Tulisan ini hanya sekedar sharing informasi dalam kacamata saya sebagai
pribadi. Meskipun saya telah lama bekerja di PBB baik di daerah-daerah konflik,
maupun saat ini di Kantor Pusat New York, namun dalam kacamata kebangsaan, saya
perlu memberikan pemahaman kepada para pembaca sekalian, bahwa dampak dari
sebuah misi PBB kerap kali berimplikasi pada sesuatu hal yang tidak kita inginkan
bersama.
Mengapa ini saya kemukakan? Hal ini bertitik tolak dari kesadaran saya
pribadi, bahwa kita semua seluruh lapisan masyarakat dalam konteks apapun perlu
memahami bahwa ketika kita tidak sadar dan tidak mampu mengelola sebuah konflik
baik konflik horisontal maupun konflik vertikal, maka dunia internasional akan
menyoroti dengan seksama dan secara perlahan dan pasti, mereka akan melakukan
berbagai langkah yang pada akhirnya berdampak pada sesuatu yang tidak kita
inginkan bersama.
Ide tulisan ini bermula dari sebuah permasalahan yang muncul pada sebuah
misi di Sudan, dan kemudian mengingatkan saya kepada beberapa tahun lalu ketika
saya bertugas dimisi perdamaian PBB di Jugoslavia-Kroasia serta proses yang
sama terjadi di Timor-Timur.
Sudan adalah sebuah negara yang telah mengalami perang berkepanjangan dalam
internal mereka baik yang terjadi antara pemerintah Sudan yang beribukota di
Khartoum dengan pemberontak pada wilayah Sudan Selatan, maupun konflik di
sebuah wilayah di Darfur. Karena proses panjang perang saudara tersebut
menimbulkan korban yang luar biasa banyak terhadap manusia dan peradaban dimana
ratusan ribu orang mati dan jutaan lainnya terjerembab dalam kondisi sosial
yang mengenaskan, maka pada akhirnya muncullah berbagai reaksi internasional
terhadap konflik perang saudara tersebut. Awalnya mereka menyoroti pada proses
kemanusiaan yang terjadi disana, sehingga masuklah berbagai lembaga non
pemerintah (NGO/ Non Government Organization) untuk melakukan berbagai aksi
sosial dalam kerangka perlindungan terhadap umat manusia maupun penegakkan Hak
asasi manusia lainnya.
Namun perlahan tapi pasti, dunia internasional melihat bahwa apa yang
terjadi di Sudan memerlukan keterlibatan PBB lebih dalam. Proses keterlibatan
PBB awalnya selalu bermula dari berbagai laporan-laporan dilapangan yang
kemudian diteruskan pada meja-meja perundingan dimanapun dan pada akhirnya
bermuara pada meja di berbagai departemen di Markas Besar PBB termasuk
perundingan tertinggi di Rapat Dewan Keamanan PBB.
Dalam berbagai proses diplomatik tersebut, pada akhirnya memunculkan
“MANDAT” PBB yang tentunya dengan seperseutujuan seluruh anggota PBB untuk
memerintahkan PBB melakukan berbagai langkah-langkah baik Diplomatik maupuk
Operasional termasuk membentuk misi di negara Sudan tersebut. Hal ini juga
berlaku kepada berbagai misi di negara-negara lain yang didera berbagai konflik
berkepanjangan seperti Perang saudara di Jugoslavia, Iraq, Afghanista, Haiti,
Liberia, Pantai Gading, Kosovo, Somalia, Cyprus, Kongo, Lebanon dan termasuk
Timor-Timur dan yang terakhir adalah Libya serta masih banyak dinegara-negara
lain.
Mandat PBB sebagaimana saya uraikan diatas, memuat berbagai aksi-aksi yang
harus dilakukan oleh PBB secara segera, maupun jangka waktu tertentu yang
intinya untuk melakukan berbagai kegiatan di negara yang terlibat konflik tadi.
Problemnya, ketika PBB mulai melaksanakan mandat, maka mereka akan menggerakkan
berbagai sumberdaya mereka baik manusia maupun yang lainnya untuk segera turun
dilapangan. Maka tidaklah mengherankan bila kemudian dengan adanya mandat
tersebut PBB merekrut banyak Militer, Polisi maupun pihak sipil dari seluruh
dunia untuk diterjunkan melaksanakan tugas sesuai mandat yang diberikan.
Permasalahan mulai mencuat ketika mereka turun kelapangan, maka mereka akan
melaporkan berbagai peristiwa yang terjadi dilapangan, bukan hanya kegiatan
yang mereka laksanakan, namun juga menyangkut berbagai hal yang dilakukan oleh
pihak-pihak yang bertikai. Dalam hal memberikan laporan ini, mereka akan selalu
bertindak obyektif dan detail menyampaikan apa yang terjadi berkaitan dengan
berbagai perkembangan kondisi keamanan dilapangan.
