Selamat Pagi Indonesia..
Ada sebuah cerita menarik yang pernah saya
kirimkan ke milis angkatan saya sebelumnya. Cerita ini terinspirasi oleh kisah
perjalanan kehidupan seorang John yang merasa dirinya bukan siapa-siapa, namun
kenyataannya dia adalah seseorang yang luar biasa.. Semoga apa yang saya
tuliskan ini bisa bermanfaat bagi kita semua..
John Pierpont mati dalam
kegagalan. Pada tahun 1886, ketika berumur 81 tahun, ajalnya datang dalam
kondisinya sebagai pegawai rendahan di Washington DC yang penuh dengan
kekalahan menggerogoti semangatnya…
Awalnya dimulai dengan cukup baik. Dia lulus
dari Universitas Yale dimana kakeknya adalah donatur di universitas
tersebut. Di Yale dia memilih kelas sebagaimana profesinya dengan penuh rasa
antusias. Dia gagal pada pendidikan sebagai guru. Dia tidak bisa
menghadapi muridnya, dan akhirnya dia kembali mengikuti pendidikan hukum.
Namun dia gagal
pula menjadi pengacara. Dia terlalu dermawan kepada kliennya dan terlalu
konsern kepada keadilan dengan mengabaikan kasus-kasus yang mendapatkan fee
besar. Karir berikutnya dia mencoba peruntungan sebagai pedagang barang
kelontong.
Sama seperti
sebelumnya, dia gagal sebagai pedagang. Dia tidak dapat mendapatkan harga yang
pas untuk barang-barang yang dia jual agar bisa mendapatkan keuntungan dan
mudah memberi hutang kepada orang lain. Dalam waktu yang bersamaan dia juga
menulis puisi dan meskipun telah dipublikasikan dia tetap tidak dapat
uang yang cukup untuk biaya hidup dari hasil royaltinya
Dia kembali gagal
sebagai penyair, dan kemudian dia memutuskan untuk menjadi pendeta setelah
keluar dari Sekolah Ilmu Agama di Harvard dia memutuskan untuk mengabdikan
dirinya di Gereja Hollis Street di Boston. Namun posisinya sebagai penentang
perbudakan membuatnya berseberangan dengan anggota berpengaruh dari umat gereja
dan dia ditekan untuk mengundurkan diri.
Kembali dia gagal
sebagai pendeta. Politik sepertinya adalah tempat yang cocok untuk membuat
perubahan dan dia dinominasikan sebagai calon Gubernur Massachusetts oleh
Partai Abolisi. Dia kalah, dengan pantang menyerah dia mencalonkan diri sebagai
anggota konggres dibawah bendera partai Kebebasan Tanah, dan kalah lagi.
Gagal sebagai
politikus, ketika perang sipil meletus dia medaftarkan diri sebagai sukarelawan
pendeta di Resimen 22 Sukarelawan Massachusetts. Dua minggu kemudian dia keluar
setelah mendapati bahwa tugasnya terlalu berat bagi kesehatannya. Saat itu
usianya 76 tahun. Akhirnya meski hanya sebagai paderi pun dia kembali gagal.
Seseorang
mendapati dia melakukan pekerjaan tidak populer di kantor belakang
Departemen Keuangan di Washington dan dia menyelesaikan lima tahun kehidupan
terakhirnya sebagai sebagai pembantu rendahan bagian file. Disinipun dia
dinilai tidak cukup cakap, hatinya terlalu baik sebagai pencinta manusia.
John Pierpont
meninggal dalam kegagalan. Dia tidak pernah menyempurnakan sesuatu yang dia
mulai. Di makamnya di Pemakaman Gunung Auburn Cambridge, Massachusetts tertera
kalimat: “POET, PREACHER, PHILOSPHER, PHILANTRHOPIST” (Penyair, Pendeta,
Filsuf, Penderma)
Nanun demikian,,,,
apa yang terjadi saati ini setelah berpuluh tahun kemudian??
Saat ini, setelah
sekian lama,,,,
Banyak orang
meyakini bahwa dia tidak gagal sebagaimana kenyataannya.
Komitmennya pada
keadilan sosial, hasratnya untuk mencintai umat manusia, keterlibatan aktifnya
pada isu-isu besar saat itu dan keyakinannya pada kekuatan pikiran bukanlah
sebuah kegagalan. Dan pula banyak dari yang dia pikir saat itu harus ditaklukan
menjadi berhasil dikemudian hari. Pendidikan di reformasi, proses peradilan
ditingkatkan, peraturan kredit diganti, dan lebih dari semua itu, perbudakan
dihapuskan selamanya.
