Suatu ketika, kala sebuah berita TV di internet menyiarkan informasi tentang tawuran anak sekolah, saya ditanya oleh anak terkecil saya; Pak, apa bedanya kalau saya sekolah di sekolah bagus dengan sekolah biasa..??
Saya cukup tercenung dengan pertanyaan itu sambil berpikir, sebenarnya apa sih yang dinamakan sekolah bagus, sekolah biasa dan sekolah tidak bagus? Indikator apa yang digunakan?
Apakah karena nilai NEM (UAS) minimalnya lebih tinggi, maka dia dikatakan sekolah bagus?
Apakah karena banyak alumninya yang punya nilai UAS rata-rata diatas sekolah lain, maka dia dikatakan lebih bagus?
Apakah karena berada di daerah favorit?
Apakah karena fasilitasnya lebih bagus?
Apakah karena banyak yang masuk sekolah lanjutan favorit maka lebih bagus?
Apakah karena sering tawuran, maka dia menjadi tidak bagus?
Atau apakah karena memang direkomendasikan oleh Diknas bahwa sekolah tertentu bagus dan yang lainnya kurang?
Terus, apa bedanya kalau anak saya masuk sekolah ini dengan sekolah itu? Apakah kita menggunakan teori black box system, ada input ada output yang masuk dalam proses tertentu? Bagaimana dengan teori "garbage in garbage out", apakah masih kita percaya...?? Jadi kalau yang masuk barang sampah diolah apapun keluarnya tetap sampah?
Masalahnya sampah saat ini ternyata bisa didaur ulang menjadi produk-produk yang berguna bagi masyarakat. Kalau kita ikuti teori itu, maka teori "garbage in garbage out" akan berubah menjadi "garbage in, stuff out"
Ada yang bilang sekolah berkualitas hanya untuk anak yang pintar saja. Apakah ini berarti kalau anak kita tidak pintar tidak berhak mendapat sekolah berkualitas? Terus yang tidak pintar makin tambah tidak pintar karena mereka masuk sekolah yang tidak berkualitas?
Pada saat saya pertama kali datang di New York, saya kaget dengan persyaratan sederhana memasuki sekolah disini. Saya paham bahwa anak saya di Indonesia harus mendapatkan akreditasi terlebih dahulu dari Jakarta. Dengan persyaratan akreditasi penyamaan kelas, maka syarat pendaftaran anak saya semakin mudah. Pihak sekolah hanya meminta bukti "social security number" dan surat kontrak rumah serta bukti pembayaran rekening listrik atau air. Kesemua syarat tersebut untuk menunjukkan bahwa kita benar-benar tinggal di zone dimana sekolah tempat anak kita didaftarkan. Semua persyaratan mudah itu juga membuktikan bahwa negara sangat memperhatikan pelayanan pendidikan bagi warganya.
Bagi saya, semua sekolah sama saja kualitasnya. Mata pelajaran yang diberikan juga tidak banyak. Anak-anak hanya diminta. Membaca dan membaca, kemudian merangkum bacaan mereka dan menuliskan kembali sesuai bimbingan guru. Yang mengherankan adalah mereka lebih banyak diberi PR dan tugas presentasi dikelas. Artinya apa? Artinya adalah disini murid lebih banyak ditekankan pada kemampuan kritis dan mengeksplore daya serap mereka dalam berargumentasi dengan teman maupun guru.
Anak-anak masih punya waktu bermain, namun tidak banyak anak-anak yang bermain tanpa bimbingan orang tua. Pihak sekolah lebih banyak menyiapkan supaya anak-anak itu mampu berkompetisi dalam kehidupan non sekolah yang semakin keras. Memang harus diakui bahwa tingkat kedalaman pelajaran tidak seperti di Indonesia. Namun sekolah itu sejatinya bukan membuat orang jadi pintar atau tidak pintar. Sekolah sebenarnya bagi saya adalah tempat dimana kita dilatih untuk mampu mensistematisir cara berfikir. Masalah pintar bodoh hanyalah masalah tau duluan atau tau belakangan.
Produk pendidikan anak-anak Amerika tidaklah secerdas anak-anak Indonesia. Namun yang mengherankan bagi saya adalah bahwa produk pendidikan disini lebih menghasilkan manusia-manusia siap pakai ketimbang lulusan SMA kita. Cobalah tengok anak-anak kita saat ini yang lulusan SMA, apakah mereka sudah siap pakai? Bahkan yang lulusan S1 pun belum tentu mereka adalah sumberdaya siap pakai.
