Kemiskinan akan menciptakan kebudayaannya sendiri dan
elemen-elemennya adalah sama bagi kaum miskin di mana saja.
Kawasan Kalijodo yang luasnya kurang lebih lima hektar merupakan
kawasan padat penduduk. Kawasan ini merupakan bagian dari Rukun Warga (RW) 05,
Kelurahan Pejagalan. Dari data di kepala RW, tercatat warga sebanyak 2000
kepala keluarga. Jumlah ini hanya di atas kertas, karena jumlah sesungguhnya bisa
lebih dari 10 kali lipat. Hal ini disebabkan oleh banyaknya warga yang
merupakan pendatang tidak terdata. Hal ini seperti dikatakan oleh Ketua RW 05,
Kunarso.
“Para
pendatang itu datang begitu saja dan mendiami rumah-rumah penduduk yang
merupakan sanak saudaranya, kerabat, atau sekedar teman. Kalau punya uang,
tinggal di kos-kosan. Mereka ini tidak memiliki KTP Jakarta, kalaupun ada hanya
KTP musiman. Bahkan jika mereka anggota preman, jika didekati ketua RT, mereka
bisa lebih galak. Ndak ada urusan sama RT,” demikian mereka sering mengatakan.
Pendatang yang tak terdata, sebagian besar hidup di lapak-lapak
atau rumah kos-kosan yang dibangun di atas tanah di pinggir sungai, bahkan di
atas badan sungai. Bangunan liar mereka dirikan atas dasar penguasaan lahan,
dengan cara memasang patok. Untuk menghindari gangguan dari orang atau kelompok
lain, mereka menempatkan beberapa preman yang siap menjaga. Jika mereka sudah
memiliki modal, mereka akan membangun lapak atau tempat kos-kosan yang mereka
sewakan kepada para buruh yang bekerja di pabrik sekitar Kalijodo. Bangunan
yang mereka dirikan biasanya terbuat dari papan kayu atau triplek. Hal inilah
yang membedakan para pendatang dengan warga, yang merupakan penduduk yang sudah
turun-temurun hidup di kawasan Kalijodo.
Antropolog Universitas Indonesia, Parsudi Suparlan memberikan
batasan yang jelas antara perkampungan kumuh dengan perkampungan liar.
Perkampungan kumuh menurut Parsudi masih secara langsung atau tidak langsung
berada di bawah pengendalian pejabat kelurahan. Sedangkan pemukiman liar
pengendalian sosial dan keamanan dari kelurahan sama sekali tidak ada.
Pesatnya jumlah penduduk, rupanya tidak sebanding dengan
ketersediaan sarana dan prasara umum. Seperti jaringan air minum, sanitasi,
dll. Hal ini terutama disebabkan karena para pendatang itu datang dan mendiami
tanah-tanah yang tidak diperuntukan sebagai tempat tinggal. Mereka menempati
lahan-lahan milik pemerintah yang merupakan jalur hijau, di sepanjang bantaran
sungai.
Pemerintah pun sudah berulang kali melakukan pembokaran terhadap
pemukiman liar di kawasan ini. Sepanjang tahun 2002 tercatat sudah beberapa
kali Pemerintah Daerah DKI Jakarta, melakukan penggusuran atas kawasan ini.
Penggusuran terbesar atas lapaklapak judi dan tempat hiburan malam yang
dibangun di atas bantaran-bantaran sungai, baik Sungai Banjir Kanal, maupun
Kali Angke pernah terjadi pada 25 Januari 2002, setelah pertempuran hebat
terjadi di kawasan itu.
Setiap kali terjadi penggusuran, perlawanan sengit dilakukan
oleh warga penghuni perumahan liar. Perlawanan dilakukan oleh anggota geng,
sampai ibu-ibu, mereka biasanya memblokade jalan masuk dengan perabotan rumah
tangga seperti kursi, tangga dll. Namun, setelah perjudian dilarang, dan tidak
beroperasi lagi, pembongkaran lapak-lapak liar, berlangsung damai. Hal ini
seperti yang terjadi pada Maret 2003 lalu. Ketika itu, penggusuran yang
menggunakan alat berat belco, berlangsung tanpa ada aksi penghadangan seperti
yang terjadi sebelumnya. Padahal, seperti diberitakan berbagai media massa,
aparat Tramtib Jakarta Utara, bahkan sempat mempersiapkan dukun-dukun yang
didatangkan khusus dari Jawa Timur untuk menghalau para pengacau.