Hal inilah yang kemudian membuat rumit bagi sebuah pemeritahan dimana di
negaranya ada misi PBB. PBB acapkali dijadikan sebagai tempat mengadu bagi para
pihak, terutama pihak yang merasa telah menjadi korban dari sebuah negara.
Akibatnya pilihan tindakan PBB adalah memperpanjang misi dalam rangka mencegah
terjadi dan berkembangnya konflik lanjutan. PBB bisa saja kemudian menjadi mediator
bagi perdamaian, namun berdasarkan pengalaman, semua negara yang terjadi
konflik disana, dimana PBB turun tangan pada akhirnya menjadikan daerah
tersebut terlepas dari sebuah kesatuan negara lama sebelumnya.
Lihatlah Sudan,
dimana PBB mendirikan misi di Sudan dengan nama UNMIS (United Nations Missions
in Sudan). Misi UNMIS ini telah berlangsung selama beberapa tahun dan dampak
yang terjadi saat ini Sudan Selatan lepas dari Sudan dan membentuk sebuah
negara baru dengan nama South Sudan (Sudan Selatan). Saat ini di Sudan ada 2
misi UNMISS (United Nations Mission in South Sudan untuk di wilayah Sudan
Selatan dan UNAMID (United Nations African Unions Hybrid Mission in Darfur)
untuk di wilayah Darfur. Untuk wilayah Darfur saat ini memang masih bagian dari
Sudan, namun berdasarkan pengalaman permasalahan di Sudan Selatan yang telah
lepas, maka Pemerintah Sudan berfikir keras untuk medeligitimasi misi UNAMID
agar tidak dapat berjalan efektif sehingga Darfur tidak terlepas dari Sudan.
Lihatlah juga
misi di ex-Jugoslavia pada tahun 90an, dimana saat itu terjadi perang saudara
yang begitu besari di sana, antara berbagai etnik Bosnia, Croatia, Serbia dan
lain-lain. Ex-Jugoslavia awalnya adalah sebuah negara serikat gabungan antara
berbagai negara-negara seperti Croatia, Serbia, Bosnia, Montenegro, Slavonia,
Kosovo. Ada satu masa dimana mereka kemudian memutuskan berpisah, namun
perjanjian perceraian mereka tidak terimplementasi dengan mulus, sehingga
pecahlah perang saudara yang sangat dahsyat. Perpecahan tersebut didasari oleh
sentimen etnik dan agama yang sangat kental.
Kedahsayatan
perang tersebut bermula ketika sebagian etnik Serbia-Bosnia maupun
Croatia-Bosnia yang berada dan tinggal di negara Bosnia tidak menerima atas
perpisahan tersebut dan mereka berjuan untuk membangun negara-negara kecil baru
didalam negara Bosnia yang sudah lemah karena sangat kecil wilayahnya dan bukan
merupakan kekuatan utama dari negara Jugoslavia. Parahnya lagi, etnik-etnik
tersebut kemudian didukung oleh induknya seperti etnik Serbia-Bosnia didukung
oleh negara Serbia dan etnik Croatia-Bosnia didukung oleh Croatia.
Disinilah PBB
mulai menerjunkan misinya untuk menghentikan berbagai pertikaian dan peperangan
tersebut. Namun faktanya negara Jugoslavia saat ini tinggal sejarah karena
mereka sudah terpecah dalam negara-negara kecil.
Contoh aktual
yang cukup nyata bisa dijadikan pelajaran adalah Timor Timur, yang pada
akhirnya terlepas dari NKRI melalui keterlibatan PBB didalamnya.
Saya menuliskan
kesemua ini bukannya untuk mendramatisir bahwa keterlibatan PBB adalah sesuatu
yang negatif. Bukan itu.
Makna terdalam
dari semua ini adalah, bahwa negara kita saat ini sarat dengan permasalahan
politik dan ancaman separatisme yang harus kita cermati lebih dalam. Berbagai
isu lokal dapat saja dimanfaatkan secara internasional dan pada akhirnya
keterlibatan asing maupun internasional tidak dapat dihindari. Oleh karena itu,
tiada upaya lain bahwa penegakkan HAM dan langkah-langkah tindakan yang
mengedepankan standar internasional harus kita lakukan secara proporsional.
Integrasi bangsa adalah harga diri dan harga mati. Namun demikian, hal ini
bukanlah menjadi legitimasi kita untuk melakukan segala cara dan mengabaikan
isu-isu krusial dalam penanganannya.
Hanya sebuah
renungan
Salam dari New
York
No comments:
Post a Comment