Suatu malam,
Malam semakin lelap. Penduduk kota
juga sebagian terlelap. Lalulintas pantura malah sebaliknya. Gajah-gajah sudah
keluar. Istilah gajah-gajah dilontarkan oleh polisi-polisi di Tegal untuk
menggambarkan betapa besarnya kendaraan yang lewat. Bus-bus malam semakin ramai
pada malam hari karena Jalur menuju Jakarta maupun Surabaya memang tepat
melintas malam sehingga tiba dikota tujuan pada pagi hari.
Sebagian anggota sedang melaksanakan
patroli menuju kearah timur. Jalur ke timur adalah jalur utama menuju Semarang.
Di dekat perbatasan kota Tegal dan Kabupaten Slawi terdapat daerah yang orang
namakan ”Maribaya”. Awalnya Bedu mengira itu seperti daerah Maribaya di Lembang
Bandung. Nyatanya itu merupakan daerah dipinggir pantai dengan rumah-rumah
kumuh tempat berkumpulnya penjaja cinta.
Pernah satu kali Bedu berpatroli
kesana. Ranito sengaja mengajaknya masuk ke ”perkampungan” tersebut. Hari itu
adalah hari kedua dia bekerja malam. Maribaya, sebuah lingkungan gelap yang
hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki. Pengunjung harus memarkir kendaraannya
di tempat parkir dan turun melalui jalan kecil yang becek. Suara cekakak
cekikik perempuan malam begitu terasa diselingi deru bus dijalan raya. Gelak
tawa laki-laki hidung belang begitu lepas seoalah tiada hari esok.
Peristiwa tersebut begitu asing
ditelinga Bedu. Kegamangan menyelimuti seakan anak kuliah baru sedang di
”mapras”. Ranito berjalan didepan layaknya seorang jagoan kampung itu. Hebatnya
semua orang yang berpapasan dengannya selalu menganggukan kepala meskipun
Ranito tidak pernah melepaskan jaket bututnya dari badan.
Sebagai polisi Bedu sadar betul daerah seperti inilah yang
dinamakan dengan police hazard.
Sikap waspada dengan mata penuh
perhatian tak pernah lepas dari gerakannya. Berbeda dengan Bedu, Ranito begitu
percaya diri memasuki daerah itu seolah itu adalah wilayahnya.
Dirumah ketiga, Ranito berhenti dan
menoleh ke Bedu.
”Kita mampir sini ndan”.
”Mampir? Boleh. Tempat siapa ini?”
”Tempat kawan ndan”.
Ranito membuka pintu yang setengah
terbuka dan memasukinya layaknya pemilik rumah itu.
Didalam rumah; sebidang ruang tamu
denga seperangkat sofa dan beberapa kamar tertutup. Beberapa wanita duduk
mengenakan pakaian seronok dengan kaki disilangkan sambil menonton tv.
”Malam Pak Ranito”
suara perempuan genit terdengar dari
balik pintu. Perempuan paruh baya berumur empat puluh limaan dengan dandanan
menor.
”Malam..malam saya mau mampir
sebentar” sahut Ranito.
”Boleh Pak Ranito, lama juga boleh”
si menor menggoda.
Ranito mengambil kursi reyot sambil
menyilahkan Bedu duduk. Bedu ragu-ragu antara duduk atau keluar lagi melihat
situasi didalam.
Matanya menerawang memperhatikan
situasi dirumah tersebut. Didalam otaknya yakin betul kalau itu adalah rumah
bordil.
”Mau minum apa pak?” suara si menor
manja..
”Biasanya aja” kata Ranito.
”Minum...!! yang biasa buat komandan
Ranito” teriak si menor ke dalam.
”komandan Ranito????” pikir si Bedu. Ranito
mahfum dengan keheranan Bedu.
”Biasa ndan mereka panggil saya
begitu”.
”Iya” guman Bedu.
Tiba-tiba sebuah kamar terbuka dan
keluarlah seorang laki-laki sambil merapihkan rambutnya. Bedu memandang
peristiwa tersebut dengan bengong. Si laki-laki melenggang kangkung menuju
pintu. Si menor mengejar
”Jangan bosen ya pak, gimana???
Puas?? Balik maning ya pak..”
”Iya..Iya” ujarnya tergesa-gesa.
Tak lama kemudian muncul perempuan
paruh baya dari kamar yang sama seperti baru merapikan pakaian.Mukanya seperti
baru berbedak dengan gincu yang baru dipasang.
”Mas makasih ya” ujarnya sambil
mengejar kearah pintu. Silaki-laki terlihat tersenyum sambil menoleh.
Minuman keluar. Satu krat penuh bir
dengan botol-botol besar.
”Buat siapa ni???” Bedu bertanya.
”Kita ndan” Ranito menjawab sambil
mulutnya terselip sebatang gudang garam coklat dan tangannya mengambil botol. Diambilnya
bukaan botol dan ”Krack...” botol terbuka memuntahkan buih. Tanpa basa basi
Ranito menuangkan isi botol ke dalam gelas dan menyodorkan ke Bedu. Satu gelas
lagi dan dituangkannya sisa Bir kegelas berikutnya.