Penggusuran terhadap hunian liar, sebenarnya hanyalah upaya
simtomatik. Karena warga pendatang yang tak memiliki tempat tinggal itu hanya
berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain. Ketika Kalijodo digusur, mereka
berpindah ke bawah jembatan layang menuju Bandara Soekarno Hatta. Penyebab
utamanya adalah pertambahan jumlah penduduk itu, terutama disebabkan oleh arus
urbanisasi yang meningkat pesat sejalan dengan semakin lancarnya sarana
transportasi. Bagi penduduk dari luar Pulau Jawa, daerah Penjaringan, menjadi
tempat strategis, mengingat letaknya yang tak jauh dari Pelabuhan Tandjung
Priok, tempat mereka pertama kali menginjakkan kaki di Jakarta.
Adanya banyak faktor pencetus kedatangan penduduk dari desa-desa
ke kota. Faktor utama, biasanya karena masalah ekonomi. Namun ada juga faktor
lain seperti politik, keamanan, serta motifasi sosio-kultural lainnya. Apalagi,
seperti pandangan umum di negara-negara sedang berkembang, kota merupakan pusat
peradaban. Hal ini telah menjadi satu faktor kuat yang menarik orang-orang desa
bermigrasi ke kota (urbanisasi).
Penelitian dari Hans Dieters Evers tentang urbanisasi di beberapa
negara di Asia Tenggara, memberikan kesimpulan, bahwa perkembangan dan kemajuan
ekonomi yang terpusat di ibu kota negara, telah memancing eksodus penduduk dari
kota-kota kecil ke ibu kota.
Namun, kehadiran kaum pendatang itu terkadang tanpa mempertimbangkan
akibat-akibat yang disebabkan oleh menumpuknya orang-orang di kota dalam
ruang tempat tinggal, sumber hidup dan nafkah yang sempit dan langka. Hal
inilah yang pada akhirnya membuat hidup menjadi lebih sulit, dan kualitas
maupun harkat manusia menurun.
Perbaikan hidup dari kelompok masyarakat miskin perkotaan,
menjadi salah satu penyebabnya, karena tidak semua orang miskin itu merasa
kecewa dan tidak puas. Orang miskin yang terbenam dalam perkampungan miskin di
kota, banyak yang merasa puas hidup dalam lingkungan busuk itu.
Mereka merasa ngeri membayangkan bagaimana hidup di luar
perkampungan miskin mereka. Bahkan orang miskin yang terhormat sekalipun, bila
sudah lama jatuh miskin cenderung diam di tempat. Mereka terpukau oleh
kekekalan tata kehidupan yang ada. Hanya malapetaka serbuan wabah, penyakit,
atau bencana alam yang akan menyadarkan kehidupan mereka.
Hal inilah yang memunculkan apa yang disebut oleh Oscar Lewis
tentang “kebudayaan kemiskinan.” Oscar Lewis adalah antropolog kenamaan Amerika
yang banyak melakukan penelitian seputar kemiskinan di kota-kota di Amerika
maupun di Amerika Latin. Hasil penelitiannya itu membuahkan pemikiran tentang the culture of povertyatau
kebudayaan kemiskinan. Dalam bukunya The
Children of Sanches dan La Vida, ia berkisah tentang
kehidupan orang Puerto Rico, di New York dan di negerinya.
Menurut Lewis, kemiskinan akan menciptakan kebudayaannya sendiri
dan elemen-elemennya adalah sama bagi kaum miskin di mana saja. Jadi
“kebudayaan” itu adalah self
generating (bergerak dengan
sendirinya). Lewis mengemukakan bahwa kebudayaan kemiskinan itu (culture of
poverty) mempunyai ciri-ciri:
Tingkat mortalitas yang tinggi dan harapan hidup yang rendah,
Tingkat pendidikan yang rendah, Partisipasi yang rendah dalam organisasi
seperti buruh, partai politik, dll. Tidak atau jarang ambil bagian dalam
perawatan medis dan program-program kesejahteraan lainnya. Sedikit saja
memanfaatkan fasilitas-fasilitas kota, seperti toko-toko, museum, atau bank.