Saya berfikir, apakah kita perlu mereformasi sistem pendidikan kita? Bagi saya terutama metode pembelajarannya yang harus di update lagi dari model "indoktrinasi" menuju model "brainstorming". Metode brainstorming adalah metode yang menggunakan model menanam padi. Padi tidak mungkin dapat ditanam tanpa membajak sawah. Sawah dibajak, digemburkan dan diairi hingga dia siap ditanam. Bagaimanapun tanah yang keras tidak akan dapat ditanami apapun.
Metode brainstorming adalah metode dengan menggunakan pola yang sama. Otak kita perlu digemburkan terlebih dahulu, perlu dibuat mudah menerima pelajaran, dan perlu dibuat mudah untuk menghasilkan wawasan kognisi yang brilian. Semua itu hanya bisa dilakukan manakala kita bisa mengajak para anak didik kita tertarik dengan ilmu yang diajarkan. Ilmu bukanlah mimpi buruk yang membuat anak didik menjadi stress. Apalagi kalau mereka semua hanya dipacu untuk mendapatkan nilai bagus sebagai patokan keberhasilan siswa.
Saya ingat dulu waktu saya jadi mahasiswa PTIK. Ada satu pelajaran dimana saya mendapat nilai 100. Pelajaran itu adalah pelajaran statistik. Bahkan saya sempat dijadikan asisten dosen untuk membantu rekan-rekan saya lebih memahami pelajaran dimaksud. Tapi apa yang terjadi beberapa tahun kemudian..?? Saya benar-benar tidak ingat apapun dengan pelajaran tersebut saat ini.
Saya yakin hal yang sama juga terjadi dengan anak didik kita. Banyak pelajaran indoktrinasi yang dilupakan oleh mereka beberapa tahun kemudian. Oleh karena itu, seperti halnya pelajaran kehidupan, ilmu pengetahuan bisa kita dapatkan dimanapun dan kapanpun sepanjang kita mampu mensistematisir cara berfikir kita. Kita tidak perlu hafal semua pasal-pasal pidana, namun kita harus mampu memahami cara menerapkan pasal yang tepat untuk kejahatan-kejahatan yang kita tangani.
Ada pepatah mengatakan, berikan kailnya jangan beri ikannya. Maksud dari pepatah ini sungguh baik. Artinya kita jangan hanya memberi makan orang saja, namun beri juga pekerjaan. Dalam perkembangan dewasa ini menurut saya pepatah ini sudah tidak relevan lagi digunakan. Pengalaman saya memancing ikan suatu hari, walaupun kita diberi kail, namun kalau kita tidak mampu menggunakannya maka kita juga tidak akan dapat ikannya.
Mungkin pepatah yang tepat saat ini adalah "Jangan berikan ikan, tapi ajari dia cara membuat jaring dan menjaring ikan". Bandingkan hasil yang didapat antara memancing dan menjaring. Inilah cara-cara yang harus kita lakukan bagi anak didik kita saat ini dan dikemudian hari. Dan cara ini pulalah yang digunakan oleh negara-negara maju dalam mendidik generasi penerus mereka.
Bagaimana hal ini diterapkan dalam konteks kepolisian? Kita memahami bahwa anggota-anggota kepolisian bersumber dari model pendidikan yang seperti saya sebutkan diatas. Dengan tidak mengecilkan kualitas kemampuan mereka, namun kita harus menyadari bahwa kebanyakan dari mereka termasuk kita-kita lebih banyak terbiasa hanya mendapatkan indoktrinasi ketika mendapatkan pendidikan. Akibatnya, banyak generasi kita dan mereka yang kurang mampu menggali kreativitas. Budaya kita adalah budaya "meniru", atau budaya "copy paste". Karena hanya bisa meniru, maka hasilnya pun tidak akan sebagus barang "aslinya".
Ketika kita menjadi manajer2 kepolisian, acapkali kita berharap arahan-arahan kita bisa dipahami dan diimplementasikan dengan penuh kreativitas, dijabarkan dengan mengedepankan nilai-nilai lokalitas. Namun, ketika para anggota dan termasuk para first line supervisor kita ternyata tidak mampu memahami dengan jelas apa arahan kita.
Pada titik kritis ini, maka ada satu jawaban yang harus kita tanyakan pada diri sendiri, apa yang salah dengan saya sebagai pemimpin...??? Itulah pertanyaan terbaik yang harus kita cari jawabannya, bukan malah sebaliknya,, menyalahkan anggota atau marah-marah karena perintah tidak dilaksanakan dengan baik.
Pemimpin itu adalah juga sebagai guru bagi yang dia pimpin,...
No comments:
Post a Comment