”Aaaachhhh....” suara dahaga Ranito
meminum bir tersebut.
”Diminum ndan” katanya sambil meminum
lagi.
Bedu hanya memandang botol itu sambil
berkata kepada si Menor
”Boleh meminta coca cola saja??”
”Coca cola buat komandan saya” Ranito
malah menyahut.
Si menor buru-buru berjalan menuju
dapur, mungkin mau mengambil coca cola. Tiba-tiba si paruh baya kembali dari
luar dan menghampiri Bedu. Dipandangnya Bedu keheranan..
”Pak Ranito, temennya ganteng banget,
saya mau sama dia gak usah bayar”
”Hahahahaha, Ini komandan saya jangan
macam-macam” Gelak Ranito
”Komandannya ganteng, kok yang
kemaren-kemaren tua. Ini masih muda, pasti anak buah”
Bedu, tersinggung, jijik, jorok,
harga dirinya merasa direndahkan. Langsung dia berdiri dan menarik Ranito
keluar.
”Keluar kamu ikut saya!”
Ranito tidak sadar kalau Bedu sedang
marah. Dengan entengnya dia menyahut untuk tetap tinggal sambil meminum bir. Sudah
setengah mabuk rupanya. Bedu memegang jaket Ranito lalu menyeret polisi kurus
itu keluar dan memasukkannya ke mobil.
Kunci kontak dinyalakan dan
disetirnya sendiri kijang patroli ke arah Polres. Setibanya di
Polres, dilihatnya Ranito sudah setengah mabuk dan ngedumel sendiri. Bedu
membuka pintu kiri dan menyeret Ranito yang berjalan sempoyongan. Dibawanya
Ranito ke WC penjagaan, tiba-tiba ”Byurrrr Byurrr Byurrr, tiga celupan kepala
Ranito dimasukkan kedalam bak. Ranito terkaget dan klepak klepek mencoba untuk
mengeluarkan kepala. Tapi kesadarannya terlalu lemah untuk melawan. Lunglai,
sempoyongan, terkapar...
Hari itu selalu terngiang di benak seluruh
anggota Bedu. Sang komandan berubah dari seorang ramah menjadi seorang yang
sangat ditakuti.
Suatu Malam setelah itu, setelah
sekian bulan bertugas di Tegal, Bedu masih berfikir kemana kira-kira arah
anggota berpatroli pada waktu seperti ini. Tapi dia tahu betul, tidak akan ada
lagi anggotanya yang berani mabok. Mereka tahu resiko yang akan dihadapi. Bedu
hanya berharap semoga malam itu tidak ada kejahatan menggelayuti kota Tegal.
Terlalu banyak peristiwa yang sudah dialaminya. Ingin rasanya dia mengambil
libur sejenak.
Sejenak pulang ke Bandung. Kota
dimana dia tumbuh dan dibesarkan. Kota dimana dia meraih segala pendidikan.
Meskipun bukan kota dimana dia dilahirkan, namun terlalu indah kota itu
dilupakan. Disanalah dia bertemu kekasihnya. Dia rindu dengan kekasihnya. Ingin
sekali dia menceritakan segala kebanggaannya bekerja sebagai polisi. Polisi
seperti yang diidamkan kekasihnya. Polisi yang tidak sekalipun berkeinginan
melakukan kesalahan.
”Polisi seperti inikah yang harus aku
kerjakan?” malam itu kembali Bedu bertanya dalam batinnya. Dia membayangkan
andaikan teman-temannya saat ini yang sedang berdinas dan bekerja diseluruh
Indonesia bukan seperti dia, apa yang mereka kerjakan?
Idealisme polisi sebagai sebuah
profesi bertarung dengan realitas bahwa polisi juga sebuah pekerjaan.
Pertarungan kehidupan yang dikungkungi dengan tingginya tuntutan orang-orang
diluar sana. Masyarakat yang menjadi stake holdernya. Pertarungan kehidupan
antara idealisme dan realisme...
Bedu hanya membuka dompet lusuhnya,
uang sebelas ribu rupiah bercampur dengan kertas-kertas kumal catatan alamat.
Masih beberapa hari lagi untuk mendapatkan jatah gaji bulanan. Pada akhirnya
dia mulai terbiasa dengan istilah ”hutang” dikantin polres. Hal yang sama
seperti dilakukan polisi-polisi di Polres. Merokokpun dia tidak berani, bukan
karena tidak ingin tapi karena tidak mampu membeli.
Pertarungan idealisme dan
realisme.... kapan akan berakhir?
Bersambung...
Itu sebagian realita yang dilakukan oleh anggota kepolisian,yang dianggap wajar oleh sebagian besar masyarakat'kalau polisi itu minum,mabuk,minta jatah dll
ReplyDelete