Konflik adalah sebuah perbenturan dua atau
lebih kekuatan yang dikarenakan sejumlah perbedaan kepentingan. Para ilmuwan
sosial pun tidak satu bahasa dalam melihat konflik. Kuper & Kuper (2000), misalnya,
memilih untuk memahami konflik sebagai suatu konflik sosial, dalam arti konteks
konflik antar kelompok manusia – dan bukan antarin dividu manusia (Nugroho D.,
2005: 90). Dalam pendekatan kepolisian, saya lebih senang menggunakan konsep
konflik sebagai perluasan perebutan sumberdaya dalam aksi-aksi fisik (Suparlan
2000)
Pemahaman konflik sebagai perbedaan kepentingan lebih
menarik apabila dipelajari dari kacamata politik, dimana yang terjadi adalah
perebutan sumberdaya kekuasaan. Meski sebenarnya ’perebutan’ ini selalu dimulai
dari permasalahan ekonomi yang didasari dari kenyataan akan adanya – apa yang
disebut Weiner (1962) – sebagai ’politik kelangkaan’ (politics of scarity).
Pemahaman ini didasari bahwa kehidupan manusia didasari oleh kebutuhan untuk
mempertahankan dan mengembangkan hidup, dan sebagaimana pemahaman teori Darwin,
terjadi perebutan untuk menguasai sumber daya kehidupan yang langka (dan
semakin meningkat kelangkaannya), dan pada ujungnya adalah survival for the
fittest – hanya yang paling ’fit’ yang akan ’survive’.
Implementasi UU No. 22 Tahun
1999 yang efektif sejak 1 Januari 2001, telah membuka peluang yang dapat
memunculkan potensi konflik horisontal (pusat-daerah) dan vertikal ( pemerintah
daerah – masyarakat maupun antara warga masyarakat). Namun, dari sekian
banyak masalah yang memiliki potensi memicu api konflik, baik horisontal maupun
vertikal, terdapat beberapa isu utama yakni : (1) Kewenangan (2) Pemekaran
daerah, (3) Isu putra daerah (4) Pilkada (5) Isu ketimpangan pembagian
pendapatan antara daerah dan pusat dan (6) Isu ketersediaan dan pemanfaatan
sumber daya alam di daerah.
Kewenangan
Kewenangan atau dalam UU No. 32 Tahun 2004 dikenal
dengan istilah urusan, juga menjadi potensi konflik yang bersifat laten jika
tidak segera ditangani. Potensi konflik itu berkenaan sejauhmana dipisahkan
atau pemberian batasan yang tegas antara urusan dalam tingkatan pemerintahan di
Negara Republik Indonesia ini. Antara urusan Pemerintahan Pusat, pemerintahan provinsi
dan urusan kabupaten/kota.
Pemekaran Daerah
Pemekaran daerah
yang banyak dilakukan oleh Pemerintah terhadap daerah-daerah belakang ini,
dilakukan karena adanya keyakinan daerah-daerah tersebut, bahwa dengan
memekarkan diri dari daerah induk, maka mereka akan dapat lebih sejahtera dan
dapat lebih mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, intinya dengan memekarkan
diri mereka ingin mewujudkan tujuan otonomi daerah yang selama ini mereka
rasakan belum dapat dicapai oleh daerah induk. Padahal tidak selalu daerah yang
telah memekarkan diri itu menunjukkan kinerja yang jauh lebih baik dibandingkan
dengan kinerja daerah induk, baru-baru ini Departemen Dalam Negeri sedang
mempersiapkan Grand Strategy Pemekaran Daerah yang didahului oleh
penelitian di beberapa daerah, untuk mendapatkan gambaran yang lebih baik
tentang implementasi kebijakan pemekaran daerah selama ini.
Banyaknya
permintaan pemekaran daerah yang tidak terkendali justru menimbulkan masalah
baru bukan saja dari aspek politis namun secara nyata tuntutan tersebut justru
akan memberatkan keuangan negara karena semakin banyaknya daerah-daerah baru
yang harus disubsidi sampai ia bisa mandiri secara ekonomi.
Belum lagi ancaman
terhadap kesatuan negara. Ancaman disintegrasi negara semakin terbuka lebar
dengan semakin terbagi-baginya kelompok masyarakat dalam kotakan yang lebih
kecil, maka nilai-nilai ’keakuan’ akan lebih ditonjolkan, dan ketika tuntutan
untuk memperoleh perhatian yang lebih dari pemerintah pusat bagi daerah tidak
dipenuhi, potensi disintegrasi pun dimunculkan dan mengancam kesatuan negara
RI. Selain itu makin banyaknya daerah-daerah yang memekarkan diri akan
menyulitkan segi efisien dan efektifitas tujuan otonomi daerah, karena
pemerintah pusat akan lebih disibukkan untuk mengurus daerah-daerah baru, dan
tidak berkonsentrasi pada masalah-masalah nasional lainnya yang lebih
besar.
