Tetapi belakangan berkembang
beberapa kata kunci baru, seperti “pemolisian masyarakat”, “kemitraan
polisi-masyarakat”, dan “pemecahan masalah”. Kata-kata kunci baru ini menandai perkembangan
paling mutakhir di bidang pemolisian yang memodifikasi dan melengkapi konsepsi
pemolisian tradisional. Kita memerlukan polisi karena kedua alasan di atas. Dan
keperluan itu mencakup berbagai segi kehidupan, termasuk hubungan di antara
para pemeluk agama yang beragam.
Polisi sebagai Penjaga
Ketertiban
Manusia, baik sebagai
perseorangan maupun kelompok, dianggap secara naluriah ingin mencapai kepentingan
dan tujuan masingmasing yang berbeda satu sama lain. Sebagai contoh, manusia
ingin mendapatkan sumberdaya yang langka, baik di bidang ekonomi, sosial,
maupun politik. Tujuan dan kepentingan tersebut seringkali dapat dicapai dengan
mengikuti aturan dan norma yang ada. Akan tetapi, seringkali tujuan dan
kepentingan tersebut dicapai melalui tindakan-tindakan yang merusak atau
perilaku asosial, baik dalam kehidupan antarpribadi maupun antarkelompok di
masyarakat.
Selaras dengan hal ini,
tindakan melanggar aturan norma dan hukum adalah hal yang alamiah karena setiap
orang berusaha mengejar kepentingan diri sendiri berdasarkan perhitungan-perhitungan
rasional. Lebih lanjut, oleh karena keinginan, kebutuhan, dan aspirasi
perseorangan dan kelompok tersebut tidak dapat dipuaskan, pelanggaran terhadap
aturan dan norma selalu mengancam kehidupan masyarakat.
Sebagai akibat dari
kecenderungan di atas, maka kehidupan sosial manusia selalu ditandai dengan
keadaan anarki dan ketidakpastian. Dalam pandangan Thomas Hobbes, situasi
anarki tersebut disebut situasi alami dan primitif atau state of nature. Dalam situasi tersebut,
benturan kepentingan dan konflik yang keras selalu mengancam kehidupan masyarakat.
Sebagaimana ditegaskan James Rule (dalam Theories of Social Violence [1988], 19), “karena tidak ada
kepastian mengenai tindakan orang lain, satu-satunya cara menyelamatkan
kepentingan dan keamanan pribadi adalah dengan menyerang terlebih dahulu sebelum
diserang orang lain.” Dengan demikian, pemenuhan kebutuhan pribadi dan kelompok
seringkali mengakibatkan terjadinya benturan, kekacauan, dan konflik di
masyarakat.
Supaya perilaku anarkis manusia
berkurang dan kehidupan sosial yang tertib dan aman dapat diciptakan, maka
diperlukan kendala dan kekuatan pemaksa yang ada di lingkungan manusia. Tanpa
kekuatan eksternal (berada di luar diri manusia) yang mengatur naluri merusak
manusia tersebut, kehidupan sosial yang damai tidak mungkin dicapai.
Kendala-kendala eksternal tersebut berfungsi mengatur, membatasi, atau
mengelola perilaku manusia dan menjadi kunci terwujudnya ketertiban masyarakat.
Kekuatan eksternal ini
diwujudkan dalam institusi negara dan aparat-aparatnya yang berfungsi, antara
lain, menjaga ketertiban di masyarakat. Lebih lanjut, institusi pusat seperti
negara perlu memonopoli penggunaan kekerasan supaya otoritasnya dapat ditegakkan.
Pemerintah yang lemah akan menyebabkan kekerasan muncul dan meluas di
masyarakat. Sebaliknya, pemerintah yang kuat akan meredam dan memperkecil
kemungkinan munculnya kekerasan di masyarakat (Rule [1988], 19).