Upah yang rendah dan keamanan kerja yang rendah. Tingkat keterampilan kerja
yang rendah. Tidak memiliki tabungan atau kredit. Tidak memiliki persediaan
makanan di rumah untuk hari esok. Kehidupan mereka tanpa kerahasian pribadi
(privacy). Sering terjadi tindak kekerasan termasuk pemukulan terhadap
perempuan dan anak-anak. Perkawinan sering berdasarkan konsensus, sehingga
sering terjadi perceraian dan pembuangan anak. Keluarga bertumpu pada ibu.
Kehidupan keluarga otoriter. Bergantung pada nasib atau fatalisme. Besarnya
hipermasculinity complex di kalangan pria dan martyr complex di kalangan
wanita.
Apa yang dikatakan Lewis memang terjadi di pelbagai kawasan
miskin perkotaan. Di daerah kumuh di Kecamatan Penjaringan, kekerasan terhadap
wanita dan anak-anak merupakan kasus yang menonjol. Hal yang kasat mata, adalah
eksploitasi anak-anak, bahkan bayi, oleh orang tua mereka di perempatanperempatan
jalan dan bawah-bawah jembatan layang, anak-anak dipaksa menjadi pengemis. Ini
memang tidak monopoli Penjaringan, tetapi juga ada di sebagian tempat di
Jakarta. Kelompok anak inilah yang sering menjadi objek kekerasan.
Beberapa kasus kekerasan terhadap perempuan juga menonjol. Kasus
kekerasan yang paling dramatis dalam tiga tahun terakhir dialami Sri (bukan
nama sebenarnya), pada Juni 2002. Ia dianiaya oleh suaminya yang jengkel,
melihat isterinya kembali menjadi pelacur di sebuah bar di kawasan Kalijodo.
Sang isteri sendiri berdalih, kembali menekuni profesi lamanya, lantaran si
suami yang pedagang pakaian di kapal-kapal yang merapat di pelabuhan Sunda
Kelapa, tak mencukupi kebutuhan sehari-hari, apalagi ibu muda ini juga harus
menanggung kehidupan keluarganya di kampung.
Si Suami, Parno (bukan nama sebenarnya), yang mendapati
isterinya di tempat pelacuran kalap. Ia mengamuk di sebuah bar tempat biasa Sri
mangkal. Akibatnya, tidak hanya Sri, tapi dua teman wanita lain juga ikut
terluka oleh amukan Parno. Lelaki yang hanya tamatan SD ini mengaku tidak sadar
menikam isterinya sendiri dan lantaran mabuk setelah menenggak empat botol
anggur cap Rajawali. Akibatnya, Sri dan Dewi terpaksa harus dibawa ke rumah
sakit, setelah menderita beberapa luka, akibat tikaman senjata tajam.
Menurut Parno, tindakannya itu dilakukan lantaran amarahnya
memuncak. Ketika menikahi Sri, pada tahun 1997, isterinya pernah berjanji, tak
akan melanjutkan profesi lamanya sebagai wanita penghibur di kompleks pelacuran
dan perjudian Kalijodo. “Waktu akan menikah, ia berjanji tidak akan menjadi
pelacur lagi. Tetapi, kenyataannya ia masih selingkuh dan empat kali saya
memergokinya praktik lagi,” tutur Parno, yang lulusan sekolah dasar. “Yang tiga
kali lalu saya maafkan.”
Kisah Parno dan Sri, adalah salah satu persoalan dari sekian
kompleksitas masalah masyarakat urban di perkotaan. Kehadiran para pendatang
yang tidak disertai pendidikan yang memadai. Dengan tingkat pendidikan minimal,
semakin rendah pula keterampilan dan pengetahuan seseorang. Akibatnya, kecil
juga kompetensi seseorang untuk dapat diserap dalam sektor-sektor kerja formal.
Tiadanya keterampilan yang mendukung untuk bisa diterima bekerja, sementara
kebutuhan hidup di kota yang terus mendesak, membuat pikiran orang seperti Sri,
tidak memiliki pilihan selain menjual tubuhnya sebagai pekerja seks komersial.
No comments:
Post a Comment