Bayangkalah Suatu Hari
Jakarta Tanpa Kemacetan (17 Juli 2012)
Selamat pagi..
Pernahkah kita berfikir berapa juta
kendaraan yang beredar di Jakarta setiap hari? Dari sekian juta kendaraan yang
meliuk-liuk tersebut berapa ribu kilometer jalan yang bisa menampung mereka.
Dan pernahkah juga kita berpikir berapa juta liter bahan bakar yang dikonsumsi
oleh jutaan kendaraan tersebut? Serta berapa trilyun rupiah yang harus
disediakan oleh pemerintah untuk mensubsidi BBM, karena nyatanya BBM kita
adalah BBM yang paling murah sedunia apalagi bila dibandingkan dengan harga
minyak mentah dunia saat ini? Pernahkan kita berpikir, berapa jam waktu kita
yang terbuang hanya untuk berangkat dari rumah ke kantor? dan berapa lagi waktu
yang terbuang hanya untuk bergeser dari satu titik ke titik lainnya di
kota-kota besar di Indonesia. Pernahkah kita berfikir, bahwa orang di kota-kota
besar di dunia lebih memilih menggunakan transportasi umum daripada dengan
kendaraan pribadi? tapi apa yang terjadi dengan kita semua? hampir semua dari
kita sebagai anggota Polri berfikir untuk membeli kendaraan pribadi apakah itu
motor ataupun mobil. Hampir semua dari kita membutuhkan kendaraan pribadi
karena hanya itulah sarana transportasi yang saat ini yang kita anggap paling
layak bagi kita..., dan hebatnya,, pikiran ini bukan hanya milik kita, tapi
milik hampir semua manusia Indonesia yang produktif dan masih bekerja...
Dari kesemua pertanyaan diatas, ada
pertanyaan menggelitik dalam benak saya; mengapa manusia Indonesia, khususnya
manusia Jakarta lebih suka menggunakan kendaraan pribadi dibandingkan dengan
kendaraan umum. Lihatlah lalulintas Jakarta pada pagi hari, hampir semua
kendaraan pribadi menyesaki seluruh ruas jalan yang ada. Dari mulai sepeda motor
sampai berbagai kendaraan pribadi dalam berbagai kelas lainnya. Bayangkanlah
apabila 10% saja dari 15 juta penduduk Jakarta dan sekitarnya bergerak dengan
menggunakan moda transportasi pribadi tersebut. Maka itu berarti ada 1,5 juta
orang yang menggunakan kendaraan pribadi dan sisanya menggunakan kendaraan
umum.
Problemnya, kendaraan umum yang ada
di Jakarta-pun adalah tipe kendaraan yang tidak bersifat massal seperti Bus dan
Kereta Api. Artinya kendaraan umum yang banyak beredar lebih kepada kendaraan
dengan muatan penumpang tidak banyak seperti mikrolet, angkot, taksi dan bahkan
ojek. Dan model kendaraan-kendaraan seperti inilah yang memberikan juga
kontribusi kemacetan yang semakin luar biasa di ibukota.
Ketika kita berbicara tentang
kemacetan, maka mungkin sebagian besar dari kita akan setuju, bahwa isu ini
telah menjadi permasalahan yang menyedot segala energi kita setiap hari.
Kemacetan menjadi sebuah masalah sosial yang tidak lepas dari kehidupan kita.
Dampak ikutannya pun terasa menyentuh kepada perubahan budaya bahkan perilaku
masyarakat Jakarta yang nyaris tidak perduli dengan lingkungannya. Jadi seperti
kata SBY tentang para remaja jaman sekarang yang terkontaminasi oleh budaya
Video Games, maka mereka menjadi tidak peduli sosial,, namun sebenarnya
lingkungan sosial, lingkungan jalan raya dan lingkungan lainnya lah yang
menjadikan mereka menemukan dunia nyaman mereka sendiri yang sampai pada titik
ketidak pedulian pada lingkungan luarnya..
Menjadi menarik untuk mengantarkan
tulisan ini dengan berbagai pertanyaan besar lainnya, seperti; Apakah kita
semua bisa memecahkan kebuntuan solusi atas sesaknya Jakarta saat ini? Judul
tulisan ini mencoba menyibak berbagai isu diatas dengan sebuah logika
sederhana, logika matematika.
Secara sederhana, lompatan imajinasi
dalam rangkaian logika matematika yang saya coba rambatkan dalam benak pembaca
sebenarnya berhulu kepada pertanyaan besar saya; “Mengapa masyarakat Jakarta
lebih tertarik menggunakan kendaraan pribadi daripada kendaraan umum?”
Pertanyaan besar saya diatas tentunya
akan menimbulkan jutaan varian jawaban tergantung dari sisi mana latar belakang
para pembaca. Namun jawaban umum yang sering kita dengar tentunya tidak akan
jauh dari masalah kenyamanan dan keamanan. Lihatlah model moda transportasi umum
yang ada saat ini, maka akan tergambarkan bagaimana cermin sebuah kota.
Dalam tulisan ini saya mencoba
berimajinasi dengan logika matematika sederhana, dengan thesa; “Masyarakat
Jakarta akan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi apabila mereka merasa nyaman
dan aman menggunakan kendaraan umum”. Arah dari thesa tersebut lebih kepada isu
bagaimana Jakarta menata sebuah sistem transportasi umum yang nyaman dan aman
kedepan.
