Tantangan perubahan yang muncul akibat pengaruh perubahan
pada lingkungan eksternal Kepolisian tentu terasa akan sangat besar. Apalagi
apabila perubahan yang terjadi pada lingkungan eksternal itu merupakan
perubahan yang mendasar, seperti perubahan dalam sistem kenegaraan kita. Sejak
1 Januari 2001, telah diberlakukan Sistem Otonomi Daerah yang telah mengubah
sistem pemerintahan Indonesia dari sentralistik menjadi desentralistik dengan
memberikan beberapa kewenangan yang tadinya ditangani pemerintah pusat menjadi
kewenangan Pemerintah Daerah.
Perubahan tersebut menimbulkan dinamika sendiri
dalam hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, selain
menimbulkan berkembangnya semangat kedaerahan pada warga masyarakatnya. Beberapa
problematik yang muncul sebagai akibat dari sistem pemerintahan ini, adalah
berkembangnya semangat kedaerahan dan hubungan antara Negara dan masyarakat
pada tingkat lokal. Menguatnya perasaaan kedaerahan memang bisa berdampak
positif maupun negatif. Dalam konteks kepolisian, menguatnya semangat
kedaerahan ini bisa menjadi faktor pendukung maupun faktor kendala dalam
pelaksanaan Program Pemberdayaan Masyarakat.
Semangat kedaerahan yang positif bisa menjadi faktor
penarik serta pendorong pelaksanaan Program Pemberdayaan Masyarakat, yaitu
ingin menjadikan daerahnya sebagai daerah yang aman sehingga bisa menjadi
daerah yang menarik bagi investasi, dengan mengadakan kemitraan yang erat
antara Kepolisian dan masyarakat. Namun sebaliknya semangat negatif bisa
menjadi kendala manakala Kepolisian tidak mampu mengkreativisir unsur lokal
dalam pengelolaan permasalahan keamanan, atau bhakan menjadikan komunitas lokal
sebagai penonton belaka, maka Kepolisian akan dianggap sebagai pihak asing
dalam komunitas setempat. Berbagai contoh gagalnya KOD menekan angka
kriminalitas serta konflik yang tinggi antara aparat dan masyarakat adalah
fakta yang tidak bisa dihindari sebagai sebuah kekurangan yang harus segera
diperbaiki.
KOD sebagai kepanjangan tangan pelayanan Kepolisian
ditingkat lokal harus bisa menempatkan dirinya sebagai warga Negara, bukan
sebagai Lembaga Negara yang bisa mengatasi masyarakat dengan berlindung dibalik
kekuasaan pemerintah atau Negara. Kepolisian sebagai warga Negara harus bisa
bersama-sama masyarakat mengembangkan daya kreatif tersebut. Ruang yang menjadi
titik temu antara Kepolisian dan masyarakat untuk mengembangkan kreativitas dan
memajukan daerah itu, satu diantaranya adalah community policing. Dalam
Community Policing akan bertemu apa yang diharapkan masyarakat dan apa yang
diharapkan oleh Kepolisian.
Namun
dalam perkembangannya penerapan community policing dalam kegiatan kepolisian
mengalami banyak hambatan, terutama timbul dari internal lembaga Polisi sendiri
yang masih belum bulat hati menerapkannya atau masih belum jelas bagaimana
penerapannya. Permasalahan diatas muncul karena berbagai sebab, diantaranya
adanya warisan model birokrasi kepolisian yang masih bersifat otokratis
sehingga menciptakan budaya organisasi yang tertutup, sehingga Polisi masih
cenderung ragu-ragu bekerjasama dengan masyarakat dalam menjalankan tugasnya
(meskipun percepatan proses keterbukaan Kepolisian saat ini dinilai termasuk
yang paling cepat bila dibandingkan dengan organisasi pemerintahan lain di
Indonesia).
Permaslahan
lain yang cukup mengganjal dalam menerapkan community policing secara optimal
berkaitan dengan model orgnasisai kepolisian yang “Top Down”, dimana
pelaksanaan tugas kepolisian banyak dipengaruhi oleh adanya komando dari atas,
sedangkan disisi lain, kinerja community policing hanya berhasil manakala
partispasi dari bawah dapat terakomodir dengan baik. Oleh karenanya banyak
muncul kesan bahwa polisi bekerja seperti robot, tidak fleksibel (takut salah),
sehinggap apabila tidak dikendalikan oleh atasannya, maka Polisi cenderung
menghindar melakukan pekerjaannya.
Dengan
demikian menjadi jelas bagi kita bahwa bila dikaitkan dengan proses otonomi
daerah yang begitu pesat di Indonesia ,
maka model pelayanan kepolisian dengan menggunakan strategi community policing
akan membutuhkan banyak perubahan yang mendasar pada lembaga Kepolisian. Bila
community policing hanya dijadikan sebagai alat public relations saja, maka usaha pengembangan community policing
tidak akan banyak hasilnya dan bahkan sebaliknya hanya akan memboroskan
sumberdaya Kepolisian yang sudah terbatas ini.
Oleh
karena itu, menjadi tantangan bagi pihak kepolisian maupun masyarakat dan para
pakar untuk selalu mengembangkan konsep community policing agar menjadi sebuah
strategi yang bersifat implementatif dan mudah dilaksanakan dilapangan oleh
para anggota kepolisian serta juga dapat mengembangkan dalam berbagai program
yang bersifat teukur dan terarah dalam rangka mencapai tujuan bersama antara
Kepolisian dan masyarakat.
No comments:
Post a Comment