Selain itu
pemekaran daerah juga menimbulkan potensi konflik dalam hal penentuan batas
wilayah dan penentuan ibukota daerah bentukan baru. Perlu lebih mendapat
perhatian disini, apakah pemekaran daerah yang banyak dituntut oleh daerah
selama ini telah memperhitungkan kemampuan dan daya dukung daerah secara nyata,
yang dapat menjamin keberhasilan pembentukan daerah otonom baru hasil
pemekaran. Di atas permukaan potensi konflik yang banyak terjadi dengan adanya
pemekaran daerah adalah yang berkenaan dengan penetapan batas wilayah, kemudian
tentang aset daerah baik sumber daya hayati, sosial, yang dimiliki oleh daerah
itu maupun yang terkait dengan daerah-daerah disekelilingnya.
Isu Putra Daerah
Melalui penerapan otonomi
daerah diharapkan tidak ada lagi cabang pemerintahan, lapisan pemerintahan,
sekelompok orang, ataupun seseorang yang dapat memegang kekuasaan secara
monolotik maupun hegemonik.
Dalam konteks otonomi daerah, terdapat dikotomi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Persoalan yang kemudian muncul malah menimbulkan fanatisme kedaerahan (yang sempit ). Isu putra daerah dan bukan bukan putra daerah, yang sebelumnya bak api dalam sekam, kini mencuat ke permukaan dan mendapat pembenaran sehingga di pandang menjadi salah satu masalah paling krusial dalam implementasi otonomi daerah.
Dalam konteks otonomi daerah, terdapat dikotomi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Persoalan yang kemudian muncul malah menimbulkan fanatisme kedaerahan (yang sempit ). Isu putra daerah dan bukan bukan putra daerah, yang sebelumnya bak api dalam sekam, kini mencuat ke permukaan dan mendapat pembenaran sehingga di pandang menjadi salah satu masalah paling krusial dalam implementasi otonomi daerah.
Terjadinya sikap resistensi di
kalangan masyarakat asli terhadap masyarakat pendatang, atau dipandang sebagai
perilaku menyimpang atau anomi menurut Teori Merton, “Merupakan hasil dari
ketegangan-ketegangan tertentu dalam struktur sosial” (Johnson,
1986:154). Ketegangan yang terjadi selama lebih dari 30 tahun pada Era
Soeharto sebagai pemerintahan represif yang sentralistik, di pandang sebagai
pemicu timbulnya disfungsionalisasi struktur sosial. Masyarakat yang
terganggu struktur sosialnya akhirnya mendapatkan katup pelepas ketika
kebijakan otonomi daerah diberlakukan. Maka munculah fenomena putra
daerah dan bukan putra daerah, sebagai perwujudan kristalisasi fanatisme
kedaerahan yang sempit.
Pilkada
Pemilihan kepala daerah secara langsung (Pilkada) yang baru dilaksanakan
dalam dua tahun terakhir, memberikan warna tersendiri bagi pembangunan proses
demokratisasi di Indonesia. Jika sebelum kita hanya memilih gambar partai dalam
Pemilu bahkan tidak terlibat sama sekali dalam pemilihan kepala daerah dan
wakilnya, kini kita dapat memberikan suara secara langsung kepala daerah yang
diinginkan secara langsung.
Sebagai suatu hal
yang baru saja dipraktekkan, tentunya Pilkada tidak lepas dari pro dan kontra,
dari mulai adanya tuntutan untuk memisahkan undang-undang tentang Pilkada yang
terpisah dari UU No. 32 Tahun 2004, maupun tuntutan untuk lebih menyemburkan
sistem dan manajemen penyelenggaraan Pilkada.
Potensi
konflik yang dimiliki dalam pilkada antar lain konfllik horisontal antar
pendukung pasangan calon, kemudian konflik vertikal antara masyarakat pendukung
pasangan calon dengan pemerintah daerah dan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD)
sebagai penyelenggara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Selain
itu konflik tentang Pilkada juga menyangkut masalah figur calon yang akan
bertarung di ajng tersebut dan mengenai partai politik sebagai kendaraan para
calon.
Potensi konflik
yang banyak ditemui sepanjang pelaksanaan Pilkada sepanjang tahun 2005 hingga
2006 adalah mengenai pengajuan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah,
yang meliputi latar belakang profesi, catatan karir politik maupun data pribadi
lainnya yang sering menimbulkan dinamika pada saat pengajuan maupun pada saat
kampanye. Selain itu adalah mengenai derajat penerimaan masyarakat terhadap
hasil pilkada itu, apakah masyarakatkan sudah cukup dewasa di dalam menerima
konsekuensi hasil pertarungan politik dalam koridor hukum tertentu?