Untuk menjawab isu tersebut ada
Logika sederha saya yang dirangkai dari sebuah mimpi indah saya tentang
Jakarta. Bahwa Jakarta tentunya akan terhindar dari segala keruwetan kemacetan,
karena masyarakatnya mengurangi penggunaan kendaraan pribadi dan beralih
menggunakan moda transportasi umum yang nyaman dan aman serta tidak menimbulkan
kemacetan. Saya tidak bermimpi menjadikan Jakarta seperti kota-kota besar di
dunia seperti New York, Tokyo, London apalagi Singapura... Tapi kalau saya
boleh mencoba membandingkan dengan Bangkok, maka sederhana sekali terlihat
bahwa Bangkok dulunya merupakan sebuah kota yang sangat semrawut (saya pertama
kesana tahun 1988) dan ketika saya kembali pada tahun 2002 dan beberapa tahun
berikutnya, maka kemacetan dikota tersebut sudah jauh berkurang karena berbagai
rekayasa sosial yang dilakukan oleh Pemerintah kota.
Sistem transportasi yang saya coba
angkat untuk direkomendasikan adalah sebuah sistem transportasi yang sinergis
dengan menggunakan sarana yang telah ada (jalan raya dan rel). Artinya kita
tidak perlu menambah jalan baru, dan tidak perlu membangun rel baru. Yang perlu direkayasa
hanyalah sistemnya.
Sistem integrasi (Integrated System),
antara jalur lalulintas jalan raya dan kereta api sudah sering kita dengar dari
berbagi pakar. Namun satu hal yang ingin saya wacanakan adalah perlunya kita
memikirkan penyediaan banyak bus yang nyaman dan aman (terutama bus bertingkat)
lebih daripada kendaraan umum yang menampung muatan kecil (seperti bemo, bajay,
mikrolet, angkot dan metro mini). Bandingkan jumlah manusia yang bisa diangkut
oleh bus-bus tersebut (60-100 orang) dengan jumlah yang bisa diangkut oleh
kendaraan-kendaraan kecil. Bus adalah sarana transportasi paling massif selain
kereta api yang mampu meminimalisir kemacetan. Hampir seluruh kota modern di
dunia tidak mengenal mikrolet, ojek, metro mini. Bus, subway, trem adalah
solusi.. Kapasitas besar, melayani segala rute, kenyamanan dan keamana, adalah
prasyarat yang menyertainya..
Karena itu, konsekwensi logis dari
itu, tentunya pemerintah perlu memikirkan lagi untuk menyediakan bus dalam
jumlah yang lebih banyak dan rute yang lebih luas serta menghilangkan angkutan
kendaraan yang tidak bersifat masal atau setidaknya jalur mereka perlu ditata
hanya untuk melayani daerah dengan kelas jalan tertentu. Problemnya adalah
bagaimana dengan jenis transportasi lainnya yang telah ada? Terhadap
kendaraan-kendaraan tersebut perlu diadakan “penebusan” oleh pemerintah dengan
membeli kembali dari pemiliknya.Kembalikan pengelolaan bus kepada pemerintah
(seperti dulu ada PPD, Mayasari Bhakti). sekarang, bus adalah milik perusahaan
dan bahkan perorangan seperti taksi.. Bahkan bus bisa disewa untuk Demo,
supporter bola, hajatan dan lain-lain. Artinya pemeritah telah melepaskan
tanggung jawab penyediaan transportasi kepada pihak swasta,, pemerintah cuma
mau cari untung dengan membuat regulasi dan menarik retibusi,, yang sialnya
sebagian besar dari dana pungutan itu lari kepihak yang tidak bertanggung
jawab.
Dengan demikian ini berarti
pemerintah perlu menyiapkan anggaran khusus untuk menebus kendaraan-kendaraan
transportasi umum selain bus yang ada saat ini dari pemiliknya (setelah itu
bisa dilemparkan ke
pasaran didaerah sebagai sarana transportasi disana), dan secara bersamaan
menata rute, terminal, halte serta prasarana pendukung lainnya.
Bagaimana dengan lapangan pekerjaan
yang berkurang terhadap para supir-supir yang selama ini bergumul dijalanan?
Dengan modal yang telah diberikan oleh pemerintah sebagai ganti untung dari
kendaraan yang ditebus tadi, maka mereka bisa disiapkan untuk menjadi
pengendara bus yang akan disiapkan atau apabila mereka tidak memenuhi
persyaratan seleksi, maka bisa dipikirkan pekerjaan lain yang lebih layak
terhadap mereka.
Logika matematika sederhana saya;
tentunya ini akan jauh lebih murah daripada trilyunan rupiah uang pemerintah
yang terpakai untuk mensubisidi BBM..
Ini hanyalah sebuah mimpi, tapi semua
kehidupan dimulai dari sebuah mimpi, dan mimpi ini hanyalah sebuah bacaan
ringan bagi senior dan rekan-rekan kala membuka mata pagi ini...
Bayangkanlah suatu hari, Jakarta
tanpa kemacetan….
Selamat menjalankan ibadah puasa,
mohon maaf lahir dan batin..
Salam hormat dari New
York .
No comments:
Post a Comment