Mengapa saya kutip
cerita ini? Ini bukanlah cerita yang biasa. Banyak dari para reformist masa itu
mengalami nasib yang sama, kegagalan yang sama dan keberhasilan yang sama. Bagi
banyak kalangan, John Pierpont bukanlah orang yang gagal. Setiap tahun ketika
bulan Desember datang, orang-orang Amerika merayakan keberhasilannya. Mereka
mematrikan kenangan tentang dia dalam hati dan pikiran mereka.
Itu adalah sebuah
lagu. Bukan tentang Tuhan atau malaikat maupun Santa Claus. Ini adalah tentang
sebuah lagu yang sangat-sangat sederhana tentang kegembiraan sederhana ,
tentang desir gelap musim salju, tentang kereta luncur yang ditarik seekor
kuda, dan ditemani oleh seorang teman tertawa dan bernyanyi sepanjang jalan,
tidak lebih tidak kurang “Jinggle Bells”.., Ya John menciptakan lagu itu…
Untuk mengarang
lagu gembira itu, untuk menulis lagu dimana jutaan orang menyanyikannya
di seluruh dunia, dimana lagu itu bercerita tentang sesuatu yang tidak pernah
dikerjakan oleh mereka, namun dapat drasakan dan dibayangkan, lagu dimana
setiap dari penyanyinya besar kecil, tua muda dapat menyanyikan dan merasakan
dalam hati, itu bukanlah sebuah kegagalan.
Perubahan hanya akan terjadi,, Apabila rasa sakit kondisi saat ini jauh
lebih menyakitkan daripada kalau kita berubah
Pengalaman saya
ketika mengikuti Command and Staff Course bersama dengan para Polisi Singapura
(Singapore Police Force), pada akhir pendidikan kami semua dikirim ke Australia
pada tahu 2007. Disana kami mengikuti sebuah pelatihan lapangan dengan model
pelatihan yang sangat menarik. Model pelatihan dengan menabrakkan kami semua
kepada berbagai kegagalan. Saat itu saya dan rekan-rekan saya banyak sekali
menemukan kesalahan sampai kepada titik yang membuat rasa frustasi paling
dalam.
Selama dua minggu
kami dilepas di alam yang liar pada musim dingin yang menggigit dengan hanya
berbekal peta dan sedikit bekal. Berbagai tekanan persoalan kami terima dan menggiring
kami kepada pergerakan sejauh ribuan kilometer dengan menggunakan berbagai
cara. Mobil, sepeda, berjalan, menyisir sungai, kano dan lain-lain adalah
metode pergeseran kami. Titik frustasi menggelayuti kami karena tiada arah yang
bisa diraih tanpa memecahkan berbagai persoalan. Sementara disatu sisi, setiap
kesalahan dapat menggiring kami menjauhi sasaran.
Kalau
dianalogikan, Acara Amazing Race mirip sekali dengan model pelatihan kami.
Namun demikian sebuah pelajaran besar dari berbagai kesalahan itu kami dapat.
Bagaimana kami melihat ketahanan mental kami diuji untuk tetap berfikir
rasional dalam kondisi yang paling down sekalipun....
Berbagai kegagalan
kami memecahkan persoalan tidak membuat para pelatih menjadi ”tidak tega” dan
memberikan kunci jawaban. Bahkan mereka rela menunggu kami sepanjang 24 jam
hanya untuk memecahkan satu persoalan, sehingga dengan jawaban itu kami bisa
bergeser kembali ketempat berikutnya.
Begitu
menantangnya pelatihan ini bahkan dilaksanakan berpindah diberbagai alam yang
buas seperti Australia dan Nepal. Pemerintah Singapura selalu mengirimkan para
middle manager nya yang akan menapaki jenjang karier berikutnya untuk mengikuti
pelatihan seperti ini, pelajaran mempelejari kegagalan..
Sahabat-sahabatku,,
Jangan pernah mengganggap
diri kita gagal,, apalagi menilai orang lain sebagai orang yang gagal...
Percayalah, setiap dari kita pasti pernah merasakan sebuah kegagalan. Namun
semua dari kita juga harus percaya bahwa dengan kegagalan itu kita belajar
sesuatu.. Belajar sebuah sukses yang tertunda, sepanjang tak henti kita untuk
”selalu belajar dari sebuah kegagalan..”
Bahkan kegagalan
pun harus dilatihkan...
No comments:
Post a Comment