Hubungan dialektis antara
Kepolisian dan masyarakat diberbagai belahan dunia banyak mengubah praktek
pemolisian yang dijalankan oleh mereka. Salah satu yang mengemuka adalah tumbuh
dan berkembangnya strategi Community
Policing yang dijalankan oleh berbagai Kepolisian di negara-negara lain. Community Policing tidak lagi dijalankan
untuk kepentingan Institusi Kepolisian belaka seperti untuk meningkatkan
kemampuan pengungkapan kejahatan serta menekan gangguan kamtibmas yang terjadi,
melainkan Kepolisian diajak untuk terlibat langsung menangani permasalahan yang
muncul pada komunitas.
Di Indonesia kesadaran tersebut
mulai muncul kalangan praktisi Kepolisian seiring dengan semakin berkembangnya
kemampuan dan pengetahuan para pimpinan Kepolisian serta para personel
Kepolisian itu sendiri.
Community
Policing secara umum bisa juga diartikan sebagai bentuk pemolisian
yang lebih menekankan kepada Pembinaan Kamtibmas. Program Pembinaan Kamtibmas
itu sendiri dapat dilihat dari tiga perspektif, yaitu perspektif kepolisian,
perspektif masyarakat, dan perspektif kepolisian maupun masyarakat.
Pertama, dari perspektif
kepolisian, polisi melihat bahwa ada kebutuhan yang semakin besar dalam
institusinya untuk meningkatkan hubungan dengan masyarakat dengan tujuan-tujuan
seperti adanya kebutuhan dalam rangka memanfaatkan berbagai sumberdaya
masyarakat untuk membantu upaya mencegah kejahatan dan mengurangi tingkat
kecemasan masyarakat terhadap kejahatan. Selain itu dalam perspektif
kepolisian, polisi juga mempunyai tujuan dalam rangka memperkuat basis bagi
deteksi dini serta pengumpulan informasi guna pengungkapan sebuah peristiwa
gangguan kamtibmas. Sedangkan tujuan yang tidak kalah pentingnya adalah adanya
upaya-upaya kepolisian dalam rangka meningkatkan kepercayaan masyarakat
terhadap polisi.
Sedangkan yang kedua dari
perspektif masyarakat, mereka menyadari kedepan semakin membutuhkan dan bahkan
layak mendapatkan layanan yang lebih baik dari aparat kepolisian. Selain itu
mereka juga membutuhkan adanya akuntabilitas kepolisian yang handal selain
bahwa mereka mulai menyadari sudah selayaknyalah mereka mendapatkan peran yang
lebih besar dalam pengambilan keputusan dibidang keamanan.
Adapun yang ketiga dari perspektif
kepolisian maupun masyarakat, terdapat asumsi bahwa program pembinaan kamtibmas
didasari atas beberapa anggapan, antara lain:
1)
Asumsi yang pertama adalah adanya
anggapan bahwa kejahatan terjadi akibat faktor-faktor sosial yang relatif tidak
terlalu dikuasai oleh kepolisian.
2)
Sedangkan asumsi yang kedua, adanya
kebutuhan pencegahan kejahatan perlu dipusatkan kepada faktor-faktor sosial
penyebab kejahatan.
3)
Asumsi ketiga, adanya keperluan
untuk mengembangkan sikap proaktif untuk menggantikan kebijakan kepolisian yang
bersifat reaktif.
4)
Asumsi keempat, adalah adanya
prasyarat berupa desentralisasi wewenang pada kebijakan kepolisian yang
berwawasan sosial dan budaya.
5)
Asumsi berikutnya adalah adanya
anggapan bahwa isu-isu tradisional berupa kejahatan dan kecemasan terhadap
kejahatan sudah mulai harus lebih dititikberatkan kepada isu kualitas hidup.
6)
Sedangkan asumsi terakhir dan yang
terpenting yang mendasari perspektif ini adalah adanya hak asasi dan kebebasan
individu merupakan pertimbangan yang paling esensial dalam kepolisian yang
demokratis.
Secara lebih sederhana, kegiatan
pembinaan kamtibmas dengan community policing sebagai basisnya merupakan suatu kebijakan dan strategi yang
bertujuan agar dapat mencegah terjadinya kejahatan secara lebih efektif dan
efisien, mengurangi kecemasan masyarakat terhadap kejahatan, meningkatkan
kualitas hidup, meningkatkan kualitas pelayanan kepolisian dan kepercayaan
terhadap polisi, dalam jalinan kerjasama yang lebih proaktif dengan sumberdaya-sumberdaya
masyarakat yang menginginkan perubahan bagi kondisi-kondisi penyebab kejahatan.
Dalam kaitan dengan itu tentunya dibutuhkan serta diperlukan Polisi yang lebih
handal, peran masyarakat yang lebih besar dalam pengambilan keputusan, dan perhatian
yang lebih besar terhadap asasi dan kebebasan individu.
Berkaitan dengan peran masyarakat
yang lebih besar dalam pengambilan keputusan inilah, maka Kepolisian perlu
membuat langkah terobosan yang bersifat sistematis dengan menggandeng mereka
dalam sebuah kelompok komunitas yang bersifat proaktif dalam masalah
keamanan. Kelompok komunitas yang
bersifat proaktif ini yang kemudian kita kenal sebagai “Program Pemberdayaan
Masyarakat”.
Program Pemberdayaan Masyarakat harus didefinisikan dengan jelas tujuannya. Hanya dengan
tujuan yang jelas, maka kita bisa mengukur keberhasilan program tersebut. Adapun tujuan inti dari program ini adalah
meningkatkan kepercayaan dan kedekatan antara polisi dengan masyarakat
khususnya masyarakat yang sadar kamtibmas guna mendukung terciptanya keamanan
dalam negeri yang lebih kondusif. Tujuan penting lainnya adalah menekan
terjadinya kriminalitas dan meningkatkan pengungkapan kejahatan melalui
partisipasi para anggota Program Pemberdayaan Masyarakat, serta meningkatkan Public Image dan Public Relation Kepolisian.
Disisi
lain Program Pemberdayaan Masyarakat dapat menciptakan database yang valid dari
para anggota-anggotanya dalam rangka mendukung berbagai kegiatan perpolisian,
serta dapat memberikan peluang komunikasi yang terbuka antara Kepolisian dan
masyarakatnya. Oleh karenanya penting sekali disadari bersama bahwa buah dari Program
Pemberdayaan Masyarakat tidak bisa dipetik dalam waktu singkat, namun
Program ini harus dilihat lebih sebagai alat untuk membangun hubungan jangka
panjang dengan stake holder
Kepolisian.
Dalam
konteks itulah, buku ini ditulis dalam rangka memberikan gambaran tentang upaya
mempercepat Implementasi Community Policing
pada Kepolisian melalui Optimalisasi Pemberdayaan PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (PPM). Buku ini diharapkan
dapat memberikan kontribusi positif bukan hanya bagi para manajer-manajer
Kepolisian, namun juga kepada seluruh anggota Kepolisian dan para warga
masyarakat dalam rangka memahami dan mengimplementasikan Community Policing di lingkungannya.
No comments:
Post a Comment