Isu Ketimpangan Pembagian Pendapatan Daerah
dan Pusat
Dari
permukaan hingga perut bumi terkandung sumber daya alam mineral, minyak dan gas
bumi. Sejatinya kekayaan alam ini dijadikan modal dasar pembangunan
daerah dan nasional. Tapi kenyataannya bisa sangat bertolak
belakang.
Desentralisasi dalam bentuk
otonomi daerah merupakan salah satu jawaban dalam mengatasi keterpurukan
bangsa, khususnya dalam mengatur pembagian pendapatan antara daerah dengan
pusat. Salah satu semangat otonomi daerah di sektor ekonomi adalah
“memberdayakan dan meningkatkan kemampuan perekonomian daerah” (Panjaitan,
2000: 13). Beberapa sumber pembiayaan pelaksanaan desentralisasi terdiri
dari pendapatan asli daerah berasal dari: (1) pendapatan asli daerah (PAD); (2)
dana perimbangan; (3) pinjaman daerah dan lain-lain penerimaan yang sah. Sumber
PAD merupakan sumber keuangan daerah yang digali dari dalam wilayah daerah yang
bersangkutan yang terdiri dari : (1) hasil pajak daerah; (2) hasil retribusi
daerah; (3) hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan.
Sementara itu dana perimbangan
merupakan sumber pembiayaan yang berasal dari : (1) bagian daerah dari Pajak
Bumi dan Bangunan (PBB); (2) penerimaan dari sumber daya alam; (3) dana alokasi
umum, dan (4) alokasi khusus.
Persoalan yang mencuat seputar pembiayaan pembagunan daerah otonomi adalah pola bagi hasil penerimaan antara negara (pusat)dan daerah. Minyak bumi, gas bumi, pertambangan, dan sektor sumber daya hutan menjadi sedikit komoditas yang memberikan saham terbesar bagi penambahan devisa negara.
Persoalan yang mencuat seputar pembiayaan pembagunan daerah otonomi adalah pola bagi hasil penerimaan antara negara (pusat)dan daerah. Minyak bumi, gas bumi, pertambangan, dan sektor sumber daya hutan menjadi sedikit komoditas yang memberikan saham terbesar bagi penambahan devisa negara.
Masalahnya pola bagi hasil
antara pusat dan daerah untuk keempat komoditas tersebut seringkali menjadi
sumber konflik vertikal. Perimbangan penerimaan untuk pemerintah pusat
dipandangan terlalu besar dengan mengecilkan asal daerah komoditas.
Meskipun untuk saat ini prosentase yang diberikan kepada daerah jauh lebih
besar dibandingkan pada masa lalu, namun bagian itu masih lebih kecil atau
belum signifikan terutama pada beberapa jenis sumber daya alam seperti minyak
bumi dan gas bumi yang masih didominasi oleh pusat. Disamping itu porsi yang disediakan
untuk daerah masih harus dibagi antara provinsi dengan kabupaten/kota di daerah
penghasil sumber daya alam tersebut.
Isu ketersediaan dan pemanfaatan sumber daya alam di
daerah
Masalah ketersediaan dan
pemanfaatan sumber daya alam di daerah saat ini juga mendapat perhatian yang
serius dari pemerintah pusat dan daerah, mengingat banyaknya kasus eksploitasi
sumber daya alam yang berlebihan dan tidak bijaksana, mengakibatkan terjadinya
bencana alam diman-mana, sebut saja banyaknya kasus banjir di daerah-daerah yang
sebelumnya tidak, menandakan pengelolaan lingkungan hayati yang ada saat ini
sudah tidak lagi memperhatikan keseimbangan lingkungan dengan penggunaan
sumber-sumber daya alam yang ada.
Kepemilikan terhadap sumber
daya alam sering kali dijadikan komoditas politik suatu kelompok elit politik
tertentu untuk mengangkat isu pentingnya dimekarkannya suatu daerah tertentu,
belum lagi ketidakadilan pemanfaatan hasil sumber daya alam daerah-daerah kaya
di masa lalu, sering dijadikan isu yang menarik untuk diangkat sebagai
propaganda untuk melakukan tindakan makar dan tindakan separitsme lainnya.
Kekayaan daerah dalam hal
sumber daya alam yang dimilikinya juga mengundang konflik vertikal antara pusat
dan daerah di dalam pemanfaatannya maupun mekanisme bagi hasil yang
dijalankannya. Sumber-sumber daya alam potensial seperti hutan, hasil minyak dan tambang
lainnya, di masa lalu dan di masa yang akan datang tetap menjadi isu potensial
berkenaan dengan keadilan pola bagi hasil antara pemerintah pusat dengan
daerah.
No comments:
Post a Comment