Institusi polisi adalah alat
negara yang terpenting dalam menjamin stabilitas dan ketertiban dalam hubungan
antar pribadi dan kelompok di masyarakat dengan cara apa saja termasuk
cara-cara kekerasan. Polisi diserahi wewenang melakukan manajemen, kontrol, dan
koersi supaya orang mematuhi aturan dan norma yang ada, dan supaya peluang
kekerasan antarpribadi dan kelompok masyarakat dapat diperkecil.
Peran polisi ini dilengkapi
dengan serangkaian instrumen penegakan hukum, seperti undang-undang dan
peraturan, pengadilan, penjara, jaksa, hakim, dan perangkat hukum lainnya. Tatanan
dan sistem pidana pun menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sistem
ketatanegaraan. Perlu ditekankan di sini bahwa dalam asumsi filosofis mengenai eksistensi
polisi yang diterakan di atas, peranan pengendalian dan kontrol yang ditopang
koersi sangat penting. Pengurangan kontrol dan koersi akan menimbulkan
pelanggaran aturan dan norma, konflik, dan kekacauan sosial. Sebaliknya,
konflik antarpribadi dan kelompok, begitu pula kekacauan sosial, dipahami sebagai
kegagalan kontrol dan koersi. Jalinan sosial dianggap rapuh dan ringkih, dapat
dirusak oleh tuntutan (demand) yang berlebihan sehingga harus dikontrol.
Pada gilirannya, hal ini mengarah
kepada penekanan terhadap penegakan hukum dan ketertiban, dan pada apa yang
populer di Indonesia sebagai “pendekatan keamanan”.
Pemolisian Masyarakat
Salah satu inovasi di bidang
pemolisian modern berusaha memodifikasi asumsi filosofis pemolisian di atas. Inovasi
tersebut dikenal dengan istilah community policing yang diterjemahkan dengan “pemolisian
masyarakat” atau “perpolisian masyarakat”. Inovasi ini, walau belum tersebar
merata dan mengakar, sudah juga menjadi bagian dari filosofi polisi Republik
Indonesia. Ada dua pendapat mengenai asal-usul gagasan pemolisian masyarakat.
Pertama, pemolisian masyarakat secara
radikal berbeda dari pendekatan polisi yang klasik dalam hal pandangan atau asumsi
dasar mengenai manusia. Pemolisian masyarakat ingin memodifikasi cara pandang
mengenai manusia. Asumsinya adalah bahwa ketertiban manusia dapat dicapai bukan
melalui aturan, instrumen pemaksa, dan sanksi koersif, melainkan dicapai berdasarkan
saling-percaya atau trust polisi-masyarakat dan kemitraan polisi dengan masyarakat
di bidang pemolisian— misalnya mengenai apa yang “dipolisii” dan bagaimana “memolisiinya.”
Di lain pihak, menurut pendapat
kedua, pemolisian masyarakat sebenarnya
masih bertolak dari asumsi lama. Asumsi ini menyatakan bahwa ketertiban
masyarakat bisa dicapai kalau ada aturan yang memaksa manusia bekerjasama dan
membatasi perilakuperilaku asosialnya. Dua penekanan membedakan pemolisian
masyarakat dari konsepsi pemolisian model klasik. Pertama, pemolisian masyarakat menekankan
citra diri polisi sebagai problem solver atau pemecah masalah, sebagai tambahan
terhadap fungsi sebagai penegak hukum (law enforcer). Perbedaan citra diri ini akan
memengaruhi materi pendidikan, perilaku, mentalitas, dan pola kerjasama polisi dengan
masyarakat. Sebagai problem solver, polisi diharapkan lebih terampil dan peka dalam
mengidentifikasi masalah-masalah yang ada di masyarakat.
Kedua, masalah-masalah sosial
tersebut tidak dianggap sebagai tindakan kriminal yang harus diproses secara
hukum pidana, melainkan sebagai persoalan. Sebagai persoalan sosial, intervensi
polisi bertujuan membantu masyarakat yang membicarakan dan menyelesaikan
persoalan tersebut.
No comments:
Post a Comment