indonesia yaitu UU No. 23 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 3 tahun 2004, khususnya Pasal 65, 66, 67, 68, 69, 70, dan
71.
Adapun TPdBP, selain dari TPP sebagaimana diatur dalam
Undang-undang Perbankan dan Undang-undang BI, antara lain meliputi:
1)
Tindak pidana yang terjadi dalam kegiatan perbankan yang
memenuhi rumusan delik sebagaimana diatur dalam KUHP seperti, penipuan, penggelapan, pencurian dan
pemalsuan dll;
2)
Tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam UU No. 31
tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001;
3)
Tindak pidana pencucian uang sebagaimana diatur dalam UU
No. 15 tahun 2002 jo UU No. 25 tahun 2003;
4)
Tindak Pidana Pasar Modal sebagaimana diatur dalam UU No.
8 tahun 1995;
5)
Tindak Pidana Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)
sebagaimana diatur dalam UU No. 11 tahun 2008, dll.
Realitas Penegakan Hukum Tindak Pidana di Bidang
Perbankan.
Dalam hal terjadi TPdBP, realitas penegakan hukum
menunjukkan bahwa, pelaku tidak hanya dapat dijerat dengan undang-undang
perbankan, tetapi juga dimungkinkan untuk dijerat dengan Undang-undang yang lain.
Ketika terjadi TPdBP, instrumen hukum yang digunakan bisa beragam, ada yang
murni menggunakan undang-undang perbankan, ada yang menggunakan undang-undang
korupsi dan ada pula yang menggunakan KUHP maupun peraturan perundang-undangan
yang lain. Keberagaman penggunaan instrumen hukum ini, tentu saja menimbulkan
pertanyaan besar, mengapa hal ini bisa terjadi?
Praktek penegakan hukum dengan menggunakan beragam peraturan
perundang-undangan ini dalam sistem hukum di Indonesia memang dimungkinkan. Hal
ini terjadi karena adanya kesamaan unsur tindak pidana. Sebagai contoh suatu
TPdBP ternyata memiliki unsur yang memenuhi rumusan Pasal 49 ayat (2) huruf a
dan b UU No. UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan sebagaimana telah diubah
dengan UU No. 10 tahun 1998, dan juga memenuhi unsur Pasal 2 ayat (1) UU No. 31
tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah
dengan UU No. 20 tahun 2001 Perkara korupsi Bank Mandiri yang melibatkan ECW
Neloe sesungguhnya dapat dicontohkan sebagai suatu TPP yang memiliki kesamaan
unsur dengan Tindak Pidana Korupsi.
Terjadinya kesamaan unsur atas suatu tindak pidana
sehingga suatu perbuatan memenuhi rumusan delik dalam undang-undang yang
berbeda, tentu saja memberikan alternatif bagi penegak hukum untuk menentukan
pilihannya. Namun demikian dalam menentukan pilihan ini harus memperhatikan
rambu-rambu khususnya asas-asas hukum pidana disamping juga orientasi
kemungkinan lebih tercapainya tujuan pemidanaan.
Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Pidana Perbankan.
Pencegahan dan penanggulangan TPP sejatinya tidak
hanya menjadi core business-nya hukum, apalagi hukum pidana melalui bekerjanya
sistem peradilan. Jelas tidak sesederhana itu, karena pencegahan dan
penanggulangan tindak pidana mencakup bidang yang sangat luas.
Terlepas dari luasnya bidang kajian yang harus
ditelusuri terkait dengan upaya pencegahan dan penanggulangan tindak pidana,
namun upaya pencegahan dan penanggulanan tindak pidana, sejatinya merupakan
suatu mata rantai yang tidak terpisahkan. Tindakan pencegahan diharapkan dapat
meminimalisasi kemungkinan terjadinya TPP, sementara meskipun penanggulangan
tindak pidana perbankan melalui bekerjanya hukum pidana memang ditujukan untuk
menjatuhkan pencelaan terhadap pelaku, dan memberikan perlindungan masyarakat
dari tindak pidana, tetapi di sisi lain juga memiliki adressat untuk
memberikan deterent effect agar orang lain tidak melakukan perbuatan
yang sama sebagaimana yang dicelakan dalam undang-undang perbankan maupun
undang-undang lain yang terkait.
No comments:
Post a Comment